Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn…..

DENGAN

STROKE HEMORAGIK

DI RUANGAN… RUMAH SAKIT….

Disusun Oleh :

Kelompok I

Dian Wahyuningsih

Hesti

M.Ali

Siti Arfah Zuhriah

Yayah Komariah

Wiji

PRODI D3 KEPERAWATAN

STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA

TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai
manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di
negara-negara berkembang (Saidi, 2010). WHO mendefinisikan stroke sebagai
suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau
global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan
dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006).
Berdasarkan data WHO (2010-b), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang
di seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian
sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang
permanen. Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi
penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu
penyebab terbanyak di dunia (Xu, et al., 2010).
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang banyak ditemukan tidak
hanya pada negara-negara maju tapi juga pada negara-negara berkembang.
Menurut Janssen, et al., (2010), stroke merupakan penyebab utama kecacatan di
negara-negara barat. Di Belanda, stroke menduduki peringkat ketiga sebagai
penyebab DALY’s (Disability Adjusted Life Years = kehilangan bertahun-tahun
usia produktif).
Berdasarkan data NCHS (National Center of Health Statistics), stroke
menduduki urutan ketiga penyebab kematian di Amerika setelah penyakit
jantung dan kanker (Heart Disease and Stroke Statistics—2010 Update: A
Report from American Heart Association). Dari data National Heart, Lung, and
Blood Institute tahun 2008, sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat
mengalami stroke setiap tahunnya. Dengan 610.000 orang mendapat serangan
stroke untuk pertama kalinya dan 185.000 orang dengan serangan stroke
berulang (Heart Disease and Stroke Statistics_2010 Update: A Report From the
American Heart Association). Setiap 3 menit didapati seseorang yang
meninggal akibat stroke di Amerika Serikat. Stroke menduduki peringkat utama
penyebab kecacatan di Inggris (WHO, 2010-a).
Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian
setelah penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang.
Negara berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke
di seluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun, di
mana sekitar 4,4 juta di antaranya meninggal dalam 12 bulan (WHO, 2006). Di
Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah
yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam
(16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000
penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama dengan
hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga
merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia.
Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua usia
di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Menurut Davenport dan Dennis (2000), secara garis besar stroke dapat
dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Di negara barat, dari
seluruh penderita stroke yang terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik
sementara sisanya merupakan jenis stroke hemoragik.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian
stroke iskemik lebih sering ditemukan dibandingkan stroke hemoragik. Dari
studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, yang tidak sempat
dipublikasi, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan pada tahun 2001, dirawat
1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, di
mana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik
dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke
adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti
usia, ras, gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke
sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors)
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan
oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI, 2004). Identifikasi
faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke di
suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut
maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit
stroke, terutama untuk menurunkan angka kejadian stroke

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang dapat penulis simpulkan, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan Stroke?
2. Sistem organ apa yang terkait dengan penyakit Stroke?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Stroke?
4. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat ditegakkan dalam mendiagnosa
penyakit
Stroke?
5. Apa komplikasi yang terjadi dari Stroke?
6. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada
penderita
Stroke?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Penulis mengetahui gambaran umum tentang penyakit Stroke dan
penatalaksanaannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Stroke;
b. Mengetahui sistem organ yang terkait Stroke;
c. Mengetahui Pemeriksaan diagnostik pada Stroke;
d. Mengetahui diagnosa serta intervensi yang dibutuhkan klien dengan Stroke;

