Anda di halaman 1dari 17

SATUAN ACARA PENYULUHAN

1. Pokok Bahasan : Kemoterapi


2. Sasaran : Pasien kemoterapi ruang 18 RSU Dr. Saiful Anwar Malang
3. Waktu dan Tempat
- Tempat : Ruang 18 RSU Dr. Saiful Anwar Malang
- Waktu : 09 s/d selesai
4. Metode : Ceramah dan Tanya Jawab
5. Media : Poster dan leaflet
6. Tujuan
 Tujuan Umum :
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan sasaran mampu mengerti dan
memahami tentang pentingnya kemoterapi bagi upaya penyembuhan penyakit.
 Tujuan Khusus :
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan sasaran mampu :
 Menjelaskan tentang definisi kemoterapi
 Menjelaskan tentang tujuan kemoterapi
 Menyebutkan jenis kemoterapi
 Menjelaskan persiapan kemoterapi
7.. Manfaat
 Manfaat bagi mahasiswa :
 Mahasiswa mengetahui lebih dalam mengenai kemoterapi.
 Mahasiswa mengetahui persiapan yang dilakukan sebelum pasien
menjalani kemoterapi.
 Manfaat bagi masyarakat :
 Meningkatkan pengetahuan sasaran mengenai kemoterapi.
 Sasaran mengetahui manfaat kemoterapi bagi penyembuhan
penyakitnya.
8. Materi (Terlampir)
 Menjelaskan tentang definisi kemoterapi
 Menjelaskan tentang tujuan dan manfaat kemoterapi
 Menjelaskan tentang jenis kemoterapi
 Menjelaskan tentang persiapan sebelum kemoterapi
 Menjelaskan efek samping kemoterapi
9. Denah

Keterangan
: LCD

: PESERTA

: PEMATERI
10. Tahap Kegiatan Penyuluhan
Tahap Kegiatan Penyuluh Kegiatan Sasaran Metode &
Media
Pembukaan  Memperkenalkan diri  Menjawab salam Ceramah
(5 menit)  Menyampaikan maksud dan  Memperhatikan dan dan tanya
tujuan dilaksanakannya menjawab pertanyaan jawab
penyuluhan
 Menggali pengetahuan
sasaran tentang materi yang
akan disampaikan

Penyajian  Menjelaskan tentang  Menyimak penjelasan Ceramah


(10 menit) definisi kemoterapi  Mengajukan pertanyaan dan tanya
 Menjelaskan tentang tujuan seputar materi jawab
dan manfaat kemoterapi -Poster
 Menjelaskan tentang jenis -Leaflet
kemoterapi
 Menjelaskan tentang
persiapan sebelum
kemoterapi
 Menjelaskan efek samping
kemoterapi

Penutup  Memperhatikan Ceramah


 Memberi kesimpulan materi
(5 menit) penjelasan dan tanya
 Menyampaikan hasil
 Menjawab pertanyaan jawab
evaluasi dan umpan balik
dari penyuluh Leafleat
 Menutup acara penyuluhan

11. Evaluasi :
Evaluasi diberikan dengan cara memberikan pertanyaan kepada sasaran mengenai
hal-hal yang telah dijelaskan oleh penyuluh. Adapun kriteria dari evaluasi sebagai berikut
1. Sasaran mampu menjawab semua pertanyaan dengan benar dan lengkap yang
diberikan secara rinci.
2. Sasaran mampu menjawab semua pertanyaan dengan benar dan singkat.
3. Sasaran mampu menjawab beberapa pertanyaan dengan benar dan singkat.
4. Sasaran mampu menjawab pertanyaan setelah diberiakan bantuan.
Materi penyuluhan

