Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Totok Sunyoto Ismail, S.H., M.S.
Oleh: Ahmad Syafiq C2A017052 Teknik Mesin Karyawan
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018 Isu Kewarganegaraan Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi ini, Indonesia mengalami perkembangan diberbagai bidang, seperti perkembangan di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang-bidang lainnya. Sehingga dengan adanya hal tersebut mengakibatkan banyaknya warga negara asing dapat menetap di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Dengan menetapkan warga negara asing di Indonesia akan terjadi percampuran kebudayaan, demikian pula dengan warga Indonesia yang tinggal diluar negeri, antara satu dengan yang lainnya akan terjalin suatu hubungan emosional dan tumbuhlah benih kasih sayang atau cinta diantara mereka sehingga timbul keinginan dalam hati mereka untuk meneruskan hubungannya sampai pada perkawinan. Tidak sedikit warga negara asing yang melakukan perkawinan dengan warga negara Indonesia meskipun berbeda kewarganegaraan. Setiap orang mempunyai hak untuk melakukan perkawinan, membentuk rumah tangga yang bahagia, dan melanjutkan keturunan. Perkawinan campuran telah, merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia1. Menurut survei yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia, dengan tenaga kerja dari negara lain2. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia, sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang- undangan di Indonesia. Berbagai masalah yang dihadapi Negara Indonesia ternyata membawa imbas kepada perubahan dalam berbagai hal Diantaranya adalah adanya perubahan UU No 62 Tahun 1958 menjadi UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Perubahan tersebut juga mendasari adanya perubahan aturan dalam Keimigrasian Indonesia. Fenomena ini merupakan fenomena yang harus disikapi bersama oleh banyak kalangan. Perubahan ini tentu akan membawa dampak positif atau negatif terhadap setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Kedua sisi ini tentu selalu berdampingan. Untuk menghindari hal itu, agar semua komponen aktif mengamati bahkan menilai perubahan yang terjadi. Karena bagaimanapun baiknya, UU kalau memang belum diketahui dan dipahami seluruh warga negara, maka akan membawa dampak tersendiri, terutama pada hubungan antara Indonesia umumnya dengan Negara lain. Kalau ditinjau dari hubungan antar wilayah, tentu bervariatif. Karena bagaimana pun juga, setiap wilayah akan memberikan tanggapan berbeda dengan pemberlakukan UU No.12 Tahun 2006. Ini memang memerlukan pengkajian secara mendalam. Dalam konsep sosialisasi, terdapat beberapa komponen yang mengalami reaksi terhadap perubahan pemberlakuan UU tersebut. Pertama, adalah masyarakat sendiri, di mana aturan yang terlalu ketat akan mempengaruhi sistem kependudukan di wilayah tersebut. Warganegara Indonesia yang sudah melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing. Dengan terjadinya perubahan ini, maka secara pribadi mereka tentu akan kembali melakukan koordinasi dengan negara asalnya. Dan ada kemungkinan, penerimaan mereka pun akan semakin kurang bersahabat. Langkah yang harus diambil, adalah lebih cepat melakukan koordinasi dengan negara sahabat serta negara yang kebanyakan warga negaranya telah membaur menjadi warga negara Indonesia atau masih belum masuk menjadi WNI. Ini merupakan suatu tantangan untuk melaksanakan misinya merubah aturan lama. Hal ini juga akan mengakibatkan semakin banyaknya warga negara Indonesia yang memegang kewarganegaraan ganda. Dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan lebih mudah melakukan kejahatan dan melarikan diri ke negara milik salah satu pasangan. Selain itu proses penanganan keimigrasian pun akan semakin kurang efektif. Karena semakin ketat aturannya, biasanya diikuti oleh birokrasi yang semakin panjang. Dan ini akan menyebabkan keresahan bagi mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda. Kita jadi teringat dengan kasus salah seorang anggota kepolisian RI yang memiliki kewarganegaraan Ganda. Saat itu pula ia beralih kewarganegaraan menjadi WNA. Karena alasannya sangat simpel. Ia mendapat fasilitas lengkap di negara tersebut. Ini sungguh memprihatinkan. Kedua, Berkaitan dengan status dan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran, mengingat dengan diberlakukannya Undang-undang No.12 tahun 2006 tentu saja membawa konsekuensi-konsekuansi yang berbeda dengan Undang-Undang yang terdahulu, di mana seorang anak sudah terlanjur dilahirkan dari suatu perkawinan campuran. Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah, perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
B. Masalah-Masalah Terkait dengan Kewarganegaraan