D. METEDOLOGI PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengggunakan metode study
literatur serta pengumpulan informasi dari berbagai media pengetahuan. Selain
itu, dengan menggunakan analisis kasus yang diberikan oleh tutor.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penyusunan karya tulis ini penyusun menggunakan sistematika sebagi
berikut:
BAB I PENDAHULUAN : Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan manfaat.
BAB II TINJAUAN TEORITIS: Berisi tentang definisi stroke, anatomi
fisiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan pathwyas, pemeriksaan
diagnostik, komplikasi, dan penatalaksanaan stroke.
BAB III PEMECAHAN KASUS: Latar belakang kasus, brainstroming kasus,
pertanyaan kasus, jawaban kasus, dan analisa kasus.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN: Berisi simpulan dan saran penulis.
DAFTAR PUSTAKA : Berisi tentang sumber-sumber yang dijadikan referensi
dalam penyusunan makalah ini.
.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. DEFINISI
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 2006).
CVA atau stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum
yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke
otak (Depkes, 1995).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu
gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses
patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura
dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis
arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai
manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di
negara-negara berkembang (Saidi, 2010).
Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan aleh karena gangguan
peredaran darah otak, dimana secara mendadak (beberapa detik) atau secara
cepat (beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal
diotak yang terganggu (Djunaedi W, 1992).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua


kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan,
mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari jutaan serabut sel
saraf (neuron) yang berkumpul membentuk suatu berkas (faskulum). Neuron
adalah komponen utama dalam sistem saraf.
Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama
yaitu:
1. Pengatur / pengendali kerja organ tubuh,
2. Pusat pengendali tanggapan,
3. Alat komunikasi dengan dunia luar.
Sistem persarafan dibagi menjadi dua bagian : sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf perifer. SSP terdiri dari otak di dalam tengkorak dan medula
spinalis yang menjalar didalam kolimna vertebra dan memanjang ke otak. Pusat
komunikasi di dalam SSP dan berbagai saluran saraf memungkinakannya
respon sadar atau tidak sadar terhadap stimulus sensoris. Sistem saraf perifer di
bentuk dan network saraf dan organ-organ pengindra yang mendapat informasi
dari seluruh tubuh dan meneruskan ke otak.

