Askep Stroke
Askep Stroke
DENGAN
STROKE HEMORAGIK
Disusun Oleh :
Kelompok I
Dian Wahyuningsih
Hesti
M.Ali
Yayah Komariah
Wiji
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai
manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di
negara-negara berkembang (Saidi, 2010). WHO mendefinisikan stroke sebagai
suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau
global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan
dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006).
Berdasarkan data WHO (2010-b), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang
di seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian
sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang
permanen. Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi
penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu
penyebab terbanyak di dunia (Xu, et al., 2010).
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang banyak ditemukan tidak
hanya pada negara-negara maju tapi juga pada negara-negara berkembang.
Menurut Janssen, et al., (2010), stroke merupakan penyebab utama kecacatan di
negara-negara barat. Di Belanda, stroke menduduki peringkat ketiga sebagai
penyebab DALY’s (Disability Adjusted Life Years = kehilangan bertahun-tahun
usia produktif).
Berdasarkan data NCHS (National Center of Health Statistics), stroke
menduduki urutan ketiga penyebab kematian di Amerika setelah penyakit
jantung dan kanker (Heart Disease and Stroke Statistics—2010 Update: A
Report from American Heart Association). Dari data National Heart, Lung, and
Blood Institute tahun 2008, sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat
mengalami stroke setiap tahunnya. Dengan 610.000 orang mendapat serangan
stroke untuk pertama kalinya dan 185.000 orang dengan serangan stroke
berulang (Heart Disease and Stroke Statistics_2010 Update: A Report From the
American Heart Association). Setiap 3 menit didapati seseorang yang
meninggal akibat stroke di Amerika Serikat. Stroke menduduki peringkat utama
penyebab kecacatan di Inggris (WHO, 2010-a).
Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian
setelah penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang.
Negara berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke
di seluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun, di
mana sekitar 4,4 juta di antaranya meninggal dalam 12 bulan (WHO, 2006). Di
Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah
yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam
(16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000
penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama dengan
hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga
merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia.
Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua usia
di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Menurut Davenport dan Dennis (2000), secara garis besar stroke dapat
dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Di negara barat, dari
seluruh penderita stroke yang terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik
sementara sisanya merupakan jenis stroke hemoragik.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian
stroke iskemik lebih sering ditemukan dibandingkan stroke hemoragik. Dari
studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, yang tidak sempat
dipublikasi, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan pada tahun 2001, dirawat
1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, di
mana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik
dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke
adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti
usia, ras, gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke
sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors)
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan
oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI, 2004). Identifikasi
faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke di
suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut
maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit
stroke, terutama untuk menurunkan angka kejadian stroke
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang dapat penulis simpulkan, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan Stroke?
2. Sistem organ apa yang terkait dengan penyakit Stroke?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Stroke?
4. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat ditegakkan dalam mendiagnosa
penyakit
Stroke?
5. Apa komplikasi yang terjadi dari Stroke?
6. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada
penderita
Stroke?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Penulis mengetahui gambaran umum tentang penyakit Stroke dan
penatalaksanaannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Stroke;
b. Mengetahui sistem organ yang terkait Stroke;
c. Mengetahui Pemeriksaan diagnostik pada Stroke;
d. Mengetahui diagnosa serta intervensi yang dibutuhkan klien dengan Stroke;
D. METEDOLOGI PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengggunakan metode study
literatur serta pengumpulan informasi dari berbagai media pengetahuan. Selain
itu, dengan menggunakan analisis kasus yang diberikan oleh tutor.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penyusunan karya tulis ini penyusun menggunakan sistematika sebagi
berikut:
BAB I PENDAHULUAN : Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan manfaat.
BAB II TINJAUAN TEORITIS: Berisi tentang definisi stroke, anatomi
fisiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan pathwyas, pemeriksaan
diagnostik, komplikasi, dan penatalaksanaan stroke.
BAB III PEMECAHAN KASUS: Latar belakang kasus, brainstroming kasus,
pertanyaan kasus, jawaban kasus, dan analisa kasus.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN: Berisi simpulan dan saran penulis.
DAFTAR PUSTAKA : Berisi tentang sumber-sumber yang dijadikan referensi
dalam penyusunan makalah ini.
.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEFINISI
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 2006).
