Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korioamnionitis adalah peradangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah


ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis tersamar yang disebabkan oleh
beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-
kasus pecah ketuban, persalinan premature (persalinan kurang bulan), atau keduanya.
Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonates seara bermakna.1
Insidensi dari korioamnionitis adalah 1-5% dari kehamilan aterm dan sekitar 25%
dari partus preterm.2

Korioamnionitis tersamar sebagai salah satu penyebab persalinan kurang


bulan telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Ustun dkk menemukan angka
kejadian inflamasi chorionic plate pada persalinan kurang bulan sebanyak 35,5%,
sedangkan persalinan cukup bulan hanya 5,4% kejadian tersebut diperoleh dari
Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung.3 Meliala dkk telah membuktikan bahwa
pada persalinan spontan kurang bulan tanpa ketuban pecah dini disebabkan
korioamnionitis yang dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme.3

Persalinan kurang bulan merupakan masalah di bidang obstetric dan


perinatologi yang berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
bayi. Tujuh puluh persen morbiditas dan mortalitas neonates disebabkan oleh
prematuritas. Lebih dari 65% kematian neonatus terjadi pada bayi yang lahir
premature, dengan angka kematian sebesar 19.000 per tahunnya.4

Selain persalinan kurang bulan, KPD (ketuban pecah dini) juga erat kaitannya
dengan korioamnionitis. KPD dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD
preterm dapat menyebabkan kejadian korioamnionitis serta sepsis neonatal.5 KPD
adalah jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam yang
mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis.6 Sekitar

1
25% infeksi intrauterine disebabkan oleh KPD. Infeksi intrauterine ini terjadi pada
saat dalam persalinan.7

Penatalaksanaan korioamnionitis pada ibu hamil dilakukan pemeriksaan


penunjang seperti tes laboratorium untuk mengetahui keadaan mikroorganisme, jika
diagnosis sudah ditegakkan maka percepatan persalinan secara pervaginam dan
antibiotik sistemik merupakan terapi pilihan.8

I.2 Rumusan Masalah

Secara umum, rumusan masalah dalam karangan ini adalah Bagaimana


korioamnionitis dalam kehamilan Secara khusus, rumusan masalah tersebut dapat
dijabarkan berikut ini.

1. Apa yang dimaksud dengan korioamnionitis?


2. Berapa angka kejadian korioamnionitis dalam kehamilan?
3. Bagaimana patogenesis korioamnionitis?
4. Bagaimana pengaruh korioamnionitis dalam kehamilan, ibu dan janin?
5. Bagaimana cara penatalaksanaan korioamnionitis dalam kehamilan sesuai
wewnang bidan?

I.3 Tujuan

1. Memahami apa yang dimaksud dengan korioamnionitis dalam kehamilan.


2. Mengetahui kejadian korioamnionitis dalam kehamilan.
3. Memahami patogenesis korioamnionitis.
4. Membahas pengaruh korioamnionitis dalam kehamilan, ibu dan janin.
5. Mengetahui penatalaksanaan korioamnionitis dalam kehamilan sesuai
wewenang bidan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Korioamnionitis

Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan


pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan
berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitistersamar (“silent”), yang disebabkan oleh
beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-
kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis
meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. Secara spesifik ,sepsis
neonatus, distress pernapasan, perdarahan intraventrikel, kejang,
leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir
dari ibu dengan korioamnionitis.1

Korioamnionitis biasanya terjadi akibat bakteri yang naik (ascending). Infeksi


kadang-kadang terjadi akibat diseminasi mikroorganisme transplasenta. Infeksi yang
disebabkan oleh prosedur obstetric lebih jarang terjadi, misalnya serklase serviks,
amniosentesis, transfusi intrauterus, atau pengambilan sample darah umbilicqal
cutaneus.7 Deteksi dini atau temuan klinis meliputi demam pada ibu, takikardia pada
ibu dan janin, dan pada kasus lanjut, nyeri tekan pada uterus, cairan amniotic purulen,
dan leukositosis (kendati yang terakhir dapat terjadi pada persalinan normal juga.7

2.2 Epidemiologi

Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonates secara


bermakna.1 Insidensi dari korioamnionitis adalah 1-5% dari kehamilan aterm dan
sekitar 25% dari partus preterm.2 Sekitar 25% infeksi intrauterine disebabkan oleh
KPD. Infeksi intrauterine ini terjadi pada saat dalam persalinan.7

