Anda di halaman 1dari 17

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan

Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS), dimana terjadi kegagalan sistem


imun secara progresif. Penyebab tersering adalah HIV-1. Karakteristik dari virus
ini adalah panjangnya periode inkubasi yang diikuti dengan panjangnya durasi
penyakit HIV.Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen, dan secret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui
hubungan seksual. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel
yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang
peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Worlrl Health Organitation (WHO)


pada tahun 2011, diperkirakan terdapat 34 juta orang hidup dengan HIV ,
diantaranya 30,7 juta pada orang dewasa. Sebesar 16,7 juta yang terinfeksi adalah
perempuan dan sebanyak 3,3 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun. Jumlah orang
terinfeksi baru dengan HIV sebanyak 2,5 juta dengan pembagian 2,2 juta usia
dewasa dan 330 ribu anak-anak usia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS,
adalah sebanyak 1,8 juta orang dengan pembagian 1,5 juta orang dewasa dan 230
ribu anak-anak usia <15 tahun.

Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang


terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik inpartum, perinatal, atau
ASI. Transmisi dari ibu ke anak merupakan sumber utama penularan infeksi HIV
pada anak. Peningkatan transmisi dapat diukur dari status klinis, imunologis dan
virologi maternal. Menurut beberapa penelitian, kehamilan dapat meningkatkan
progresi imunosupresi dan penyakit maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga
dapat meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Sedangkan AIDS adalah enyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Terdapat dua
tipe virus HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar kasus di selrh dunia
disebabkan oleh infeksi HIV-1.

2.2 Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu
seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus
pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis
AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil
Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak
dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah
tahun 1995. Berdasarkan pelaporan kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 hingga 31
Desember 2008 terjadi peningkatan signifikan. Setidaknya, 2007 hingga akhir
Desember 2008 tercatat penambahan penderita AIDS sebanyak 2.000 orang.
Angka ini jauh lebih besar dibanding tahun 2005 ke 2006 dan 2006 ke 2007 yang
hanya ratusan. Sedangkan dari keseluruhan penderita, pada akhir 2008, AIDS
sudah merenggut korban meninggal sebanyak 3.362 (20,87 persen), sedangkan
mereka yang hidup adalah 12.748 (79,13 persen) orang. Untuk proporsi
berdasarkan jenis kelamin hingga kini masih banyak diderita oleh kaum laki-laki
yaitu 74,9 persen, dibanding perempuan sebanyak 24,6 persen. Fakta baru tahun
2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke
rumah tangga, sejumlah 251 orang diantara penderita HIV/AIDS di atas adalah
anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari ibu kepada anak) terjadi pada
71 kasus

Pada tahun 2009, 1,4 juta wanita hamil terdiagnosi HIV. Lebih dari 90% infeksi
HIV pada bayi dan anak ditransmisikan oleh ibu selama kehamilan, kelahiran,
atau ASI. Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dapat terinfeksi 5-10% selama
kehamilan, 10-20% selama kelahiran, dan 5-20% melalui asi. Sekitar 50% bayi
yang terinfeksi HIV dari ibunya meninggal sebelum berusia 2 tahun.

Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus


meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan
peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World
Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah
meninggal karena AIDS.

2.3 Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili
Lentiviridae. Terdapat dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1, sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai
human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-
associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia
mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit
T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama
dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri atas 2
bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti
berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4,
yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag,
monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-
sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein
transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat
berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang
berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak.