1. Problematika di Balik Kewarganegaraan Ganda Pemberitaan terkait status kewarganegaraan ganda Menteri ESDM, Archandra Tahar, dan anggota Paskibraka asal Depok, Jawa Barat, Gloria Natapraja-Hamel memunculkan perdebatan tetang kewarganegaraan ganda bagi warga Indonesia. Dewi Tjakrawinata, salah satu koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa, kelompok yang turut mengadvokasi dwikewarganegaraan terbatas untuk anak usia di bawah 18 tahun -yang kemudian ditetapkan lewat UU Nomor 12 Tahun 2006- menyatakan bahwa pemberlakuan kewarganegaraan ganda bisa memberikan manfaat perlindungan buat warga negara Indonesia. "Coba, kawan-kawan buruh migran, TKI, yang mengirimkan devisa, tapi mereka terseok-seok di negara lain dengan mendapat perlakuan tidak adil karena mereka bukan warga negara setempat." "Jadi haknya dia sebagai pekerja segala macam, lebih sedikit dibandingkan kalau dia warga negara dari negara itu. Saya masih yakin diaspora Indonesia adalah salah satu pengirim devisa terbesar, tapi Indonesia yang tidak mau melindungi mereka," tambah Dewi. Bukan hanya soal perlindungan, Dewi juga masih mendorong pemberlakuan dwi kewarganegaraan untuk anak-anak dari keluarga pernikahan WNI dan WNA tanpa batas usia. Saat ini, anak dari pernikahan 'campur' wajib memilih kewarganegaraan pada saat mereka berusia 18 tahun, namun Dewi ingin memperjuangkan tidak ada lagi batasan usia. Namun, pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyebut ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan jika Indonesia ingin menerapkan dwi kewarganegaraan. "Dwi kewarganegaraan ini seringkali dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang melakukan kejahatan, penghindaran pajak. Yang perlu juga dipikirkan oleh pemerintah, apakah ketika seorang yang nantinya punya dwi kewarganegaraan itu, akan dilindungi oleh pemerintah?" Menurut Hikmahanto, ketika seorang WNA dengan dwi kewarganegaraan dan berasal dari Indonesia, maka bantuan bisa diberikan, namun ketika orang asing yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Indonesia tapi memiliki status WNI, "Pertanyaannya, apakah pemerintah terseret dengan perlindungan yang membutuhkan biaya, energi, dan sebagainya?" Hikmawanto memberi contoh jika seorang WNA yang juga memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia menjadi sandera dalam kasus Abu Sayyaf, "Apakah orang asing yang bukan dari Indonesia juga harus dibantu oleh pemerintah Indonesia?" Meski begitu, terkait insentif ekonomi, Hikmahanto menambahkan tanpa status kewarganegaraan pun, Indonesia masih bisa memberikan kemudahan bagi keturunan Indonesia yang memegang kewarganegaraan asing dan ingin memberi kontribusi ekonomi, seperti kemudahan memberi visa kunjungan atau izin kerja maupun kemudahan proses naturalisasi. Kalau secara hukum ada potensi masalah, secara politis muncul penentangan, antara lain dari anggota DPR dari Komisi I, Effendi Simbolon. "Tidak perlu kita mengakomodir itu. Itu sumpah yang menjadi warga negara Amerika kan dia harus mengingkari semua ketentuan dan perintah negara asalnya, berarti dia mengingkari Pancasila dong, dia mengingkari UUD 1945, bagaimana masih bisa mengakomodir karena persoalan talenta," kata Effendi. Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Amerika Serikat pada awal 2015 lalu sudah menjanjikan untuk segera menyelesaikan RUU Dwikewarganegaraan. RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019.
2. Isu Dua Paspor Archandra: Adakah Perkecualian?
Isu tentang dwikenegaraan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Archandra Tahar, perlu diklarifikasi dan 'tidak ada perkecualian' karena persyaratan menjadi menteri adalah WNI. Menyusul terangkatnya dugaan Archandra memiliki dua kewarganegaraan, salah satu pertanyaan yang muncul di media sosial adalah apakah dalam kasus tertentu seperti Archandra yang memiliki prestasi tinggi di luar negeri bisa mendapatkan perkecualian. Indonesia tidak mengakui dwikenegaraan dan berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 dan seseorang yang telah memiliki paspor negara lain, harus mengajukan permohonan kembali dan tinggal berturut-turut selama lima tahun. Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menyatakan "untuk menjadi menteri harus seorang WNI" dan "tidak ada perkecualian" sekalipun seseorang berprestasi tinggi. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono, dalam cuitan di Twitter menyangkut status kewarganegaraan Archandra menulis, Menteri ESDM itu terkenal di AS sebagai seorang jenius yang memiliki hak paten internasional di bidang energi dari penemuan sendiri. Namun pakar hukum tata negara Irman menyatakan, "Itu adalah soal lain...untuk menjadi WNI (bagi mereka yang telah lama tinggal di luar negeri atau orang asing) ada banyak cara, tapi untuk menjadi menteri harus seorang WNI." Irman juga mengatakan isu ini "bisa menjadi tuduhan serius bagi Presiden Indonesia...sebab salah satu syarat menjadi menteri adalah WNI." Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyatakan bahwa Archandra memiliki dua paspor AS dan Indonesia.