KEMOTERAPI DALAM GINEKOLOGI


1.1 Gambaran Umum
1.1.1 Definisi
Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat
sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel
kanker. Kemoterapi merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan
memberikan zat/obat yang mempunyai khasiat membunuh sel kanker atau
menghambat proliferasi sel-sel kanker dan diberikan secara sistematik.
Obat anti kanker yang artinya penghambat kerja sel (Munir, 2005).
Untuk kemoterapi bisa digunakan satu jenis sitostika. Pada
sejarah awal penggunaan kemoterapi digunakan satu jenis sitostika, namun
dalam perkembangannya kini umumnya dipergunakan kombinasi sitostika atau
disebut regimen kemoterapi, dalam usaha untuk mendapatkan hasiat lebih
besar (Admin, 2009).
1.1.2 Tujuan
1) Pengobatan.
2) Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.
3) Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.
4) Mengurangi komplikasi akibat metastase.
1.1.3 Manfaat
1) Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
kemoterapi atau beberapa jenis kemoterapi.
2) Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3) Mengurangi gejala
Bila kemoterapi tidak dapat menghilangkan kanker, maka kemoterap yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita,
seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta
memperkecil ukurran kanker pada daerah yang diserang.
1.2 Prinsip kerja obat kemoterapi (sitostatika) terhadap kanker.
Menurut Munir (2005), sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang
digunakan saat ini bekerja terutama terhadap sel-sel kanker yang sedang berproliferasi,
semakin aktif sel-sel kanker tersebut berproliferasi maka semakin peka terhadap
sitostatika hal ini disebut Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat proliferasinya
maka kepekaannya semakin rendah , hal ini disebut Kemoresisten. Kemoterapi bekerja
dengan cara:
1. Merusak DNA dari sel-sel yang membelah dengan cepat, yang dideteksi oleh jalur
p53/Rb, sehingga memicu apoptosis
2. Merusak aparatus spindel sel, mencegah kejadian pembelahan sel.
3. Menghambat sintesis DNA
1.3 Obat-Obat Kemoterapi
Menurut Munir (2005), jenis obat yang digunakan pada tindakan kemoterapi ada
beberapa macam, diantaranya adalah :
1) Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik
Anthrasiklin obst golongsn ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti
sel, sehingga sel-sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi.
2) Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti sel, yang
berakibat menghambat sintesis DNA.
3) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja
pada gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.
4) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat sintesis
protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel
kanker tersebut.
1.4 Pola pemberian kemoterapi (Munir, 2005)
1) Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel
kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor) atau
pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga dengan
pengobatan penyelamatan.
2) Kemoterapi Adjuvan
Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan atau
radiasi, tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa
atau metastase kecil yang ada (micro metastasis).
3) Kemoterapi Primer
Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan pada
kanker yang bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu sebelum pengobatan
yang lain misalnya bedah atau radiasi.
4) Kemoterapi Neo-Adjuvan
Diberikan mendahului/sebelum pengobatan /tindakan yang lain seperti
pembedahan atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi.
Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi
atau radiasi akan lebih berhasil guna.
1.5 Cara pemberian obat kemoterapi (Munir, 2005)
1) Intra vena (IV)
Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus IV pelan-
pelan sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 – 120 menit, atau dengan
continous drip sekitar 24 jam dengan infusion pump upaya lebih akurat
tetesannya.
2) Intra tekal (IT)
Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan tumor dalam
cairan otak (liquor cerebrospinalis) antara lain MTX, Ara.C.
3) Radiosensitizer, yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum radiasi, tujuannya
untuk memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl kemoterapi ini antara lain
Fluoruoracil, Cisplastin, Taxol, Taxotere, Hydrea.
4) Oral
Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran®, Alkeran®, Myleran®,
Natulan®, Puri-netol®, hydrea®, Tegafur®, Xeloda®, Gleevec®.
5) Subkutan dan intramuskular
Pemberian sub kutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah L-
Asparaginase, hal ini sering dihindari karena resiko syok anafilaksis. Pemberian
per IM juga sudah jarang dilakukan, biasanya pemberian Bleomycin.
6) Topikal
7) Intra arterial
8) Intracavity
9) Intraperitoneal/Intrapleural
Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak
pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian intrapleural
yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk memusnahkan sel-sel kanker
dalam cairan pleura atau untuk mengehntikan produksi efusi pleura hemoragis
yang amat banyak , contohnya Bleocin.
1.6 Prosedur Tindakan Kemoterapi Pada Pasien (Herdata, 2009)
1) Persiapan Pasien
Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang
meliputi:
a) Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit.
b) Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.
c) Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila serum
creatinin meningkat.
d) Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum)
e) EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin).
2) Syarat pasien yang layak mendapat tindakan kemoterapi :
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang
apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut :
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu
status penampilan <= 2. Status Penampilan Penderita Ca (Performance Status)
ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyakit kanker semakin
berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor
prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien
dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG
( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sebagai berikut:
a. Grade 0: masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas
kerja dan pekerjaan sehari-hari.
b. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja
kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
c. Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk
tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat
melakukan pekerjaan lain.
d. Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
e. Grade 4: Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul
hanya di kursi atau tiduran terus
2. Jumlah lekosit >=3000/ml
3. Jumlah trombosit>=120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 gram %
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) (Tes Faal Ginjal)
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ).
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
9. Keadaan umum cukup baik.
10. Penderita mengerti tujuan dan efek samping yang akan terjadi, informed
concent.
11. Faal ginjal dan hati baik.
12. Diagnosis patologik
13. Jenis kanker diketahui cukup sensitif terhadap kemoterapi.
14. Riwayat pengobatan (radioterapi/kemoterapi) sebelumnya.
3) Prosedur Pemberian Kemoterapi
1. Periksa pasien, jenis obat, dosis obat, jenis cairan, volume cairan, cara
pemberian, waktu pemberian dan akhir pemberian.
2. Pakai proteksi : gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sarung tangan dan
sepatu.
3. Lakukan tehnik aseptik dan antiseptic
4. Pasang pengalas plastik yang dilapisi kertas absorbsi dibawah daerah tusukan
infuse
5. Berikan anti mual ½ jam sebelum pemberian anti neoplastik (primperan, zofran,
kitril secara intra vena)
6. Lakukan aspirasi dengan NaCl 0,9 %
7. Beri obat kanker secara perlahn-lahan (kalau perlu dengan syringe pump) sesuai
program
8. Bila selesai bilas kembali dengan NaCl 0,9%
9. Semua alat yang sudah dipakai dimasukkan kedalam kantong plastik dan diikat
serta diberi etiket.
10. Buka gaun, topi, asker, kaca mata kemudian rendam dengan deterjen. Bila
disposible masukkkan dalam kantong plasrtik kemudian diikat dan diberi etiket,
kirim ke incinerator / bakaran.
11. Catat semua prosedur
12. Awasi keadaan umum pasien, monitor tensi, nadi, RR tiap setengah jam dan
awasi adanya tanda-tanda ekstravasasi.
1.7 Efek samping kemoterapi (Herdata, 2008)
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut.
Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum tulang, folikel
rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya
sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama
dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan
salah satu efek samping pemberian kemoterapi.
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi
tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan
tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu
faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan
keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak
kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala
karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi
jantung, paru dan lain sebagainya.
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi,
pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka
dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ
tersebut lebih minimal. Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat,
dosis pada setiap pemberian, maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang
timbul pada setiap penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama,
faktor nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna. Efek samping
kemoterapi dipengaruhi oleh :
1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh
tertentu.
2. Dosis.
3. Jadwal pemberian.
4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ
tertentu.
Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas :
1. Efek amping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24 jam
pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.
2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam beberapa
hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis.
3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul dalam
beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati.
4. Efek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects) yang timbul dalam
beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.