2.4 Penularan dari ibu ke bayi


Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari
ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena transfusi. Infeksi yang ditularkan
dari ibu ke anak ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Padahal derngan
intervensi yang mudah dan mampu laksana proses penularan sudah dapat
ditekan sampai sekitar 50%nya.[4]
Transmisi dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal
dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu bersalin
(intrapartum) dan pascanatal melalui air susu ib (ASI). Transmisi vertikal
terjadi sekitar 15 – 40%, sebelum penggunaan obat anti retrovirus. Perbedaan
ini terjadi karena perbedaan insidens pemberian ASI. Diperkirakan risiko
transmisi melalui ASI adalah 15%. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua
tau pada saat menyusui maka risiko tersebut meningkat menjadi 25%.[4]
Mekanisme penularan melalui ASI. HIV-1 berada di dalam ASI dalam
bentuk terikat dalam sel atau virus bebas, namun belum diketahui bentuk mana
yang ditularkan ke bayi. Beberapa penelitian yang perlu dikonfirmasi lagi,
oleh karena hanya melibatkan kasus yang tidak banyak memperlihatkan bahwa
prevalensi dan konsentrasi HIV-1 tertinggi pada 6 bulan pertama. Beberapa zat
antibodi dalam ASI dapat bekerja protektif terhadap penularan melalui ASI
seperti laktoferin, secretory protease inhibitor. Status vitamin A pada ibu juga
penting karena terbukti laju penalran lebih tinggi pada ibu dengan defisiensi
vitamin A. [4]

2.3 Mekanisme penularan dari ibu ke bayi


Penularan dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Faktor virus
a. Karakteristik virus
Faktor utama yang penting adalah jumlah virus (viral load).
Sedikitnya penularan terjadi pada plasma HIV dengan viral load <
1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu tersebut sedang atau
belum mendapatkan ARV Zidovudine. [5]

b. Antibodi Neutralizing
Tingginya kadar antibody neutralizing pada loop V3 menunjukkan
hubungan menurunnya resiko penularan, tapi tidak ada studi yang
membandingkan dengan kelompok control. [5]

c. Infektivitas virus
Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan
pada kemungkinan terjadinya penularan. Human Immunodeficiency
virus type 2 (HIV-2) jarang menyebabkan penularan dari ibu ke
bayinya, lebih sering HIV-1. [5]

Pada kasus ini, untuk virus load dan kadar antibody neutralizing
pada loop V3 tidak diketahui karena tidak dilakukan pemeriksaan.
Untuk onfektivitas virus yang dapat meular kemungkinan virus HIV-1
karena virus ini lebih sering menular dari ibu ke anak. [5]

2) Faktor Bayi
a. Prematuritas
Bayi yang lahir premature lebih beresiko terinfeksi HIV dibanding
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. [5]

b. Nutrisi Fetus
Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat
menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau
intrauterine growth retandation (IUGR) dengan perbandingan
pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan
menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang
rendah, respon proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang
terganggu, meningkatkan kecenderungan terserang infeksi, dan
menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu. [5]

Pada kasus ini, dari hasil pengukuran lingkar kepala ditemukan


adanya mikrosefali, ini merupakan salah satu tanda adanya gangguan
pertumbuhan selama persalinan, dimana telah dijelaskan diatas bahwa
nutrisi dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa pada kasus ini terdapat factor risiko nutrisi.

3) Faktor ibu, kehamilan dan proses persalinan


Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki
resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu
yaitu:

a. Antepartum
Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral,
jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV,
malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat,
perokok. [5]

b. Intrapartum
Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah
ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetal scalp electrode,
penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, dan
episiotomi. [5]

c. Air susu ibu, mastitis


Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung
proviral HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti
antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV
dengan CD4+. Kebanyakan kasus penulran terjadi pada wanita yang
diketahui negative terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat
pemberian air susu ibu. [5]

d. Kehamilan dan cara melahirkan


Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular
seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan
kecenderungan lahir premature, serta dapat meningkatkan viral load pada organ
genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan, kapan
pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar
darah sang ibu.

