Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai
di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur
terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain
menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap
tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan
kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang
akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak
yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik
trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,
penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang
disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma, adanya proses patologi
pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan energi yang minimal saja
akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu
menimbulkan fraktur.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

B. FRAKTUR

Definisi

 Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan


bisa komplet atau inkomplet
 Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak
langsung. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada
jenis, kekuatan dan arahnya trauma ( Apley & Solomon, 1993; Rasjad, 1998; Armis,
2002).

Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi
apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan
kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan
mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar
fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula
terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang
berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit

2
Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal
hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.

2.1.1 Klasifikasi

A. Menurut Penyebab terjadinya

 Faktur Traumatik : direct atau indirect


 Fraktur Fatik atau Stress : kerusakan tulang karena kelemahan yang terjadi sudah
berulang-ulang ada tekanan berlebihan yang tidak lazim.
 Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
 Fraktur patologis : karena adanya penyakit local pada tulang, maka kekerasa
yang ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat menyebabkan fraktur. Contoh :
osteoporosis dll.

B. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya

 Fraktur Tertutup/ Closed/ Fraktur Simplex : Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, atau patahan tulang tidak mempunyai hubungan dengan udara
terbuka.
 Fraktur Terbuka/ Open : Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan di kulit. Kulit robek dapat berasal dari dalam karena fragmen
tulang yang menembus kulit atau karena kekerasan yang berlangsung dari luar.
 Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera dan persendian
juga ikut terkena. Fraktur seperti ini dapat berbentuk “fraktur tertutup” atau “ fraktur
terbuka”. Contoh : fraktur pelvis tertutup+rupture vesica urinaria, fraktur costa+luka pada
paru-paru, fraktur corpus humerus+paralisis nervus radialis

C. Menurut bentuk

 Fraktur Komplet :Garis fraktur membagi tulang menjadi 2


fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblique, spiral.
 Fraktur Inkomplet

3
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Kompresi / Crush fracture
 Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak

2.1.3 Etiologi.

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur

 Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
 Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan, dan
densitas tulang.

2.1.4 Diagnosis

Faktor trauma kecepatan rendah atau trauma kecepatan tinggi sangat penting dalam
menentukan klasifikasi fraktur karena akan berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri.
Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan
kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek
dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas
mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi
penderita sebelum kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya
merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan juga (Apley & Solomon, 1993; Brinker, 2001).

2.1.5 Pemeriksaan fisik

Dimulai dengan inspeksi (look, deformitas), palpasi (feel, nyeri tekan (tenderness),
Krepitasi) dan pemeriksaan gerakan ( movement). Pemeriksaan yang harus di lakukan adalah
identifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dari lesi tersebut. Pulsasi
arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga dapat
terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut. Bila disertai trauma kepala atau tulang belakang

4
maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit seperti
kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.

2.1.6 Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan tulang dan


jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara
di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam
melakukan debridemen. Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan daerah fraktur
maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat
bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi
disamping melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri Diagnosis fraktur dengan tanda-
tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap diperlukan
untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal, rencana terapi dan
dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala
klasik dalam menentukan diagnosis harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standard.

Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu:

 Two views : (proyeksi AP/Anteroposterior dan Lateral, karena proyeksi yang salah akan
dapat memberikan informasi yang salah maka pemeriksaan radiologis harus benar-benar
AP dan lateral),
 Two joints : (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur)
 Two limbs : ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri)
 Two injuries : ( biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan trauma di tempat
lain dalam tubuh).

Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang. Pergeseran fragmen
bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang terjadi, gaya berat maupun tarikan otot yang
melekat padanya. Pergeseran fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :

• Aposisi (pergeseran kesamping / sideways, tumpang tindih dan berhimpitan /


overlapping, bertubrukan sehingga saling tancap/ impacted);

5
• Angulasi (penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur);

• Panjang / length (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping


antar fragmen fraktur) atau terjadi

• Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang).

Tabel 1. Hubungan garis fraktur dengan energi trauma

Garis Fraktur Mekanisme Energi


trauma

Transversal, oblik, spiral, (sedikit bergeser / masih ada kontak) Angulasi / memutar Ringan
Butterfly, transversal (bergeser), sedikit kominutif Kombinasi Sedang
Segmental kominutif (sangat bergeser) Variasi Berat

2.1.7 Komplikasi Fraktur

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenic.

1. Komplikasi umum

Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan
fungsi pernafasan.

Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca
trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa
peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren

2. Komplikasi Lokal

a. Komplikasi dini

6
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan
apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.

 Pada Tulang

1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.


2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada
fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago
sendi dan berakhir dengan degenerasi

 Pada Jaringan lunak

1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik
2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol

 Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal
ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan
tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan
sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).

 Pada pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti
spontan.

7
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh
darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas
dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi
sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti
bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas
maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini
disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga
dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-
lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P
yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis

 Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan


akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley &
Solomon,1993).

b. Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan
terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.

 Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,

Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi

8
Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)

 Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara
fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial
sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai
walaupun dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai,
implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur
patologis)

 Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan


refraktur atau osteotomi koreksi .

 Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang
berupa osteoporosis dan atropi otot

 Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot

9
dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan
aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

2.1.8 PENATALAKSANAAN FRAKTUR

Mengikuti prinsip “4 R” yaitu Recognition(diagnosis dan penilaian fraktur), Reduction,


Retaining ( retention of reduction ) dan Rehabilitation (Chairudin Rasjad). Pada kasus fraktur
terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada penanganan agar terhindar dari
kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur meliputi tindakan life saving dan life limb
dengan resusitasi sesuai indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan
tersangka mati dengan debridemen, pemberian antibiotik pada sebelum, selama dan sesudah
operasi, pemberian antitetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan
definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi / infeksi dan
sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma

1. Penatalaksanaan secara umum

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi
(circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru
lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila
lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis
secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai
dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto rontgen.

2. Penatalaksanaan kedaruratan

Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya
fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur,
penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien

10
yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian,
ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.

Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari
gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting
untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.

Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan
yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas
bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang
sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan
dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di
distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.1

Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan
bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan
diatas.

Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan
lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin
harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.

3. Penatalaksanaan bedah ortopedi

Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan


untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur,
deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis;
sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi

11
Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation).
Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :

 Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
 Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam.
 Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.
 Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
 Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka.
 Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
 Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis.
 Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis.
 Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi.
 Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.

4. Prinsip Penanganan Fraktur

Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan


pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi :

a. Reduksi
 Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis.
 Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi
anatomic normalnya.
 Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.

