PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui teori tentang kekerasan pada anak dan perempuan.
2. Untuk mendalami masalah tentang kekerasan pada anak dan perempuan.
3. Untuk mengetahui kasus dari tentang kekerasan pada anak dan perempuan serta cara
mengatasinya.
BAB II
KONSEP TEORI
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi
dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya
ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada
dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban
kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa
pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum
menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab
komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa
pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan
terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik
melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari
pembuat kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn
korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian
perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini sangat
diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian,
baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai
bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat
langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh
karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik
dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan selanjutnya
anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.
2) Solusi Pencegahan Kekerasan pada Anak
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan
dari orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
a. Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan
terhadap anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda
dengan memanjakan anak.
b. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral
pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak
menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
c. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar
bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa
mengenal anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu
dilakukan terhadp anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama
pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
d. Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang
yang kurang dikenal dan lain-lain.
e. Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang
anak tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan
dan karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi
pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.
2. Perlindungan Hukum dan Solusi Pencegahan Kekerasan pada Perempuan
1) Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban Kekerasan
Pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan
mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender:
Pasal 1 : tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin
mengakibatkan, kerugian fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap
perempuan, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan
sewenang-wenang, baik terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi.
Pasal 2 : menyatakan bahwa Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak terbatas
pada,tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau
dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini meliputi:
pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan
dengan kekerasan; perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin perempuan atau
pemotongan dan praktek-praktek tradisional lainnya berbahaya bagi perempuan; non-
kekerasan terhadap pasangan; kekerasan seksual yang berhubungan dengan eksploitasi;
pelecehan seksual dan intimidasi di tempat kerja, di sekolah dan di tempat lain,
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa (Rahmi : 2012).
Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk
kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, meliputi:
1. Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat
kelamin perempuan dan pemerkosaan.
2. Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual sekaligus
intimidasi,perdagangan manusia dan pelacuran paksa.\
3. Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu buruknya rancangan
dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak
hukum yang melanggar hukun, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk
pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan penguatan
gender yang tidak setara.
Selain itu ketidak pedulian negara dan penelantaran dalam memberikan dan
menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk bekerja, berpartisipasi,
pendidikan, dan akses kelayanan sosial (Rahmi : 2012).
2) Solusi Pencegahan Kekerasan pada Perempuan
Melihat adanya berbagai kekerasan yang selama ini terjadi baik di lingkungan
keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara, maka telah dibuat deklarasi komitmen
negara dan masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.Deklarasi
tersebut adalah:
1. Meningkatkan tanggung jawab semua pihak untuk menghentikan dan tidak
mentoleransi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2. Meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dan menciptakan rasa aman
kepada semua warga Negara khususnya perempuan.
3. Membangun gerakan bersama untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan
terhadap perempuan disegala lini kehidupan.
4. Mengupayakan penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi secara adil dan
tuntas termaksud menindak tegas pelaku kekerasan serta memberikan
perlindungan kepada korban dan saksi
Upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan cara :
1. Preventif, merupakan upaya struktural untuk menghilangkan akar penyebab
kekerasan terhadap perempuan yang berasal dari pembakuan nilai-nilai bias gender
yang ada dalam keluarga, masyarakat maupun negara, maka perlu dilakukan
deskontruksi (pembongkaran) nilai-nilai tersebut melalui proses penyadaran
masyarakat dan perubahan kebijakan negara.
2. Interventif, memberikan bantuan dan dampingan langsung kepada korban agar tidak
mengalami dampak jangka panjang.
Pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan antara
lain:
1. Masyarakat menyadari/mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai
masalah yang perlu diatasi.
2. Menyebarluaskan produk hukum tentang pelecehan seks di tempat kerja.
3. Membekali perempuan tentang penjagaan keselamatan diri.
4. Melaporkan tindak kekerasan pada pihak berwenang.
5. Melakukan aksi menentang kejahatan seperti kecanduan alkohol, perkosaan, dan
lain-lain melalui organisasi masyarakat.