3
1-4% dari semua kelahiran di US mengalami komplikasi amnionitis.
Korioamnionitis mengkomplikasi sebanyak 40-70% kejadian kelahiran premature
dengan ketuban pecah dini dan 1-13% kehamilan aterm.9 12% kelahiran ceasar juga
terlibat dalam korioamnionitis klinis, dengan indikasi tersering pada kasus ini yaitu
kegagalah dalam menangani setelah membrane rupture.10

Beberapa studi telah menemukan berbagai factor risiko pada korioamnionitis:

1. PROM dengan durasi yang lama9


2. Persalinan lama9
3. Nulliparitas9
4. Etnik Afrika-Amerika9
5. Monitoring internal pada persalinan9
6. Pemeriksaan Vagina9
7. Meconium-stained pada cairan amnion9
8. Status immune-compromised9
9. Koloni grup B streptococcus11
10. Bakterial vaginosis11
11. Infeksi menular seksual11
12. Koloni vagina dengan ureaplasma11

2.3 Diagnosis atau Deteksi Dini

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan laboratorium. Selama periode intrapartum diagnosis korioamnionitis
biasanya berdasarkan gejala klinis, selain itu juga dilakukan kultur cairan amnion dan
sekret urogenital untuk mengetahui kuman penyebab.12 Akan tetapi beberapa studi
mengatakan pemeriksaan cairan amnion atau kultur plasenta itu membahayakan jadi
biasanya dihindari. Namun jika sulit untuk menentukan temuan klinis atau sulit
membedakan diagnosis penyakit ini dengan penyakit lain maka sangat penting
dilakukan pemeriksaan airan amnion.9

4
Tabel Diagnosis pada Penderita Korioamnionitis

Result suggesting
Test chorioamnionitis Comments
Clinical parameters Generally non-specific
Fever Temperature >100.4 twice 95–100 sensitive
or >101 once
Maternal tachycardia > 100/min 50–80% sensitive
Fetal tachycardia >160/min 40–70% sensitive
Fundal tenderness tenderness on palpation 4–25% sensitive
Vaginal discharge Foul-smelling discharge 5–22% sensitive
Amniotic fluid
parameters
Culture Microbial growth Diagnostic gold-standard
Gram stain Bacteria or white blood 24% sensitive, 99% specific
cells (>6/HPF)
Glucose level <15mg/dl Affected by maternal
hyperglycemia 57% sensitive, 74%
specific
Interleukin 6 >7.9 ng/ml 81% sensitive, 75% specific
Matrix Positive result 90% sensitive and 80% specific
Metalloproteinase
White blood cell >30/cubic mm 57% sensitive, 78% specific
count
Leukocyte esterase Positive (dipsticks) 85–91% sensitive, 95–100%
specific

Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium klinis dan cairan amnion pada penderita korioamniosintesis9

2.4 Patogenesis Korioamnionitis

Patogenesis korioamnionitis ditandai dengan adanya organisme menular yang


melewati chorioamnion dan / atau tali pusat plasenta (Gambar 1).15 Bagian ini paling
sering terjadi karena infeksi retrograde atau naik dari saluran kelamin yang lebih
rendah seperti leher rahim dan vagina (Gambar 1).15 Penyebab tersering infeksi
intrauterin adalah melalui jalur pertama yaitu bakteri naik dari vagina dan serviks.10

5
Korioamnionitis secara
histologi didapati lebih sering
dan lebih berat pada daerah
dimana terjadi ruptur membran
dibandingkan dengan daerah
lainnya, seperti placental
chorionic plate atau umbilical
cord. Identifikasi bakteri pada
kasus ini mirip dengan bakteri
yang terdapat di saluran genital
Gambar 1. Rute Korioamnionitis9
bagian bawah. Bila terjadi
infeksi kantong amnion selalu terlibat.13,14