Risiko transmisi vertikal


Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor:
1) Usia kehamilan. Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ib hamil
muda, karena plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari
infeksi pada ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu
persalinan. [4]
2) Beban virus dalam darah
3) Kondisi kesehatan ib. Stadium dan progresivitas penyakit ibu, ada tidaknya
komplikasi, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan terlarang dan
defisiensi vitamin A.
4) Faktor yang berhubungan dengan persalinan: seperti masa kehamilan, lama
ketban pecah, dancara persalinan bayi baru lahir.
5) Pemberian profilaksis obat antiretroviral.
6) Pemberian ASI

2.4 Pencegahan Transmisi dari Ibu ke bayi


1) Pencegahan primer
Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal adalah
pencegahan pada wanita usia subur. Konseling sukarela, rahasia, dan
pemeriksaan darah adalah cara mendeteksi pengidap HIV secara dini. [4]
2) Pencegahan sekunder
a. Pemberian antiretrovirus secara profilaksis
Pada tahun 1994 dapat dibuktikan bahwa pemberian obat tungggal
zidovudin sejak kehamilan 14 minggu, selama persalinan dab
dilanjutkan 6 minggu kepada bayi dapat menurunkan transmisi vertikal
sebanyak 2/3 kasus. Akhir-akhir ini telah terbukti bahwa pemberian
profilaksis zidovidine dalam jangka waktu lebih singkat cukup efektif
asalkan bayi tidak diberikan ASI, oleh karena obat tersebut tidak dapat
mencegah transmisi melalui ASI. Saat ini penelitian membuktikan
bahwa pemberian satu kali nevirapine pada saat persalinan kepada ibu
dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian satu kali pada bayi pada
usia 48 – 72 jam setelah lahir dapat menurunkan transmisi vertikal
sebanyak 50% bila dibandingan dengan pemberian zidovudin oral pada
waktu intrapartum dan pada bayi selama satu minggu. Kombinasi dua
obat antiretroviral atau lebih ternyata seangant mengurangi transmisi
vertikal apalagi bila dikombinasi dengan persalinan melalui seksio
sesaria serta tidak memberikan ASI. Zidovudin diberikan 2x sehari
selama 4 minggu. [4]

b. Pertolongan persalinan oleh petugas terampil


Pertolongan persalinan sebaiknya oleh tenaga kesehatan yang
terampil dengan meminimalkan prosedur yang invasive dan
menerapkan universal precaution untuk mencegah transmisi HIV. [4]
c. Pembersihan jalan lahir
Pembersihan jalan lahir dengan menggunakan chlorhexidine
dengan konsentrasi cukup pada saat intrapartum diusulkan sebagai salah
satu cara yang dapat menurunkan insidens transmisi HIV intrapartum
antara ibu ke anak. Selain menurunkan transmisi vertikal HIV tindakan
membersihkan jalan lahir ini dapat menurunkan morbiditas ibu dan bayi
serta mortilitas bayi. [4]
d. Persalinan dengan seksio sesaria
Suatu meta-analisis pada 15 buah penelitian yang melibatkan 7800
pasangan ibu anak membuktikan bahwa bayi yang dilahirkan secara
seksio sesaria yang dilakukan sebelum ketuban pecah mempunyai
kejadian transmisi vertikal jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
kelahiran per vaginam. Sebuah penelitian klinik yang dialkukan dengan
randomisasi membuktikan bahwa pada bayi yang dilahirkan dengan
cara seksio sesaria transmisi vertikal HIV adalah 1.8% sedangkan yang
lahir per vaginan transmisi vertikal adalah 10,6%.[4]
e. Menjaga kesehatan ibu
Makanan ibu penting. Gangguan gizi ibu dapat merusak integritas
mukosa usus dan memudahkan transmisi. Selain vit A, riboflavin dan
mikronutrien lain dapat mempertahankan integritas mukosa usus. [4]

2.5 Strategi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Menurut WHO terdapat 4 (empat) upaya yang perlu untuk mencegah


terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi:

1) Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi


2) Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
3) Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi
yang dikandungnya. Bentuk intervensi berupa:

a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif


b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT)
c. Pemberian obat antiretrovirus (ARV)
d. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi
e. Persalinan yang aman.
4) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya. [5]

