Anda di halaman 1dari 4

STEP 7

1. Definisi :
Reaksi obat alergik adalah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.

2. Epidemiologi :
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus EOA tapi diperkirakan kejadian
alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
pemakaian oabt-obatan.

3. Etiologi :
Obat oral, suntikan, inhalasi, rectal, vagina dan topical.

4. Patogenesis dan klasifikasi


A. Pathogenesis :
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik.
Yang dimaksud dengan EOA adalah alergi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme
imunologik.
Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai
hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat itu berperan pada mulanya
sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan oleh berat molekulnya yang
rendah.
Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu
menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif. Secara umum metabolisme obat
dapat dianggap sebagai salah satu bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi dari
zat yang larut dalam lemak, non polar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang mudah
di ekskresi.
Terdapat 2 langkah untuk terjadinya hal ini :
 Reaksi fase I : reaksi oksidasi reduksi
 Reaksi fase II : reaksi konjugasi

Reaksi oksidasi reduksi umumnya melibatkan enzim sitokin P450, prostaglandin


sintetase dan macam peroksidase jaringan.

Reaksi fase II diperantai oleh enzim, misalnya hidrolase, glution- S-transferase (GST) dan
N-asetyl-transferase (NAT). Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus
bergabung dahulu dengan protein pembawa yang dalam sirkulasi atau protein jaringan
hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T
agar merangsang sel limfosit B membentuk antibody terhadap obat atau metabolitnya.

B. Klasifikasi
 Tipe I ( reaksi cepat, reaksi anafilaktik ):
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak
menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat
menimbulkan reaksi alergi. Antibodi yang terbentuk ialah antibody igE yang
mempunyai afintas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan
berupa degranulasi sel mas dan basofil dengan dilepaskannya bermacam-
macam efek antara lain histamine, serotonin, bradikinin, heparin, dan SRSA.
Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antaralain
urtikaria, dan yang lebih berat lagi adalah angioderma. Yang paling berbahaya
adalah terjadinya syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama
erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang igE-dependent.

 Tipe II ( reaksi sitotoksik )


Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat ( antigen ) yang memerlukan
penggambungan antara igG dan igM dipermukaan sel. Hal ini menyebabkan
efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen.
Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel
sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang
mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi
sitolisis atau sitotoksik. Contoh ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin,
sulfonamide, dan isoniazid.
EOA yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya
trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,
sefalosforin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamide, analgesic, dan antipiretik.

 Tipe III ( reaksi kompleks imun )


Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibody ( IgG dan IgM
) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen
yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-
enzim yang merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan
kemudian dideposit pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin, eritromisin,
sulfonamide, salisilat, dan isoniazid.

 Tipe IV ( reaksi alergik selular tipe lambat )


Reaksi ini melibatkan limfosit, APC dan sel langerhans yang mempersentasikan
antigen kepada limfosit T. Limfisit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu 12-48 jam setelah
pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.
Contoh reaksi tipe ini adalah dermatitis kontak alergik.
5. Gejala klinis :
 Bercak kemerahan akibat barbiturate. Mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki
 Eritema / morbiliformis kadang disertai demam, limfadenopati dan nyeri
 Gatal dari ringan hingga berat
 Skuama halus – kasar

6. Diagnosa
 Anamnesis yang teliti mengenai :
 Obat-obat yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang jamu
 Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah
masuknya obat
 Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril
 Kelainan kulit yang ditemukan :
 Distribusi menyebar dan simetris atau setempat
 Bentuk kelainan yang timbul : eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul,
eritroderma, eritema nodusum

7. Diagnosa banding :
 Sindroma steven Johnson
 NET

8. Penatalaksanaan

Pengobatan :
 Sistemik
 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan di bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin
RSCM/FKUI ialah tablet prednisone ( 1 tablet = 5mg). Pada kelainan urtikaris,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema
fikstum, dan P.E.G.A karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah
3 x 10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya 3 x 10 mg sampai 4 x 10
mg sehari.
 Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan
kortikosteroid.
 Topikal
Pengobatan topical bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah skering
atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat
diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus , misalnya mentol ½ - 1% untuki mengurangi rasa gatal. Kalau
keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu digunakan
kompres, misalnya kompres asam salisilat 1%
Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan
topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi kompres
dan jika kering dapat diberi krim hidrokortison 1% atau 2,5% .
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
skuamasi , dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.

9. Kompilkasi :
 Gagal jantung
 Hipotermia
 Syok anafilaktik
 dehidrasi

10. Prognosis :
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuhkan bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom steven Johnson, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

Anda mungkin juga menyukai