12
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Metode reduksi :

1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan


mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan “Manipulasi dan Traksi manual”. Sebelum reduksi dan
imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai
ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam
posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter.
Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.1
2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.1
3. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi.1

b. Imobilisasi
 Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.1
 Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi
penyembuhan.1
 Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal”
bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-
alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll).

c. Rehabilitasi
 Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang
sakit.

13
 Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi
dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau
status neurovaskuler (misalnya; pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan), mengontrol ansietas dan nyeri (mis; meyakinkan, perubahan posisi,
strategi peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan isometrik dan pengaturan
otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali
secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutik.

Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah
dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai
imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya.
Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter,
non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan
menjadi terapi konservatif pilihan Pada fraktur terbuka derajat III dimana terjadi kerusakan
jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur
cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi
penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secundary bone
healing dengan pembentukan kalus.

ORIF ( Open Reduction and Internal Fixations )

A. Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:

1). Fraktur dengan tak ada pergeseran,

2). Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi,

3). Fraktur pada anak-anak,

4). Cedera dengan luka minimal

14
5). Trauma berenergi rendah.

B. Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:

1). kagagalan dalam penanganan secara reduksi tertutup,

2). fraktur yang tidak stabil,

3). fraktur intraartikuler yang mengalami pergeseran dan

4). fraktur yang mengalami pemendekan.

Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam
stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris. Pilihan metode yang dipergunakan
untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu:

1. Pemasangan plate and screws

Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada
fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung
tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada
kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembenrukan kalus periosteum. Pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu
vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan
nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara
lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru
dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak
sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ). Pemasangan plat perlu
hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia
dan otot karena dapat mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan

15
jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang
ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi

2. Pemasangan screws or wires

Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil.
Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler baik
digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external
fixation device. (Behrens, 1996).

3. Pemasangan external fixation devices

Akhir-akhir ini para pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar dari pada pemasangan
plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat dibanding
konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial,
nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerlukan operasi
berulangkali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan
untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulsi. Menurut Bach dan
Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris
terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II dan
III. ( cit. Court-Brown et al., 1996).

Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat populer di Eropa dan Amerika mempunyai
resiko terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42%, dan
resiko terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi
yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pada fraktur diafisis tibia pemasangan fiksasi luar
dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi tetapi pada fraktur yang tibia
proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih tepat. (Court-
Brown et al., 1996).

2.1.9 TAHAP-TAHAP PENYEMBUHAN FRAKTUR

Secara ringkas tahap penyembuhan tulang adalah sebagai berikut :

16
1. Stadium Pembentukan Hematom :
 Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh
darah yang robek
 Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot)
 Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam
2. Stadium Proliferasi Sel / Inflamasi :
 Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur
 Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast
 Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah fragmen tulang
 Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang
 Terjadi setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi
3. Stadium Pembentukan Kallus :
 Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus)
 Kallus memberikan rigiditas pada fraktur
 Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatu
 Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi
4. Stadium Konsolidasi :
 Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah menyatu
 Secara bertahap menjadi tulang mature
 Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan
5. Stadium Remodeling :
 Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur
 Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast
 Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda
penebalan tulang

17
2.1.10 Proses Penyembuhan Tulang

 Fase inflamasi

Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi
inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti invasi
dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut termasuk
osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif.
Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material nekrotik disingkirkan.

 Fase reparatif

Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel
mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan
menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa
dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan

18
mineralisasi kalus lunak berubah menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara
radiologis garis fraktur mulai tak tampak.

 Fase remodeling

Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang


meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur
menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur
(McCormack,2000).

2.2 Fraktur Terbuka

2.2.1 Definisi Fraktur Terbuka

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung. Akibat dari suatu
trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma ( Apley
& Solomon, 1993; Rasjad, 1998; Armis, 2002).

Fraktur terbuka adalah fraktur yang terjadi hubungan dengan dunia luar atau rongga
tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan
komplikasi infeksi.

Semua faktur terbuka harus dianggap terkontaminasi sehingga mempunyai potensi untuk
terjadi infeksi. Penting untuk diketahui bahwa diagnosis, klasifikasi dan pengelolaannya dapat
berbeda dari fraktur tertutup. Penanganan fraktur terbuka dapat mengikuti pengelolaan trauma
lain jika merupakan suatu trauma multiple

2.2.2 Klasifikasi Fraktur Terbuka

Dikenal beberapa klasifikasi fraktur terbuka seperti menurut Byrd et al.(1981) yang
menekankan pentingnya vaskularisasi tulang, kemudian menurut Oestern dan Tscherne (1984)
yang menekankan pentingnya tingkat kerusakan jaringan lunak dan luas kontusio otot, serta

19
menurut AO group oleh Muller et al. (1990) yang menekankan berat ringannya cedera kulit,
cedera otot dan tendon serta cedera neurovaskuler. (cit. Court-Brown et al, 1996).

Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan Anderson
(1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan
lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur
terbuka menjadi tipe I,II dan III

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tipe
Batasan
I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka, trauma
amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang
perlu repair vaskuler dan fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.
 Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih.

Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut
akibat tusukan fragmen fraktur atau in–out.
 Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan lunak dan
fraktur tidak kominutif.
 Pada tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit,
jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi, juga
termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatik.

Klasifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau high
velocity, trauma didaerah pertanian, fraktur terbuka yang memerlukan repair vaskular, fraktur
terbuka lebih 8 jam setelah kecelakaan

Kemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan Anderson
(1976) menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC (tabel 3).

20
IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun
adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.

IIIB fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang terlihat jelas
atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai
kontaminasi masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka.
IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian distal dapat
dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau terjadi
bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan
lunak.

Armis (2001) membuat klasifikasi fraktur terbuka dengan sistim skoring yang dinamakan
Sistem Skoring Sardjito (SSS) yang dilakukan dengan memberikan skoring pada setiap variabel
yang meliputi kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskuler dan derajat
kontaminasi kemudian skor dijumlahkan

Klasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (Khairuddin & Armis, 2002).

Batasan Skor
I. Skin DamageA.Wound: 1
1. < 5 cm long ( in-out)
2
2. 5-10 cm
3. 10 cm long
3

21
B. Condition of Skin: 1

 No devitalized edge of wound without contussion 2


 Contused edge of wound/ subcutan or with small area of degloving
3
 Large area of degloving or skin loss or skin avulsion
II. Muscle Damage 1
 No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial
2
rupture
 Total rupture of one compartement muscle
3

 Muscle defect with extensive muscle crush


III. Bone Damage 1
 Simple Fracture: Transverse, Oblique, Spiral, butterfly or with
2
little comminution.
 Simple Fracture with gross displacement, segmental fracture (little
3
displaced) or moderate comunition

 Gross comminution, boneloss / defect


IV. Neurovascular Damage 1
 No Neurovascular trauma
2
 Isolated or localized neurovascular trauma

3
 Extensive neurovascular trauma
V. Contamination 5
 No particle
10
 Only syperficial particle

15*)
 Deep particle

Note: * Add one for public watering accident or from farm accident or treated after gol den
period (deep particle score =15+1=16)

22
Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III
atau berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila
terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah vital
sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan tindakan repair.
(Khairuddin & Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).