SEL SISTEM SARAF


1. Neuron
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang didalamnya terdapat
sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu
dendrit dan akson (neurit). Dendrit berfungsi menangkap dan mengirimkan
impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari
badan sel ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya,
dendrit pendek.
Neuron bersifat heterogen, baik secara morfologis maupun fungsional,
yang terdiri atas sel kecil bulat yang menempati lapisan sel granula di serebelum
hingga piramid besar Betz pada korteks motorik primer. Berbagai perubahan
morfologik dapat ditemukan di neuron, dengan salah satu yang tersering adalah
nekrosis koagulasi, suatu perubahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan
cedera hipoksik-iskemik. Seperti pada nekrosis koagulasi di tempat lain,
nekrosis neuron ditandai dengan hilangnya ribonukleoprotein sitoplasma dan
denaturasi protein sitoskeleton,sehingga terjadi eosinofilia sitoplasma yang
mencolok (neuron merah) pada sendian yang diwarnai dengan hemotoksilin dan
eosin (H&E). Nekrosis koagulasi juga disertai oleh perubahan nukleus yang
identik dengan yang ditemukan pada organ lain, yaitu kondensasi bahan inti
(piknosis) dan hilangnya perwarnaan neukleus (kariolisis). Bentuk kematian sel
terpenting yang di bahas pada yakni, apoptosis, juga terjadi pada sejumlah
situasi pada SSP, termasuk perkembangan normal, beberapa bentuk cedera
hipoksik-iskemik, dan gangguan toksik tertentu. Apoptosis juga mungkin
berperan dalam proses berkurangnya sel pada penuaan dan pada penyakit
neurodegeneratif tertentu. Kromtolisis, suatu reaksi pada cedera akson, ditandai
dengan dispersi substansi Nissl dan membengkaknya sel badan neuron juga
terjdi pada penyakit-penyakit neurodegeneratif, seperti neurofibrially tangels
pada penyakit Alzheimer dan pembentukan badan lewy pada parkinsonisme.
Akhirnya sejumlah agen infeksius dapat menyebabkan terbentuknya badan
inklusi ini dan perubahan struktural lainnya akan di bahas secara lebih rinci
dibagian selanjutnya pada bab ini dalam konteks penyakit tempat badan inklusi
tersebut terbentuk.
2. Astroit
Astroit adalah sel penunjang utama di otak dan memperlihatkan beberapa
perubahan reaktif yang tersering ditemukan, pada kasus cedera parenkim otak,
atroit merespon dengan membentuk jaringan padat prosecus, yang sedikit
banyak analog dengan jaringan parut fibrosa di bagian tubuh lain. Namun
dengan beberapa fibroblas, astoit tidak menghasilkan kolagen. Oleh karena
itu,”jaringan parut” glia terutama teridiri atas prosesus sitoplasma, dengan
sedikit atau tanpa protein ekstrasel. Sitoplasma mungkin membengkak sebagi
respons terhadp cedera, sering disertai oleh peningkatan sintesis protein fibrilar
glia yang bersifat asam (glia fibrillaacudic protein GFA) yaitu protein
sitoskeleton utama bagi astroit sitoplasma disekitar neukleus ini yang disebut
astroit gemistositik (yunani=gemistos=”penuh”) tampak eonisofilik dan mudah
terlihat pada sediaan rutin. Serat Rosenthal adalah stuktur astroit lainnya. Pada
sediaan yang diwarnai H&E, serat ini tampak sebagai struktur yang eosinofilik
terang dengan kualitas hampir reflaktil. Serat resonthal berasal dari filamen
GFAP yang mengalami perubahan dan ditemukan pada sejumlah neoplasma
tumbuh-lambat serta pada beberapa penyakit nonneoplasma,seperti lesi kistik
kronis dan malformasi vaskular. Bebrapa gangguan metabolik tertentu, terutama
gagal hati, menghasilkan asroit nukleus besar pucat yang disebut glia Alzheimer
tipe II. Akhirnya, bahan kaya- glikoprotein yang disbut korpora amilasea sering
menumpouk diproseus astoit sering dengan penuaan. Pada sediaan yang
diwarnai oleh H&E, korpora amilasea tampak sebagi badan basofilik bulat yang