Kemampuan yang perlu dimiliki bidan agar dapat berperan dalam mengatasi masalah
Kekerasan terhadap Perempuan dan penanganan korban adalah :
1. Memahami masalah kekerasan terhadap perempuan dan ketidakberdayaan korban,
yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan dan kemampuannya
dalam pengambilan keputusan.
2. Memberikan penyuluhan yang tepat dan meyakinkan perempuan bahwa berbagai
bentuk penyalahgunaan atau kekerasan terhadap pasangan tidak dapat diterima dan
karenanya tidak ada perempuan yang pantas untuk dipukul, dipaksa dalam
berhubungan seksual atau didera secara emosional.
3. Dapat melakukan anamnesis/bertanya kepada korban tentang kekerasan yang dialami
dengan cara simpatik, sehingga korban merasa mendapat pertolongan.
4. Memberikan rasa empati dan dukungan terhadap korban.
5. Dapat memberikan pelayanan medis, konseling, visum dan sesuai dengan kebutuhan
merujuk ke fasilitas dan lebih memadai dengan cepat dan tepat.
6. Memberi pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya
sesuai dengan kebutuhan, serta mencegah dampak serius terhadap kesehatan
reproduksi.
7. Dapat mengidentifikasikan korban kekerasan dan dapat menghubungkan mereka
dengan pelayanan dukungan masyarakat lainnya misalnya poltik LSM dan bantuan
lainnya.
8. Memberi perlindungan bagi korban atau saksi dari kekerasan, serangan pembalasan
atau stigmatisasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
1. Kasus Tragedi Rohingya
Dikutip dari : http://www.kompasiana.com//
Berikut ini adalah kronologi lengkap pemicu tragedi Rohingya dari surat kabar Myanmar
dan dari beberapa media internasional. Surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni
2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh
tiga orang pemuda:
1) Insiden Pemerkosaan dan Pembunuhan
“NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja sebagai
tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun, putri U Hla Tin, dari
perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak
dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju
Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei 2012 pukul 17:15.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U Win Maung,
saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum Acara Pidana pasal
302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian distrik Kyaukpyu dan personil
pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga
tersangka, yaitu Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin
Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim).
Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban
yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut
pengakuannya dia berbuat dipicu oleh kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan
berencana untuk merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan
Khochi, Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang
diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan membawanya
ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan
emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban.
Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para tersangka,
aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku tersebut ke tahanan
Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15.
Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine Kyauknimaw tiba di
Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku pembunuh diserahkan kepada
mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa mereka sudah dikirim ke tahanan.
Massa yang mendatangi kepolisian tidak puas dengan itu dan berusaha untuk masuk
kantor polisi. Polisi terpaksa harus menembakkan lima tembakan untuk membubarkan mereka.
Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan kantor polisi
menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan diikuti oleh pihak
kepolisian untuk mencegah terjadi keributan.
Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan klarifikasi untuk
menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor pada pukul 17:40.
Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke Desa
Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan sebesar 1 juta Kyat
(mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan, U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan
lima set jubah untuk pemakaman korban serta ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan
negara.
Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara, wakil
kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi Distrik berpartisipasi
dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan penduduk desa.
Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu mengadakan
diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan tersebut. Diskusi-diskusi
terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada para pembunuh dan membantu
mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.”
2) Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis
Menurut berita harian New Light dan beberapa blog orang Myanmar menyebutkan
bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut bukti forensik polisi dan juga saksi mata
yang melihat tubuh korban, ia diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan
tenggorokannya digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan
dimutilasi dengan pisau.
Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan kantor polisi di
mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburukl dan pemicu tragedi Ronghya adalah
pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada dalam sebuah bus di Taunggup dalam
perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada tanggal 4 Juni.”