2.3 Fraktur Skapula

Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi pergeseran akibat
tarikan otot-otot yang melekat disitu.

23
Mayo Classification – Scapula Fracture

Trauma sendi akromioklavikularis

Sendi ini kurang stabil dan mudah terjadi Subluksasi. Dislokasi komplet terjadi akibat ruptur
total ligamentum akromioklavikularis dan korakoklavikularis.

2.3.1Klasifikasi :

I. Sratin, Ligamen intak

Subluksasi : Robekan ligamen (+) klavikula tidak terangkat karena ligamn Korako-klavikuler
utuh

24
Dislokasi : Robekan kedua ligamen dan klavikula terangkat

Dislokasi sendi sternoklavikularis

Terbagi menjadi anterior dan posterior. Dislokasi posterior akan menekan organ-organ dalam
sehingga perlu tindakan emergency

Trauma Otot-otot Rotator / Rotator Cuff

Otot Rotator terdiri dari :

 Supraspinatus ( atas )
 Infraspinatus ( belakang )
 teres minor
 Subskapula ( depan )

Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus
menimbulkan Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi

2.4 Fraktur Clavicula

Penyebab biasanya trauma langsung /direct atau tidak langsung / indirect , misal jatuh dengan
tangan / siku menumpu.

2.4.1 Diagnosis

1. Riwayat : waktu jatuh posisi tangan menumpu


2. Deformitas : menonjol, udem, fraktur 1/3
lateral tanpa ruptur ligamentum korakoklavikulare deformitas tidak jelas
3. Nyeri tekan (tenderness)
4. Krepitasi
5. Pemeriksaan penunjang : radiologi dan laboratorium

25
2.4.2 Penatalaksanaan

Konservatif : Pasang ransel verban (Figure of eight) sampai rasa sakit hilang

Operatif

Indikasi dilakukan tindakan operatif:

1. Fraktur terbuka
2. Ruptur ligamentum korakoklavikulare
3. Gangguan neurovaskuler
4. Delayed / non Union
5. Kosmetik

2.5 Fraktur Humerus

2.5.1 Klasifikasi NEER

1. Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 45⁰


2. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cm
3. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasi
4. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmen
5. Fraktur tuberkulum majus dengan lebi 2 fragmen
6. Fraktur dislokasi

2.5.2 Macam-macam fraktur humerus :

1. Fraktur Kollum Chirrugikum humeri

2. Fraktur Shaft humerus

Setiap fraktur humerus tengah dapat mengenai saraf radial, karena saraf ini melewati sulkus
nervi radialis yang terletak dibagian tengah dan belakang humerus.

26
3. Fraktur Suprakondilaris humeri

Berdasarkan pergeseran fragmen distal ada 3 type :

1. Fragmen tanpa pergeseran


2. Fragmen dengan pergeseran tetapi masih ada kontak
3. Fragmen distal dan proksimal tidak ada kontak

2.5.3 Anatomi humerus

Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis
ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior terdapat
muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus medianus dan arteri brachialis. Di sebelah
posterior terdapat muskulus biceps dan bursa minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial
dan tendo muskulus ekstensor communis dan muskulus supinator terletak di lateral.

Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang kuat
dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii. Kolum
medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang kurang bila dibanding dengan kolum lateral
suprakondilar. Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana gerakan
fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis, muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan
muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus triceps dan
muskulus anconeus.

Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis
longitudinal humerus dan garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini disebut sudut
bowman. Normal didapatkan sudut bowman sebesar 80⁰ – 89⁰, bila didapatkan sudut ini kurang
dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut tidak aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut
antara diaphisis dan metaphisis sebesar 90 derajat.

27
Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat osifikasi
pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut ke anterior sebesar
40 derajat.

2.5.4 Mekanisme dan Patofisiologi

1. TIPE EKSTENSI

Akibat trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku, lengan bawah
dalam posisi supinasi dengan siku hiperekstensi dengan tangan yang terfiksasi, olekranon
terdorong ke depan sehingga terjadi fraktur. Garis fraktur selalu melewati fossa olekranon dan
pada kolum medial dan lateral metaphise. Fragmen distal dari fraktur akan terdorong ke arah
posterior dan proksimal, hal ini karena gaya fraktur yang diteruskan ke atas melalui tulang
lengan bawah dan disebabkan tarikan muskulus biceps, sehingga fragmen ini akan miring ke
lateral atau medial dan berotasi ke medial. Dari proyeksi anterior, ujung distal dari fragmen
proksimal akan menembus periosteum dan mengenai muskulus brachialis dan muskulus biceps
brachii. Akibatnya akan terjadi perdarahan local dan pembengkakan. Nervus dan pembuluh
darah akan mengalami laserasi karena fragmen tulang.

28
2. TIPE FLEKSI

Anak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi
dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami pergeseran sehingga pada
fragmen distal akan ke anterior pada bidang sagital, dan pada bidang coronal, fragmen distal
akan bergeser ke lateral. Sehingga fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah
anterior dan proksimal. jarang terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna
biasanya karena terkena ujung dari fragmen proksimal.

2.5.5 Klasifikasi fraktur humerus

Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan derajat
pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal.

Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :

I. Undisplaced or minimally displaced

IA : non displaced

IB : medial impaction

Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala garis fraktur sukar
dilihat pada gambaran radiologis.

II Displaced with angulasi and rotation

IIA : posterior angulasi

IIB : malrotation with or without posterior angulation.

III Displaced complete

IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedial

IIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral

29
2.5.6 Diagnosis

Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat jatuh dengan lengan sebagai tumpuan. Bila
traumanya baru saja terjadi atau frakturnya tidak mengalami pergeseran atau sedikit bergeser,
anak akan mengeluhkan nyeri dan bengkak yang minimal, dan temuan yang paling khas adalah
perlunakan pada ujung humerus bagian distal.

Pada trauma ringan kedudukan fragmen distal tidak akan bergeser atau undisplaced. Siku
akan terlihat sedikit bengkak dibanding siku yang sehat, dan kadang – kadang terlihat akan
terlihat normal bila jumlah perdarahan sedikit.