Efek samping Kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi sangat kuat, dan
tidak hanya membunuh sel-sel kanker, tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama
sel-sel yang membelah dengan cepat. Karena itu efek samping kemoterapi muncul
pada bagian-bagian tubuh yang sel-selnya membelah dengan cepat. Efek samping
dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah
pengobatan.
Efek samping yang selalu hampir dijumpai adalah gejala gastrointestinal,
supresi sumsum tulang, kerontokan rambut. Gejala gastrointestinal yang paling utama
adalah mual, muntah, diare, konstipasi, faringitis, esophagitis dan mukositis, mual dan
muntah biasanya timbul selang beberapa lama setelah pemberian sitostatika dab
berlangsung tidak melebihi 24 jam.
Gejala supresi sumsum tulang terutama terjadinya penurunan jumlah sel darah
putih (leukopenia), sel trombosit (trombositopenia), dan sel darah merah (anemia),
supresi sumsum tulang belakang akibat pemberian sitistatika dapat terjadi segera atau
kemudian, pada supresi sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit
mencapai nilai terendah pada hari ke-8 sampai hari ke-14, setelah itu diperlukan waktu
sekitar 2 hari untuk menaikan kadar laukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang
yang terjadi kemudian penurunan kadar leukosit terjadi dua kali yaitu pertama-tama
pada minggu kedua dan pada sekitar minggu ke empat dan kelima. Kadar leukosit
kemudian naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati normal pada minggu keenam.
Leukopenia dapat menurunkan daya tubuh, trombositopenia dapat mengakibatkan
perdarahan yang terus-menerus/ berlabihan bila terjadi erosi pada traktus
gastrointestinal.
Kerontokan rambut dapat bervariasi dari kerontokan ringan dampai pada
kebotakan. efek samping yang jarang terjadi tetapi tidak kalah penting adalah
kerusakan otot jantung, sterilitas, fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati,
sklerosis kulit, reaksi anafilaksis, gangguan syaraf, gangguan hormonal, dan
perubahan genetik yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker baru.
Kardiomiopati akibat doksorubin dan daunorubisin umumnya sulit diatasi,
sebagian besar penderita meninggal karena “pump failure”, fibrosis paru umumnya
iireversibel, kelainan hati terjadi biasanya menyulitkan pemberian sitistatika
selanjutnya karena banyak diantaranya yang dimetabolisir dalam hati, efek samping
pada kulit, saraf, uterus dan saluran kencing relatif kecil dan lebih mudah diatasi.
Kemoterapi dapat mempengaruhi sel normal di lambung, sel lambung ini
kemudian mengirim sinyal ke ” pusat muntah” di otak, karena sinyal ini direspon
berbeda sehingga memicu mual dan muntah. Ada kala kemoterapi akan langsung
bekerja di “pusat muntah” di otak. Mekanisme ini juga akan memicu mual dan
muntah.