berlapis-lapis konsentrik diregioyang kaya foot proceseses astoit (misal, regio
subependima, subpial, dan privaskuler), serta di dalam kulomna dorsalis medula
spinalis.
3. Oligodendrosit
Prosesus sitoplasma ologondendrogilia membungkus akson neuron untuk
membentuk meilin dengan cara serupa dengan sel Schwann di sistem saraf
perifer. Pada sediaan rutin, ologondendrogilia dikenal berdasarkan nukleusnya
yang bulat kecil yang mirip limposit dan tersusun dalam rangkain linier. Cedera
pada sel ologondendrogilia dan atau processusnya merupakan gambaran pada
penyakit demielinisasi didapat (misal, sklerosis multipel) dan juga ditemukan
pada leukodistropi (dibahas kemudian). Nukleus ologondendrogilia mungkin
berisi badan inklusi pada penyakit tertentu, seperti, leukoensefalopati
multifokus progresif dan beberapa gangguan neurodegeneratif.
4. Sel ependimal
Sel ependimal melapisi ventrikel serebrum dan berkaitan erat dengan sel
kuboid dengan sel kuboid yang terdapat di pleksus koroideus. Gangguan pada
sel ependimal sering berkaitan dengan ploriferasi lokal astroit subependimal
yang menyebabkan terjadinya ireguleritas kecil yang disebut granulasi
ependimal dipermukaan ventrikel. Bebrapa agen infeksius, terutama
sitomegalovirus (CMV) dapat menyebabkan cedera ependimal yang luas
disertai terbentuknya badan inklusi intranukleus di sel ependimal.
5. Mikroglia
Meskipun bernama demikian, sekarang secara umum diterima bahwa
mikroglia berasal dari monosit darah dan bukan dari neural tube. Semakin
banyak fungsi sel ini sekarang telah dikietahui. Seperti pedanannya di luar SSP,
mikroglia tampaknya berfunmgsi sebagai sel penyaji antigen pada obanyak
kondisi peradangan. Hampir semua bentuk cedera SSP berkaitan dengan
keberadaan sel mikroglia aktif, sel-sel ini kemudian bertindak sebagai mikroglia
aktif, sel-sel ini kemudin bertindak sebagai makrofag aktif. Pada beukrosis
jaringan dan penyakit demielinisasi makrofag aktif ini akan menimbun banyak
lemak intrasel sehingga berbentuk dengan sel sitoplasma berbusa yang disebut
sebagai gitter cells. Pada penyakit ini pada penyakit lain, nukleus mikroglia
mungkin menjadi panjang sehingga terbentuk sel batang, mikroglia juga dapat
beragregasi dalam kumpulan yang padat sebagai gangguan (misal, infeksi virus)
untuk membentuk nodul mikroglia dan mungkin dapat menelan neuron yang
cedera vdalam suatu proses yang dikenal sebagai neuronofagia.
C. ETIOLOGI
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di dalam otak pecah. Otak
sangat sensitif terhadap perdarahan, dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat
cepat. Pendarahan di dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga
menyebabkan pembengkakan, mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut
hematoma. Pendarahan juga meningkatkan tekanan pada otak dan menekan
tulang tengkorak.
Stroke hemoragik dikelompokkan menurut lokasi pembuluh darah :
1. Intracerebral hemoragik, pendarahan terjadi di dalam otak.
2. Subarachnoid hemoragik, pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis
yang menutupi otak.
Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi,
yang menekankan dinding arteri sampai pecah. Penyebab lain terjadinya stroke
hemoragik adalah :
1. Aneurisma, yang membuat titik lemah dalam dinding arteri, yang akhirnya
dapat pecah.
2. Hubungan abnormal antara arteri dan vena, seperti kelainan arteriovenosa.
3. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti
payudara, kulit, dan tiroid.
4. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam
dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.
5. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
6. Overdosis narkoba, seperti kokain.

Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan


aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah
stroke Iskemik. Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan.
2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAYS


Patofis dari struk haemoragik adalah hipertensi kronik menyebabkan
pembuluh arteriola yang berdiameter 100-400 mcmeter mengalami perubahan
patologik pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari
cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus dan cabang-
cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan
degeneratif yang sama. Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam
jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah
terutama pada pagi hari dan sore hari. Jika pembuluh darah tersebut pecah,
maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya
besarakan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya
dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa
merusaknya. Pada keadaan ini absorbsi darah akan diikutioleh pulihnya fungsi-
fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa
otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan
menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar
menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko
kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar.
Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999).

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Kinis pada stroke meliputi:
1. Hemiparesis dan hemiplagia
Hemiparesis (kelemahan) dari hemiplagia (paralisis) dari satu sisi tubuh
dapat terjadi setelah stroke. Defisit ini biasanya disebabkan oleh stroke pada
arteri serebral anterior atau arteri serebral medial, yang menyebabkan infark
pada korteks frontal. Hemipegia lengkap melibatkan setengah dari wajah dan
lidah serta lengan dan kaki dari sisi lateral tubuh. Infark di sisi kanan otak
menyebabkan hemiplegia sisi kiri dan sebaliknya, karena serabut saraf
menyeberang di saluran piramida ketika rangsangan saraf berjalan dari otak ke
korda spinalis. Stroke menyebabkan hemiparesis atau hemiplegia yang biasanya
mempengaruhi area kortikal lain selain area motorik. Akibatnya, hemiparesis
dan hemiplegia sering disertai dengan manifestasi lain dari stroke, termasuk
kehilangan hemisensory, hemianopia, apraxia, agnosia, dan aphasia. Otot-otot
dada dan perut biasanya tidak terpengaruh karena mereka diinervasi dari kedua
belahan otak.
Ketika otot kelebihan kontrol volunternya kekuatan otot fleksi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur serius.
Sebagai contoh, lengan terkena klien hemiplegic yang cenderung untuk rotasi
internal dan adduksi karena otot adduktor lebih kuat dari otot abductor. Siku,
pergelangan tangan, dan jari juga cenderung fleksi. Kaki cenderung dipengaruhi
oleh rotasi eksternal pada sendi panggul, fleksi di lutut dan plantar fleksi, dan
supine di kaki.
2. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin
melibatkan salah satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara,
membaca, menulis, dan pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa
terletak di belahan otak kiri dan diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
a. Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia
Wernicke berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan
infark pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata,
seperti “duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya
mengerti bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak
melalui penglihatan.
b. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara.
Namun, penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan
gerakan tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan
di area Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di
gyrus frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya
berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi berdampingan
dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita juga lumpuh di
otot-otot tubuh sebelah kanan.
3. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa
fungsi saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir
(CN VII: N. Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus).Mulut
merasakan rasa dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII) dan
mengirim pesan ke pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah
mengerakkan bolus makanan ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan
glotis menutup. Kontraksi otot-otot faring mengangkut makanan dari faring ke
esofagus. Peristaltik menggerakkan makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah
sistem vertebrobasilar menyebabkan disfagia.
4. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan
dalam berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia.
Dengan dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan
mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam
konstruksi kalimat. Seorang klien dysarthric dapat memahami komunikasi
verbal dan dapat membaca dan menulis (kecuali tangan dominan adalah
lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari
penyumbatan pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan
laring atau kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan control
otak.
5. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik
secara kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di
beberapa area otak. Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari,
seperti memakai baju. Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi
dari pesan yang akan disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat
direkonstruksikan oleh otot.
6. Perubahan Visual
Penglihatan adalah proses komplek yang dikontrol oleh beberapa area di
otak. Penyumbatan di lobus parietal dan temporal dapat memotong serat saraf
visual di traktus optikus dalam perjalanan ke korteks oksipital dan
memnyebabkan gangguan ketajaman penglihatan. Persepsi tentang penglihatan
mungkin terganggu. Gangguan penglihatan dapat mempengaruhi terhadap
ketidakmampuan klien untuk mempelajari keterampilan motorik. Infark dapat
menyebabkan fungsi dari CN III, IV, dan VI lumpuh dan diplopia.
7. Sindrom Horner’s
Sindrom Horner’s adalah paralisis saraf simpatis mata yang dapat
menyebabkan tenggelamnya bola mata, kontriksi pupil dan penurunan produksi
air mata.
8. Agnosia
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mempersepsikan sensasi yang
ada. Biasanya lebih banyak terjadi tipe visual dan auditori. Agnosia mungkin
dapat disebabkan dari oklusi di arteri serebral medial dan posterior yang
mensuplai aliran darah ke lobus temporal atau oksipital. Klien dengan visual
agnosia dapat melihat objek tetapi tidak dapat mempersepsikan objek tersebut.
Disorientasi dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk mengenal lingkungan,
suatu yang familiar atau simbol-simbol tertentu. Visual agnosia dapat
menigkatkan resiko injuri karena tidak dapat mengenal tanda-tanda atau
symbol-simbol bahaya. Klien dengan agnosia auditori tidak dapat mengartikan
suara yang klien dengar karena penurunan fungsi pendengaran atau kesadaran.
9. Defisit Sensorik
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam
perubahan sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis
yang disuplai oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi
kontralateral tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau hemiparesis.
Sensasi rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur yang
mempengaruhi variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten,
rasa sakit terbakar berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau
kepekaan yang meningkat. Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi
kaki yang salah saat berjalan.
10. Perubahan Perilaku
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks
serebral interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik
memodulasi tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar
pituitary berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak
dapat dilihat sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi
sepenuhnya, reaksi emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini.
Orang dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat,
dan tidak terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan,
hemisfer sering impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang
perhatian menurun, yang meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal
dari stroke di arteri serebral anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan
pada memori, penilaian, berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien
mungkin menunjukkan pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan
pelupa.
11. Inkontinensia
Stroke dapat menyebabkan disfungsi usus dan kandung kemih. Salah satu
jenis neurologis kandung kemih, kadang-kadang terjadi setelah stroke. Saraf
mengirim pesan untuk pengisian kandung kemih ke otak, tapi otak tidak
menafsirkan pesan tersebut dan tidak mengirimkan pesan untuk tidak buang air
kecil ke kandung kemih. Hal ini menyebabkan frekuensi, urgensi, dan
inkontinensia. Penyebab lain dari inkontinensia mungkin penyimpangan
memori, kurang perhatian, faktor emosional, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, gangguan mobilitas fisik, dan infeksi. Durasi dan keparahan
disfungsi tergantung pada tingkat dan lokasi infark tersebut.
Gejala-gejala yang tampak dengan TIA sangat tergantung pada pembuluh
darah yang terkena:
1. Jika arteri karotis dan serebral yang terkena
a. Kebutaan pada satu matanya
b. Hemiplegi
c. Hemianestesia
d. Gangguan bicara
e. Kekacauan mental
2. Jika yang terkena arteri vertebrobasiler
a. Pening
b. Diplopia
c. Semutan
d. Kelainan penglihatan pada salah satu atau kedua bidang pandang
e. Disatria