Pada trauma yang lebih berat dapat menimbulkan angulasi ke posterior, bahkan sampai
mengalami pergeseran fragmen distal ke posterior, namun hubungan kedua fragmen sebagian
masih terlihat, atau pada trauma yang lebih hebat lagi maka fragmen distal akan terlepas dari
fragmen proksimal dan berada di posterior dan migrasi ke proksimal.

Sewaktu jatuh pada umumnya lengan dalam keadaan pronasi, ini akan menyebabkan
fragmen distal mengalami rotasi ke dalam. Akibatnya kortek sebelah medial dari fragmen distal
relatif akan berada di arah posterior dari fragmen proksimal, sementara sisi lateral masih dalam
kedudukan semula. Dengan demikian kedudukan fragmen distal akan mengalami adduksi, rotasi
ke dalam sehingga fragmen distal akan mengalami pergeseran ke arah posteromedial akibatnya
ujung dari fragmen proksimal akan mencederai nervus radialis. Dan bila pergeseran fragmen ke
arah posterolateral aakan mencederai arteri radialis dan nervus medianus.

Ujung fragmen proksimal akan berada di anterior dan dapat mencederai muskulus
brakhialis, arteri brakhialis, nervus radialis nervus medianus atau nervus ulnaris. Dengan adanya
trauma yang keras dan terjadi pergeseran dari fragmen, maka pembengkakan dan deformitas
pada siku akan menjadi lebih jelas. Besarnya pembengkakan tergantung pada keparahan dari
fraktur dan lama terjadinya trauma.

Pada pemeriksaan fisik yang penting adalah menilai fungsi dari neuromuskuler pada
sebelah distalnya. Tanda – tanda gangguan vaskulus meliputi nyeri, pucat, sianotik, tidak ada
pulsasi atau paralysis, ini merupakan tanda terjadinya “ volkman’s ischemi”.

30
Pemeriksaan radiologis penting untuk konfirmasi diagnosis. Sebelumnya lengan harus
diimobilissasi dengan posisi ekstensi, kedudukan fleksi yang berlebihan harus dihindari karena
ada kemungkinan gangguan dari neurovaskulernya. Pada anteroposterior, dinilai garis fraktur
apakah transversal atau oblik, fragmen distal angulasi ke lateral atau medial. Posisi lateral akan
menunjukkan fragmen distal akan bergeser ke anterior atau posterior.

2.5.7 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan


kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi.

Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan bidai.


Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena menyebabkan kerusakan
labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak dibuat immobilisasi degan bidai pada
posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku ekstensi dan lengan bawah pronasi.
Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama melakukan tindakan reposisi. Penanganan
fraktur suprakondilar tergantung tipe dari fraktur tersebut.

Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi :

Tipe I

Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 90⁰. Bila
terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan posisi siku
fleksi.

Fleksi dilakukan sampai 120⁰ sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat
mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi tertutup
perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi umum, operator menarik
lengan bawah sedikit fleksi 30⁰ dan supinasi.

Fleksi 30⁰ tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat
tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila berada di
medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan fragmen proksimal,

31
demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada pada posisi posterior
fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari – jari lain yang berada di humerus
proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.

Posisi dipertahankan selama 3 sampai 4 minggu, dengan pemeriksaan radiologis pada satu
minggu pertama dan minggu terakhir.

Tipe II :

Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk
dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan pronasi dan
fleksi tidak lebih dari 120⁰,

Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan
yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen tercapai
menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus. Pemasangan pinning yang paling stabil dapat
dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral dan kondilus medial. Kontra
indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain oedem hebat, reposisi tertutup yang tidak
tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur terbuka.

Tipe III :

32
1. reposisi
2. percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire
3. reposisi terbuka

Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan pada reposisi
tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.

Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah tersebut,
maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan berkurang. Kejelekan
dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan sendi, terjadinya myositis osifikan,
iskhemik dan kerusakan pada tempat pertumbuhan tulang dan adanya resiko infeksi.

Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis.

Secara klinis dikatakan baik bila :

1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan sudut
antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau adanya interposisi
jaringan lunak antara kedua fragmen.
2. setelah hiperfleksi secara hati – hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan dengan sisi
yang sehat.

Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral.
Untuk posisi lateral dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai apakah ada
crescent sign, yang berarti terjadi kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai sudut bowman, sudut
diaphisis – metaphisis. Bila fragmen distal terjadi rotasi tampak gambaran fish tail.

2.5.8 Komplikasi

Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera pembuluh
darah dan saraf.

1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya volkman’s
iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf tanpa disertai

33
ganggren perifer. Gejala dari volkman’s iskemi adanya pain, pallor, hilangnya pulsus,
parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis, nervus median
dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang berlebihan
atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus varus,
disebabkan reposisi yang tidak adekuat.

Sedangkan pada fraktur suprakondilar tipe fleksi

1. Cedera nervus ulna merupakan komplikasi yang sering terjadi.


2. Malunion dapat juga terjadi pada fraktur ini yaitu terjadi kubitus varus.

Iskhemik Volkman : klinis 5P

1. Pulseless (denyut nadi lemah –hilang )


2. Pallor (warna biru / pucat )
3. Pain
4. Paresthesia (rasa tebal )
5. Parese atau Paralise (kekuatan otot lemah sp lumpuh)

Kontraktur Volkman

Akibat musculus Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous. Jari-jari posisi
fleksi : CLAW HAND

2.6 Fraktur Antebrachii

2.6.1 ANATOMI

Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun tangan
tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna. Kedua tulang

34
lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum anulare yang
melingkar kapitupulum radius dan di distal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum
radiuulna yang mengandung fibrokartilago triangularis. Membran interosea memperkuat
hubungan ini sehingga radius dan ulna merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu,
patah yang hanya mengenai satu tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai
satu tulang saja hampir selalu disertai dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah
tersebut.

Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus supinator,
musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat gerakan pronasi dan
supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi dengan radius dan ulna
menyebabkan patah tulang lengan bawah disertai dislokasi angulasi dan rotasi terutama radius.

Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os
radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan sebelah distal
dua persendian. Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan
bersendi dengan os ulna pada bagian proksimal dan distal “radio-ulnar joint” yang bersifat
rotator. Antara kedua tulang ini juga dihubungkan oleh membran interroseus, suatu jaringan
fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke radius. Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius
terhadap os ulna, yang menghasilkan gerakan pada lengan bawah

Muskuli antebrachii dapat dikelompokan, muskuli kompartemen antrior dan posterior.


Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor sedangkan kompartemen posterior di isi oleh
muskuli ekstensor. Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi
dan gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut adalah :

NO FUNSI MUSKULUS

1 Fleksor elbow m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis

2 Ekstensor elbow m. triceps, m. Anconeus

3 Supinator elbow m. supinator, m. Biceps

35
4 Pronator elbow m. pronator teres, m. Pronator guadratus

5 Fleksor pergelangan tangan m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi ulnaris

6 Ekstensor pergelangan tangan m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,

m. Ekstensor carpi ulnari

Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang
menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan antebrachii
berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.

2.6.2 Terapi manipulasi Fraktur antebrachii

 Bila garis fraktur di proksimal à dilakukan gips posisi supinasi


 Bila garis fraktur di tengah à Gips posisi netral
 Bila garis fraktur di distal à Gips posisi pronasi

2.6.3 Fraktur MONTEGGIA

Fraktur ULNA 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior / posterior

Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon

2.6.4 Fraktur GALEAZZI

Fraktur RADIUS 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.

Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi. Untuk
menjaga panjang antomi tulang radius.

2.6.5 Fraktur antebrachii distal

2.6.6 Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme :

36
Lengan bawah mempunyai dua tulang, yang radius dan ulna yang ke distal berakhir dan
membentuk persendian radioulnaris distal dan persendian dengan tulang carpalia. Stabilitas
persediaan ini dipertahankan oleh 5 struktur :

1. ligamentum radio – ulnaris volaris


2. ligamentum radio – ulnaris dorsalis
3. tendon m. extensor carpi ulnaris dalam “fibro osseus tunnelnya”
4. fibro – cartilage disc.
5. ligamentum collateralis ulnaris.

Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai persendian dengan
tulang carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan cancellous bone pada bagian distal
merupakan bagian yang sangat lemah dan mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii
kedudukan anatomis yang normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal
radius.

Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama :

1. Radial height :

Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna. Diukur dari jarak antara garis
horizontal yang ditarik melalui ujung procesus styloideus radii dan melalui ujung distal ulna.
Ukuran normalnya kira-kira 1 cm.

2. Derajat “ulna tilt” atau “ulna deviation” dari permukaan sendi ujung distal radius pada
posisi anterior posterior.

37
Normal, permukaan sendi ini letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya
diukur dari besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu radius dan garis
yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 15 – 30 derajat, rata-rata 23 derajat.

3. Derajat “volar tilt” (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada posisi lateral.

Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah dan kedepan. Besarnya diukur
dengan sudut antara garis horizontal tegak lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan
permukaan sendi. Normal : 1 – 23 derajat, rata-rata 11 derajat.

38
Alat-alat gerak yang meliputi ini ialah :

1. Posterior :

Berbentuk cembung dan terdapat sekumpulan tendon/otot extensor yang mempunyai fungsi
ekstensi.

2. Anterior :

Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang mempunyai fungsi fleksi
lengan bawah dan tangan. Dan pada bagian dalam ada: m. pronator quadratus yang berjalan
menyilang dan berfungsi terutama untuk pronasi.

3. Lateral :

Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus radii yang
mempunyai fungsi utama sebagai supinasi.

2.6.7 Fisiologi dan mekanisme terjadinya fraktur :

 Biasanya disebabkan karena trauma langsung, atau sebagai akibat jatuh dimana sisi
dorsal lengan bawah menyangga berat badan.
 Secara ilmu gaya dapat diterangkan sebagai berikut :Trauma langsung dimana lengan
bawah dalam posisi supinasi penuh yang terkunci dan berat badan waktu jatuh memutar
pronasi pada bagian proximal dengan tangan relatif terfixir pada tanah. Putaran tersebut
merupakan kombinasi tekanan yang kuat dan berat, akan memberikan mekanisme yang
ideal dari penyebab fraktur Smith.

Trauma lain diduga disebabkan karena tekanan yang mendadak pada dorsum manus,
dimana posisi tangan sedang mengepal. Ini biasanya didapatkan pada penderita yang
mengendarai sepeda yang mengalamii trauma langsung pada dorsum manus.

2.7 Fraktur Smith

39
2.7.1 Definisi

Fraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya ½ – 1 inch dari
ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan ke atas disertai
pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).

Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini jarang terjadii
dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di Philadelpia (1838),
mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior dan posterior dengan dislokasi
pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah fraktur posterior dengan dislokasi pergelangan
tangan. Dan fraktur anterior dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu
tipe dari fraktur Smith.

Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur barton
jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari fraktur Smith.

2.7.2 Pembagian fraktur Smith secara klinis dan radiologi :

I fraktur Smith yang comminutive dan oblique

II fraktur Barton, yang disebut anterior fraktur tipe fleksi marginal i dengan dislokasi
pergelangan tangan.

III fraktur transversal yang disebut juga fraktur radius bagian distall yang tidak dengan tipe
fleksi kominutif.

2.7.3 Penatalaksanaan

Konservatif :

1. Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith dengan mengembalikan
arah persendian seperti semula. Mills dan Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada
tempatnya dengan posisii supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama 5 –
6 minggu.

40
2. Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya cepat, sebab
kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi yang terbatas dan terjadi kekakuan
sendi tangan dan siku.

3. De Palma menganjurkan sebagai berikut

Type I :

Fraktur Smith dengan comminutive yang oblique dilakukan reduksii dengan traksi, manipulasi
dan transfiksasi dengan pin.

Type II :

Fraktur Barton atau disebut pula fraktur marginal anterior tipe fleksi.

 Disini dilakukan reduksi dengan traksi dan menipulasi dengan anestesi umum.
 Penderita tidur telentang dan posisi siku tegak lurus, lengan bawah pada posisi
pertengahan (mid position).
 Dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan ke bawah
meja.
 Selama traksi, dengan dua tangan diletakkan pada pergelangan tangan, lalu pergelangan
tangan diletakkan dalam posisi dorsoflexi ringan dan lengan bawah dalam mid position,
kemudian dipasang circuler gips dari bawah siku sampai tangan setinggi persendian
metacarpo – phalangeal. Sesudah itu alat traksi dilepas. Kontrol foto AP dan Lateral
untuk melihat kedudukan tulang tersebut.

Type III :

Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi :

 Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi dengan anestesi umum dan
lengan bawah posisi supinasi.
 Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu dilakukan traksi dengan alat
Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan di bawah meja.

41
 Dengan dua tangan dimana jari-jari II – V diletakkan pada fragmen proximal sebelah
dorsal dan dua ibu jari menekan ke atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai
pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi kearah ulnar.
 Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai setinggii persendian
metacarpo – phalangeal dan kemudian alat traksi dilepas. Sesudah reposisi, dilakukan :
 Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.

