Anda di halaman 1dari 20

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOMPRES DINGIN TERHADAP

PENURUNAN SKALA NYERI SENDI LUTUT PADA PEMAIN FUTSAL DI

METRO FUTSAL DENPASAR TAHUN 2015

Oleh :
I Nengah Mertayasa
14.322.2155

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR
2015
A. Latar Belakang

Olahraga adalah suatu kegiatan fisik yang bersifat permainan yang dilakukan

secara terencana sehingga menghasilkan suatu prestasi (Scheunemann, 2008).

Secara umum aktivitas yang terdapat dalam kegiatan olahraga terdiri dari 2 jenis

aktivitas yaitu aktivitas aerobik dan anaerobik. Kegiatan olahraga yang bersifat

ketahanan contohnya jogging, maraton, triatlon dan bersepeda jarak jauh

merupakan jenis olahraga aerobik, sedangkan kegiatan olahraga yang

membutuhkan tenaga besar dalam waktu singkat contohnya angkat berat, push-up,

body building, sprint atau juga loncat jauh merupakan jenis olahraga anaerobik.

Beberapa jenis olahraga beregu atau juga individual akan terdapat pula gerakan-

gerakan seperti meloncat, mengoper, melempar, menendang bola, memukul bola

atau juga mengejar bola dengan cepat yang bersifat anaerobik. Beberapa cabang

olahraga seperti sepakbola, futsal, bola basket atau juga tenis lapangan merupakan

kegiatan olahraga dengan kombinasi antara aktivitas aerobik dan anaerobik

(Harsuki, 2003).

Aktivitas aerobik merupakan aktivitas yang bergantung pada ketersediaan

oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi yang melibatkan

jantung, paru-paru dan pembuluh darah agar dapat mengangkut oksigen sehingga

proses pembakaran sumber energi dapat berjalan sempurna. Aktivitas anaerobik

merupakan aktivitas dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi secara

cepat dalam waktu yang singkat, namun tidak dapat dilakukan secara kontinu
untuk durasi waktu yang lama. Aktivitas ini membutuhkan interval istirahat agar

Adenosin Triphosfat (ATP) dapat diregenerasi sehingga kegiatannya dapat

dilanjutkan kembali (Harsuki, 2003).

Futsal merupakan salah satu olahraga kombinasi aerobik dan anaerobik yaitu

aktivitas permainan invasi ( invation games) yang dimainkan di lapangan oleh 2

regu dalam durasi waktu tertentu, gawang dan bola yang relatif lebih kecil dari

permainan sepakbola yang mensyaratkan kecepatan bergerak (Murhananto, 2006).

Kegiatan olahraga futsal yang dilakukan atlit sering menggunakan gerakan-

gerakan menekan dengan keras seperti gerakan menendang bola, lari pada arah

putaran yang sama, posisi telapak kaki yang miring pada permukaan lapangan

yang tidak rata, salah melangkah atau tersandung, jatuh terpelanting ke depan,

lutut seringkali dipaksa mendapatkan tekanan (penegangan) dalam porsi yang

paling besar, sehingga hal ini menyebabkan lutut harus berkontraksi melebihi

kemampuan strukturnya. Tekanan yang terjadi secara berulang-ulang pada lutut

sehingga menyebabkan terjadinya peradangan dan pelembekan pada jaringan

kartilago di bawah patela (mangkuk lutut). Lutut akan meningkatkan tekanan di

dalam sendi yang cukup besar dan mendorong cairan dari kapsul ke lubang kapsul

di dalam bursa. Otot overlap mencegah cairan yang kembali ke dalam kapsul

sehingga bursa tidak dapat kempis kembali sehingga timbul rasa nyeri (Taylor,

2002).
. Normalnya sendi dapat bergerak sedikit ke belakang dan ke depan untuk

mengakomodasi kondilus femur saat tungkai ditekuk atau diluruskan. Sprain

adalah trauma pada sendi, biasanya terkait dengan cedera ligamen. Sprain yang

berat, ligamen dapat putus serta dapat menyebabkan inflamasi, pembengkakan dan

nyeri (Corwin, 2009). Kerusakan ligamen mayor, sendi menjadi tidak stabil dan

diperlukan tindakan pembedahan atau imobilisasi gips sehingga sendi tidak akan

kehilangan stabilitasnya (Smeltzer & Bare, 2001).