3. Jika dilihat dari bagian hemisfer yang terkena


ü Stroke hemisfer kiri
a. Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan
b. Prilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang kanan
d. Ekspresif, reseptif atau dispagia global
e. Mudah frustasi
ü Stroke hemisfer kanan
a. Hemifaresis atau hemiplegia sisi kanan
b. Defisit spasial-perseptual
c. Penilaian buruk
d. Memperlihatkan ketidaksadaran defisit pada bagian yang sakit oleh
karenanya mempunyai kerentanan untuk jatuh atau cidera lainnya
e. Kelainan bidang visual kiri
(Hudak & Gallo, 1996)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat
b. Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi endokarditis bakterialis.
c. Analisa CSF (merah) à perdarahan sub arachnoid
d. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra
kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan
dengan adanya proses inflamasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan: Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya
infark
b. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan atau obstruksi arteri
c. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah
sistem arteri karotis ( aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ).
d. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna
terdapat pada trombosis serebral ; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subarakhnoid.
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

G. KOMPLIKASI
Selama menjalani perawatan di RS, pasien stroke dapat mengalami
komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak
otak (edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke.
Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.
Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik.
2. Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
3. Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi
pada stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan
iritasi diafragma. Selain itu harus diwaspadai adanya:
a. Transformasi hemoragik dari infark
b. Hidrosefalus obstruktif
4. Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun
beberapa hari kemudian.
5. Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
Bila ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
6. Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu,
pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
7. Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke
menderita komplikasi gangguan ritme jantung.
8. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi
ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab
terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti
imobilitas, hipersekresi dll.
9. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut
terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi
penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal
dan abnormalitas metabolisme tulang.
10. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer,
atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat
stroke.
11. Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan
untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
12. Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan
komunikasi dll.
13. Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
14. Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes
melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
15. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.

H. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:

1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan
boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu
diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari
penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang
dapat meningkatkan TIK
10.Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran
menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11.Penatalaksanaan spesifik berupa:

a. Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan,


obat hemoragik
b. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan
pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi

I. Diagnosa keperawaatan
1. Gangguan perfusi jaringan otak b/d adanya sumbatan pembuluh darah otak,
perdarahan otak, vasospasme serebral, edema otak ditandai dengan penurunan
kesadaran, perubahan dalam respon motorik/sensori.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d adanya kelemahan, kelumpuhan dan
menurunnya persepsi / kognitif ditandai dengan paralisis anggota badan bagian
kanan, ketidakmampuan bergerak.
3. Gangguan komunikasi verbal b/d menurunnya/terhambatnya sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan otot wajah ditandai dengan
bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
4. Gangguan nutrisi b/d adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa
kecap) pada lidah, nafsu makan yang menurun ditandai dengan kesulitan
menelan.
5. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan tidak adekuatnya oksigenasi
pada pusat ditandai dengan penurunan kesadaran, sesak nafas, dan rR 26 x/mnt .
6. Ketidakmampuan perawatan diri b/d adanya kelemahan pada salah satu sisi
tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot, menurunnya persepsi kognitif.
7. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi dan
pengobatan ditandai dengan keluarga mengeluh cemas.