1.9 Langkah-Langkah Pemberian Obat Kemoterapi Oleh Perawat


Semua obat dicampur oleh staf farmasi yang ahli dibagian farmasi dengan
memakai alat “biosafety laminary airflow” kemudian dikirim ke bangsal perawatan
dalam tempat khusus tertutup. Diterima oleh perawat dengan catatan nama pasien, jenis
obat, dosis obat dan jam pencampuran.
Menurut Admin (2009), bila tidak mempunyai biosafety laminary airflow maka,
pencampuran dilakukan diruangan khusus yang tertutup dengan cara :
1. Meja dialasi dengan pengalas plastik diatasnya ada kertas penyerap atau kain
2. Pakai gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sepatu.
3. Ambil obat sitostatika sesuai program, larutkan dengan NaCl 0,9%, D5% atau intralit.
4. Sebelum membuka ampul pastikan bahwa cairan tersebut tidak berada pada puncak
ampul. Gunakan kasa waktu membuka ampul agar tidak terjadi luka dan
terkontaminasi dengan kulit. Pastikan bahwa obat yang diambil sudah cukup, dengan
tidak mengambil 2 kali
5. Keluarkan udara yang masih berada dalam spuit dengan menutupkan kapas atau kasa
steril diujung jarum spuit.
6. Masukkan perlahan-lahan obat kedalam flabot NaCl 0,9 % atau D5% dengan volume
cairan yang telah ditentukan
7. Jangan tumpah saat mencampur, menyiapkan dan saat memasukkan obat kedalam
flabot atau botol infus.
8. Buat label, nama pasien, jenis obat, tanggal, jam pemberian serta akhir pemberian atau
dengan syringe pump.
9. Masukkan kedalam kontainer yang telah disediakan.
10. Masukkan sampah langsung ke kantong plastik, ikat dan beri tanda atau jarum bekas
dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk menghindari tusukan.

