Anda di halaman 1dari 30

REFRAT ILMU KESEHATAN ANAK

ACUTE FLACCID PARALYSIS

Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp. A

Disusun oleh :

Reza Muhammad 1620221190

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL JAKARTA

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui refrat dengan judul:


ACUTE FLACCID PARALYSIS

Pada tanggal, April 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Reza Muhammad 1620221190

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Supriyanto, Sp. A


KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas refrat ini. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikut setianya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Anak, terutama dr. Supriyanto, Sp.A selaku
pembimbing penulis. Penulis menyadari refrat ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi kesempurnaanya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga refrat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, April 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Acute Flaccid Paralysis (AFP) didefinisikan sebagai paralysis atau
kelemahan yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan dengan terdapatnya
flaksid (penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering terjadi pada anak
dibawah usia 15 tahun. Banyak penyakit yang memberikan gejala AFP, diantaranya
poliomielitis, miastenia gravis, sindrom Guillain Barre.
Pada penyakit ini sering dijumpai gejala-gejala paresis flaksid yang dapat
melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa mengenai medulla oblongata, arefleksis,
kelemahan otot-otot proximal, kelemahan otot akibat kelelahan, disfungsi otonom
dan gejala-gejala lainnya.
Acute Flaccid Paralysis dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan saraf
tepi seperti sindrom Gullain Barre, Anterior horn cell disease seperti Poliomyelitis
anterior akut, kelainan otot seperti poliomyositis, paralysis periodic, penyakit
sistemik, myelopati akut dan gangguan transmisi neuromuskuler.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Acute Flaccid Paralysis (AFP)


Definisi
Paralysis atau kelemahan yang bersifat fokal dengan awitan akut dan
dicirikan dengan terdapatnya flaksid (penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas
dan sering terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. Kerusakan dapat terjadi pada
otot, saraf, neuromuscular junction, otak, medulla spinalis, atau kornu anterior.

Etiologi

Tabel 1. Etiologi Acute Flaccid Paralysis


Sel Target Penyakit
 Sindrom Guillain Barre
 Acute Axonal Neuropathy
 Neuropathies of infectious diseases (diphtheria, Lyme
Peripheral disease)
Neuropathy  Acute toxic neuropathies (logam berat, racun ular)
 Gigitan hewan artropoda
 Mononeuropati fokal

 Poliomyelitis anterior akut


Anterior horn cell
disease  Vaccine-associated paralytic polio
 Virus neurotropik lain (enterovirus, herpesvirus)

 Polimyositis, dermatomyositis
 Trikinosis
Kelainan otot
 Paralisis periodic
 Penggunaan kortikosteroid dan blocking agents
 Penyakit mitokondria (tipe infantile)
 Myositis post viral

 Porfiria akut
Penyakit Sistemik
 Neuropati penyakit kronik
 Myopati akut pada pasien rawat ICU
 Cord compression
o Tumor
o Trauma
o Abses paraspinal
o Hematoma
o Malformasi vaskuler dengan trombosis / perdarahan
Myelopati Akut  Demyelinating disease
o Multipel sclerosis
o Transverse myelitis
o Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
 Ischaemic cord damage
o Anterior spinal artery syndrome
o Komplikasi perioperatif

 Myastenia Gravis
Kelainan  Botulisme
transmisi  Insektisida (keracunan organofosfat)
neuromuscular  Tick bite paralysis
 Gigitan ular

Manifestasi Klinis
 Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa
mengenai medula oblongata) disertai arefleksia, dapat terjadi kehilangan
fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut
(misalnya, sindrom Guillain-Barre).
 Kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda
kerusakan sensorik serta adanya refleks seperti pada neuropati akut
 Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis dan disfungsi medula
oblongata seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular
lainnya).
 Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering
melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada
sindrom kauda ekuina, lesi medula spinalis setinggi vertebra torakal
(misalnya mielitis transversa, atau infark medula spinalis).
 Kerusakan yang menganai medula oblongata seperti pada botulisme,
miastenia gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS atau penyakit
Kennedy) atau adanya lesi di pons.
 Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-
Fischer dari sindrom Guillain_barre (arefleksia), botulisme dan paralisis tik,
miastenia gravis.
 Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain_barre), sindrom
paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik
yang berlebihan) dan botulisme.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
 Menilai distribusi dan derajat kelemahan
o Skor kelemahan otot (0-5)
o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher, lengan
dan tungkai
o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis, multifokal)
 Gangguan sensorik
o Terhadap modalitas tertentu (getaran/propioseptif, nyeri/protopatik)
 Refleks-refleks
o Adakah penurunan atau peningkatan refleks
 Gambaran umum
o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal, respons
pupil, ileus)
o Kulit: ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans), garis-
garis kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif dan tik
o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor
spinalis)
o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)