Operatif :

Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur Smith dengan fiksasi
dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup
dipasang pada fragmen proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai
sekrup.

Tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

1. Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah bagian distal dan incisi
diperdalam sampai m. pronator quadratus antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral
dan m. palmaris longus dan medianus pada sisi medial.
2. M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor digitorum sublimis ke
medial, dan m. pronator quadratus tampak pada sisi inferior dari tulang radius bagian
bawah.
3. Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk menyesuaikan dengan permukaan
dari tulang, lalu dipasang sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang
distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga yang kuat dari fragmen yang telah
dilakukan reposisi.
4. Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana pada fragmen tulang
yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian vertikal.
5. Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan dipasang bebat tekan.

Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan pergelangan tangan, lengan bawah
dimulai segera setelah bebab tekan dilepas.

42
Keuntungan :

 Hasilnya cukup memuaskan.


 Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa terjadi redisplacement
dari fragmen yang mengalami fraktur.
 Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling memuaskan pada
pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada tipe yang lain cukup memuaskan.

2.7.4 Komplikasi :

1. Kerusakan jaringan lunak :Yang penting disini adalah kerusakan n. medianus karena
tekanan dari fragmen radius yang fraktur.
1. Malunion : Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.
2. Non union
3. Osteoarthritis
4. Gangguan pronasi dan supinasi

Fraktur radius sepertiga distal

Fraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi pada
bagian proksimal radius. Fragmen fraktur akan terdislokasi. Dan fraktur ini sulit direposisi secara
tertutup atau akan mengalami redislokasi bila reposisi berhasil, oleh karena itu dianjurkan
reposisi terbuka dan biasanya dipasang fiksasi interna dengan jenis plat jenis kompresi

43
Fraktur ulna sepertiga distal

Fraktur ulna biasanya disebabkan oleh trauma langsung misalnya menangkis pukulan
dengan lengan bawah relatif sering terjadi fraktur yang tidak berubah posisinya. Pengobatan
biasanya dengan pemasangan gips, kadang juga terjadi fraktur yang terdislokasi dalam hal ini
harus diteliti. Apakah ada juga fraktur tulang radius atau dislokasi sendi radioulnar. Pada fraktur
yang kominutif dapat terjadi pergeseran lambat atau pseudoartrosis ini memerlukan tindakan
operatif.

Fraktur radius distalis pada anak

Fraktur radius distalis pada anak sering juga disebut juvenile colles fracture Pembagian
fraktur daerah ini sesuai dengan klasifikasi Salter-Harris

Type 1. Garis Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysis

Type 2. Garis fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke metafisis

Type 3. Garis Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut ke epifisial
plate (intra artikuler)

Type 4. Garis Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di metafisis (intra
artikuler)

44
Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi

2.7.5 Diagnosis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis anterior


posterior dan lateral.

Penilaian Keberhasilan Penanganan Fraktur Colles

Dalam melakukan penilaian terhadap keberhasilan penanganan fraktur Colles banyak ahli
menggunakan sistem Demerit untuk mengevaluasi hasil akhir penyembuhan fraktur Colles yang
dikemukakan oleh Gartland dan Werley (1951).

2.8 Fraktur Colles

Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan insidensi
yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause,oleh sebab itu pasien
biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan
pada saat memikirkan fraktur pada ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan
pertama kali adalah fraktur Colles.

Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya disebabkan oleh
gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. Hal ini dapat
diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan menahan badan dengan
posisi siku agak menekuk seperti gaya jatuhnya atlit atau penerjun payung.

Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama dengan 2,5
cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon, 1987.

Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal radius,
biasanya terjadi pada 3 – 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi volar dari apex fraktur

45
(deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari fragmen distal dengan diikuti pemendekan
(shortening) radial. Keadaan ini dapat atau tidak disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi
intraartikular dapat melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan
radioulnaris.

Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai fraktur
dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang ternyata terbukti
kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973).

2.8.1 Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme Trauma

Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan navikulare
ke arah distal, dan dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial. Bagian distal sendi
radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan ulna selain terdapat ligamentum dan
kapsulal yang memperkuat hubungan tersebut, terdapat pula diskus artikularis yang melekat pada
semacam meniskus yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamentum koleteral ulnar.
Ligamentum kolateral ulnar bersama dengan meniskus homolognya dan diskus artikularis
bersama ligamentum radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya menghubungkan radius dan
ulna, disebut Triangular fibro cartilage complex (TFCC) (Sjamsuhidajat, 1997), berguna untuk
menstabilkan artikulatio radioulnaris distal (Zabinski dan Weiland, 1999). Gerakan pergelangan
tangan sangatlah luas (mobile) dan kemampuannya mencapai 160° untuk fleksi dan ekstensi dan
180° untuk rotasi lengan bawah. Kurang dari 80% dari transmisi beban melaluii pergelangan
tangan lewat artikulatio radiocarpal sementara 20% sisanya melalui artikulatio ulnocarpal lewat
Triangular fibro cartilage complex. (Zabinski dan Weiland, 1999).

Fraktur Colles terjadi pada penderita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang
(Apley dan Solomon, 1987). Trauma yang terjadii merupakan trauma langsung yaitu jatuh pada
permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah
dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping
menyerupai garpu terbalik.

2.8.2 Diagnosis Fraktur Colles :

46
Diagnosis fraktur Colles ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Kita dapat
mengenal fraktur ini dengan adanya deformitas dinner fork seperti telah disebutkan diatas,
dengan penonjolan pada punggung pergelangan tangan (ke arah dorsal) dan depresi di depan.
Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila
pergelangan tangan digerakkan

Dari pemeriksaan radiologis posisi anteroposterior dan lateral dapat dijumpai suatu
fraktur transversal pada tulang radius kurang dari 2,5 cm dari pergelangan tangan, dan sering
disertai patahnya processus stiloideus ulnae.

Fragmen distal (1) bergeser dan miring ke dorsal (2) bergeser dan miring ke radial, dan
(3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami kerusakan dan kominutif yang hebat.

2.8.3 Klasifikasi :

Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi trauma distal
radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular. Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat
berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio
radiokarpal dan atau radioulnar serta ada tidaknya fraktur styloideus ulnae.

Klasifikasi Fraktur Colles menurut Frykman

Tipe Uraian
I Fraktur radius ekstra artikuler
II Fraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna
III Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal
IV Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal disertai fraktur ulna distal.
V Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal
VI Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal disertai Fraktur ulna
distal
VII Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal dan radio ulnaris distal.
VIII Fraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai fragmen ulnaris

47
Klasifikasi anatomi yang paling komprehensif dan lengkap adalah sistem AO (Zabinski
dan Weiland, 1999). Sistem ini membagi trauma menjadi tipe A (ekstra artikuler), tipe B
(artikular simpel) dan tipe C (artikuler komplek).