1.11 Penatalaksanaan Kemoterapi Berdasarkan Evidence Based


1. Kemoterapi pada PTG (Unsri, 2008)
Tatalaksana PTG adalah berdasarkan staging dan skoring. Kemoterapi adalah
modalitas utama pada pasien dengan PTG. Angka keberhasilan terapi pada PTG risiko
rendah adalah 100% dan lebih dari 80% pada PTG risiko tinggi. Andrijono,
melaporkan angka keberhasilan terapi pada PTG nonmetastasis 95,1%, risiko rendah
83,3% , risiko tinggi hanya 50 % dengan angka kematian karena PTG berkisar 8-9%.
Kemoterapi pada PTG risiko rendah adalah kemoterapi tunggal, dengan pilihan utama
Methotrexate. Kemoterapi tunggal lain yang dapat digunakan adalah
Dactinomycin.Sedangkan pada PTG risiko tinggi menggunakan kemoterapi kombinasi
diberikan kombinasi EMA-CO
(etoposide,methotrexate,actinomycin,cyclophosphamaide dan oncovin) sebagai terapi
primer atau menggunakan kombinasi ME (Metothrexate, Etoposide ), EP ( Etoposide,
Cisplatinum).
Evakuasi molahidatidosa dilakukan sesaat setelah diagnosis ditegakkan,hal
didasarkan perhitungan bahwa evakuasi dilakukan untuk menghindari abortus mola
sehingga perlu tingakan akut, menghindari komplikasi hipertiroid atau perforasi serta
untuk memperoleh jaringan untuk diagnosis histopatologi. Dengan perkembangan
kemoterapi yang mempunyai angka keberhasilan terapi yang tinggi, kuretase cukup
dilakukan satu kali.
Histerektomi dilaporkan dilakukan pada kasus molahidatidosa usia tua dan
terbukti mengurangi angka kematian dari koriokarsinoma. Histerektomi juga
dilakukan pada keadaan darurat pada kasus perforasi,pada kasus metastasis liver, otak
yang tidak respon terhadap kemoterapi serta pada kasus PSTT.
Penyakit trofoblas gestasional adalah radiosensitive, karena radiasi mempuyai
efek tumorosidal serta hemostatik, Radioterapi dapat dilakukan pada metastasis otak
atau pada pasien yang tidak bisa diberikan kemoterapi karena alasan medis.
a. Penatalaksanaan PTG.
1. Stadium I.
Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya adalah
berdasarkan fertilitas penderita, yaitu : histerektomi + kemoterapi. Jika sistem
anak fertilitas, histerektomi dengan adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin
merupakan pengobatan primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan harus
memenuhi 3 alasan :
a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi
b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran darah dan
jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor pada saat opertasi.
c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada saat operasi.
Pada penatalaksanaan PTG Stadium satu, kemoterapi aman diberikan
pada saat histerektomi tanpa peningkatan risiko perdarahan atau sepsis. Pada 1
seri yang terdiri dari 29 pasien yang diterapi pada satu institusi dengan
histerektomi primer dan adjuvant kemoterapi tunggal, semuanya menunjukkan
remisi komplit tanpa tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan pada
stadium I PSTT. Sebab PSTT resisten terhadap terapi , histerektomi hanya
dilakukan pada penyakit yang nonmetastatik dan merupakan pengobatan
kuratif. Pada penderita PSTT metastatik yang pernah dilaporkan mengalami
remisi setelah kemoterapi.
a. Kemoterapi tunggal
Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan stadium I
yang masih membutuhkan fertilitas. pada suatu penerlitian dengan
kemoterapi tunggal yang diberikan pada 399 pasien dengan stadium I
PTG, 373 ( 93,5%) mengalami respon komplit. Dua puluh enam pasien
yang resisten mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif.
Pada pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan masih
membutuhkan sistem reproduksi , dapat diberikan kemoterapi kombinasi.
Jika pasien resisten terhadap kemoterapi tunggal dan kemoterapi kombinasi
dan masih ingin mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan
reseksi uterus lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif, MRI
atau arteriogram mungkin menolong mendefinisikan bagian tumor yang
resisten.
b. Kemoterapi kombinasi
Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka kesembuhan
pada semua pasien dengan PTG risiko rendah dapat diharapkan, tetapi pada
PTG risiko tinggi kesembuhan hanya berkisar 52-89% bahkan dengan
MTX-Actinomisin-D dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai
terapi primer PTG risiko tinggi yang metastatik.
Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa siklofosfamid, Vinkristin
adalah kombinasi yang dapat ditolerir dan efektif dalam mengobati wanita
dengan PTG risiko tinggi. Efek samping MEA yang didapatkan adalah
mielosupresi, alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea ( grade 2). Leuko
dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94 siklus.
Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif dan dapat
ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan terbaru dari RS
Charing Cross terhadap regimen ini menunjukkan 78% remisi komplit,
86% tingkat survival 5 tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali
untuk keganasan. ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang
sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita dengan PTG
risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin karena pada penyakit jarang
ini ada tingkat respon yang tinggi terhadap banyak regimen terapi.
Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah regimen
kemoterapi yang mengandung etoposide telah dilaporkan. Risiko leukemia
mieloid, ca kolon dan ca mammae secara bermakna meningkat. Walaupun
mekanisme keganasan kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi
dengan etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu di
follow up lebih ketat.
2. Stadium II dan stadium III.
Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi tunggal, dan
pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi kombinasi primer yang intensif.
a. Metastasis ke pelvis dan vagina
Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang diterapi dengan
kemoterapi tunggal memberikan remisi komplit sebanyak 16 dari 18 (
88,9%) pada penderita dengan risiko rendah. Kontrasnya hanya 2 dari 8
orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami remisi dengan kemoterapi
tunggal dan lainnya dengan kemoterapi kombinasi. Metastasis vagina
mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat sebab mempunayai
vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini substansial akan dapat
dikontrol dengan melokalisir vagina atau dengan lokal eksisi yang luas.
Embolisasi Arteriografi arteri hipogastrika mungkin bisa mengontrol
perdarahan metastasis vagina.
b. Metastasis ke paru-paru.
Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III yang
diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi gonadotropin
diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71 dari 85 ( 83,5%) pasien
dengan risiko rendah. Semua pasien yang resisten terhadap kemoterapi
tunggal sebagian mengalami remisi dengan kemoterapi kombinasi.
Torakotomi merupakan batas pemanfaatan pada stadium III. Jika pasien
mengalami metastasis pulmo yang persisten dan diberikan kemoterapi
intensif, bagaimana pun torakotomi mungkin bisa mengeksisi fokus yang
resisten. Pada penderita resisten yang telah dilakukan torakotomi,
kemoterapi harus diberikan pada postoperatif untuk mengobati
mikrometasis yang tersembunyi.
c. Histerektomi.
Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan metastasis
untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis. Selanjutnya pada pasien-
pasien yang tumornya meluas, histerektomi mungkin secara substansial
menghambat tumor trofoblas dan membatasi untuk pemberian kemoterapi.
d. Follow-up
Semua pasien dengan stadium I sampai stadium III harus difollow-up
dengan :
1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal selama 3
minggu berturut-turut.
2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12 bulan
berturut-turut.
3. Kontrasepsi yang efektif selama interval follow-up hormonal.
3. Stadium IV.
Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk tumbuh
secara progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi multimodalitas. Semua
pasien stadium IV harus diterapi secara primer dengan kemoterapi intensif dan
penggunaan radioterapi yang selektif dan pembedahan.
a. Metastasis hepar
Penanganan metastasis hepar sebagian sulit. Pada pasien-pasien
Yang resisten dengan kemoterapi sistemik, infus arteri hepatika mungkin
menghambat remisi komplit pada kasus-kasus yang selektif. Reseksi hepar
mungkin bisa juga untuk mengontrol perdarahan akut atau untuk mengeksisi
fokus tumor yang resisten. Tehnik terbaru tentang embolisasi arteri mungkin
diperlukan untuk intervensi pembedahan.
b. Metastasis cerebral.
Jika didiagnosis metastasis cerebral, dilakukan irradiasi seluruh
otak (3000 cGy dengan 10 fraksi). Risiko perdarahan spontan cerebral
mungkin bisa terjadi karena kombinasi kemoterapi dan irradiasi otak sebab
keduanya mungkin bersifat hemostatik dan bakterisidal. Remisi terbaik
yang dilaporkan pada pasien dengan metastasis kranial yang diobati secara
intravena yang intensif dengan kombinasi kemoterapi dan metotreksat
intratekal.
c. Kraniotomi.
Kraniotomi dilakukan untuk dekompresi akut atau untuk mengontrol
perdarahan. Weed dkk melaporkan bahwa kraniotomi untuk mengontrol
perdarahan pada 6 pasien, 3 diantaranya mengalami remisi komplit. Pasien
dengan metastasis cerebral yang mengalami remisi umumnya tidak
mempunyai sisa defisit neurologis.
d. Follow-up.
1. Nilai hCG tiap minggu sampai normal selama 3 minggu berturut-turut.
2. Nilai hCG setiap bulan sampai normal selama 24 bulan berturut.