Daerah hematogen / transplasenta dan infeksi iatrogenik komplikasirumit


amniocentesis atau chorionic vili
sampel adalah rute yang jarang
dilalui infeksi. Kehadiran agen
infeksi di chorioamnion tersebut
menimbulkan respon inflamasi
ibu dan janin yang ditandai
dengan pelepasan kombinasi
proinflamasi dan penghambatan
sitokin dan kemokin di
kompartemen ibu dan janin
(Gambar 2).9 Respon inflamasi
Gambar 2. Pathogenesis Korioamnionitis: Fetal
dapat menghasilkan dan Maternal Respon dan Komplikasi9
korioamnionitis klinis dan / atau menyebabkan pelepasan prostaglandin, pematangan
serviks, cedera membran dan tenaga kerja di istilah atau kelahiran prematur pada usia
kehamilan sebelumnya. Selain risiko infeksi janin langsung dan sepsis, respon
inflamasi janin dapat menyebabkan cedera materi putih otak, yang dapat

6
mengakibatkan defisit cerebral palsy dan lainnya jangka pendek dan panjang
neurologis (Gambar 2).9

2.5 Pengaruh Korioaminosis terhadap Kehamilan

Korioamnionitis mengarah kepada dua sampai tiga kali lipat peningkatan


risiko kelahiran sesar dan dua sampai 4 kali lipat untuk peningkatan endomyometritis,
infeksi luka, abses pelvis, bakteremia dan perdarahan postpartum.10 Peningkatan
perdarahan postpartum tampaknya karena kontraksi otot rahim disfungsional akibat
peradangan.10

2.6 Pengaruh Korioaminosis terhadap Ibu dan Janin

Morbiditas atau mortalitas ibu hamil dan janin serta neonatus sangat tinggi
merupakan komplikasi atau pengaruh korioaminosis terhadap maternal maupun
fetal.15 Korioamnionitis dapat menyebabkan bakteremia pada ibu, menyebabkan
kelahiran prematur dan infeksi yang serius pada bayi.12 Penyebab tersering infeksi
intrauterin adalah bakteri yang ascending dari saluran kemih ataupun genital bagian
bawah atau vaginitis.12 Organisme penyebab terjadinya korioamnionitis adalah
organisme normal di vagina, termasuk Eschericia coli, selain itu Streptokokus grup B
juga sering berperan sebagai penyebab infeksi.12 Chlamydia trachomatis sebagai
salah satu bakteri penyebab cervicitis juga berperan sebagai bakteri penyebab infeksi
intrauterin dan berhasil diisolasi dari cairan amnion.13 Peran virus sebagai penyebab
korioamnionitis sampai dengan saat ini belum jelas diketahui.13 Gejala
korioamnionitis dapat asimtomatik dan berbeda-beda pada setiap wanita, meskipun
demikian, gejala yang umum didapati dapat berupa demam, peningkatan denyut
jantung ibu dan janin, uterus yang lembut dan nyeri, serta cairan amnion yang bau.16

Paparan janin terhadap infeksi dapat menyebabkan kematian janin, sepsis


neonatal dan banyak komplikasi postnatal lainnya.9 Respon janin terhadap infeksi -
disebut Fetal Inflamasi Respon Syndrome (FIRS) - dapat menyebabkan atau
memperburuk beberapa komplikasi ini.10 FIRS adalah bagian janin yang terpenting

7
dalam respon sindrom inflamasi sistemik (SIRS).9 Karena parameter klinis analog
yang mendefinisikan SIRS sulit untuk dipastikan pada janin, FIRS awalnya
didefinisikan oleh peningkatan IL-6 darah cord dalam pengaturan persalinan prematur
dan PPROM tetapi dapat jug untuk kehamilan term. Ciri histopatologis FIRS adalah
funisitis dan vaskulitis chorionic.10 FIRS sekarang diakui untuk mewakili respon
imun janin terhadap infeksi atau luka dimediasi oleh pelepasan sitokin dan kemokin
seperti interleukin, TNF-alpha, protein C-reaktif, dan matriks melloproteinases.10
FIRS juga telah dikaitkan dengan persalinan prematur yang berpuncak pada kematian
perinatal dan berhubungan, khususnya di kalangan neonatus prematur, dengan cedera
multi-organ, termasuk penyakit paru-paru kronis, leucomalacia periventrikular dan
cerebral palsy.17

Neonatus yang terkena infeksi intrauterin dan peradangan dapat menunjukkan


efek samping pada atau segera setelah lahir. Hasil yang merugikan mungkin termasuk
kematian perinatal, asfiksia, awal sepsis neonatorum onset, syok septik, pneumonia,
perdarahan intraventrikular (IVH), kerusakan materi putih otak, dan cacat jangka
panjang termasuk cerebral palsi.18 Secara keseluruhan, korioamnionitis dikaitkan
dengan 40% dari kasus awal sepsis neonatal. Korioamnionitis juga sebagai faktor
risiko untuk cacat perkembangan saraf jangka panjang terutama ketika terjadi
sebelum aterm.19