Pemeriksaan Penunjang
 Neuroimaging (kepala/medula spinalis)
 Elektroforesis protein serum
 Penapisan antibodi paraneoplastik (terutama anti-HU)
 Tes elektrofisiologis (kecepatan hantar saraf dan EMG)
 Tes tensilon / tes prostigmin (sesuai indikasi)
 Sampel feses
a. Mengumpulkan satu sampel feses dalam 2 minggu setelah awal
terjadinya paralisis:
i. Penelitian viral
ii. Campilobakter.
b. Swap rectal dapat diambil jika tidak bisa mengumpulkan sampel feses.
 Sampel serum
a. Sampel harus segera diambil untuk serologi polio.
b. Spesimen serum kedua harus dikumpulkan 2 minggu kemudian jika
pasien mengalami onset akut penyakit atau 1 bulan kemudia jika pasien
mengalami fase konvalesen.
c. Sampel ditest untuk mencari titer antibody polivirus dan menilai IgG
dan IgM spesifik polio.
 Swap nasofaringeal dan CSF dapat juga dikumpulkan untuk membantu
pemeriksaan.

Penatalaksanaan
Urutan prioritas dalam penatalaksanaan acute flaccid paralysis adalah ABC
(Airway Breathing Circulation).
1. Pastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup
2. Periksa tekanan darah / frekuensi nadi pada kasus bradi/takiaritmia atau
kegagalan otonom
3. Tatalaksana khusus sesuai penyakit yang didiagnosis

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus lumpuh layuh akut adalah infeksi virus polio,
infeksi virus non-polio (enterovirus 71, coxsackievirus A7, Japanese encephalitis
virus, West nile virus, tick borne encephalitis virus, virus rabies, dll), infeksi
Borrelia, Mikoplasma, Difteri, Botulismus, tetanus, neuropati (polineuropati
inflamasi akut, neuropati aksonal motor akut, keracunan logam berat), gangguan
syaraf tulang belakang (mielitis transversal akut, kompresi syaraf tulang belakang
akut, trauma, infark), miastenia gravis, dan gangguan otot (miositis).

Poliomielitis
Definisi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus.
Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang mengakibatkan
terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan kelumpuhan.
Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke
kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke sistem saraf. Sistem
saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey matter dan kadang-
kadang menimbulkan kelumpuhan.

Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang dikenl
sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya berada di
traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan manifestasi penyakit
pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu genom RNA yang
terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi materi genetic dari virus
tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk menyerang beberapa jenis sel
lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe 2
(PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid
yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang sama.
Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan paling
sering menyebabkan kelumpuhan.
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut, yang
dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi yang
luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan epidemic
ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.
Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP, dimana
mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup kuat dan
bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias tersimpan
dalam wujud beku -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena panas,
formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai
biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam
deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk sulfonamide,
antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan gliserin. Virus
dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator
kuat seperti peroksida atau kalium permanganate. Reservoir alamiah satu-satunya
ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat kasus
dengan inkubasi antara 3-35 hari.

Gambar.1 Poliovirus

Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat, eliminasi polio
global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia,
kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar
yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara berkembang
dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada daerah-daerah
tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak bawah umur 5 tahun. Ini
disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa anak,
sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini jarang ditemui pada dewasa.
Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 21
penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.
Pada tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan bebas
polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan dalam
waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2 provinsi di
Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini yang diambil
dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah Sukabumi, dan
ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan virus impor strain
Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah dan juga menjadi
penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus polio liar tertinggi
terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005 dan transmisi rendah mulai bulan Oktober
2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305 penderita tersebar di 47
kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di
Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN) yang
intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan 2
kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di Kabupaten Aceh
Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006. Dua setengah tahun
setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang dilaporkan.
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis

Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio dengan
Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI (universal
of child immunization). Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan,
mungkin karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis
pada bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat
atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat
dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi, ekstraksi
gigi yang merupakan port d’ entrée atau penyuntikkan.