Pilihan asupan bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif[5]

1) Ibu dengan status HIV negatif atau status HIV tak diketahui
- ASI eksklusif untuk usia 6 bulan pertama
- Makanan padat yang aman, sesuai, dan ASI diteruskan hingga 2 tahun.
- Dorong ibu untuk relaktasi bila ibu belum menyusui

2) Ibu dengan status HIV positif


- Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable,
feasible, acceptable,sustainable, safe).
- Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan
pemberian ASI eksklusif yang jangka pemberiannya singkat atau
alternatif ASI lainnya, yaitu:
 Pasteurisasi/memanaskan ASI perah ibu
 Mencari Ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang
telah dibuktikan HIV negative

3) Pemberian ASI bagi bayi dari ibu dengan HIV positif . Ibu dengan HIV
positif dapat memilih menyusui bayinya bila:
- Pengganti ASI tidak dapat memenuhi syarat AFASS.
- Kondisi sosial ekonominya tidak memungkinkan untuk mencari Ibu
Susu atau memanaskan ASI perahnya sendiri.
- Memahami teknik menyusui yang benar untuk menghindarkan
peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang dapat
mempertinggi resiko bayi tertular HIV.

Cara Menyusui yang dianggap aman :

- ASI eksklusif selama 6 bulan pertama atau hingga tercapainya AFASS.


- Jangka waktu laktasi singkat – 6 bulan dengan penghentian cepat
- Safe sex practices selama laktasi untuk mencegah infeksi atau re-
infeksi
- Manajemen laktasi yang baik (pelekatan dan posisi menyusui yang
benar serta semau bayi/tidak dijadwal) untuk mencegah mastitis.
Usahakan proses menyusui sedini mungkin begitu bayi lahir untuk
mencegah teknik pelekatan yang salah sehingga putting ibu lecet.
- Hanya bagi ibu dengan hitung CD4 tinggi
- Ibu tidak boleh menyusui bila terdapat luka/lecet pada puting, karena
akan menyebabkan HIV masuk ke tubuh bayi. .
Teknik menyusui yang benar, ibu harus diajarkan teknik menyusui
yang benar untuk menghindarkan terjadinya mastitis dan lecet pada
payudara. Teknik menyusui terdiri dari posisi menyusui, dan cara
pelekatan bayi pada payudara. Untuk menghindari lecet puting, dianjurkan
menggunakan pelindung putting (nipple shield). Posisi Menyusuin yang
benar sebagai berikut ini[4]:

- Kepala dan badan bayi berada dalam satu garis lurus.


- Wajah bayi harus menghadap payudara dengan hidung berhadapan
dengan puting.
- Ibu harus memeluk badan bayi dekat dengan badannya.
- Jika bayi baru lahir, ibu harus menyangga seluruh badan bayi - bukan
hanya kepala dan bahu.

2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
a) Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV Bayi-bayi yang terlahir
dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status
seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi
ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya
anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon
serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays
(EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western
blots (WB).
b) Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
c) Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
d) Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya
pecandu narkotika)
e) Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual

2. Pemeriksaan laboratorium[5]
a. Pemeriksaan darah tepi berupa pemeriksaan Hemoglobin, leukosit
hitung jenis, trombosit, dan jumlah sel CD4. Pada bayi yang terinfeksi
HIV dapat ditemukan anemia serta jumlah leukosit CD4 dan trombosit
rendah
b. Pemeriksaan kadar immunoglobulin. Ini dilakukan untuk mengetahui
adanya hipo atau hiper gammaglobulinemia yang dapat menjadi
pertanda terinfeksi HIV.
c. Pemeriksaan antibody HIV. Terdapatnya IgG antibodi HIV pada darah
bayi belum berarti bayi tertular, oleh karena antibody IgG dari ibu dapat
melalui plasenta dan baru akan hilang pada usia kurang lebih 15 bulan.
Bila setelah 15 bulan di dalam darah bayi masih ditemukan antibodi
IgG HIV baru dapat disimpulkan bahwa bayi tertular. Untuk dapat
mengetahui bayi kurang dari 15 bulan terinfeksi atau tidak diperlukan
pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan IgM antibody HIV, biakan HIV
dari sel mononuklear darah tepi bayi, mengukur antigen p24 HIV dari
serum dan pemeriksaan provirus (DNA HIV) dengan cara reaksi rantai
polimerase (polymerase chain reaction = PCR). Bila bayi tertular HIV
in utero, maka baik biakan maupun PCR akan menunjukkan hasil yang
positif dalam 48 jam pertama setelah lahir. Bila bayi tertular pada waktu
intrapartum maka biakan HIV maupun PCR dapat menunjukkan hasil
yang negatif pada minggu pertama. Reaksi baru akan positif setelah
bayi berumur 7-90 hari. Kebanyakan bayi yang tertular HIV akan
menunjukkan hasil biakan dan PCR yang positif pada usia rata-rata 8
minggu. Dianjurkan untuk memeriksa PCR segera setelah lahir, pada
usia 1-2 bulan dan 3-6 bulan.

Ada beberapa kriteria untuk menentukan diagnosis HIV menurut WHO,


antara lain :
1. Kriteria Klinis WHO

Tabel 1. Kriteria Klinis WHO(6)


2. Kriteria Imunologis berdasarkan CD4+

Tabel 2. Kriteria Imunologis Berdasarkan CD4+ (WHO)

CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Digunakan


bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibanding- kan
kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pem- berian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk
anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5 tahun, persentase
CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+
untuk imunodefisiensi berat pada anak ≥ 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas
dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+
tidak dapat memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi
bahkan pada nilai CD4+ yang tinggi.

3. Kriteria Imunologis berdasarkan hitung Limfosit Total (WHO)


Tabel 3. Kriteria Imunologis berdasarkan Hitung Limfosit Total (WHO)

Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia
untuk kriteria memulai ART (imunodefisiensi berat) pada anak dengan stadium 2.
Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV. Perhitungan
TLC = % limfosit x hitung total leukosit
2.6 Gambaran Klinis
Manifestasi gambaran klinis infeksi HIV pada anak bevariasi dari asimptomatis
sampai menjadi berat karena AIDS. Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara
bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya
normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, atau yang tidak spesifik seperti
kegagalan untuk tumbuh, diare rekuren atau kronis, dan pneumonia interstitial.
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for
Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).

klasifikasi WHO pada anak ialah

Stadium Klinis 1 :Tanpa gejala (asimtomatis) Limfadenopati generalisata


persisten

Stadium Klinis 2 : Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani Erupsi papular


pruritis Infeksi virus kutil yang luas Moluskum kontagiosum yang luas Infeksi
jamur di kuku Ulkus mulut yang berulang Pembesaran parotid persisten tanpa
alasan Eritema lineal gingival (LGE) Herpes zoster Infeksi saluran napas bagian
atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3 : Malnutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan
terapi baku Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih) Demam terus-
menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1
bulan) Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu) Oral hairy
leukoplakia (OHL) Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening Tuberkulosis paru Pneumonia bakteri
yang parah dan berulang Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala Penyakit paru
kronis terkait HIV termasuk brokiektasis Anemia (<8g/dl),>

Stadium Klinis 4ii : Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi
yang parah tanpa alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku Pneumonia
Pneumosistis (PCP) Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema,
piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk
pneumonia) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih
dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun) Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus
atau paru) Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang
mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis) Mikosis diseminata endemis
(histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis) Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis Infeksi mikobakteri non-TB diseminata Limfoma serebral
atau non-Hodgkin sel-B Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

Penggunaan klassifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis,


tatalaksana hingga prognosis. Klassifikasi klinis akan mengarah ke
pengambilan keputusan dilakukannya pemeriksaan laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai