KAJIAN PUSTAKA
Menurut Hakim, Liliasari, & Kadarohman (2012), pemahaman terdiri dari delapan
kategori. Ketegori pemahaman konsep siswa dapat dilihat pada Tabel 2.2
Dari kedelapan kriteria di atas dapat disederhanakan menjadi tiga kriteria, yaitu, paham,
miskonsepsi dan tidak tahu konsep. Menurut Ayas et.al (2002), miskonsepsi, pendapat alternatif,
konsep alternatif, pendapat yang salah, pra-kognisi, konsep pengertian umum merupakan
penjelasan yang berbeda dari pendapat ilmiah (Ozcan et.al, 2012). Smith et.al (1993)
menyatakan ada berbagai istilah dalam literatur yang digunakan dalam mengartikan miskonsepsi
siswa, yaitu miskonsepsi, prasangka, konsep alternatif, keyakinan naif, teori naif, kepercayaan
alternatif dan konsepsi yang cacat (Egodawatte, 2011). Abimbola (1988); Gilbert (1985);
Wandersee et.al (1994) menggunakan istilah konsep alternatif untuk mengartikan miskonsepsi
(Bahar, 2003). Kesimpulannya bahwa istilah konsep alternatif sama dengan miskonsepsi,
sehingga siswa dikatakan mengalami miskonsepsi jika respon yang diberikan siswa tidak logis,
menunjukkan pemahaman konsep tetapi juga membuat kesalahan dalam membuat pernyataan
yang tidak sesuai dengan pendapat para ahli atau respon jawaban yang ditentukan. Siswa
dikatakan paham jika respon sesuai dengan komponen yang ditetapkan walaupun tidak lengkap.
Siswa dikatakan tidak paham jika siswa tidak memberikan respon, mengulangi pernyataan,
respon yang diberikan tidak relevan dengan jawaban semestinya.
2) Miskonsepsi
Miskonsepsi (Gilbert & Watts, 1983; Lane, 2008) adalah ketidakcocokan definisi
konsep saintifik dari definisi yang terbentuk dalam pikiran siswa yang bertentangan dengan
pendapat ahli (Akbas & Gencturk, 2011). Pengertian lain tentang miskonsepsi, yaitu
kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan terbukti sahih tentang
suatu fenomena atau peristiwa (Ormrod, 2009: 338).
Miskonsepsi dapat mengganggu penerimaan siswa terhadap pembelajaran yang baru.
Nussabaum dan Novick (1982) merangkum penelitian tentang efek miskonsepsi, dan
menyatakan bahwa miskonsepsi sangat berpengaruh dalam pemahaman ilmu pengetahuan
(Koçyiğit, 2003). Siswa yang mengalami miskonsepsi akan mengalami kesulitan dalam belajar
konsep-konsep baru karena konsepsi awal mereka yang dijadikan pondasi memiliki kesalahan
untuk pembentukan wawasan baru.
Miskonsepsi rawan terjadi dalam sains sehingga perlu segera diatasi. Sebelum
melakukan penanganannya, diperlukan identifikasi faktor yang menyebabkan miskonsepsi
tersebut. Tekkaya (2002) menyatakan bahwa faktor penyebab miskonsepsi antara lain, berasal
dari siswa, buku teks, dan guru.
Pertama, miskonsepsi yang berasal dari siswa disebabkan karena pengaruh latar
belakang dan juga bahasa yang yang digunakan sehari-hari, misalnya dalam kehidupan sehari-
hari mereka menyebut lumba-lumba sebagai ikan. Pengaruh latar belakang siswa dan juga
bahasa yang biasa digunakan sehari-hari membentuk konsep awal bagi siswa yang terus dibawa
sampai sekolah. Akibatnya pembentukan konsep baru menjadi sulit karena konsep baru yang
diajarkan berbeda dengan konsep awal yang telah tertanam dalam pikiran siswa.
Kedua, miskonsepsi muncul dari buku teks. Menurut Storey (1991, 1992), dalam buku
teks, ada banyak kesalahan dan informasi yang tidak benar sehingga menyebabkan miskonsepsi
(Tekkaya, 2002). Dalam buku teks sering terdapat kesalahan yang kemungkinan diakibatkan
karena editor buku teks adalah orang yang tidak menguasai bidangnya.
Ketiga, menurut Sanders (1993) dan Yip (1998), miskonsepsi berasal dari guru melalui
kesalahan atau ketidakakuratan dalam mengajar (Tekkaya, 2002). Sanders (1993)
mengemukakan bahwa strategi pembelajaran guru menjadi faktor yang mempengaruhi
pengembangan miskonsepsi siswa (Tekkaya, 2002). Guru harus pandai memilih dan
menggunakan model yang cocok agar tidak terjadi miskonsepsi.
Menurut Suparno (2005: 56), upaya untuk mengatasi miskonsepsi siswa adalah pertama,
seorang guru harus mengerti cara berpikir siswa. Brouwer (1984) menyatakan cara berpikir dapat
diketahui dengan memberikan kesempatan siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikiran
mengenai materi yang sedang dipelajari secara tertulis atau lisan (Suparno, 2005: 56). Langkah
berikutnya adalah guru mencari penyebab atau akar permasalahan miskonsepsi yang dilakukan
dengan wawancara.