Patogenesis dan Patologi


Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak
pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus tahan
terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa melalui
inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4
minggu.
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan
cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau
tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila
proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka akan
timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini. Virus
polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung polioviruses
receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam. Sekali terjadi
perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru hanya butuh 4-5 jam
saja.
Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan
kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh secretory
IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari
multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua saraf yang terkena
akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan
seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu setelah onset., Terdapat
kelainan dan infiltrasi interstisiel sel glia.(6,10)

Gambar.3 Patogenesis Poliomielitis

Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:


1. medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
3. serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik

Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system


retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor neuron
karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia, myelin atau
pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi
sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada sumsum tulang belakang,
terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak kerusakan terutama terjadi pada
sel motor neuron formasi retikuler dari pons dan medulla, nuclei vestibules,
serebellum, sedang lesi pada korteks hanya merusak daerah motor dan premotor
saja. Pada jenis bulber, lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuclei motorik
dari saraf otak. Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan
kerusakan permanen.
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan ciri khas pada poliomyelitis.
Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah,
menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah bening dan menembus
dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia pertama terdapat gejala
klinik yang tidak spesifik berupa minor illness. Invasi virus ke susunan saraf bias
hematogen atau melalui perjalanan saraf. Tapi yang lebih sering melalui
hematogen. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak (blood brain
barrier) dengan berbagai cara yaitu:
 Transport pasif dengan cara piknositosis
 Infeksi dari endotel kapiler
 Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam
susunan saraf pusat.
 Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau
penyebaran melalui jaras olfaktorius.
Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic yang
terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam
waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum tulang
belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi otot, sedng
virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan kelumpuhan bulbar dan
kelumpuhan pernafasan.
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan menekuk
leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head drop, tanda
tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai adanya
poliomyelitis.
Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor
illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun
non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak,
gejalanya bervariasi antara lain :
a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan
b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki
c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi
d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit
e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur
f) Terasa lemas, tidak ada tahanan
g) Kaki mengecil (atrofi otot)

Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis


Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus
tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama
yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas.
Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri
abdomen. Diagnosis pasti hanya bisa dengan menemukan virus di biakan
jaringan.
Diagnosis banding: influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring

Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala, nausea
dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-kadang
diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk
dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini adalah adanya
nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia
mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan
kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari posisi tidur, maka ia akan
menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua tangan menunjang
kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat kekakuan otot spinal
oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif dengan Kernig dan
Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila tubuh penderita ditegakkan
dengan menarik pada kedua ketiak sehingga menyebabkan kepala terjatuh
ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat
perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomyelitis paralitik.
Diagnosis Banding dengan meningitis serosa, meningismus, tonsillitis akut
yang berhubungan dengan adenitis servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi
pada susunan saraf:
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot
besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot
deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.

Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis

Diagnosis banding:
 Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam reumatik
akut, osteomielitis.
 Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,
dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola
mata
 Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali
demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral
simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB
protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB
bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan sensorik
 Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis dan
kelelahan disertai rasa nyeri).

Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis


b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga terjadi
insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan makan,
kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena
adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana kelainan
saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki. Perbaikan secara
klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan diambil oleh neuron
yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh otot lain atau
perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
Gambar.7 Lokasi dari region bulbar

c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar

d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.

Diagnosis
Diagnosis polio dibuat berdasarkan:
 Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar
maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara
biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan feses.
 Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang termasuk
Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis diatas. Cara
menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik yang khas
seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan sensori.
 Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara lebih
tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat mempermudah
memisahkan polio dengan kelainan lain akibat demielinisasi pada saraf tepi,
sehingga boisa membedakan polio dengan kerusakan motor neuron lainnya
misalnya Sindrom Guillain-Barre. Pemeriksaan lain seperti MRI dapat
menunjukkan kerusakkan di daerah kolumna anterior.
 Pemeriksaan Residual Paralisis
Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.

Pemeriksaan Penunjang
 Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic,
tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja
tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.
Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu <14 hari setelah
kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen yang tidak adekuat dan
dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara keduanya minimal 24 jam.
Suatu kasus AFP didiagnosa polio apabila :
- Ditemukan virus polio liar
- Tidak ditemukan virus pada spesimen tetapi terdapat paralisis residual
setelah kunjungan ulang 60 hari (polio kompatibel)
- Penderita meninggal sebelum kunjungan 60 hari.
Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat atau hasil
laboratorium negatif maka belum bisa dipastikan kasus tersebut bukan polio
untuk itu perlu dikumpulkan informasi penunjang klinis pada KU
(kunjungan ulang) setelah 60 hari dan pemeriksaan ulang.
 Bila virus polio dapat diisolasi dari seorang dengan paralysis flaccid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan oligonucleotide mapping atau
genomic sequencing. Untuk menentukkan apakah virus termasuk virus liar
atau vaksin.
 Mengukur serologis zat anti
 Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi
kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, sebagian besar limfosit) dan
terjadi peningkatan kadar protein ringan (40-50 mg/100ml).