2. Kemoterapi pada kanker serviks


Penetapan pengobatan kanker serviks berdasarkan Standar Pelayanan Medik
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2006) :
1. Stadium 0
a. Bila fungsi uterus masih diperlukan: cryosurgery, konisasi, terapi laser
atau LLETZ (Large Loop Electrocauter Transformation Zone).
Histerektomi diindikasikan pada patologi ginekologi lain, sulit pengamatan
lanjut, dan sebagainya
b. Pengamatan Pap Smear lanjut pada tunggul serviks dilakukan tiap tahun.
Dengan kekambuhan 0,4%
2. Stadium Ia
Skuamousa :
a. Ia1 – dilakukan konisasi pada pasien muda, histerektomi vaginal/abdominal
pada pasien usia tua.
b. Ia2 – histerektomi abdomen dan limfadenektomi pelvik, modifikasi
histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik
c. Keadaan diatas PLUS tumor anaplastik atau invasi vaskuler–limfatik,
dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik. Bila ada
kontraindikasi operasi, dapat diberikan radiasi.
3. Stadium Ib/IIa
a. Bila bentuk serviks berbentuk “barrel”, usia <50 tahun, lesi primer <4 sm,
indeks obesitas (I.0) <0,70 dan tidak ada kontraindikasi operasi, maka
pengobatan adalah operasi radikal. Satu atau dua ovarium pada usia muda
dapat ditinggalkan dan dilakukan ovareksis keluar lapangan radiasi sampai
diatas L IV. Post operatif dapat diberikan ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi
atau gabungan) bila :
 Radikalitas operasi kurang
 Kelenjar getah bening pelvis/paraaorta positif
 Histologik : small cell carcinoma
 Diferensiasi sel buruk
 Invasi dan atau limfotik vaskuler
 Invasi mikroskopik ke parametria
 Adenokarsinoma/adenoskuamosa
b. Bila usia 50 tahun, lesi >4 sm, I.0 >0,70, atau penderita menolak/ada
kontraindikasi operasi maka diberikan radiasi. Bila kemudian ada resistensi,
maka pengobatan selanjutnya adalah histerektomi radikal.
4. Stadium IIb-IIIb
a. Diberikan radiasi. Pada risiko tinggi kemoterapi dapat ditambah untuk
meningkatkan respon pengobatan, dapat diberikan secara induksi atau
simultan. Secara induksi: bila radiasi diberikan 4-6 minggu sesudah
kemoterapi. Secara simultan: bila radiasi diberikan bersamaan dengan
kemoterapi.
b. Dilakukan CT-Scan dahulu, bila kelenjar getah bening membesar ≥1,5 sm
dilakukan limfadenektomi dan dilanjutkan dengan radiasi.
c. Dapat diberikan kemoterapi intra arterial dan bila respon baik dilanjutkan
dengan histerektomi radikal atau radiasi bila respon tidak ada. 45Stadium
IVa
d. Radiasi diberikan dengan dosis paliatif, dan bila respon baik maka radiasi
dapat diberikan secara lengkap. Bila respon radiasi tidak baik maka
dilanjutkan dengan kemoterapi. Dapat juga diberikan kemoterapi sebelum
radiasi untuk meningkatkan respon radiasi.
5. Stadium IVb
a. Bila ada simptom dapat diberikan radiasi paliatif dan bila memungkinkan
dilanjutkan dengan kemoterapi.
b. Bila tidak ada simptom tidak perlu diberikan terapi, atau kalau
memungkinkan dapat diberikan kemoterapi.
c. Catatan : bila terjadi perdarahan masif yang tidak dapat terkontrol, maka
dilakukan terapi embolisasi (sel form) intra arterial (iliaka
interna/hipogastrika).

DAFTAR PUSTAKA

Scribd. 2012. “SAP KEMOTERAPI” https://www.scribd.com/doc/98772331/Sap-Kemoterapi


Di akses 8 April 2018. Pukul 08.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai