Anda di halaman 1dari 7

Materi Ceramah dan Kultum Ilmu adalah Pemimpin Amalan

Muadz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

ُ ‫الع ِْل ُم إِ َما ُم العَ َم ِل َوالعَ َم ُل ت َابِعُه‬

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil
Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu
Sebelum Berkata dan Berbuat)”. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman
Allah ta’ala,

َّ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ ََل إِلَهَ إِ ََّل‬


َ‫َّللاُ َوا ْست َ ْغف ِْر ِلذَ ْنبِك‬

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang
dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah
amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal
ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih
dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan
ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat
dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat
benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali
dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena
ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i


Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk
berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu
syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.

Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia. Di akhirat,
Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal
dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari
hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,
‫َّللاُ الَّذِينَ آ َ َمنُوا مِ ْن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا ْالع ِْل َم دَ َر َجات‬
َّ ‫يَ ْرفَ ِع‬

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama
dan dunia meraka. Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari
Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di
antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.

Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap
bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si
pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh
laki-laki dari Bani Israil tersebut.

Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu,
lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada
pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan
tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat.

Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang
penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal
sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan
kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput
kematian. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.

Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َارا َوَلَ د ِْر َه ًما إِنَّ َما َو َّرثُوا ْالع ِْل َم فَ َم ْن أ َ َخذَ بِ ِه أ َ َخذَ بِ َحظ َوافِر‬
ً ‫إِ َّن األ َ ْنبِيَا َء لَ ْم ي َُو ِرثُوا دِين‬

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR
Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi
Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫َم ْن ي ُِر ِد‬


ِ ‫َّللاُ ِب ِه َخي ًْرا يُف َِق ْههُ فِى الد‬
‫ِين‬

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan
dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya
pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan
kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada
dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)

Manakah Ilmu yang Wajib Dipelajari terlebih Dahulu?


Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun
ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu
mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari
ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya,
merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan
haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk
ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah
hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan
niat.

Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau
niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan
aqidah dan tauhid yang benar.

Penutup

Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak
terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang
dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan. ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz mengatakan,

‫من عبد هللا بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح‬

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan
bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,

‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫شبَهٌ مِ ْن الن‬ َ َ‫شبَهٌ مِ ْن ْاليَ ُهو ِد َو َم ْن ف‬
َ ‫سدَ مِ ْن ِعبَا ِدنَا َكانَ فِي ِه‬ َ ‫علَ َمائِنَا َكانَ فِي ِه‬
ُ ‫سدَ مِ ْن‬
َ َ‫َم ْن ف‬

“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan
dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu)
memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah
diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang
sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/ilmu-adalah-pemimpin-amalan/
Alasan Utama Mengapa Belajar Agama Islam Diwajibkan!
By

Tongkrongan Islami

Share

Advertisement

Urgensi Belajar Ilmu Agama – Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba bagaimana
bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English.

Namun sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak
belajar di tempat les sore hari, kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari
generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak
tahu.

Merenungkan Ayat

Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,

َ ‫ظاه ًِرا مِ نَ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو ُه ْم‬


َ‫ع ِن ْاْلَخِ َرةِ ُه ْم غَافِلُون‬ َ َ‫يَ ْعلَ ُمون‬

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)

Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan
mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka
benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-
benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)

Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas
pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya
mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada.

Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu
kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak
mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak
saja dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka
melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka
terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui
kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian,
perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat.

Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana
penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar
Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak
mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui
aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan
tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut.

Kebanyakan manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok
tanam, industri dan perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang
batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari
kehidupan akhirat.

Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di
akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri
yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut
Tafasir, 4/125)

Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun
keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu
dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang.

Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai
membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu
diberi porsi lebih pada ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan.

Bahaya Jahil akan Ilmu Agama

Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka tentu saja akan membawa
bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu
akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain yang mencontoh dirinya.

Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya terlebih
dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun
dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang
benar harus dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

َّ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ ََل إِلَهَ إِ ََّل‬


َ‫َّللاُ َوا ْست َ ْغف ِْر ِلذَ ْنبِك‬

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk
berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu
hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini
sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari
jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih
dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan
ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat
dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-buat ibadah tanpa tuntunan atau
amalannya jadi tidak sah. Jika seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara
ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia.

Begitu pula mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal
nyatanya tidak ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia
belaka.

Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun
mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena
kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba.
Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal. Mu’adz bin Jabal berkata,

ُ ‫الع ِْل ُم إِ َما ُم العَ َم ِل َوالعَ َم ُل ت َابِعُه‬

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil
Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫علَ ْي ِه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ع َمالً لَي‬


َ ‫ْس‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫عمِ َل‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR.
Muslim no. 1718)

Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz berkata,

ْ ُ‫عبَدَ هللاَ بِغَي ِْر ع ِْلم َكانَ َما يُ ْف ِسدُ أ َ ْكث َ َر مِ َّما ي‬
‫ص ِل ُح‬ َ ‫َم ْن‬

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)

Beri Porsi yang Adil

Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu dunia
bisa menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut.

Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent sehingga masyarakat bisa mudah
berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk mempelajari ilmu
kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat.

Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia saja
apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih senang
menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3, menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun
sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan.

Mereka lebih pakar menghitung, namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka
jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti bahwa menggantungkan jimat dalam rangka
melariskan dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik.
Inilah yang sangat disayangkan.

Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia bisa
meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib
yang harus dipelajari setiap muslim.

Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham bagaimanakah
mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam
kehidupan sehari-hari.

Tidak mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari
seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana.

Karena mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana
keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa
untuk umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan
ilmu agama yang wajib ia pelajari.

Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter,
engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫َم ْن ي ُِر ِد‬


ِ ‫َّللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِى ال ِد‬
‫ين‬

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan
dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َارا َوَلَ د ِْر َه ًما إِنَّ َما َو َّرثُوا ْالع ِْل َم فَ َم ْن أ َ َخذَ بِ ِه أ َ َخذَ بِ َحظ َوافِر‬
ً ‫إِ َّن األ َ ْنبِيَا َء لَ ْم ي َُو ِرثُوا دِين‬

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR
Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)

Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada
anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan
keseharian mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/urgensi-belajar-ilmu-islami/

Anda mungkin juga menyukai