CVA atau stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum
yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke
otak (Depkes, 1995).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu
gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses
patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura
dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis
arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai
manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di
negara-negara berkembang (Saidi, 2010).
Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan aleh karena gangguan
peredaran darah otak, dimana secara mendadak (beberapa detik) atau secara
cepat (beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal
diotak yang terganggu (Djunaedi W, 1992).
B. ANATOMI FISIOLOGI
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Kinis pada stroke meliputi:
1. Hemiparesis dan hemiplagia
Hemiparesis (kelemahan) dari hemiplagia (paralisis) dari satu sisi tubuh
dapat terjadi setelah stroke. Defisit ini biasanya disebabkan oleh stroke pada
arteri serebral anterior atau arteri serebral medial, yang menyebabkan infark
pada korteks frontal. Hemipegia lengkap melibatkan setengah dari wajah dan
lidah serta lengan dan kaki dari sisi lateral tubuh. Infark di sisi kanan otak
menyebabkan hemiplegia sisi kiri dan sebaliknya, karena serabut saraf
menyeberang di saluran piramida ketika rangsangan saraf berjalan dari otak ke
korda spinalis. Stroke menyebabkan hemiparesis atau hemiplegia yang biasanya
mempengaruhi area kortikal lain selain area motorik. Akibatnya, hemiparesis
dan hemiplegia sering disertai dengan manifestasi lain dari stroke, termasuk
kehilangan hemisensory, hemianopia, apraxia, agnosia, dan aphasia. Otot-otot
dada dan perut biasanya tidak terpengaruh karena mereka diinervasi dari kedua
belahan otak.
Ketika otot kelebihan kontrol volunternya kekuatan otot fleksi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur serius.
Sebagai contoh, lengan terkena klien hemiplegic yang cenderung untuk rotasi
internal dan adduksi karena otot adduktor lebih kuat dari otot abductor. Siku,
pergelangan tangan, dan jari juga cenderung fleksi. Kaki cenderung dipengaruhi
oleh rotasi eksternal pada sendi panggul, fleksi di lutut dan plantar fleksi, dan
supine di kaki.
2. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin
melibatkan salah satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara,
membaca, menulis, dan pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa
terletak di belahan otak kiri dan diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
a. Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia
Wernicke berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan
infark pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata,
seperti “duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya
mengerti bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak
melalui penglihatan.
b. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara.
Namun, penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan
gerakan tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan
di area Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di
gyrus frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya
berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi berdampingan
dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita juga lumpuh di
otot-otot tubuh sebelah kanan.
3. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa
fungsi saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir
(CN VII: N. Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus).Mulut
merasakan rasa dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII) dan
mengirim pesan ke pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah
mengerakkan bolus makanan ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan
glotis menutup. Kontraksi otot-otot faring mengangkut makanan dari faring ke
esofagus. Peristaltik menggerakkan makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah
sistem vertebrobasilar menyebabkan disfagia.
4. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan
dalam berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia.
Dengan dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan
mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam
konstruksi kalimat. Seorang klien dysarthric dapat memahami komunikasi
verbal dan dapat membaca dan menulis (kecuali tangan dominan adalah
lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari
penyumbatan pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan
laring atau kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan control
otak.
5. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik
secara kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di
beberapa area otak. Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari,
seperti memakai baju. Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi
dari pesan yang akan disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat
direkonstruksikan oleh otot.
6. Perubahan Visual
Penglihatan adalah proses komplek yang dikontrol oleh beberapa area di
otak. Penyumbatan di lobus parietal dan temporal dapat memotong serat saraf
visual di traktus optikus dalam perjalanan ke korteks oksipital dan
memnyebabkan gangguan ketajaman penglihatan. Persepsi tentang penglihatan
mungkin terganggu. Gangguan penglihatan dapat mempengaruhi terhadap
ketidakmampuan klien untuk mempelajari keterampilan motorik. Infark dapat
menyebabkan fungsi dari CN III, IV, dan VI lumpuh dan diplopia.
7. Sindrom Horner’s
Sindrom Horner’s adalah paralisis saraf simpatis mata yang dapat
menyebabkan tenggelamnya bola mata, kontriksi pupil dan penurunan produksi
air mata.