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan
sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei,
sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-
bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai
di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim
telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam
sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus
berisi penuh sesak oleh penumpang.
Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di
persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik
penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam
tewas dan bus juga hancur.
Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan,
Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga
oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis
Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat
pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai
berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya
(yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.**[harja saputra]
2.4.2 Analisa Kasus
Dari kasus diatas jelas bahwa perempuan adalah korban dari kekerasan yang meliputi
tindakan fisik, psikologi maupun seksual. Dari segi fisik perempuan tersebut telah mengalami
penganiayaan yang pada akhirnya sampai pembunuhan. Dari segi psikologi perempuan tersebut
bisa mengalami gangguan mental, trauma terhadap hubungan seksual, disfungsi seksual. Dan dari
segi seksual jelas bahwa perempuan tersebut mengalami pelecehan seksual. Korban dari
perkosaan tersebut juga akan beresiko HIV/AIDS ataupun IMS. Kasus perkosaan dan
pembunuhan di atas telah melanggar Hak-Hak Reproduksi perempuan antara lain :
a. Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
b. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan,
perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
Selain itu juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu : a) Hak untuk hidup; b) Hak
atas keamanan seseorang; c) Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan; d) Hak atas kesehatan; e)
Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
Kasus pemerkosaan terhadap perempuan di daerah konflik bukanlah merupakan isu yang
baru. Kasus-kasus ini telah terjadi sejak pertama kali perang antar manusia berlangsung.
Perkosaan telah digunakan berkali-kali sebagai taktik atau senjata dalam perang. Pemerkosaan
merupakan bagian dari kekerasan berdasarkan gender atau yang lebih dikenal dengan
Gender Based Violence (GBV), namun GBV mencakup lebih luas tidak hanya berkaitan dengan
pemerkosaan. Perang dan GBV memiliki keterkaitan yang erat. Dimana perempuan seringkali
menjadi korban dalam jumlah besar. . Perang sering kali memberikan efek yang buruk bagi
rakyat sipil, terutama perempuan. Meskipun pada dasarnya baik perempuan maupun laki-laki
memiliki potensi yang sama menjadi korban, namun mereka mengalami dalam bentuk yang
berbeda. Laki-laki umumnya dipaksa untuk pergi berperang dan terbunuh di dalam aksi senjata,
sementara perempuan mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan,
perkosaan, perbudakan seksual dan pemaksaan prostitusi.
Terdapat berbagai definisi mengenai Gender Based Violence (GBV). Menurut UN
Commissioner for Refugees mendefinisikan GBV sebagai: “ gender-based violence (GBV) refers
to violence that targetsa person or a group of persons because of gender”. Dalam hal ini GBV
berarti kekerasan yang ditargetkan kepada seseorang atau sekelompok orang karena gender
mereka. Sedangkan Komite penghapusan Kekerasan terhadap perempuan mengartikan dengan
lebih luas, yaitu termasuk kepada tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental atau
seksual atau penderitaan, ancaman tindakan, serta paksaan dan perampasan kebebasan lainnya
berdasarkan gender mereka. Sedangkan menurut UNIFEM (United Nations Introduction dalam
“Women War Peace” GBV memasukkan konteks baru ke dalam pendefinisian GBV, yaitu
memasukkan unsur hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-lakidalam
masyarakat. Pada umumnya GBV ditimbulkan oleh laki-laki terhadap perempuan. Oleh karena
itu pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan
mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender: Pasal 1 : tindakan
kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik,
seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman dari tindakan
tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang, baik terjadi di publik ataupun dalam
kehidupan pribadi. Pasal2 : menyatakan bahwa Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak
terbatas pada, tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau
dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini meliputi: pelecehan
seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan dengan kekerasan;
perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin perempuan atau pemotongan dan praktek-
praktek tradisional lainnya berbahaya bagi perempuan; non-kekerasan terhadap pasangan;
kekerasan seksual yang berhubungan dengan eksploitasi; pelecehan seksual dan intimidasi di
tempat kerja, di sekolah dan di tempat lain, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa.
