Proses pembesaran prostat ini terjadi secara perlahan seiring bertambahnya usia
sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi
testoteron menjadi dehidrotestoteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi
factor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang
kemudian menjadi hyperplasia kelenjar prostat. Arora P. Et al. “Care of
Elderly Patients with Chronic Kidney Disease”. Int Urol. Nephrol. 38
(2) : 363-70/2006.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan tersebut, sehingga akan
terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, secara otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sirkulasi atau devertikel. Fase
penebalan detrusor ini di sebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Purnomo
BB.Patofisiologi Konsep Penyakit Klinis. Jakarta:EGC; 2008.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi
yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain-
1
lain (kondisi khusus).
Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
1
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan
1
keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine. Jika
keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang
lain.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat
yang digunakan adalah:
1. α1-blocker
2. 5α-reductase inhibitor
3. Antagonis Reseptor Muskarinik
4. Phospodiesterase 5 inhibitor
5. Terapi Kombinasi
α1-blocker + 5α-reductase inhibitor atau α1-
blocker + antagonis reseptor muskarinik
6. Fitofarmaka
Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:
(1) retensi urine akut;
(2) gagal Trial Without Catheter (TwoC);
(3) infeksi saluran kemih berulang;
(4) hematuria makroskopik berulang;
(5) batu kandung kemih;
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian
4
atas.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien
1
yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Lain-lain
11. Gann PH. Risk factors for prostate cancer. Rev Urol 2002; 4 Suppl 5: S3–S10.
12. Wolk A. Diet, lifestyle and risk of prostate cancer. Acta Oncol 2005; 44: 277–
81
13. Kolonel L. Fat, meat, and prostate cancer. Epidemiol Rev 2001; 23: 72–81.
15. Ostrander EA, Udler MS. The role of the BRCA2 gene in susceptibility to
prostate cancer revisited. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2008; 17: 1843–
1848.
16. Cavanagh H, Rogers KMA. The role of BRCA1 and BRCA2 mutations in
prostate, pancreatic and stomach cancers. Hered Cancer Clin Pract 2015; 13: 16.
17. Plaskon LA, Penson DF, Vaughan TL, et al. Cigarette Smoking and Risk of
Prostate Cancer in Middle-Aged Men 1. 2003; 12: 604–609.
18. Huncharek M, Sue Haddock K, Reid R, et al. Smoking as a risk factor for
prostate cancer: A meta-analysis of 24 prospective cohort studies. Am J Public
Health 2010; 100: 693–701.
4d. Klasifikasi neuropati diabetes
4e. Faktor risiko neuropati diabetes
7. hubungan DM dan penggunaan insulin terhadap kasus
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pria dengan diabetes 1,5 kali
lebih beresiko mengalami BPH.
Sistopatik diabetik, sebuah komplikasi diabetes yang umum biasanya ditandai
dengan gangguan sensasi penuhnya kandung kemih, meningkatnya kapasitas, dan
menurunnya kontraktilitas kandung kemih. Hal ini diestimasukan terjadi pada
45% pasien dengan diabetes.
Hipotesis yang memungkinkan patofisiologi kejadian ini adalah meningkatnya
tonus simpatetik, stimulasi pertumbuhan prostat oleh insulin dan faktor tropik
lainnya, perubahan ekspresi hormon seks steroid, dan induksi inflamasi sistemik
serta stres oksidatif.
Sarma AV, Parsons JK. Diabetes and benign prostate hyperplasia: emerging
clinical connections. Current Urology Reports. 2009.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary tract
symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala
iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis
berkemih. Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia.
Gejala pasca berkemih berupa urine menetes (dribbling); hingga gejala yang
1,5
paling berat adalah retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan berkemih atau
sebaliknya. Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti antidepresan,
antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat menyebabkan peningkatan 2 – 3
5
skor International Prostate Symptom Score (IPSS).
1. Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ. Urologic diseases in America project:
benign prostatic hyperplasia. J Urol 2005, 173:1256–61.
5. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10.
Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB
Saunders Co. 2012.hal.2570-91.