Lidstrom cit Roysam (1993), berdasarkan gambaran radiologis membagi fraktur Colles
kedalam empat tingkatan derajat keparahan pergeseran fragmen fraktur (derajat anatomis) dan
kualitas reduksi yaitu derajat I, II, III dan IV sesuai beratnya deformitas meliputi angulasi ke
dorsal dan pemendekan (shortening) tulang radius )

Derajat Keparahan Fraktur Colles Menurut Lidstrom.

Derajat Deformitas

I. Tidak ada atau tidak bermakna. Angulasi dorsal < 0° atau shortening < 3 mm
II. Ringan, Angulasi dorsal 1 – 10° dan / atau shortening 3 – 6 mm
III. Sedang, Angulasi dorsal 11 – 14° dan / atau shortening 7 – 11 mm
IV. Berat, Angulasi dorsal > 15° atau shortening > 11 mm.

2.8.4 Penanganan Fraktur Colles :

Penanganan fraktur Colles umumnya dilakukan rawat jalan yaitu setelah terdiagnosis
diberikan tindakan reposisi tertutup. Bila tidak ada pergeseran, cukup di imobilisasi dengan gip
bawah siku. Bila terjadii pergeseran atau sedikit pergeseran perlu tindakan reposisi dengan
anestesi lokal, regional atau umum, kemudian dilakukan gip bawah siku dengan posisi fragmen
distal fleksi dan pronasi. Pada hari berikutnya anggota gerak atas elevasi. Adapun jari-jari
sesegera mungkin melakukan latihan. Seminggu kemudian dilakukan pemotretan dengan sinar X
kontrol untuk menilai apakah terjadi pergeseran kembali (redisplacement). (Armis, 1994).

Imobilisasi dengan gip bertujuan mencegah pergeseran kembali fragmen fraktur paska
reposisi. Sebagai tulang kanselus, maka penyembuhan tulang radius distal diperkirakan tuntas
kurang lebih 6 minggu dari saat terjadinya trauma. Oleh sebab itu pada fraktur Colles gip dapat
dilepas umumnya 5 – 6 minggu (Mc Rae, 1992; Apley dan Solomon, 1987; Gartland dan Werley,
1951).
48
Mengenai imobilisasi gip bawah siku atau atas siku masih terdapat perbedaan
pandangan. Apley dan Solomon (1987), serta Mc. Rae (1992), menyatakan penanganan fraktur
Colles cukup dengan gip bawah siku sedangkan ahli lain menyatakan harus dengan gip atas siku
(Way, 1994). Sheikh dan Murthy (2000) menganjurkan imobilisasi kombinasi yaitu gip atas siku
pada minggu-minggu awal dilanjutkan gip bawah siku kecuali pada penderita di atas 60 tahun
harus dipasang gip bawah siku untuk mencegah kekakuan sendi siku.

2.9 Fraktur Astabulum

2.9.1 Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 :

1. Pilar anterior
2. Posterior
3. Transversal
4. Komposit

I II III IV

49
Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi, adduksi,
internal rotasi dan Shortening.

Klasifikasi radiologis, Epstein 1973 Dislokasi Coxae :

I : tanpa fraktur dilakukan skin traksi, hemispika (3 minggu)

II : dengan fraktur segmen

III : dengan fraktur comminutif bibir asetabulum

IV : fraktur dasar asetabulum

V : dislokasi posterior dengan fraktur head femur

2.9.2 Komplikasi ;

1. Trauma saraf skiatika


2. Osteoarthritis
3. Nekrosis avaskuler kaput femoris

2.9.3 Anatomy of the lower Extremity

50
2.10 Fraktur Pelvis

Cincin pelvis dibentuk oleh :

1. Os Ileumkanan kiri
2. Os Sacrum (belakang)
3. Os Pubis kanankiri

Fraktur pelvis ditimbulkan oleh trauma yang hebat kecuali pada wanita tua dengan
osteoporosis. Bila terjadi trauma daerah pelvis jangan lupa evaluasi vesika urinaria, urethra,
rektum , anus, pembuluh darah besar dan gangguan neurologis (pleksus lumbalis,
pleksus sacralis).

51
2.10.1 Klasifikasi

Klasifikasi TILE dan PENNAL (1980)

A : Stabil

A1 : Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis

A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran

A1: Avulsion A2: Non-displacedA3: Transverse sacral or


fracture pelvic ring fracture coccyx fractures

B : Rotasi (tidak stabil) dan Vertikal (stabil)

B1 : Open book

Stage 1 Symphisiolisis < 2,5 cm terapi dengan bed rest

Stage 2 Symphisiolisis > 2,5 cm terapi dengan OREF

Stage 3 Bilateral Lessio terapi dengan OREF

B2 : Kompresi lateral / ipsilateral

B3 : Kompresi lateral / kontralateral (bucker handle terapi dengan OREF)

52
B1: Stage 1 B1: Stage 2 B1: Stage 3

Symphysis pubis Symphysis pubis Symphysis pubis disruption


disruption less than disruption more than 2.5more than 2.5 cm with
2.5 cm cm bilateral posterior ring
injury

B2: lateral compression injury B3: lateral compression


(ipsilateral) (contralateral / Buckle Handle)

C : Rotasi dan vertikal (tidak stabil)

C1 : Unilateral

C2: : Bilateral

C3 : dengan fraktur asetabulum

C1: Ipsilateralanterior C2: BilateralC3 :Any pelvic fracture with


and posterior pelvic hemipelvic disruption anassociated acetabularfracture
injuries

2.10.2 Management :

53
1. Evaluasi A, B, C

Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36jam pertama), bila perdarahan

menetap transfusi 10-12U(24-36jam pertama) , perdarahan hebat lakukan laparotomi dan

repair dan pikirkan untuk dilakukan artrografi.

2. Konservatif

Istirahat sampai nyeri hilang untuk tipe A

Pelvik sling untuk tipe B stage 2

3. Operatif

Hentikan perdarahan, Stabilkan fraktur untuk tipe C, Cytostomi

Repair arteri

2.11DISLOKASI

2.11.1 Pengertian

Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang membentuk
sendi tidak lagi dalam posisi anatomis. Secara kasar adalah tulang terlepas dari persendian.
Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan persendian. Kadang luksasi disertai dengan
fraktur luksasi / dislokasi, misalnya fraktur panggul dengan fraktur pinggir acetabulum.
Dislokasi disertai dengan kerusakan simpai sendi atau ligament sendi. Bila kerusakan tersebut
tidak sembuh dengan baik, luksasi muda terulang kembali seperti sendi bahu. Pada sendi panggul
perdarahan dicaput femur mungkin terganggu karena kerusakan pada trauma luksasi sehingga
terjadi nekrosis avasculer.