8. Agnosia
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mempersepsikan sensasi yang
ada. Biasanya lebih banyak terjadi tipe visual dan auditori. Agnosia mungkin
dapat disebabkan dari oklusi di arteri serebral medial dan posterior yang
mensuplai aliran darah ke lobus temporal atau oksipital. Klien dengan visual
agnosia dapat melihat objek tetapi tidak dapat mempersepsikan objek tersebut.
Disorientasi dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk mengenal lingkungan,
suatu yang familiar atau simbol-simbol tertentu. Visual agnosia dapat
menigkatkan resiko injuri karena tidak dapat mengenal tanda-tanda atau
symbol-simbol bahaya. Klien dengan agnosia auditori tidak dapat mengartikan
suara yang klien dengar karena penurunan fungsi pendengaran atau kesadaran.
9. Defisit Sensorik
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam
perubahan sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis
yang disuplai oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi
kontralateral tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau hemiparesis.
Sensasi rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur yang
mempengaruhi variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten,
rasa sakit terbakar berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau
kepekaan yang meningkat. Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi
kaki yang salah saat berjalan.
10. Perubahan Perilaku
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks
serebral interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik
memodulasi tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar
pituitary berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak
dapat dilihat sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi
sepenuhnya, reaksi emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini.
Orang dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat,
dan tidak terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan,
hemisfer sering impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang
perhatian menurun, yang meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal
dari stroke di arteri serebral anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan
pada memori, penilaian, berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien
mungkin menunjukkan pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan
pelupa.
11. Inkontinensia
Stroke dapat menyebabkan disfungsi usus dan kandung kemih. Salah satu
jenis neurologis kandung kemih, kadang-kadang terjadi setelah stroke. Saraf
mengirim pesan untuk pengisian kandung kemih ke otak, tapi otak tidak
menafsirkan pesan tersebut dan tidak mengirimkan pesan untuk tidak buang air
kecil ke kandung kemih. Hal ini menyebabkan frekuensi, urgensi, dan
inkontinensia. Penyebab lain dari inkontinensia mungkin penyimpangan
memori, kurang perhatian, faktor emosional, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, gangguan mobilitas fisik, dan infeksi. Durasi dan keparahan
disfungsi tergantung pada tingkat dan lokasi infark tersebut.
Gejala-gejala yang tampak dengan TIA sangat tergantung pada pembuluh
darah yang terkena:
1. Jika arteri karotis dan serebral yang terkena
a. Kebutaan pada satu matanya
b. Hemiplegi
c. Hemianestesia
d. Gangguan bicara
e. Kekacauan mental
2. Jika yang terkena arteri vertebrobasiler
a. Pening
b. Diplopia
c. Semutan
d. Kelainan penglihatan pada salah satu atau kedua bidang pandang
e. Disatria
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat
b. Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi endokarditis bakterialis.
c. Analisa CSF (merah) à perdarahan sub arachnoid
d. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra
kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan
dengan adanya proses inflamasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan: Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya
infark
b. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan atau obstruksi arteri
c. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah
sistem arteri karotis ( aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ).
d. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna
terdapat pada trombosis serebral ; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subarakhnoid.
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
G. KOMPLIKASI
Selama menjalani perawatan di RS, pasien stroke dapat mengalami
komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak
otak (edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke.
Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.
Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik.
2. Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
3. Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi
pada stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan
iritasi diafragma. Selain itu harus diwaspadai adanya:
a. Transformasi hemoragik dari infark
b. Hidrosefalus obstruktif
4. Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun
beberapa hari kemudian.
5. Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
Bila ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
6. Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu,
pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
7. Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke
menderita komplikasi gangguan ritme jantung.
8. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi
ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab
terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti
imobilitas, hipersekresi dll.
9. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut
terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi
penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal
dan abnormalitas metabolisme tulang.
10. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer,
atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat
stroke.
11. Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan
untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
12. Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan
komunikasi dll.
13. Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
14. Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes
melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
15. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan
boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu
diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari
penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang
dapat meningkatkan TIK
10.Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran
menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11.Penatalaksanaan spesifik berupa:
I. Diagnosa keperawaatan
1. Gangguan perfusi jaringan otak b/d adanya sumbatan pembuluh darah otak,
perdarahan otak, vasospasme serebral, edema otak ditandai dengan penurunan
kesadaran, perubahan dalam respon motorik/sensori.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d adanya kelemahan, kelumpuhan dan
menurunnya persepsi / kognitif ditandai dengan paralisis anggota badan bagian
kanan, ketidakmampuan bergerak.