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP, 1979)

dalam Sudoyo, dkk (2006), nyeri adalah sebagai pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan jaringan. Derajat nyeri

seseorang bervariasi dari ringan sampai berat.

Penatalaksanaan nyeri dapat menggunakan terapi farmakologis dan non

farmakologis. Terapi farmakologis seperti golongan analgesik nonopioid,

nonsteroid antiinflamatory drug (NSAID), analgesik opioid. Obat farmakologis

bekerja menghambat sintesis prostaglandin yang bekerja pada reseptor saraf

perifer untuk mengurangi transmisi dan persepsi stimulus nyeri. Terapi non

farmakologis mencakup intervensi perilaku kognitif, relaksasi dan teknik

imajinasi, bimbingan antisipasi, distraksi, biofeedback, hipnosis diri dan stimulasi

kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, seperti masase, mandi air hangat, kompres menggunakan


kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (Transcutaneus Electrical Nerve

Stimulation, TENS) (Potter & Perry, 2005).

Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat dengan

menggunakan ice cap yang dimasukan potongan es sehingga memberi efek rasa

dingin pada daerah setempat, sekitar 5-10 menit dengan suhu 15 0C. Pemberian

kompres dingin dilakukan secara periodik, sehingga mempersempit pembuluh

darah dan mengurangi kemerahan serta rasa perih. Tujuannya untuk

menghilangkan rasa nyeri akibat odema atau trauma, memperlambat denyutan

jantung, mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah lokal (Potter

& Perry, 2005).

Penggunaan kompres dingin diharapkan dapat meningkatkan relaksasi otot-

otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan serta memberikan rasa

dingin lokal. Dingin yang mengenai jaringan dalam waktu yang lama akan

menyebabkan terjadinya refleks vasodilatasi, hal ini terjadi karena stimulasi

serabut saraf mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan

mengakibatkan vasodilatasi, disamping itu ketidakmampuan sel menerima aliran

darah dan nutrisi yang adekuat sehingga akan menimbulkan iskemia jaringan, kulit

terlihat kemerahan kemudian menjadi agak ungu kebiruan disertai mati rasa dan

nyeri seperti terbakar. Jaringan kulit dapat membeku akibat dingin yang ekstrem

(Potter & Perry, 2005). Menurut Scheunemann (2008) kompres dingin dilakukan

selama 15 sampai 20 menit.


Penanganan nyeri dengan terapi non farmakologi selain kompres dingin

seperti a) bimbingan antisipasi, pada pasien yang mengalami kecemasan tingkat

tinggi pemberian informasi akan memperburuk nyeri. b) Distraksi hanya memberi

pengaruh dalam jangka waktu yang singkat yaitu untuk mengatasi nyeri intensif

hanya berlangsung beberapa menit, misalnya selama pelaksanaan prosedur invasif

atau saat menunggu kerja analgesik, sedangkan c) kompres dingin dapat memberi

pengaruh efek relaksasi yang lebih lama serta sangat cocok untuk pasien yang

mengalami kecemasan akibat nyeri karena kompres dingin dapat memberikan

relaksasi otot-otot yang tegang (Potter & Perry, 2005).

Proses perubahan nyeri menggunakan kompres dingin yaitu pemberian

kompres dingin menyebabkan pelepasan endorfin sehingga memblok transmisi

stimulus nyeri. Theory Gate Control menjelaskan bahwa stimulasi kutaneus

mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan lebih

cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan Delta-A

berdiameter kecil. Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri. Meek (1993)

dalam Potter dan Perry (2005), mengatakan bahwa sentuhan dan masase

merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas sistem saraf

otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks,

kemudian akan muncul respon relaksasi.

Dikutip dari Sportsinjurybulletin, Senin (12/7/2010) berbagai cedera yang

dialami adalah Cedera ringan yang menyebabkan pemain harus absen kurang dari
sepekan paling sering terjadi yakni 60,15%, Cedera sedang dengan durasi absen

sepekan hingga sebulan sebanyak 26,17%, Cedera parah yang mengistirahatkan

pemain lebih dari sebulan terjadi sebanyak 13,67%.