3. Anak Hasil Perkawinan Campur Dipaksa Jadi Turis di Negeri Orang Tu
Banyak anak hasil perkawinan campur merasa menjadi turis di Indonesia akibat terganjal Undang-Undang Kewarganegaraan walaupun mereka merasa sebagai orang Indonesia. Inilah sebagian dari kisah mereka. 1) Cipta: Jadi Turis Sejak Ayah Wafat Selama lebih dari 30 tahun Cipta C.C harus terus menerus mengurus visa untuk dapat tinggal di Indonesia. Cipta yang lahir sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan, membuatnya harus mengikuti kebangsaan ayahnya yang berasal dari Inggris. “Waktu saya masih sekolah, dibawa bapak saya yang kerja di sini. Sejak bapak saya almarhum, saya terpaksa jadi turis atau jadi tamu di negara saya sendiri”, kisah Cipta. Selama bersekolah Cipta harus menggunakan visa Sosial Budaya untuk tinggal di Indonesia dengan undangan dari ibunya sendiri. Dan sejak bekerja 15 tahun yang lalu, dia terpaksa menggunakan KITAS atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, yang harus diperpanjang setiap tahun. “Walaupun saya dapat KITAS, tetap saja itu Kartu Izin Tinggal Terbatas dan itu yang saya tak suka. Kenapa saya tinggal di negara saya sendiri terbatas,” kata Cipta. “Saya tak betah di Inggris, saya tak betah di manapun kecuali di Indonesia. Indonesia is my home. (Indonesia adalah rumah saya).” Cipta yang senang bepergian memang memilih untuk tetap memiliki paspor Inggris karena memudahkannya ketika bepergian. Memang paspor Indonesia tidak terlampau memberikan 'kelancaran' dalam bepergian keliling dunia. "Saya juga harus pikirin saya sebagai orang yang ingin lihat dunia juga, ingin travel(bepergian). Kalau menggunakan paspor Indonesia, saya akan banyak masalah. Sudah terbukti beberapa kali. Kalau saya travel dengan bos- bos saya dari Indonesia yang WNI. Kalau mau ke Amerika saya dikasih visa 10 tahun, bos saya dikasih visa tiga bulan. Itu bedanya,” kilah Cipta. Sebagai warga negara asing, Cipta pun kesulitan jika ingin memiliki aset di Indonesia. “Saya sudah memiliki mobil sendiri, atas nama saya sendiri, tapi itu susah banget. Kalau saya memiliki tanah, itu harus atas nama ibu saya, kalau ibu saya meninggal, itu tanah atas nama siapa?” Padahal menurutnya, banyak temannya yang juga anak dari perkawinan campur atau yang menikah dengan WNI, yang ingin tinggal di Indonesia dan membangun usaha di sini. “Kalau mereka bisa memiliki bisnis di Indonesia, mereka bisa membantu ekonomi Indonesia juga, mereka orang-orang pintar semua, tapi mereka susah datang ke Indonesia.” Cipta berharap Indonesia nantinya akan memberlakukan dwikewarganegaraan bagi orang-orang yang terlahir dari perkawinan campur, atau bagi orang yang memang mencintai Indonesia. “Kalau saja boleh memiliki dua paspor, saya pasti akan memiliki paspor Indonesia juga. Tapi selama pemerintah bilang saya tidak bisa memiliki dua paspor, saya tidak berani. Saya ingin itu legitimate (sah). Saya ingin Indonesia mengakui saya sebagai orang Indonesia.” 2) Kevin: WNA dari Orang Tua WNI Kevin Joshua Scheunemann yang lahir di Jerman dari ayah berkebangsaan Jerman otomatis menjadi warga negara Jerman. Namun, ketika keluarganya kembali ke Indonesia saat dia duduk di kelas 1 SMP, orang tuanya tidak pernah sadar jika Kevin dapat memperoleh dwikewarganegaraan terbatas karena menurut mereka tidak pernah mendapat sosialisasi. Sekembalinya dari Amerika Serikat untuk kuliah, Kevin memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Saat itu, ayahnya juga sudah dinaturalisasi menjadi WNI. “Ayah dari awal ‘rumah’nya memang Indonesia. Dia selalu jelas. Lahirnya