3. Gangguan komunikasi verbal b/d menurunnya/terhambatnya sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan otot wajah ditandai dengan
bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
4. Gangguan nutrisi b/d adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa
kecap) pada lidah, nafsu makan yang menurun ditandai dengan kesulitan
menelan.
5. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan tidak adekuatnya oksigenasi
pada pusat ditandai dengan penurunan kesadaran, sesak nafas, dan rR 26 x/mnt .
6. Ketidakmampuan perawatan diri b/d adanya kelemahan pada salah satu sisi
tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot, menurunnya persepsi kognitif.
7. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi dan
pengobatan ditandai dengan keluarga mengeluh cemas.
J. Intervensi keperawatan
1. Dx1 :
Gangguan perfusi jaringan otak b/d adanya sumbatan pembuluh darah
otak, perdarahan otak, vasospasme serebral, edema otak ditandai dengan
penurunan kesadaran, perubahan dalam respon motorik/sensori.
Tujuan :Memperbaiki tingakt kesadaran, dan respon motorik/sensori.
Intervensi :
· Tentukan faktor penyebab penurunan perpusi serebral
· Pantau status neurologisnya
· Pantau TTV, catat adanya hipertensi/hipotensi, frekuensi jantung, pola dan
irama nafas.
· Kaji fungsi bicara
· Letakan kepala pada posisi agak tinggi
· Pertahankan tirah baring, ciptakan suasana tenang, batasi pengunjungan,
· Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi
· Pantau periksaan laboratorium sesuai indikasi
· Persiapkan untuk pembedahan bila diperlukan.
2. Dx2 :
Gangguan mobilitas fisik b/d adanya kelemahan, kelumpuhan dan
menurunnya persepsi / kognitif ditandai dengan paralisis anggota badan bagian
kanan, ketidakmampuan bergerak.
Tujuan : Mempertahankan/menigkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
Intervensi :
· Kaji kemampuan pasien
· Ubah posisi minimal setiap 2 jam sekali
· Mulailah lakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas
· Sokong ekstremitas dalam posisi fungsional dengan menggunakan papan
kaki
· Gunakan penyangga lengan sesuai indikasi
· Evaluasi penggunaan alat bantu
· Lakukan gerakan ROM
· Bantu pasien untuk mengatur keseimbangan duduk
· Konsultasi dengan fisioterapi
· Kolaborasi dalam pemberian obat relaksan otot, antispasmodik, sesuai
indikasi.
3. Dx3 :
Gangguan komunikasi verbal b/d menurunnya/terhambatnya sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan otot wajah ditandai dengan
bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
Tujuan : Pasien dapat kembali berkomunikasi
Intervensi :
· Kaji tipe disfungsi wicara
· Perhatikan kesalahan dalam berkomunikasi dan berikan umpan balik
· Tunjukan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut
· Berikan metode komunikasi alternatif, berikan petunjuk visual
· Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan
pasien jarak waktu untuk berespons.
· Anjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk
berkomunikasi dengan pasien.
· Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien
· Konsultasi dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.
4. Dx4 :
Gangguan nutrisi b/d adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa
kecap) pada lidah, nafsu makan yang menurun ditandai dengan kesulitan
menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
· Tinjau ulang kemampuan menelan pasien secara mandiri
· Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif
· Pertahankan masukan dan haluaran dengan adekuat, catat jumlah kalori yang
masuk.
· Kolaborasi dalam pemberian cairan melalui IV dan makanan melalui selang.
5. Dx5 :
Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan tidak adekuatnya
oksigenasi pada pusat pernapasan ditandai dengan penurunan kesadaran, sesak
nafas, dan RR 26 x/mnt .
Tujuan : Oksigenasi yang adekuat
Intervensi :
· Kaji TTV klien tiap waktu
· Atur posisi tidur klien semi fowler
· Longgarkan pakaian dan lepaskan aksesoris yang dikenakan klien
· Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan
· Kolaborasi dengan Tim Medis dalam pemberian obat
6. Dx6 :
Ketidakmampuan perawatan diri b/d adanya kelemahan pada salah satu
sisi tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot, menurunnya persepsi kognitif.