Bagian tubuh yang paling rentan cedera adalah kaki, Persentasenya

mencapai 77% dibandingkan lutut yang hanya 21% dan ankle atau pergelangan

kaki sebesar 18%. Namun dibandingkan pada bagian tubuh lainnya, cedera lutut

cenderung menyebabkan seorang pemain absen dalam jangka waktu paling lama,

cedera di bagian ini juga paling sering membutuhkan operasi pembedahan untuk

mengatasinya. Pada pergelangan kaki, sisi bagian luar lebih rentan terkilir

dibandingkan sisi dalam maupun tengah. Kerusakan ligamen pada sisi luar juga

cenderung lebih berbahaya dibandingkan pada ligamen di sisi dalam. Sementara

itu, kerusakan otot paling banyak terjadi di bagian paha (groin) yakni 53%. Otot

lain yang sering sobek dalam permainan sepakbola adalah hamstring (42%) dan

quadriceps atau otot paha di sisi depan (5%).

Penelitian lain yang dipublikasikan dalam British Journal of Sport Medicine

mengungkap, cedera paling banyak terjadi pada 15 menit awal dan 15 menit

menjelang laga berakhir. Risiko di menit-menit awal merupakan akibat dari

permainan keras dengan intensitas tinggi, sementara risiko menjelang laga

berakhir umumnya dipicu oleh kelelahan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kresnahadi (2009) tentang

efektifitas pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat


nyeri sendi lutut pada atlet basket berprestasi di GOR Ngurah Rai Denpasar

menyimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam efektif untuk menurunkan

skala nyeri sendi lutut pada atlet basket berprestasi di GOR Ngurah Rai Denpasar.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2010) tentang pengaruh

pemberian kompres hangat dengan penurunan nyeri saat disminore pada siswi di

SMP N I Winong Pati menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian kompres

hangat dengan penurunan skala nyeri saat disminore pada siswi di SMP N I

Winong Pati.

Berdasarkan studi pendahuluan di Metro Futsal Denpasar pada 15-19 juni

2015, menggunakan metode wawancara, ada 10 (28,6%) dari 35 pemain

mengalami nyeri pada sendi lutut, 8 pemain (80%) mengeluh nyeri skala 3 (nyeri

ringan, secara obyektif pemain dapat berkomunikasi dengan baik) dan 2 pemain

(20%) mengeluh nyeri skala 4 (nyeri sedang, secara obyektif pemain mendesis dan

memegang lutut yang nyeri), 5 (50%) pemain mengatasi nyeri dengan dipijat, 3

(30%) pemain hanya dibiarkan saja dan 2 (20%) pemain menggunakan obat

farmakologis. Upaya menurunkan nyeri sendi lutut dengan kompres dingin belum

banyak dilakukan. Pemain futsal mengatakan gengsi (malu) ketika harus

membawa tremos, es batu, bosan menunggu saat proses pengompresan, pemain

tidak mau repot, padahal kompres dingin sangat praktis, mudah didapat, murah,

tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi tubuh disamping itu pemain

dan keluarga juga bisa melakukan kontrol penanganan nyeri sendi lutut di rumah.
Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Efektifitas pemberian kompres dingin terhadap penurunan skala nyeri

sendi lutut pada pemain futsal di metro futsal Denpasar ”.


PENGARUH KOMPRES HANGAT PADA LOKASI
PENYUNTIKAN TERHADAP NYERI PADA BAYI SAAT
IMUNISASI DI PUSKESMAS BANJARANGKAN TAHUN 2015

Oleh :
I Nengah Mertayasa
14. 322. 2155

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bayi adalah anak yang berusia di bawah satu tahun. Bayi lebih rentan

terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Lebih dari 70% dari 11

juta anak meninggal tiap tahun yang sebagain besar disebabkan oleh diare,

malaria, infeksi neonatus, pneumonia, persalinan preterm, atau kurangnya

oksigen pada kelahiran. Pristiwa ini terjadi pada umumnya di negara

berkembang. Di indonesia sendiri pada tahun 1991, angka kematian anak

dibawah lima tahun rata-rata 97 per 1000 kelahiran hidup. Namun terjadi

penurunan pada tahun 2007, yang menjadi rata-rata 44 per 1000 kelahiran

hidup. Untuk kematian bayi pada periode yang sama juga mengalami

penurunan, dimana pada tahun 1991 rata-rata kematian bayi 68 per 1000

kelahiran hidup menjadi 34 pada tahun 2007 (IDHS, 2007, dalam Indonesia

MDG Report Final, 2010).