2.11.2 Pengelompokan dislokasi sendi secar garis besar.

54
• Dislokasi congenital.

Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan yang paling sering terjadi pada
panggul. Dislokasi panggul cogenital merupakan suatu keadaan dimana caput femoris
posisisnya dalam acetabulum tidak normal sejak lahir. Caput femoris biasanya kecil dan
sering kali terletak diluar superior dan lateral acetabulum. Perkembangan panggul normal
yang harmonis membutuhkan hubungan antara caput femoris dan acetabulum. Disosiasi
jangka panjang dapat menyebabkan perkembangan yang tak memadai baik caput femoris
maupun acetabulum sehingga akhirnya menyebabkan cacat.

• Dislokasi tarumatik

Dislokasi traumatik adalah suatu kedaruratan ortopedi, yang memerlukan


pertolongan segera, karena struktur sendi yang terlibat pasokan darah dan saraf rusak
susunannya dan mengalami stres. Bila tidak ditangani segera dapat terjadinekrosis
avasculer ( kematian jaringan akibat anoksia dan hilangnya pasokan darah ) dan
paralylisis saraf.

Trauma sendi dapat berupa :

- Kontusio sendi biasa terjadi oleh benturan.

- Joint srain oleh trauma kecil yang berulang ( otot tertarik akibat penggunaan yang
berlebihan, peregangan berlebihan dan atau stres yang berlebihan ).

- Joint sprain / keseleo ada robekan mikroskopis dari ligament atau kapsul sendi yang
tidak mengganggu stabilitas akibat gerakan memutar.

- Ruptur ligament

- Dislokasi.

- Dislokasi spontan atau patologik

Terjadi akibat penyakit struktur sendi dan jaringan sekitar sendi.

55
2.11.3 Diagnosis dislokasi.

o Anamnesis

 Ada trauma

 Mekanisme trauma yang sesuai, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi


pada dislokasi anterior sendi bahu.

 Ada rasa sendi keluar.

 Bila trauma minimal hal ini dapat terjadi pada dislokasi rekuren atau habitual.

o Pemeriksaan klinis.

 Deformitas.
= hilangnya tonjolan tulang normal, misalnaya deltoid yang rata pada
dislokasi bahi.
= Perubahan panjang ekstremitas
= Kedudukan yang khas pada dislokasi tertentu, misalnya dislokasi
posterior sendi panggul kedudukan sendi panggul endorotasi, fleksi
dan abduksi.

 Nyeri

 Funtio laesa gerak terbatas.

2.11.4 Pemeriksaan fisik

o Dislokasi traumatic

Semua lingkup gerak dicatat, mulai dari posisi nol atau netral. Posisi netral bukan
merupakan posisi faali atau posisi istirahat yang penting bila dilakukan immobilisasi.
Posisi netral disebut juga posisi Zero atau posisi 0 , adalah posisi yang menjadi dasar nol
atau mencatat gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi dan rotasi. Posisi netral untuk

56
sendi bahu dan paha adalah posisi bahu atau paha searah dengan sumbu tubuh dan untuk
sendi siku, lutut dan pergelangan tangan adalah sendi lurus. Untuk sendi pergelangan
kaki posisi netral adalah kaki tegak lurus atas tungkai bawah.

o Dislokasi congenital panggul

Semua ana yang baru lahir sebaiknya diperiksa kemungkinan ada dislokasi
panggul congenital beberapa hari setelah kelahiran. Bayi ditidurkan dengan kedua kaki
dipleksikan dengan menekan secara lembut pada lutut kearah meja periksa, sedangkan
lutut dan pahanya diabduksikan secara manual pada saat yang bersamaan bagian
proksimal paha ditekan keatas dan medial. Tekanan pada lutut pada lutut yang arahnya
kebawah pada pada awal tindakan ini, dapat menyebabkan dislokasi total pada panggul
yang mengalami gangguan. Pada waktu paha diabduksikan seperti tersebut diatas
panggul tersa tereduksi secara spontan disertai bunyi “ KLIK “ kemudian dengan adduksi
panggul dapat dirasakan dislokasinya. Ketidak stabilan panggul yang dapat diperagakan
dengan tes provokasi ini disebut “ tanda ortolani positif “

2.11.5 Pemeriksaan radiologis.

Untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur, pada dislokasi lama
pemeriksaan radiologis lebih penting oleh karena nyeri dan spasme otot telah
menghilang.

2.11.6 Penatalaksanaan

Tindakan reposisi :

 Reposisi segera.
 Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anasthesi,
misalnya dislokasi siku, dislokasi bahu dan dislokasi jari.

57
 Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anasthesi lokal
dan obat – obat penenang misalnya Valium. Jangan dipilih cara reposisi yang
traumatis yang bila dilakukan tanpa relaksasi maksimal dapat menimbulkan
fraktur.

 Dislokasi sendi dasar misalnya dislokasi sendi panggul memerlukan anasthesi


umum. Dislokasi setelah reposisi, sendi diimobilisasi dengan pembalut, bidai,
gips ata traksi dan dijaga agar tetap dalamposisi stabil, beberapa hari beberapa
minggu setelah reduksi gerakan aktif lembut tiga sampai empat kali sehari
dapat mengembalikan kisaran sendi, sendi tetap disangga saat latihan.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjad, Chairuddin (1998). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Penerbit Bintang Laumpatue. Hal.
409-466 Ujung Pandang

Reksoprodjo, S. (2002). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI.
Binarupa Aksara,1995,Hal. 502, Jakarta.

Sabiston, David C. 1994. Fraktur. Dalam: Susunan Muskuloskeletal. Buku Ajar Bedah Bagian
2, hal.374. EGC. Jakarta.

58
Mansjoer A et al (2001). Bedah Orthopedi, Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1 Edisi III. Media
Esculapius. FKUI.hal.346-357 Jakarta

Apley Graham A. & Solomon Louis. Prinsip Fraktur. Buku ajar ortopedi dan fraktur system
apley, edisi ketujuh, Widya Medika, Hal. 237. Jakarta.

http://www.bedahugm.net/fraktur/

http://www.klinikindonesia.com/bedah/fraktur.php

http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/dislocation+fracture

http://www.education.com/reference/article/Ref_Dislocations/

orthopedics.about.com/od/brokenbones/Fractures_Dislocations.htm

www.emedicinehealth.com/wilderness_fractures_or.../article_em.htm

59

Anda mungkin juga menyukai