Miskonsepsi yang sering terjadi dalam pembelajaran biologi di antaranya adalah pada
konsep-konsep tentang materi Animalia. Menurut Sezek (2013), miskonsepsi yang terjadi dalam
pengklasifikasian Animalia antara lain: pinguin sebagai mamalia, sedangkan kura-kura dan
beberapa reptillain sebagai amfibi atau invertebrata. Tekkaya (2002) menyatakan bahwa siswa
mencampuradukkan konsep klasifikasi amphibi, reptil, ikan, echinodermata, coelenterata dan
mamalia, seperti dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Miskonsepsi dalam mengklasifikasikan Animalia yang dilakukan oleh siswa.
Klasifikasi
Pinguin, kadal, buaya dan kura-kura adalah amphibi
Paus, lumba-lumba, anjing laut, ubur-ubur dan bintang laut adalah ikan
Kelelawar adalah burung
Tingkah laku dan tempat hidup adalah dasar klasifikasi
Paramecium termasuk dalam kelompok hewan
Manusia tidak termasuk dalam kelompok hewan
(Sumber: Tekkaya, 2002)
c. Dialog Socrates
Dialog Socrates adalah prosedur yang digunakan oleh filsuf Yunani, yaitu Socrates,
untuk membimbing siswa-siswanya untuk mendapatkan pengetahuan melalui pertanyaan dalam
dialog (Vyskočilová & Praško, 2012). Pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk membantu orang
lain memperluas pandangan mereka dari suatu masalah tertentu dan kemudian mendapatkan
pandangan baru sesuai dengan konsep. Teknik ini ditujukan untuk membantu siswa menemukan
informasi yang berguna sehingga pemahaman konsep menjadi lebih baik (Padesky, 1995 : 17-
19).
Dialog Socrates dimulai dengan mendebatkan pengetahuan awal siswa dengan
pertanyaan-pertanyaan, kemudian membawa siswa pada pemahaman materi (Vyskočilová &
Praško, 2012). Hajhosseiny (2012), mengaplikasikan Dialog Socrates dengan kombinasi Dialog
Socrates yang dilakukan oleh Nelson (2003) dan Freire (1972), yaitu menentukan masalah,
diskusi, dan evaluasi. Langkah pertama, dalam sesi kelas singkat, guru dan siswa dengan
meninjau pembahasan sebelumnya, mengemukakan beberapa poin yang kontroversial dan
mempersiapkan konteks untuk mendiskusikan masalah baru. Langkah kedua, guru memulai
diskusi kelas dengan mengemukakan masalah. Siswa berbagi definisi mereka, masing-masing
definisi ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang hukum ilmiah, komponen dan
elemen yang telah dianalisis serta siswa terlibat dalam diskusi dan mengkritisi sudut pandang
satu sama lain. Guru memposisikan dirinya seakan-akan ingin tahu, bukan orang yang tahu
jawaban yang benar. Langkah ketiga, guru dan siswa mengkaji, mengevaluasi dan
menyimpulkan pemahaman dari masalah yang diajukan mereka.
Guru berperan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan penyelidikan untuk
mengekspos nilai-nilai dan keyakinan yang mendukung pikiran dalam penyelidikan. Tanya
jawab dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan ini merupakan cara yang paling umum
digunakan guru untuk memeriksa pemahaman siswa. Menurut Frey (2011), ketika siswa sedang
berbicara, guru memiliki kesempatan untuk menilai pemahaman siswanya. Sehingga salah satu
cara efektif untuk memeriksa miskonsepsi adalah melalui bahasa lisan (berbicara dan
mendengarkan).
Teknik tanya jawab yang dinilai efektif antara lain menggunakan Dialog Socrates.
Menurut Lam (2011), Dialog Socrates dapat meningkatkakan minat belajar siswa, mengurangi
miskonsepsi materi, membantu siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan, memupuk
keterampilan berpikir dan membantu siswa memonitor pembelajaran mereka sendiri. Guru juga
menggunakan pertanyaan untuk mendorong siswa memikirkan lebih jauh tentang informasi yang
mereka pelajari sebelumnya atau untuk memulai suatu diskusi, contoh dialog tersaji pada Tabel
2.4.
B. Kerangka Berpikir
Hasil tes pra-penelitian siswa kelas X-9 SMA Muhammadiyah 1 Karanganayar pada
materi Animalia menunjukkan 20 siswa tidak paham konsep, 15 siswa miskonsepsi dan 2 siswa
paham konsep sehingga dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa X-9 lemah. Padahal
yang diharapkan setelah siswa melakukan pembelajaran adalah siswa mampu memahami konsep
Animalia yang benar sehingga mampu mengaitkan fakta dan femonena ilmiah dalam kehidupan
sehari-hari. Analisis akar permasalahannya adalah pembelajaran yang belum sepenuhnya
melatihkan siswa untuk mengkonstruksi konsep, melatih kemampuan untuk menyelidiki dan
menggali informasi secara langsung dan adanya konsep awal siswa yang salah.
Alternatif solusi yang ditawarkan adalah penerapan model Guided Discovery Learning
berbasis Dialog Socrates. Model Guided Discovery Learning dapat membantu siswa dalam
memahami konsep melalui aktivitas mengkonstruksi konsepnya sendiri, selain itu adanya
panduan bertujuan untuk mengarahkan siswa pada konsep yang benar. Dialog Socrates
dilatihkan pada saat pembelajaran berlangsung dengan cara menyelidiki dan saling bertukar
pemikiran dengan rekan satu tim untuk menyelesaikan tugas dan mendapatkan informasi.
Penerapan model Guided Discovery Learning berbasis Dialog Socrates diharapkan mampu
meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas X-9. Alur kerangka berpikir dalam melaksanakan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.
C. Hipotesis
Penerapan Guided Discovery Learning dipadu modul berbasis dialog Socrates dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas X-9 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.