Mengurangai angka kematian bayi merupakan satu indikator kesehatan

selain meningkatkan angka harapan hidup. Itulah sebabnya tujuan keempat

Millenium Devolepment Goals (MDGs) adalah mengurangi angka kematian

anak. Target dari tujuan tersebut adalah mengurangi dua pertiga rata-rata

kematian anak di bawah lima tahun, yang termasuk di dalamnya mengurangi


rata-rata kematian anak di bawah lima tahun, mengurangi rata-rata kematian

bayi, dan pemberian imunisasi pada anak satu tahun untuk melawan campak

(UNDP, 2010).

UNICEF (The United Nations Children’s Fund) melakukan kerja sama

dengan pemerintah, Word Health Organization (WHO) dan pihak-pihak yang

terkait, untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak-anak dari penyebab

yang dapat dicegah dan diobati, antara lain dengan peningkatan pencapaian

imunisasi paling sedikit 90% (UNDP, 2010).

Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukan

antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten

terhadap penyakit tertentu (Atikah Proverawati, 2010). Imunisasi biasanya

lebih fokus diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka

masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan

penyakit berbahaya. Imunitas tidak cukup hanya diberikan satu kali, tetapi

harus di lakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang

sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak. Program imunisasi

merupakan program yang memberikan sumbangan yang sangat bermakna

dalam rangka penurunan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh

berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) (Cahyono,

2010).
Namun, imunisasi pada masa anak-anak merupakan tindakan yang

menimbulkan trauma baik untuk anak, keluarga, tenaga kesehatan, dan juga

masyarakat secara luas karena menyebabkan nyeri akut (Jacobson et al.,2001).

Selain itu juga tidakan imunisasi yang rutin merupakan sumber utama nyeri

iatrogenik pada bayi dan anak-anak (Schecter et al,.2007).

Menurut survei oleh Meyerfoff, wenigner, dan laobs (2001) tentang

tanggapan orang tua terhadap pengaruh tindakan penyuntikan, orang tua

melaporkan akan membayar untuk menghindari satu dari 2 tindakan

penyuntikan setiap kunjungan dan 3 dari 4 tindakan menyuntik setiap

kunjungan. Hal ini disebabkan oleh trauma yang dialami oleh bayi berdampak

pada orang tua dan keluarga. Pengalaman terhadap nyeri atau tindakan yang

menyebabkan trauma pada bayi harus diantisipasi dan dicegah sebanyak

mungkin. Hal ini sejalan dengan filsofi keperawatan anak yaitu perawatan

atraumatik yang bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan nyeri atau

cedera pada tubuh (Wong et al., 2009). Mengingat begitu besarnya man faat

imunisasi, maka berbagai upaya untuk menurunkan kecemasan orang tua dan

meningkatkan cakupan dilakukan dengan menurunkan dampak dari imunisasi,

khususnya nyeri.

Teknik untuk penurunan nyeri terdiri dari dua cara yaitu intervensi

farmakologi dan intervensi non farmakologi. Tadio., (2009) mengatakan

bahwa intervensi fisik untuk menurunkan nyeri saat dilakukan injeksi pada
anak yang mendapatkan imunisasi rutin antara lain dengan memposisikan

anak saat prosedur injeksi, memberikan terapi es pada area suntikan sebelum

dilakuan injeksi, mengosok dan menekan area suntikan dua menit sebelum

injeksi dan setelah injeksi, mengunakan teknik suntikan cepat tampa aspirasi,

serta menggunakan kompres hangat dipercaya secara sederhana dapat

mengurangi rasa nyeri pada seorang yang mengalami kolik renal dan

beberapa nyeri kronik lainnya ( Judha, Sudarti, & Fauziah, 2012).

Beberapa studi nyeri pada anak yang selalu menjadi keluhan utama

saat imunisasi, didapatkan bahwa nyeri yang dikeluhan oleh anak selalu

diabaikan sehingga penangan yang diberikan tidak adekuat (Zeltzer & Brown,

2007). Tindakan yang dapat dilakukan perawat terbagi atas dua yaitu tindakan

farmakologi dan nonfarmaklogi.

