Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp. A
Disusun oleh :
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Reza Muhammad 1620221190
Mengetahui,
Pembimbing
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Etiologi
Polimyositis, dermatomyositis
Trikinosis
Kelainan otot
Paralisis periodic
Penggunaan kortikosteroid dan blocking agents
Penyakit mitokondria (tipe infantile)
Myositis post viral
Porfiria akut
Penyakit Sistemik
Neuropati penyakit kronik
Myopati akut pada pasien rawat ICU
Cord compression
o Tumor
o Trauma
o Abses paraspinal
o Hematoma
o Malformasi vaskuler dengan trombosis / perdarahan
Myelopati Akut Demyelinating disease
o Multipel sclerosis
o Transverse myelitis
o Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
Ischaemic cord damage
o Anterior spinal artery syndrome
o Komplikasi perioperatif
Myastenia Gravis
Kelainan Botulisme
transmisi Insektisida (keracunan organofosfat)
neuromuscular Tick bite paralysis
Gigitan ular
Manifestasi Klinis
Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa
mengenai medula oblongata) disertai arefleksia, dapat terjadi kehilangan
fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut
(misalnya, sindrom Guillain-Barre).
Kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda
kerusakan sensorik serta adanya refleks seperti pada neuropati akut
Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis dan disfungsi medula
oblongata seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular
lainnya).
Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering
melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada
sindrom kauda ekuina, lesi medula spinalis setinggi vertebra torakal
(misalnya mielitis transversa, atau infark medula spinalis).
Kerusakan yang menganai medula oblongata seperti pada botulisme,
miastenia gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS atau penyakit
Kennedy) atau adanya lesi di pons.
Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-
Fischer dari sindrom Guillain_barre (arefleksia), botulisme dan paralisis tik,
miastenia gravis.
Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain_barre), sindrom
paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik
yang berlebihan) dan botulisme.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Menilai distribusi dan derajat kelemahan
o Skor kelemahan otot (0-5)
o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher, lengan
dan tungkai
o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis, multifokal)
Gangguan sensorik
o Terhadap modalitas tertentu (getaran/propioseptif, nyeri/protopatik)
Refleks-refleks
o Adakah penurunan atau peningkatan refleks
Gambaran umum
o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal, respons
pupil, ileus)
o Kulit: ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans), garis-
garis kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif dan tik
o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor
spinalis)
o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)
Pemeriksaan Penunjang
Neuroimaging (kepala/medula spinalis)
Elektroforesis protein serum
Penapisan antibodi paraneoplastik (terutama anti-HU)
Tes elektrofisiologis (kecepatan hantar saraf dan EMG)
Tes tensilon / tes prostigmin (sesuai indikasi)
Sampel feses
a. Mengumpulkan satu sampel feses dalam 2 minggu setelah awal
terjadinya paralisis:
i. Penelitian viral
ii. Campilobakter.
b. Swap rectal dapat diambil jika tidak bisa mengumpulkan sampel feses.
Sampel serum
a. Sampel harus segera diambil untuk serologi polio.
b. Spesimen serum kedua harus dikumpulkan 2 minggu kemudian jika
pasien mengalami onset akut penyakit atau 1 bulan kemudia jika pasien
mengalami fase konvalesen.
c. Sampel ditest untuk mencari titer antibody polivirus dan menilai IgG
dan IgM spesifik polio.
Swap nasofaringeal dan CSF dapat juga dikumpulkan untuk membantu
pemeriksaan.
Penatalaksanaan
Urutan prioritas dalam penatalaksanaan acute flaccid paralysis adalah ABC
(Airway Breathing Circulation).
1. Pastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup
2. Periksa tekanan darah / frekuensi nadi pada kasus bradi/takiaritmia atau
kegagalan otonom
3. Tatalaksana khusus sesuai penyakit yang didiagnosis
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus lumpuh layuh akut adalah infeksi virus polio,
infeksi virus non-polio (enterovirus 71, coxsackievirus A7, Japanese encephalitis
virus, West nile virus, tick borne encephalitis virus, virus rabies, dll), infeksi
Borrelia, Mikoplasma, Difteri, Botulismus, tetanus, neuropati (polineuropati
inflamasi akut, neuropati aksonal motor akut, keracunan logam berat), gangguan
syaraf tulang belakang (mielitis transversal akut, kompresi syaraf tulang belakang
akut, trauma, infark), miastenia gravis, dan gangguan otot (miositis).
Poliomielitis
Definisi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus.
Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang mengakibatkan
terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan kelumpuhan.
Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke
kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke sistem saraf. Sistem
saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey matter dan kadang-
kadang menimbulkan kelumpuhan.
Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang dikenl
sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya berada di
traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan manifestasi penyakit
pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu genom RNA yang
terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi materi genetic dari virus
tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk menyerang beberapa jenis sel
lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe 2
(PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid
yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang sama.
Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan paling
sering menyebabkan kelumpuhan.
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut, yang
dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi yang
luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan epidemic
ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.
Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP, dimana
mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup kuat dan
bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias tersimpan
dalam wujud beku -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena panas,
formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai
biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam
deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk sulfonamide,
antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan gliserin. Virus
dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator
kuat seperti peroksida atau kalium permanganate. Reservoir alamiah satu-satunya
ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat kasus
dengan inkubasi antara 3-35 hari.
Gambar.1 Poliovirus
Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat, eliminasi polio
global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia,
kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar
yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara berkembang
dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada daerah-daerah
tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak bawah umur 5 tahun. Ini
disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa anak,
sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini jarang ditemui pada dewasa.
Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 21
penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.
