Anda di halaman 1dari 3

Secara alami produksi antibody berlangsung lambat sehingga individu menjadi sakit ketika

terinfeksi. Namun, imun memiliki memori untuk pembentukan antibodi, maka respon sistem
imun untuk infeksi selanjutnya menjadi lebih cepat. Setelah paparan infeksi berulang, individu
mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol parasitemia yang dapat mengurangi gejala
klinis dan komplikasi yang membahayakan bahkan dapat menimbulkan kematian. Level atau
kadar antibodi juga semakin meningkat dengan adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih
efektif dalam membunuh parasit (Mading & Yunarko, 2014)
Perlawanan tubuh atau respon imunitas dilakukan oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan
dilakukan oleh imunitas humoral melalui limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T
helper (CD 4+) dan sitotoksis (CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon
imun karena mempunyai kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan
khusus dan membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa
hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif (Mading &
Yunarko, 2014)
Eritrosit yang telah terinfeksi akan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) dan dibawa ke
sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu dengan lisosom sehingga terbentuk
fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan mediator yang akan mendegradasi antigen Plasmodium
menjadi peptida-peptida yang akan berasosiasi dengan molekul MHC II (major
histocompatibility complex) dan dipresentasikan ke TCD. Saat berlangsungnya proses tersebut
APC mengeluarkan interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat
presentasi antigen memperkuat produksi IL-12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T
yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya menyebabkan aktivasi
dan deferensiasi sel T. (Mading & Yunarko, 2014)
Mading, M. & Yunarko, R. 2014. Respon Imun terhadap Infeksi Parasit Malaria, Jurnal Vektor
Penyakit, 8 (2),pp. 45 – 52.

Sistem pertahanan tubuh manusia terdiri dari sistem imun alamiah (innate immunity) dan sistem imun
adaptasi (acquired immunity). Sistem imun alamiah memberikan respon pertahanan yang cepat tapi
tidak spesifik da-lam melawan jejas hingga ter-bentuk respon imun adaptasi yang lebih spesifik. Sistem
imun alamiah terdiri dari struktur yang tetap sedangkan sistem imun adaptasi lebih banyak fungsinya
dan lebih bisa beradaptasi (Arina, Y. M. D. 2003).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroorganisme yang telah ada dan siap berfungsi sejak lahir (Martini, 2001). Sistem imun alamiah
terdiri dari sel dendritik, makrofag, sel NK (natural killer cells). Komponen sistem imun non spesifik tidak
mempunyai kemampuan untuk berreplikasi secara cepat, akan tetapi selalu siap untuk melawan dan
mencerna bahan-bahan asing dalam waktu yang singkat. Sel-sel dalam sistem imun non spesifik meliputi
granulosit yang berfungsi memfagosit atau mencerna, natural killer cells khusus untuk sel kanker,
makrofag dan komplemen yang kesemuanya berfungsi sebagai pertahanan pertama terhadap adanya
infeksi. Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit T dan limfosit B. Ketika suatu antigen
merangsang respon imun spesifik, antigen tersebut mula-mula selalu mengaktifasi sel limfosit T. Sekali
sel limfosit T teraktifasi, sel tersebut akan melawan antigen dan merangsang aktifasi sel limfosit B. Sel
limfosit B yang teraktifasi akan merangsang pembentukan antibodi yang akan melawan antigen tersebut
(Arina, Y. M. D. 2003)
Arina, Y. M. D. 2003. Pengaruh Aging Terhadap Sistem Imun. JKM Vol. 3, No. 1, 53-58

ThCD4+ berperan penting pada mekanisme efektor. Sel-sel efektor berfungsi memproduksi dan
melepas sitokin (sel Th), sel yang membunuh virus dan mikroba (sel NK/natural killer dan
makrofag), sel yang membunuh sel yang terinfeksi (CTL/cytotoxic cells) atau melepas antibodi
(sel B yang berdiferensiasi). Telah diketahui bahwa sel ThCD4+ berdiferensiasi menjadi 2 subset
berdasarkan pola sekresi sitokin setelah distimulasi oleh antigen. Subset limfosit Th1 melalui
produksinya yaitu interferon-γ (IFN- γ), IL-2 dan IL-12. Sedangkan subset Th2 memproduksi IL-
4, IL-5, IL-6, IL-9 dan IL-10. Sitokin yang dihasilkan sel Th1 menghambat kerja sel Th2,
demikian pula sebaliknya sehingga respon imun cenderung memilih salah satu pola respon, pola
respon Th1 atau pola respon Th2. (TIZARD, 2000). IL-12 merupakan sitokin utama dan
terpenting dalam menginduksi ke subset Th1, secara in vitro maupun in vivo (TRINCHIERI,
1995). Dilaporkan bahwa produk bakterial yang menghantar menuju ke subset Th1 ternyata
bekerja melalui produksi IL-12 oleh antigen presenting cell (APC) seperti makrofag (Wiedosari,
E. 2007).
IFN- γ memiliki kemampuan sebagai factor aktivasi makrofag. IFN- γ dapat menginduksi
makrofag guna meningkatkan kemampuannya dalam membunuh bakteri intraseluler, parasit
maupun sel neoplastic secara non-spesifik. IFN- γ mereduksi suseptibilitas makrofag terhadap
infeksi mikroba dan meningkatkan pengenalan target pada fase awal dari imunitas nonspesifik
melalui regulasi protein permukaan sel makrofag. Makrofag yang telah diaktivasi membunuh
target mikrobial menggunakan berbagai macam substans toksik seperti oksigen reaktif dan
nitrogen intermediet yang diinduksi oleh IFN- γ (Wiedosari, E. 2007).
Wiedosari, E. 2007. Peranan Imunomodulator Alami (Aloe Vera) Dalam Sistem Imunitas Seluler
Dan Humoral. Wartazoa Vol. 17 No. 4. 165-171

Anda mungkin juga menyukai