J. Intervensi keperawatan
1. Dx1 :
Gangguan perfusi jaringan otak b/d adanya sumbatan pembuluh darah
otak, perdarahan otak, vasospasme serebral, edema otak ditandai dengan
penurunan kesadaran, perubahan dalam respon motorik/sensori.
Tujuan :Memperbaiki tingakt kesadaran, dan respon motorik/sensori.
Intervensi :
· Tentukan faktor penyebab penurunan perpusi serebral
· Pantau status neurologisnya
· Pantau TTV, catat adanya hipertensi/hipotensi, frekuensi jantung, pola dan
irama nafas.
· Kaji fungsi bicara
· Letakan kepala pada posisi agak tinggi
· Pertahankan tirah baring, ciptakan suasana tenang, batasi pengunjungan,
· Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi
· Pantau periksaan laboratorium sesuai indikasi
· Persiapkan untuk pembedahan bila diperlukan.
2. Dx2 :
Gangguan mobilitas fisik b/d adanya kelemahan, kelumpuhan dan
menurunnya persepsi / kognitif ditandai dengan paralisis anggota badan bagian
kanan, ketidakmampuan bergerak.
Tujuan : Mempertahankan/menigkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
Intervensi :
· Kaji kemampuan pasien
· Ubah posisi minimal setiap 2 jam sekali
· Mulailah lakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas
· Sokong ekstremitas dalam posisi fungsional dengan menggunakan papan
kaki
· Gunakan penyangga lengan sesuai indikasi
· Evaluasi penggunaan alat bantu
· Lakukan gerakan ROM
· Bantu pasien untuk mengatur keseimbangan duduk
· Konsultasi dengan fisioterapi
· Kolaborasi dalam pemberian obat relaksan otot, antispasmodik, sesuai
indikasi.
3. Dx3 :
Gangguan komunikasi verbal b/d menurunnya/terhambatnya sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan otot wajah ditandai dengan
bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
Tujuan : Pasien dapat kembali berkomunikasi
Intervensi :
· Kaji tipe disfungsi wicara
· Perhatikan kesalahan dalam berkomunikasi dan berikan umpan balik
· Tunjukan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut
· Berikan metode komunikasi alternatif, berikan petunjuk visual
· Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan
pasien jarak waktu untuk berespons.
· Anjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk
berkomunikasi dengan pasien.
· Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien
· Konsultasi dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.
4. Dx4 :
Gangguan nutrisi b/d adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa
kecap) pada lidah, nafsu makan yang menurun ditandai dengan kesulitan
menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
· Tinjau ulang kemampuan menelan pasien secara mandiri
· Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif
· Pertahankan masukan dan haluaran dengan adekuat, catat jumlah kalori yang
masuk.
· Kolaborasi dalam pemberian cairan melalui IV dan makanan melalui selang.
5. Dx5 :
Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan tidak adekuatnya
oksigenasi pada pusat pernapasan ditandai dengan penurunan kesadaran, sesak
nafas, dan RR 26 x/mnt .
Tujuan : Oksigenasi yang adekuat
Intervensi :
· Kaji TTV klien tiap waktu
· Atur posisi tidur klien semi fowler
· Longgarkan pakaian dan lepaskan aksesoris yang dikenakan klien
· Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan
· Kolaborasi dengan Tim Medis dalam pemberian obat

6. Dx6 :
Ketidakmampuan perawatan diri b/d adanya kelemahan pada salah satu
sisi tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot, menurunnya persepsi kognitif.
Tujuan : Terpenuhinya kebutuhan perawatan diri secara mandiri
Intervensi :
· Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan
sehari-hari
· Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien
sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
· Sadari aktivitas implusif karena gangguan dalam mengambil keputusan
· Berikan pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
· Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya
· Konsultasi dengan ahli fisioterapi/ahli terapi okupasi.
7. Dx7 :
Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi
dan pengobatan ditandai dengan keluarga mengeluh cemas.
Tujuan : Keluarga tidak cemas
Intervensi :
· Kaji tanda tanda kecemasan
· Berikan motivasi yang tepat kepada klien dan keluarga
· Berikan pendidikan kesehatan tentang penyakit kepada keluarga
· Beritahu tentang prosedur pengobatan pada keluarga
· Beritahu keluarga tentang resiko komplikasi yang mungkin terjadi
· Berikan pendamping rohanian untuk klien
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

A. STUDY KASUS
Tn. A umur 60 th, datang ke IGD RSUD 45 Kuningan diantar oleh
anggota keluarganya dengan keluhan kelemahan kaki kanan dan tangan
kanan tidak bisa digerakan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
Hasil pemeriksaan fisik kesadaran letargi, kelemahan anggota gerak sebelah
kanan, afasia,TD: 140/90 mmhg,S:36,7 C,nadi: 112x/m, RR: 26 x/m. Terapi
yang diberikan : O2 2 liter/menit,NaCl 15 tts/menit, dan dipasang NGT,
serta dilakukan pemeriksaan EKG dan pemeriksaan darah dan urin.
Kemudian dokter juga merencanakan tindakan CT Scan dan MRI.
Hasil wawancara lebih jauh, anaknya mengatakan bahwa Tn. A sempat
pingsan tak sadarkan diri karena terpeleset dan terjatuh di halaman rumah nya
ketika mau mengangkat sangkar burung perkutut yang selalu dijemur dan
menjadi hobi tn. A untuk mengis hari – hari nya. Keluarga merasa khawatir
dengan keadaan Tn. A .
B. PERTANYAAN UNTUK ANALISA
1. Setelah membaca dan menjawab beberapa pertanyaan yang muncul dari
kasus diatas, coba diskusikan sistem organ apa yang terkait masalah diatas?
Jelaskan dengan menggunakan peta konsep struktur anatomi organ yang terkait
serta mekanisme fisiologis sistem organ itu bekerja!
2. Coba saudara buat clinical pathway dari masalah keperawatan utama pada
kasus diatas!
3. Menurut saudara apa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
kasus diatas!
4. Tindakan – tindakan dan intervensi keperawatan apa yang seharusnya
dilakukan seorang perawat untuk mengatasi masalah keperawatan utama pasien
dan keluarga pasien diatas!
C. JAWABAN PERTANYAAN
1. Jawaban ada pada halaman 4
2. Jawaban ada pada lampiran halaman iii
3. Jawaban ada pada halaman 16
4. Jawaban ada pada halaman 17

D. ANALISA SINTESA
Bedasarkan kasus diatas kami dapat menyimpulkan bahwa klien
menderita stroke haemoragik, dengan melihat manifes yang ada yakni klien
pingsan setelah terjatuh, lalu terjadi penurunan kesadaran menjadi letargi.
kelemahan kaki kanan dan tangan kanan tidak bisa digerakan, bicara pelo, dan
tidak dapat berkomunikasi
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian
stroke iskemik lebih sering ditemukan dibandingkan stroke hemoragik. Dari
studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, yang tidak sempat
dipublikasi, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan pada tahun 2001, dirawat
1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, di
mana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik
dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke
adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti
usia, ras, gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke
sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors)
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan
oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI, 2004). Identifikasi
faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke di
suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut
maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit
stroke, terutama untuk menurunkan angka kejadian stroke

B. SARAN
Penderita stroke jika sudah mengalami kerusakan persarafan atau
kelumpuhan biasanya bersifat permanen. Maka dari itu, perlu adanya
pendampingan ekstra baik kepada klien maupun kepada keluarga karena pada
tahap awal tentunya klien akan merasakan depresi yang amat mendalam. Selain
itu, perlu diberitahukan kepada keluarga untuk tidak merendahkan klien karena
dapat timbul tekanan yang lebih dalam lagi kepada klien sehingga akan
menimbulkan distress kepada klien sehingga mempengaruhi proses
penyembuhan klien. Oleh karena itu, perlu danya peran perawat yang lebih peka
terhadap perasaan klien dan keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai