Anda di halaman 1dari 18

BAB I

Pendahuluan
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua
wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan
post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional
Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post
partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas
penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan
data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post
partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL
setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal.
Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post
partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan
post partum sekunder.
Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka
kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara
lain: atonia uteri (50 – 60 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %),
kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
BAB II

Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam
persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka
batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, berkeringat dingin,
menggigil, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL
2
.
Perdarahan post partum dibagi menjadi1,2,5:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum
hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada
masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.

Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain1,2:
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta
- Gangguan pembekuan darah

2
Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab
Perdarahan Post Partum2
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
- Uterus tidak berkontraksi dan - Syok Atonia uteri
lembek. - Bekuan darah pada
- Perdarahan segera setelah serviks atau posisi
anak lahir telentang akan
menghambat aliran
darah keluar
- Darah segar mengalir segera - Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir - Lemah
- Uterus berkontraksi dan keras - Menggigil
- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir setelah - Tali pusat putus Retensio plasenta
30 menit akibat traksi
- Perdarahan segera berlebihan
- Uterus berkontraksi dan keras - Inversio uteri akibat
tarikan
- Perdarahan lanjutan
- Plasenta atau sebagian - Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta
selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus
- Perdarahan segera tidak berkurang
- Uterus tidak teraba - Neurogenik syok Inversio uteri
- Lumen vagina terisi massa - Pucat
- Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
- Sub-involusi uterus - Anemia Endometritis atau sisa
- Nyeri tekan perut bawah - Demam fragmen plasenta
- Perdarahan sekunder (terinfeksi atau tidak)

3
Kriteria Diagnosis1
 Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil,
ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus
 Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin
karena luka jalan lahir
 Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada pemeriksaan
dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta

Pemeriksaan Penunjang1,2,3
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk1,3.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal3.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan2,3.
 Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan
retensi sisa plasenta1,3.

Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3.

Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi
waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan
pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur
intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua
pada pasien dengan resiko sangat tinggi3.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume
yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena

4
perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan
cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan
Ringer Laktat3.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan
perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L
kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi
pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal
dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL
pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab
perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan
penambahan transfusi sel darah merah3.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang
buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan
karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka
cairan kristaloid tetap direkomendasikan3.

Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan
akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun
telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan
transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang
hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat
menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS
pada masing-masing unit.

5
Tabel 2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 L IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan Bila masih
40 tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi

Penyulit1
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
 Syok ireversibel
 DIC

Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III
dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum3. Penanganan aktif
merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
 Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
 Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi
dengan baik

6
Tabel 3. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok3
Volume
Tekanan Darah Tanda dan
Kehilangan Derajat Syok
(sistolik) Gejala
Darah
Palpitasi,
500-1.000 mL
Normal takikardia, Terkompensasi
(10-15%)
pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
takikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg)
berkeringat
1500-2000 mL Penurunan sedang Gelisah, pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL Penurunan tajam (50- Pingsan,
Berat
(35-50%) 70 mm Hg) hipoksia, anuria

ATONIA UTERI
Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling
penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri
dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik3.

Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin
makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan
struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir3.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat
pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti
agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,

7
beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio
plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa
grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan
post partum3.

PREDISPOSISI TERHADAP ATONIA UTERI

1. Grandemultipara.

2. Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/ BB > 4000

gram).

3. Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi).

4. Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum).

5. Partus lama

6. Partus presipitatus.

7. Hipertensi dalam kehamilan.

8. Infeksi uterus.

9. Anemia berat.

10. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus).

11. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta.

12. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus

sebelum plasenta terlepas.

Penatalaksanaan2,3
 Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
 Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan
perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
 Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang
tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.

8
 Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua
belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila
perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
 Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan
dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai
pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan
kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus
berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta
abdominalis
 Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang
tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat
hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
 Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2
atau 3 jam sesudahnya.
 Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap >
200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik
(khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
 Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

9
Bagan 1. Penilaian Klinik Atonia Uteri2

10
RETENSIO PLASENTA
Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih
dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta
disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.

Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain2:
 Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian
lapisan miometrium sampai ke serosa
 Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati
lapisan miometrium
 Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
 Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri

Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta2


Separasi / akreta Plasenta
Gejala Plasenta akreta
parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi plasenta Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

11
Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak
terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
 Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila
perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak
menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan
plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
 Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
 Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral)
 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik

Plasenta inkarserata
 Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
 Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks
dan melahirkan plasenta
 Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20
IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan
kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut
 Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan
manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik
(Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada
tabung suntik yang terpisah

Sisa Plasenta
 Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan
pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin

12
dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi
uterus
 Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang
dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan
metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuretase
 Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

Plasenta akreta
 Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau
korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta
karena implantasi yang dalam
 Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan
diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini
memerlukan tindakan operatif

LASERASI JALAN LAHIR


Klasifikasi2
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam6:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit
perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan
perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan
muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks

13
Faktor Resiko1
- Makrosomia
- Malpresentasi
- Partus presipitatus
- Distosia bahu

Penatalaksanaan2
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
 Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator

Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
 Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa,
menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani.
Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang
sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
 Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi
penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan
tradisional atau
 terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas

Robekan serviks
 Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
 Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio

14
 Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan
lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah
luar sehingga semua robekan dapat dijahit
 Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan pasca tindakan
 Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
 Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan
transfusi darah

KELAINAN DARAH
Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk
mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah
memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada
daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi
dari sebab lain, terutama trauma3.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma
HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi,
tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak
terdiagnosis3.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa
hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang
menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta,
sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat
hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil
harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan
post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC3.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang
menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat

15
peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu
trombin (thrombin time).

Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan
post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post
partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli
air ketuban dan septikemia.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan
trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu unit
trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa
sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung
trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit
10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau
diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari4.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X
dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian
donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan
koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan
harus dipakai secara empiris4.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai
dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand. Kuantitas
faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi
menurut keadaan klinis4.

16
BAB III

Kesimpulan
Perdarahan post partum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih, sesudah anak
lahir. Perdarahan pasca persalinan terbagi menjadi, yaitu perdarahan post partum dini dan masa
nifas. Perdarahan pasca persalinan perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih yang terjadi
segera setelah bayi lahir sampai 24 jam, kemudian perdarahan masa nifas adalah perdarahan
yang terjadi pada masa nifas 500 ml atau lebih setelah 24 jam bayi dan plasenta lahir.
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh Atonia uteri, robekan
(laserasi, luka) jalan lahir., retensio plasenta dan sisa plasenta, Gangguan pembekuan darah
(koagulopati). Gejala klinis yang ditemui adalah perdarahan pervaginam yang terus-menerus
setelah bayi lahir, pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, denyut nadi
cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, Palpasi uterus , inspekulo, laboratorium. Prinsip penanganan adalah
menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok., dan ganti darah yang hilang.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan
Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada
2. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002, Perdarahan
Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com
4. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit Widya Medika
5. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Angsar, M. D., 1999, Perlukaan Alat-alat Genital dalam Ilmu Kandungan, Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

18

Anda mungkin juga menyukai