Terapi dan Pengobatan


Pengobatan yang baik dan tepat untuk polio hanya bisa dicegah dengan
imunisasi. Vaksin polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-
anak seumur hidup. Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio
paralitik. Mengenai vaksin polio akan dibahas di bab berikutnya. Tidak ada
antivirus yang efektif melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung. Dalam
kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving, terutama bantuan
nafas.
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio
1. Silent infection: istirahat
2. Poliomielitis abortif: istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik: istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu;
perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernafasan.
Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi:
a. fase akut
 Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
 Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
 Antipiretik untuk menurunkan suhu.
 Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
 Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan
khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis.
 Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. fase post-akut
 kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi. Tindakkan
ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi yang
dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami
kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan
- Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.

Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika tidak
mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.
Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering mengakibatkan
disabilitas daripada kematian. Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya.
Pada pasien dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap
selama 2-10 hari, lalu sembuh total.
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus polio
spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan permanent.
Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali setelah 4-6
minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total, 25% dengan
disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual paralysis ini
tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal yang bersifat
fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan
pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang melibatkan system
pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau pneumonia aspirasi.
Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis meninggal akibat paralysis otot
pernafasan. Angka kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan
hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi
pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu
nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%. Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia, dan
degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan
pengobatan secara ortopedik.

Post Polio Syndrome (PPS)


Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik mendapatkan
gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi akut, merupakan
bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut. Gejala utamanya
kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau paralysis baru,
nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio syndrome (PPS). Gejala
PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-sized motor unit pada tahap
penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau demikian bagaimana patogenesisnya
masih belum diketahui. Faktor yang meningkatkan resiko PPS antara lain jangka
waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual permanent setelah penyembuhan
dari fase akut, dan kerja neuron yang berlebihan.

Vaksin dan Eradikasi Polio (ERAPO)


Eradikasi Polio
Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya manusia
sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan. Selain itu telah
ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada pertengahan 1950 yang
mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio di negara-negara maju. Dan
dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek terhadap komunitas (community effect).
Maka menjadi memungkinkan untuk dilakukan eradikasi terhadap penyakit ini.
Sehingga usaha global untuk eradikasi polio dimulai pada tahun 1988, dipimpin
oleh World Health Organization, UNICEF, dan The Rotary Foundation. Eradikasi
dilakukan dengan cara.

1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%


Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak
dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak 5
kali. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat
yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan
tinggi juga harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara yang telah
bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara tersebut dapat
bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari negara lain.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua anak dibawah 5
tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu.
Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan
populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin.
3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis
Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan metode
surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio dimanapun
di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi virus polio liar dan
meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus
polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan
laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini
mencakup deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti
secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan
secukupnya dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin ke
laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau virus
vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP setiap tahun-nya
untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5 tahun didaerah
ditemukanya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antar negara sangat
tinggi dan cepat, muncul kesulitan untuk mengendalikan penyebaran virus ini.
Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban
keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan serta memelihara
kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan mengurangi resiko
penularan virus ini. Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan yang
ditimbulkan akibat infeksi virus ini menetap dan tidak bisa disembuhkan atau
tidak ada obat yang dapat menyembuhkan polio.

Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga 99%,
yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini merupakan
kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu penyakit. Yang
pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979. Sekarang banyak
bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan bebas polio tahun
1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat termasuk Cina dan Australia
dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan bebas polio. Hingga 2006, polio
masih endemic hanya di 4 negara: Nigeria, India, Pakistan, dan Afganistan.
Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun berturut-
turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi selama 10 tahun.
Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari lingkungan padat di
Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia. Kembali dilakukan PIN dan
pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus terakhir adalah kasus dari Aceh
Tenggara, April 2006.

Vaksin Polio
Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus
sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.
Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk menemukan dan
memasarkan vaksin polio.
Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun 1950.
Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi secara oral
(OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai sampai 5 tahun setelah
vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV) dikonsumsi public.
Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa mengalami mutasi
sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi keluar. Meskipun sangat
jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif kearah virus yang lebih lemah,
namun bisa juga terjadi mutasi negative (back mutation) kembali kearah neurogenik
dan menimbulkan kerusakan di cornu anterior seperti infeksi virus polio liar.
Kenyataan ini memicu perlunya imunisasi dengan inactivated polio virus (IPV).
OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan virus yang
inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang dilemahkan tersebut
akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. OPV dapat menutup
PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel dan menyebabkan kelumpuhan
kelumpuhan. Kemampuan ini menekan transmisi virus pada saat wabah. IPV sangat
mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan antibody netralisasi yang
tinggi, namun tidak mempunyai efek menekan transmisi.

a) Oral Polio Vaccine (OPV)


Vaksin ini dibuat dengan virus polio yang dilemahkan. Vaksin ini digunakan
secara rutin sejak bayi lahir dengan 2 tetes oral. Virus vaksin ini kemudian
menempatkan diri di bawah usus dan memacu pembentukkan antibody baik dalam
darah maupun epithelium usus, yang menghasilkan pertahanan local terhadap virus
polio liar yang dating masuk kemudian. Maka frekuensi ekskresi polio virus liar di
masyarakat bisa dikurangi. Vaksin bertahan dalam tinja hingga 6 minggu setelah
pemberian.