2.7 Penatalaksanaan pada Korioamnionitis

2.7.1 Asuhan pada Penderita Korioamnionitis8

1 Konsultasi dengan spesialis kebidanan.8


2 Segera mulai terapi antibiotic IV intrapartum. Ampisilin (2 gram tiap 6 jam) atau
penisilin (5 juta U tiap 6 jam) ditambah aminoglikosida seperti gentamisin (1,5
mg/kg setiap 8 jam) adalah kombinasi yang diuji paling luas. Antibiotik
dilanjutkan sampai pasien afebril dan tidak bergejala selama 24 jam ketika

8
antibiotic dihentikan dan pasien dapat dipulangkan. Terapi oral dilakukan
kemudian hanya jika pasien mengalami stafilokokus bakteremia.8
3 Fasilitas pelahiran. Infeksi bukan merupakan indikasi untuk pelahiran sesar.8
4 Observasi persalinan disfungsional, yang terjadi lebih sering jika terdapat
korioamnionitis.8
5 Observasi denyut jantung janin (DJJ) seara ketat. Takikardia dan penurunan
variabilitas terjadi pada 75% bayi ini.8
6 Beri tahu tenaga pediatric. Persiapkan seorang bayi berpotensi sakit.8

2.7.2 Pengobatan pada Korioamnionitis

Pengobatan korioamnionitis akut termasuk agen antimikroba , antipiretik ,


ekspedisi pengiriman dan penanganan gejala tambahan. Terlepas dari kenyataan
bahwa korioamnionitis umum, ada bukti yang terbatas untuk mendukung satu
regimen antibiotik tertentu atas yang lain.20 Sebagian besar studi, termasuk beberapa
percobaan terkontrol acak (RCT), telah menggunakan ampisilin intravena 2 g setiap 6
jam untuk cakupan organisme Gram positif , gentamisin intravena 1,5 mg/kg setiap 8
jam untuk cakupan organisme Gram negatif, dan klindamisin intravena 900 mg setiap
8 jam untuk cakupan tambahan anaerob dalam hal operasi caesar.21 Ada sangat
sedikit variasi dari rencana asuhan ini dalam literatur yang berkaitan dengan
perawatan intrapartum. Ada juga sedikit diskusi obat alternatif dalam kasus alergi ,
Metronidazol telah dilaporkan sebagai alternatif untuk clindamycin, dan vankomisin
atau eritromisin alternatif sebagai tambahan jika pasien alergi terhadap penisilin.22

Menurut Varney Jika menggunakan metronidazol atau jeli metronidazol,


hindari konsumsi alkohol selama perawatan dan selama 24 jam setelah perawatan
selesai. Jika menggunakan krim klindamisin, jangan gunakan produk lateks atau karet
seperti kondom, diagfragma, atau cervical cap selama pengobatan dan selama 72 jam
setelah pengobatan lengkap. Krim klindamisin yang berbahan dasar minyak dapat
melunakkan produk ini.20

9
Baru-baru ini, uji coba pengobatan korioamnionitis telah bergeser ke arah
menguji efisiensi dan keamanan dosis sekali sehari gentamisin. Gentamisin adalah
aminoglikosida yang biasa digunakan dalam kehamilan untuk pengobatan bakteri
Gram-negatif, meskipun ada keengganan oleh beberapa praktisi untuk
menggunakannya, mengingat efek samping toksisitas ginjal dan ototoksisitas. Hal ini
juga ditetapkan bahwa dosis sekali sehari memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dosis harian ganda, dengan tingkat serum puncak yang lebih tinggi
menyebabkan peningkatan efektivitas pembunuhan bakteri, dan berkepanjangan
tingkat yang lebih rendah melalui memiliki risiko yang lebih rendah toksisitas.23

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Korioamnionitis merupakan suatu kelainan yang terjadi pada ibu hamil yang
bisa mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas baik bagi ibu maupun
bagi janin.1 Korioamnionitis juga bisa menginduksi KPD (ketuban pecah dini),
premature, serebral palsi, bahkan kematian pada ibu dan janin. Korioamnionitis
disebabkan oleh berbagai bakteri yang masuk melalui vagina, saluran kemih maupun
transplasenta. Untuk penatalaksaan bagi ibu hamil dengan korioamnionitis bidan bisa
melakukan kolaborasi atau rujukan dengan dokter spesialis kandungan (Obgyn).

3.2 Saran

Saran bagi bidan dalam menangani masalah korioamnionitis adalah dengan


melakukan konsultasi ataupun rujukan dengan dokter spesialis kandungan. Bidan
dianjurkan untuk memberikan KIE tentang personal hygiene sebab korioamnionitis
ini sebagian besar diakibatkan oleh bakteri yang berada di vagina dan saluran kemih.
Hati-hati dengan klien yang sudah mendapatkan diagnosis korioamnionitis karena
kemungkinan mengalami ketuaban pecah dini dan kelahiran premature maupun
keduaanya menjadi lebih tinggi.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary. 2004. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, ed. 21.


Diterjemahkan oleh dr. Brahm U. Jakarta: EGC.
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina
PustakaSarwono Prawirohardjo
3. Meliala, Yan O’Neil S, et al. 2012. Jenis dan jumlah Mikroorganisme Aerob
pada Persalinan Spontan Kurang dan Cukup bulan. Bandung: Journal FK
UNPAD
4. Cunningham, F. Gary, et al. 2006. William Obstetric, 26th ed. London: McGraw-
Hill.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama.
6. Lestari, 2009, Penyebab dan Dampak KPD, Cermin Dunia Kedokteran. [Online]
http://www.Kalbefarma.com/files/cdk. Diakses pada 13 November 2014.
7. Swiyoga. 2007. Gambaran Kejadian Infeksi Neonatus. Bali: Jurrnal Berkala
Ilmu Kedokteran Fk Unud.
8. Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Alih bahasa Renata Komala
sari. Jakarta: EGC
9. Tita, Alan T.N., et al. 2011. Diagnosis and Management of Clinical
Chorioamnionitis. [Online]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/. Diakses pada 13
November 2014.
10. DJ, Rouse. 2004. The Maternal-Fetal Medicine Units cesarean registry:
chorioamnionitis at term and its duration-relationship to outcomes. [Online] .
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15295368/. Diakses pada 13 November
2014.
11. BL, Anderson. 2007. Untreated asymptomatic group B streptococcal bacteriuria
early in pregnancy and chorioamnionitis at delivery. [Online]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17547879/. Diakses pada 14 november
2014

12
12. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders, 2004.h.623-5
13. Lubis, Siska Mayasari. 2008. Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya
Palsi Serebral. Medan: Kedokteran Nusantara.
14. Romero R. Preterm Labor, intrauterine infection, and the fetal inflammatori
respons syndrome. NeoReviews 2002;3:e73-84
15. Manuaba, I.B.G., 2007. Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
16. Czikk, M.J., et al. 2011. Clinical and Microbiology Infection: Chorioamnionitis,
From pathogenesis to treatment. Copenhagen: European Society of Clinical
Microbiology and Infectious Diseases.
17. A, Bashiri, et al. 2006. Cerebral palsy and fetal inflammatory response
syndrome: a review. [Online] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16489880/.
Diakses pada 13 Noember 2014.
18. PS, Ramsey. 2005. Chorioamnionitis increases neonatal morbidity in
pregnancies complicated by preterm premature rupture of membranes. [Online]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15846196/. Diakses pada 13 November
2014.
19. L, Cornette. 2004. Fetal and neonatal inflammatory response and adverse
outcome. [Online] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15691784/. Diakses
pada 14 Novembe 2014.
20. Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Vol. 1 Ed.4. Alih bahasa:
Ana Lusiyana. Jakarta: EGC.
21. GJ, Locksmith, et al. 2005. High compared with standard gentamicin dosing for
chorioamnionitis: a comparison of maternal and fetal serum drug levels. [Online]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15738010/. Diakses pada 14 November
2014.
22. JO, Fahey. 2008. Clinical management of intra-amniotic infection and
chorioamnionitis: a review of the literature. [Online]

13
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18455097/. Diakses pada 14 November
2014.
23. K, Ward, dan RN, Theiler. 2008. Once-daily dosing of gentamicin in obstetrics
and gynecology. [Online] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18677142.
Diakses pada 14 November 2014.

14

Anda mungkin juga menyukai