memang di Indonesia. Dia sudah 30 tahun di Indonesia. Dia dari dulu inginnya WNI, lima tahun yang lalu baru dia ada opportunity (kesempatan) untuk dapat WNI. Jadi dia ambil begitu ada opportunity,” terang Kevin tentang ayahnya. Kevin pun mengikuti jejak ayahnya, ingin dinaturalisasi agar menjadi WNI. “Saat itu saya sudah di atas 21, jadinya tak dianggap walaupun kedua orang saya WNI. Prosesnya seperti orang asing murni, lama sekali kalau mau aplikasi warga negara Indonesia,” tutur Kevin. “Kembali dari Amerika, walapun saya sudah pernah memiliki KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap), disuruh jadi KITAS lagi. Dengan KITAS tak bisa daftar WNI. Jadi KITAS dulu, tunggu setahun baru dapat KITAP baru ke persyaratan-persyaratan untuk WNI, ke kecamatan, kelurahan, RT/ RW, rumah sakit, Polda Malang,” terang Kevin yang tinggal di Malang, Jawa Timur, bersama orang tuanya. Kevin sudah menunggu selama satu setengah tahun untuk proses naturalisasi, dan selama itu dia tidak dapat bekerja. Padahal, menurutnya, di negara lain paling hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk proses naturalisasi. Menurut Kevin, kalaupun dulu orangtuanya mengurus dwikewarganegaraan terbatas baginya, itu bukan solusi untuk permasalahannya saat ini yang berbeda kewarganegaraan dengan kedua orangtuanya. “Kalau disuruh memilih umur 18 tahun, mana bisa anak kecil gitu disuruh milih. Karena kan tak tahu mau kerja di mana, mau hidup di mana, apalagi sebagai anak yang sudah tinggal di mana-mana, keputusan kayak gitu di bawah umur 21 tahun, menurut saya, peraturan yang tidak realistis. Orang biasanya baru tahu hidupnya seperti apa kalau sudah bekerja,” kilah Kevin. Meski begitu, Kevin berkata dia masih bersabar untuk menjadi warga negara Indonesia. “Mungkin lebih gampang (hidup dengan paspor Jerman), tapi lebih ingin tinggal di Indonesia daripada di tempat lain. Paling asik memang kalau bisa dua-duanya, tapi kalau harus milih, saya sekarang milih Indonesia,” kata Kevin.
3) Keluarga Koeniger: Masalah hati
KanthiKoeniger membiarkan anak-anaknya untuk menjadi warga negara Jerman mengikuti kewarganegaraan ayah mereka meskipun dia dapat mendaftarkan anak-anaknya dengan dwi kewarganegaraan berdasarkan UU NO. 12 Tahun 2006. “Aku dan suamiku sudah tahu kita akan membesarkan dan menyekolahkan anak-anak di sana (Jerman). Pertimbangan kenapa saya tidak mengurus itu karena menghabiskan waktu saya. Harus ngurus repot-repot, tapi tetap (umur) 18 tahun harus memilih, yang kita berdua tahu anak saya akan memilih Jerman,” kata Kanti. “Selama harus memilih, saya tak akan mengurus kewarga-negaraan Indonesia mereka. Tapi kalau tidak perlu memilih, saya akan mengurus mati- matian.” “Concern-nya adalah pendidikan yang lebih baik dan gratis sampai S2.” Meski begitu, Kanthimenuturkan bahwa hati anak-anaknya sangat ‘merah- putih’. “Anakku dibesarkan punya nilai-nilai timur lebih jauh dibanding anak- anak Indonesia yang berpaspor Indonesia. Misalnya (mereka yang) tinggal di luar (negeri), mereka saja tak bisa bahasa Indonesia. Anakku hidupnya dan perilakunya sangat timur,” tutur Kanti. “Nasionalisme itu masalah hati.” “Anakku bilang akan kembali ke Indonesia, akan berkontribusi ke Indonesia karena cinta Indonesia.” Tara Koeniger, putri sulung Kanthi yang berusia 13 tahun menegaskan kata-kata ibunya. “Aku suka di sini saja. Makanannya enak, (cuacanya) hangat, terus orangnya enak, selalu happy (senang) tak seperti orang Jerman,” kata Tara. “Aku belum pernah tinggal di Jerman. Tapi aku mau lebih banyak tinggal di Indonesia.”