Salah satu cara untuk mengurangi dampak nyeri pada anak yang

mendapat imunisasi adalah pemberian kompres hangat pada lokasi

penyuntikan saat imunisasi. Kompres hangat merupakan tindakan

keperawatan dengan memberikan kompres hangat yang digunakan untuk

memenuhi rasa nyaman. Tindakan ini digunakan untuk klien yang mengalami

nyeri (Hidayat & Uliyah 2012, h.183). pemberian kompres hangat dapat

menimbukan efek hangat serta efek stimulasi kutaneus berupa sentuhn yang

dapat menyebabkan terlepasnya endorphin, sehingga memblok trasmisi

stimulus nyeri ( Runiari & Surinati,2012). Kompres hangat juga akan


menghasilakan efek fisiologis untuk tubuh yaitu efek vasodilatasi,

meningkatkan metabolisme sel dan merelaksasi otot sehingga nyeri yang

dirasakan berkurang (Perry & Potter 2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan diwilayah kerja

puskesmas Banjar Rangkan 1 pada tanggal 21 maret 2015 didapatkan data

jumlah total sasaran bayi yang diimuniasi berjumlah 697 bayi pada tahun

2014. Sasaran imunisasi HBO berjumlah 694 bayi dan sasaran imunisasi DPT

(defteri Pertusis Tetanus), +HB1 + pol2 berjumlah 711 bayi. Wawancara yang

dilakukan kepada 5 orang tua yang membawa bayinya untuk diimunisasi di

Puskesmas Banjar Rangkan 1 mengatakn bahwa tidak tega melihat bayinya

saat diimunisasi karena nyeri yang dirasakan. Namun karena mengingat

pentingnya imunisasi bagi anaknya, maka dengan berat hati orang tua

membiarkan anaknya mengalami kesakitan saat imunisasi. Dan 5 orang tua

lainnya masih belum begitu mengenal bagaimana cara mengurangi nyeri yang

dirasakan bayinya saat imunisasi.

Sesuai dengan latar belakang tersebut, maka penelit tertarik untuk

melakukan penelitian pada bayi diimunisasi dengan judul : Pengaruh

Kompres Hangat terhadap Respon Nyeri pada Bayi Saat Imunisasi di

Puskesmas Banjar Rangkan 1 Kabupaten Klungkung.


TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA
DIABETES TERHADAP PENANGANAN PENYAKIT
DIABETES MELITUS DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN
TAHUN 2015

Oleh :
I Nengah Mertayasa
14.322.2155

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR
2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Derajat kesehatan masyarakat di Indonesia semakin rendah. Ketika

penyakit menular belum dapat diatasi sepenuhnya, kini semakin banyak muncul

penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian terbesar di Indonesia.

Diantaranya penyakit jantung, hipertensi, dan Diabetes Melitus.

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang

masih menjadi ancaman di masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki oleh

masyarakat sebatas pada Diabetes dikarenakan terlalu banyaknya gula yang

dihasilkan dalam darah, sedangkan pengobatannya dengan menggunakan tablet

atau suatu zat yaitu insulin yang harus disuntikkan dengan teratur.

Dari pengetahuan tersebut, muncullah pandangan bahwa Diabetes adalah

penyakit seumur hidup yang harus menjalankan pengobatan sepanjang sisa

hidupnya. Selain harus menjalankan pengobatan seumur hidup, orang yang telah

menderita Diabetes (Diabetesi) juga akan dihantui berbagai komplikasi. Salah

satunya menyebabkan penyakit ginjal yang parah. Bahkan, dapat berujung pada

kematian.

Berdasarkan survei World Health Organization (WHO, 2001),

menyebutkan Indonesia menduduki urutan ke 4 setelah India, Cina, dan Amerika


Serikat dengan jumlah penderita Diabetes Melitus sekitar 17 juta orang atau 8,6

persen dari jumlah penduduk Indonesia. Internasional Diabetic Federation (IDF,

2001) mengestimasikan bahwa jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun keatas

menderita Diabetes Melitus sebanyak 5,6 juta orang.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2001) menemukan prevalensi

Diabetes Melitus di kalangan penduduk Jawa dan Bali berusia 24-64 tahun

mencapai 7,5 persen. Dipertengas oleh survei departemen kesehatan (2001)

terdapat 7,5 persen penduduk Jawa dan Bali menderita Diabetes Melitus yang

menjalani rawat inap dan rawat jalan menduduki urutan pertama di rumah sakit

dari keseluruhan pasien penyakit dalam.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hardjoeno (2006) tentang

orang usia lanjut usia dan Diabetes Melitus di Makasar-Indonesia didapatkan

bahwa penyaringan (skrining) dilakukan pada 1080 orang lanjut usia umur 50

tahun atau lebih di Makassar yang diduga Diabetes Melitus, kemudian dinilai

menurut klasifikasi WHO, 1998. Dari 1080 pasien, yang terdiagnosa Diabetes

Melitus sebanyak 560 (51,85%) laki-laki dan 520 (48,15%) perempuan. Hasil

pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dL sejumlah 420 orang (38,89%),

glukosa dua jam sesudah beban > 200 mg/dL sebanyak 425 orang (39,35%), dan

517 orang (47,87%) dengan glukosa plasma puasa >126 mg/dL serta beban >200

mg/dL.
Menurut Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)

bulan Januari – September 2008 tercatat 595 pasien dengan kasus Diabetes

Melitus yang berkunjung ke Puskesmas II Denpasar Selatan. Dari buku laporan

kunjungan pemeriksaan gula darah tiga bulan terakhir (Juli-September 2008)

tercatat 71 orang yang terdiagnosa penyakit Diabetes Melitus.

Menurut Fadilah (2006) pada dialog tentang Diabetes memperingati hari

lanjut usia nasional di Jakarta, jika penderita Diabetes Melitus tidak mampu

mengontrol kadar gula dalam darahnya maka akan terjadi komplikasi, misalnya

terkena stroke, gagal ginjal, jantung, kebutaan bahkan harus menjalani amputasi

apabila anggota badan menderita luka yang tidak bisa mengering darahnya.

Fadilah berharap masyarakat termasuk yayasan pelita usila sebagai penyelenggara

dialog Diabetes ikut mensosialisasikan penanggulangan Diabetes Melitus, baik

secara medis seperti obat-obatan maupun non medis melalui pencegahan seperti

mengurangi konsumsi makanan mengandung gula dan berolahraga.

Selama ini masyarakat hanya berpikir bahwa penyakit Diabetes Melitus

adalah penyakit keturunan. Jadi, apabila salah satu anggota keluarga menderita

Diabetes Melitus maka anggota keluarga yang lain berisiko juga menderita

Diabetes Melitus. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah tetapi dengan

perubahan jaman, adanya perubahan gaya hidup dan aktivitas yang dijalani,

penyakit Diabetes Melitus juga dapat terjadi pada orang yang tidak mempunyai
riwayat keluarga dengan penyakit Diabetes Melitus yang dikenal dengan penyakit

Diabetes Melitus tipe 2.

Peningkatan kasus Diabetes Melitus di dunia terutama di Indonesia

dikarenakan perubahan gaya hidup masyarakat. Beralihnya konsumsi makanan

yang tradisional ke konsumsi makanan barat yaitu makanan cepat saji dan

berlemak, yang akan berdampak terjadinya penyakit Diabetes Melitus. Hal

tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan, sikap maupun perilaku dari

masyarakat yang tidak menjalani pola hidup sehat. Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (PERKENI) menyarankan agar penderita Diabetes Melitus

menjalankan hidup sehat dengan diet yang benar-benar dipatuhi, pemantauan

kadar gula darah, olahraga dengan teratur, tidak merokok dan bila diperlukan

konsumsi obat yang sesuai.

Keberhasilan dari pencegahan, pengobatan maupun pengendalian

penyakit Diabetes Melitus, sangat banyak tergantung pada pengetahuan, sikap

dan perubahan perilaku dari masyarakat. Dari hal tersebut, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai “Tingkat Pengetahuan dan Sikap Penderita

Diabetes Terhadap Penanganan Penyakit Diabetes Melitus di Desa Wilayah Kerja

Puskesmas II Denpasar Selatan”

Anda mungkin juga menyukai