Jika didefinisikan sesuai dengan penggunaan kata, GBV tidak hanya melingkupi
perempuan, namun biasanya perempuan selalu menjadi korban, hal ini disebabkan perempuan
lebih rentan mengalami kekerasan. Hal ini muncul berkaitan dengan hubungan kekuasaan yang
tidak setara, baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat, bahkan negara. Oleh karena itu
muncul berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan GBV, seperti “kekerasan
seksual”, “kekerasan terhadap perempuan”, dan lainnya.
Meskipun konsep GBV seolah-olah khusus pada korban perempuan, namun laki-laki
dapat mengalami kekerasan berbasis gender ini. Namun, kekerasan yang mengalami lebih
kepada diskriminasi jika mereka menyimpang dari konsep “maskulinitas”. Dapat dikatakan
disini bahwa jika pria yang mengalami kekerasan dan diskriminasi gender hal ini disebabkan
ketika mereka tidak menunjukkan sisi ke-maskulinitas mereka seperti yang seharusnya.
Contohnya seperti yang dialami oleh para kaum LGBT. Menurut sebuah lembaga penelitian
Internasional secara keseluruhan di seluruh dunia, laki-laki memiliki tingkat kekerasan fisik
daripada wanita. Namun kekerasan ini diakibatkan oleh sesama mereka sendiri dalam perang,
perkelahian antar geng, kekerasan di sekolah dan jalanan. Sedangkan perempuan mengalami
kekerasan dari lawan jenis mereka. Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap
perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, meliputi:
1) Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat kelamin
perempuan dan pemerkosaan.
2) Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual sekaligus intimidasi,perdagangan
manusia dan pelacuran paksa.
3) Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan penegakan
hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hukum yang melanggar hukun,
kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan pengobatan perempuan korban
kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak setara. Selain itu ketidak pedulian negara dan
penelantaran dalam memberikan dan menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk
bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses kelayanan sosial.
Kasus-kasus GBV dapat ditemukan di negara-negara yang sedang berkonflik, baik itu
konflik internal maupun konflik eksternal negara. Menurut data dari UNFPA berkaitan dengan
kasus GBV di seluruh dunia yaitu, satu dari tiga wanita telah dipukuli dan dipaksa melakukan
hubungan seks. Baik itu oleh kenalan maupun anggota keluarga. Selanjutnya pelaku GBV
seringkali tidak tersentuh oleh hukum. Setiap tahun ratusan ribu perempuan dan anak-
anak diperdagangkan dan diperbudak, sedangkan jutaan lainnya menjadi objek praktek
berbahaya. Menurut hasil laporan dari Oxfam kanada terdapat 16 fakta mengenai GBV, yaitu:
a. Di seluruh dunia, sebanyak 1 dari setiap 3 wanita telah dipukuli, dipaksa melakukan hubungan
seks, atau dilecehkan dengan cara lain - yang paling sering oleh seseorang yang dikenalnya,
termasuk oleh suaminya atau anggota keluarga laki-laki.
b. Wanita lebih rentan terhadap kekerasan selama masa krisis karena ketidakamanan yang
meningkat.
c. 1 dari 5 wanita akan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalamhidupnya.
d. Sekitar 1 dari 4 wanita disalahgunakan selama kehamilan, yang menempatkan ibu dan anak
beresiko.
e. Hukum yang mempromosikan kesetaraan gender sering tidak diterapkan.
f. Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan
(FGM).
g. Sedikitnya 60 juta anak perempuan yang seharusnya dapat diharapkan untuk hidup yang hilang
dari berbagai populasi sebagai akibat dari aborsi atau kelalaian.
h. Lebih dari setengah juta perempuan terus meninggal setiap tahun dari kehamilan dan persalinan
yang berhubungan dengan tingkat infeksi HIV di kalangan perempuan meningkat pesat.
i. Pelaku kekerasan berbasis gender seringkali tidak dihukum.
j. Di seluruh dunia, perempuan dua kali lebih mungkin sebagai laki-laki untuk buta huruf,
membatasi kemampuan mereka untuk menuntut hak dan perlindungan.
k. Pernikahan dini dapat memiliki konsekuensi serius termasuk berbahaya, penolakan pendidikan,
masalah kesehatan, termasuk kehamilan prematur, yang menyebabkan tingginya tingkat
kematian ibu dan bayi. Ketidakseimbangan kekuasaan juga berarti bahwa pengantin muda tidak
dapat menegosiasikan penggunaan kondom atau protes ketika suami mereka terlibat dalam luar
nikah hubungan seksual.
l. Kekerasan terhadap perempuan merupakan menguras tenaga kerja produktif secara ekonomi.
m. Setiap tahun, diperkirakan 800.000 orang diperdagangkan melintasi perbatasan 80 persendari
mereka perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan dari mereka akhirnya terjebak dalam
perdagangan seks komersial.
n. Kekerasan berbasis gender juga berfungsi dengan niat atau efek untuk melanggengkan
kekuasaan laki-laki dan kontrol..
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persoalan kesehatan reproduksi bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi
wanita secara sempit dengan mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang
telah menikah, kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan
memperluas pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup
perempuan merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi. Secara tematik, ada lima kelompok
masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu kesehatan reproduksi itu sendiri,
keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS, seksualitas hubungan manusia dan
hubungan gender, dan remaja. Secara lebih spesifik, berbagai masalah dalam kesehatan
reproduksi adalah perawatan kehamilan, pertolongan persalinan, infertilitas, menopause,
penggunann kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik pada remaja maupun
pasangan yang telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan prostitusi,
homoseksualitas, gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada perempuan,
pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.
Berfungsinya sistem reproduksi wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses
yang terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah,
reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan,
dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi.
Akibat yang muncul dari GBV (Gender Based Violence) biasanya bersifat
menghancurkan, terutama bagi korbannya. Korban sering kali mengalami gangguan emosi,
mengalami gangguan mental serta kesehatan reproduksi yang buruk. Perempuan korban
kekerasan juga beresiko tinggi tertular HIV. Selain itu untuk jangka panjang para korban akan
memerlukan pelayanan kesehatan intensif. Tidak hanya bagi korban itu sendiri, GBV juga
memberikan dampak bagi anak-anak yang menjadi saksi. Mereka akan mengalami kerusakan
psikologis yang akan sulit untuk disembuhkan.
3.2 Saran
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh
hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran
kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan
seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju
penimgkatan kualitas hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Diah Widyatun (2012). Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi. Semarang. www.blogspot.com (16/04/13)
Imamah. 2009. Perempuan dan Kesehatan Reproduksi. Surabaya. Jurnal Kesetaraan dan Keadilan
Gender, Pusat Studi. Vol. IV Nomor 2 ( Hal 199–206)
Juliandi Harahap. 2003. Kesehatan Reproduksi. Sumatera Utara. www repository.usu.ac.id (17/04/13)
Rahmi Yulia.2012. Gender Based Violence in Internation. www.academia.edu (16/04/13)
Riska Asri Puspita Dewi (2012). Kesehatan Reproduksi.Surabaya www.id.scribd.com (16/04/13)
Sri Rahayu Sanusi (2005). Hak Kesehatan Reproduksi, Definisi, Tujuan, Permasalahan, dan Faktor-
faktor Penghambatnya. Sumatra Utara www.usu.ac.id (16/04/13)
widyaiswara (2009). Gender, kekuasaan, dan kesehatan Reproduksi www.bkkbn.go.id (16/04/13)
www.digilib.unimus.ac (16/04/13)
www.publikasi.umy.ac.id (16/04/13)