Tujuan : Terpenuhinya kebutuhan perawatan diri secara mandiri
Intervensi :
· Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan
sehari-hari
· Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien
sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
· Sadari aktivitas implusif karena gangguan dalam mengambil keputusan
· Berikan pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
· Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya
· Konsultasi dengan ahli fisioterapi/ahli terapi okupasi.
7. Dx7 :
Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi
dan pengobatan ditandai dengan keluarga mengeluh cemas.
Tujuan : Keluarga tidak cemas
Intervensi :
· Kaji tanda tanda kecemasan
· Berikan motivasi yang tepat kepada klien dan keluarga
· Berikan pendidikan kesehatan tentang penyakit kepada keluarga
· Beritahu tentang prosedur pengobatan pada keluarga
· Beritahu keluarga tentang resiko komplikasi yang mungkin terjadi
· Berikan pendamping rohanian untuk klien
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. STUDY KASUS
Tn. A umur 60 th, datang ke IGD RSUD 45 Kuningan diantar oleh
anggota keluarganya dengan keluhan kelemahan kaki kanan dan tangan
kanan tidak bisa digerakan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
Hasil pemeriksaan fisik kesadaran letargi, kelemahan anggota gerak sebelah
kanan, afasia,TD: 140/90 mmhg,S:36,7 C,nadi: 112x/m, RR: 26 x/m. Terapi
yang diberikan : O2 2 liter/menit,NaCl 15 tts/menit, dan dipasang NGT,
serta dilakukan pemeriksaan EKG dan pemeriksaan darah dan urin.
Kemudian dokter juga merencanakan tindakan CT Scan dan MRI.
Hasil wawancara lebih jauh, anaknya mengatakan bahwa Tn. A sempat
pingsan tak sadarkan diri karena terpeleset dan terjatuh di halaman rumah nya
ketika mau mengangkat sangkar burung perkutut yang selalu dijemur dan
menjadi hobi tn. A untuk mengis hari – hari nya. Keluarga merasa khawatir
dengan keadaan Tn. A .
B. PERTANYAAN UNTUK ANALISA
1. Setelah membaca dan menjawab beberapa pertanyaan yang muncul dari
kasus diatas, coba diskusikan sistem organ apa yang terkait masalah diatas?
Jelaskan dengan menggunakan peta konsep struktur anatomi organ yang terkait
serta mekanisme fisiologis sistem organ itu bekerja!
2. Coba saudara buat clinical pathway dari masalah keperawatan utama pada
kasus diatas!
3. Menurut saudara apa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
kasus diatas!
4. Tindakan – tindakan dan intervensi keperawatan apa yang seharusnya
dilakukan seorang perawat untuk mengatasi masalah keperawatan utama pasien
dan keluarga pasien diatas!
C. JAWABAN PERTANYAAN
1. Jawaban ada pada halaman 4
2. Jawaban ada pada lampiran halaman iii
3. Jawaban ada pada halaman 16
4. Jawaban ada pada halaman 17
D. ANALISA SINTESA
Bedasarkan kasus diatas kami dapat menyimpulkan bahwa klien
menderita stroke haemoragik, dengan melihat manifes yang ada yakni klien
pingsan setelah terjatuh, lalu terjadi penurunan kesadaran menjadi letargi.
kelemahan kaki kanan dan tangan kanan tidak bisa digerakan, bicara pelo, dan
tidak dapat berkomunikasi
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian
stroke iskemik lebih sering ditemukan dibandingkan stroke hemoragik. Dari
studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, yang tidak sempat
dipublikasi, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan pada tahun 2001, dirawat
1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, di
mana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik
dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke
adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti
usia, ras, gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke
sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors)
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan
oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI, 2004). Identifikasi
faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke di
suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut
maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit
stroke, terutama untuk menurunkan angka kejadian stroke
B. SARAN
Penderita stroke jika sudah mengalami kerusakan persarafan atau
kelumpuhan biasanya bersifat permanen. Maka dari itu, perlu adanya
pendampingan ekstra baik kepada klien maupun kepada keluarga karena pada
tahap awal tentunya klien akan merasakan depresi yang amat mendalam. Selain
itu, perlu diberitahukan kepada keluarga untuk tidak merendahkan klien karena
dapat timbul tekanan yang lebih dalam lagi kepada klien sehingga akan
menimbulkan distress kepada klien sehingga mempengaruhi proses
penyembuhan klien. Oleh karena itu, perlu danya peran perawat yang lebih peka
terhadap perasaan klien dan keluarganya.