Gambar 8a. Pemberian Imunisasi dan Kemasan OPV

Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. dapat disimpan beku pada
temperature <-20oC. Keputusan WHO, vaksin ini boleh digunakan multidose
dengan syarat:
a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui
b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8oC)
c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang
oleh petugas Puskesmas.
Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai PPI
dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur
2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah dengan interval 6-8 minggu. Satu dosis
sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan
bersama vaksin DPT dan Hib.

b) Inactivated Polio Vaccine (IPV)


Vaksin tipe ini berisi PV 1,2,3 yang dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan
diinaktivasi dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut juga ada neomisin,
streptomisin dan polimiksin B. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8oC dan tidak
boleh dibekukan. Dosis 0.5 ml dengan suntikkan subkutan dalam 3 kali berturut-
turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas
jangka panjang (mucosal maupun humoral).
Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan
dengan yang ditimbulkan OPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)


Kasus poliomyelitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada
resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine
associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat satu kasus poliomyelitis paralitik
yang berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan.
Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding dosis
berikutnya. Risiko yang relative kecil pada poliomyelitis yang ditimbulkan
pemberian OPV ini tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup untuk mengadakan
perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut terbukti sangat
berguna. Setelah vaksinasi, sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing,
diare ringan, nyeri otot.
Kejadian ikutan pasca janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan
diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan mendesak
misalnya berpergian ke daerah endemis poliomyelitis.
BAB III
KESIMPULAN
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah suatu paralysis atau kelemahan yang
bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan dengan terdapatnya flaksid
(penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering terjadi pada anak dibawah
usia 15 tahun.
Acute Flaccid Paralysis dapat disebabkan oleh kerusakan saraf tepi seperti
sindrom Gullain Barre, Anterior horn cell disease seperti Poliomyelitis anterior
akut, kelainan otot seperti poliomyositis, paralysis periodic, penyakit sistemik,
myelopati akut dan gangguan transmisi neuromuskuler
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang dikenl
sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya berada di
traktus digestivus. Biasanya, masa inkubasi adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari.
Eradikasi polio dilakukan dengan cara melakukan imunisasi rutin pada
setiap pusat kesehatan tingkat pertama, memantau dan melaporkan kasus terjadinya
polio untuk deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti
secara klinik dan epidemiologik dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arthur Marx,1 Jonathan D. Glass,2 and Roland W. Sutter. Differential


Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its Role in Poliomyelitis
Surveillance: vol 22 no.2. 2002. The Johns Hopkins University School ot
Hygiene and Public Health. Available from:
http://epirev.oxfordjournals.org/content/22/2/298.full.pdf
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (September 2002).
"Acute flaccid paralysis syndrome associated with West Nile virus
infection—Mississippi and Louisiana, July–August 2002". MMWR Morb.
Mortal. Wkly. Rep. 51 (37): 825–8. PMID 12353741
3. Saeed M, Zaidi SZ, Naeem A et al. (2007). "Epidemiology and clinical
findings associated with enteroviral acute flaccid paralysis in Pakistan".
BMC Infect. Dis. 7: 6.
doi:10.1186/1471-2334-7-6. PMC 1804272. PMID 17300736.
4. Alberta Government Health and Wellness (2005) Acute Flaccid Paralysis
Public Health Notifiable Disease Management Guidelines.
5. Marx A, Glass JD, Sutter RW. Differential diagnosis of acute flaccid
paralysis and its role in poliomyelitis surveillance. Epidemiol Rev
2000;22:298–316.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam:
Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
Jilid 2. Jakarta.
7. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus: Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta
8. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. Infeksi Virus: Poliomyelitis. 2008.
Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta
9. Wikipedia the free Encyclopedia. Poliomyelitis. Last Updated: July, 23rd
2009. (available from: en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis, cited on: Aug,
5th 2009)
10. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam: Behrman, Kliegman, Arvin
(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier Science.
Philadelpia. WHO
11. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam: Global
Polio Eradication Initiative.
12. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis: Treatment and Medication.
eMedicine. Last Update: Aug, 15th 2007.
13. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia.
Last Updated January, 22nd 2008.

Anda mungkin juga menyukai