Anda di halaman 1dari 2

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng (lahir di Parepare, Sulawesi


Selatan, 25 Juni 1936; umur 80 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia
menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21
Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai
presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan
dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan
Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. Saat ini namanya
diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Gorontalo, menggantikan nama Universitas
Negeri Gorontalo.

KELUARGA DAN PENDIDIKAN


Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil
Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian
berasal dari etnis Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis, sedangkan ibunya beretnis Jawa.
R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang
bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah.[3]
B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua
orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.[4]
Ia pernah berilmu di SMAK Dago.[5] Ia belajar teknik mesin di Universitas Indonesia
Bandung (Sekarang Institut Teknologi Bandung) tahun 1954. Pada 1955–1965 ia melanjutkan
studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman
Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan
predikat summa cum laude.

PEKERJAAN DAN KARIER


Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang
berpusat di Hamburg, Jerman, sehingga mencapai puncak karier sebagai seorang wakil presiden
bidang teknologi. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan mantan
presiden Soeharto.
Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai
Maret 1998. Sebelum menjabat sebagai Presiden (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), B.J. Habibie
adalah Wakil Presiden (14 Maret 1998 – 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di
bawah Presiden Soeharto. Ia diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia), pada masa jabatannya sebagai menteri.

MASA KEPRESIDENAN
Habibie mewarisi kondisi keadaan negara kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto pada
masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh
wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk
sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana
Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi.
Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kukuh bagi Indonesia,
pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai
Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi
daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan
akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi
daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi
masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional.
Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "bila Presiden
mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti
oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa
pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak konstitusional. Hal ini bertentangan dengan ketentuan
pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "sebelum presiden memangku jabatan maka
presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR".

PASCA-KEPRESIDENAN
Setelah ia tidak menjabat lagi sebagai presiden, ia lebih memilih tinggal di Jerman daripada di
Indonesia. Tetapi, ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai
penasihat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang
didirikannya Habibie Center.
B. J. Habibie juga menjabat sebagai Komisaris Utama dari PT. Regio Aviasi Industri, perusahaan
perancang pesawat terbang R-80.

Anda mungkin juga menyukai