Pada tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan bebas
polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan dalam
waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2 provinsi di
Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini yang diambil
dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah Sukabumi, dan
ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan virus impor strain
Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah dan juga menjadi
penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus polio liar tertinggi
terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005 dan transmisi rendah mulai bulan Oktober
2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305 penderita tersebar di 47
kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di
Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN) yang
intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan 2
kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di Kabupaten Aceh
Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006. Dua setengah tahun
setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang dilaporkan.
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis
Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio dengan
Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI (universal
of child immunization). Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan,
mungkin karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis
pada bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat
atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat
dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi, ekstraksi
gigi yang merupakan port d’ entrée atau penyuntikkan.
Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala, nausea
dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-kadang
diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk
dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini adalah adanya
nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia
mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan
kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari posisi tidur, maka ia akan
menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua tangan menunjang
kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat kekakuan otot spinal
oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif dengan Kernig dan
Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila tubuh penderita ditegakkan
dengan menarik pada kedua ketiak sehingga menyebabkan kepala terjatuh
ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat
perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomyelitis paralitik.
Diagnosis Banding dengan meningitis serosa, meningismus, tonsillitis akut
yang berhubungan dengan adenitis servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi
pada susunan saraf:
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot
besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot
deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
Diagnosis banding:
Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam reumatik
akut, osteomielitis.
Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,
dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola
mata
Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali
demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral
simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB
protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB
bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan sensorik
Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis dan
kelelahan disertai rasa nyeri).
c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar
d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.
Diagnosis
Diagnosis polio dibuat berdasarkan:
Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar
maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara
biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan feses.
Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang termasuk
Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis diatas. Cara
menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik yang khas
seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan sensori.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara lebih
tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat mempermudah
memisahkan polio dengan kelainan lain akibat demielinisasi pada saraf tepi,
sehingga boisa membedakan polio dengan kerusakan motor neuron lainnya
misalnya Sindrom Guillain-Barre. Pemeriksaan lain seperti MRI dapat
menunjukkan kerusakkan di daerah kolumna anterior.
Pemeriksaan Residual Paralisis
Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.
Pemeriksaan Penunjang
Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic,
tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja
tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.
Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu <14 hari setelah
kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen yang tidak adekuat dan
dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara keduanya minimal 24 jam.
Suatu kasus AFP didiagnosa polio apabila :
- Ditemukan virus polio liar
- Tidak ditemukan virus pada spesimen tetapi terdapat paralisis residual
setelah kunjungan ulang 60 hari (polio kompatibel)
- Penderita meninggal sebelum kunjungan 60 hari.
Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat atau hasil
laboratorium negatif maka belum bisa dipastikan kasus tersebut bukan polio
untuk itu perlu dikumpulkan informasi penunjang klinis pada KU
(kunjungan ulang) setelah 60 hari dan pemeriksaan ulang.
Bila virus polio dapat diisolasi dari seorang dengan paralysis flaccid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan oligonucleotide mapping atau
genomic sequencing. Untuk menentukkan apakah virus termasuk virus liar
atau vaksin.
Mengukur serologis zat anti
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi
kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, sebagian besar limfosit) dan
terjadi peningkatan kadar protein ringan (40-50 mg/100ml).
Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika tidak
mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.
Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering mengakibatkan
disabilitas daripada kematian. Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya.
Pada pasien dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap
selama 2-10 hari, lalu sembuh total.
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus polio
spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan permanent.
Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali setelah 4-6
minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total, 25% dengan
disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual paralysis ini
tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal yang bersifat
fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan
pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang melibatkan system
pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau pneumonia aspirasi.
Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis meninggal akibat paralysis otot
pernafasan. Angka kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan
hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi
pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu
nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%. Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia, dan
degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan
pengobatan secara ortopedik.
Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga 99%,
yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini merupakan
kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu penyakit. Yang
pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979. Sekarang banyak
bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan bebas polio tahun
1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat termasuk Cina dan Australia
dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan bebas polio. Hingga 2006, polio
masih endemic hanya di 4 negara: Nigeria, India, Pakistan, dan Afganistan.
Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun berturut-
turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi selama 10 tahun.
Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari lingkungan padat di
Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia. Kembali dilakukan PIN dan
pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus terakhir adalah kasus dari Aceh
Tenggara, April 2006.
Vaksin Polio
Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus
sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.
Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk menemukan dan
memasarkan vaksin polio.
Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun 1950.
Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi secara oral
(OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai sampai 5 tahun setelah
vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV) dikonsumsi public.
Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa mengalami mutasi
sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi keluar. Meskipun sangat
jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif kearah virus yang lebih lemah,
namun bisa juga terjadi mutasi negative (back mutation) kembali kearah neurogenik
dan menimbulkan kerusakan di cornu anterior seperti infeksi virus polio liar.
Kenyataan ini memicu perlunya imunisasi dengan inactivated polio virus (IPV).
OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan virus yang
inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang dilemahkan tersebut
akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. OPV dapat menutup
PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel dan menyebabkan kelumpuhan
kelumpuhan. Kemampuan ini menekan transmisi virus pada saat wabah. IPV sangat
mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan antibody netralisasi yang
tinggi, namun tidak mempunyai efek menekan transmisi.
Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. dapat disimpan beku pada
temperature <-20oC. Keputusan WHO, vaksin ini boleh digunakan multidose
dengan syarat:
a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui
b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8oC)
c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang
oleh petugas Puskesmas.
Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai PPI
dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur
2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah dengan interval 6-8 minggu. Satu dosis
sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan
bersama vaksin DPT dan Hib.