Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan


1. Kajian Teori
a. Konsep dan Miskonsepsi
1) Konsep
Rustaman (2005: 51) mendefinisikan konsep sebagai metode untuk mendapatkan
kepastian teori yang menggambarkan ciri-ciri, karakter atau tanda yang sama dari sekelompok
objek pada suatu fakta, proses, peristiwa, benda atau fenomena di alam yang membedakan
dengan kelompok lainnya. Sedangkan menurut Slavin (2008: 209), konsep adalah suatu gagasan
abstrak yang digeneralisasikan dari contoh-contoh khusus. Konsep-konsep berfungsi sebagai
batu-batu berpikir, yang dapat disusun menjadi suatu bangunan, dengan menghubungkan-
hubungkan konsep satu dengan yang lain (Winkel, 2005: 57). Dengan demikian, konsep awal
siswa yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun yang telah dipelajari pada tingkat
sekolah sebelumnya sangat diperlukan untuk membangun konsep baru.
Konsep umumnya dipelajari dengan dua cara. Pertama, dengan cara pengamatan,
misalnya seorang anak mempelajari konsep mobil dengan mengamati kendaraan tertentu yang
disebut sebagai mobil. Pada awalnya, anak akan menyertakan sepeda motor sebagai mobil,
namun karena pengamatan konsep telah diperbaiki, anak dapat membedakan dengan jelas antara
mobil dengan bukan mobil. Pada pengajaran konsep menggunakan contoh, Tennyson dan Park
(1980: 59), mengusulkan agar guru mengikuti aturan penyajian contoh konsep: 1) Urutkan
contoh-contoh tersebut dari yang mudah hingga sulit; 2) Pilih contoh yang berbeda satu dengan
yang lain; 3) Bandingkan dan bedakan contoh dan bukan contoh (Slavin 2008: 299). Cara kedua,
konsep biasa dipelajari melalui definisi, misalnya sangat sulit mempelajari konsep “tante” atau
“paman” hanya melalui pengamatan. Orang dapat mengamati ratusan tante dan non-tante tanpa
memperoleh konsep tante yang jelas. Untuk itu, konsep dapat dipelajari melalui definisi. Yakni
untuk menjadi seorang tante, haruslah perempuan yang saudara laki-laki atau perempuannya
memiliki anak (Slavin, 2008: 299).
Menurut Anderson & Krathwohl (2010: 99-115) ada tujuh kategori dalam pemahaman,
yaitu (1) menafsirkan, (2) mencontohkan, (3) mengklasifikasikan (4) merangkum, (5)
menyimpulkan, (6) membandingkan, (7) menjelaskan. Penjelasan dari ketujuh aspek dapat
dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1. Kategori pemahaman


Kategori dan proses kognitif Definisi dan contoh
Menafsirkan Mengubah satu bentuk gambaran jadi bentuk lain.
Mencontohkan Menemukan contoh tentang konsep
Mengklasifikasikan Menentukan sesuatu dalam satu kategori
Merangkum Mengabstraksikan tema umum atau point pokok
Menyimpulkan Membuat kesimpulan yang logis dari informasi yang diterima
Membandingkan Menentukan hubungan antara dua ide, dua objek dan semacamnya.
Menjelaskan Membuat model sebab-akibat dalam sebuah sistem
(Sumber: Anderson & Krathwohl, 2010: 100)

Menurut Hakim, Liliasari, & Kadarohman (2012), pemahaman terdiri dari delapan
kategori. Ketegori pemahaman konsep siswa dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2. Kategori Pemahaman Konsep Siswa


No Pilihan Jawaban Alasan Nilai CRI Deskripsi
1 Benar Benar > 2,5 Memahami konsep dengan baik
2 Benar Benar < 2,5 Memahami konsep dengan baik, tetapi
tidak percaya diri dengan jawabannya.
3 Benar Salah > 2,5 Miskonsepsi
4 Benar Salah < 2,5 Tidak tahu konsep
5 Salah Benar > 2,5 Miskonsepsi
6 Salah Benar < 2,5 Tidak tahu konsep
7 Salah Salah > 2,5 Miskonsepsi
8 Salah Salah < 2,5 Tidak tahu konsep
(Sumber: Hakim, Liliasari, & Kadarohman, 2011)

Dari kedelapan kriteria di atas dapat disederhanakan menjadi tiga kriteria, yaitu, paham,
miskonsepsi dan tidak tahu konsep. Menurut Ayas et.al (2002), miskonsepsi, pendapat alternatif,
konsep alternatif, pendapat yang salah, pra-kognisi, konsep pengertian umum merupakan
penjelasan yang berbeda dari pendapat ilmiah (Ozcan et.al, 2012). Smith et.al (1993)
menyatakan ada berbagai istilah dalam literatur yang digunakan dalam mengartikan miskonsepsi
siswa, yaitu miskonsepsi, prasangka, konsep alternatif, keyakinan naif, teori naif, kepercayaan
alternatif dan konsepsi yang cacat (Egodawatte, 2011). Abimbola (1988); Gilbert (1985);
Wandersee et.al (1994) menggunakan istilah konsep alternatif untuk mengartikan miskonsepsi
(Bahar, 2003). Kesimpulannya bahwa istilah konsep alternatif sama dengan miskonsepsi,
sehingga siswa dikatakan mengalami miskonsepsi jika respon yang diberikan siswa tidak logis,
menunjukkan pemahaman konsep tetapi juga membuat kesalahan dalam membuat pernyataan
yang tidak sesuai dengan pendapat para ahli atau respon jawaban yang ditentukan. Siswa
dikatakan paham jika respon sesuai dengan komponen yang ditetapkan walaupun tidak lengkap.
Siswa dikatakan tidak paham jika siswa tidak memberikan respon, mengulangi pernyataan,
respon yang diberikan tidak relevan dengan jawaban semestinya.
2) Miskonsepsi
Miskonsepsi (Gilbert & Watts, 1983; Lane, 2008) adalah ketidakcocokan definisi
konsep saintifik dari definisi yang terbentuk dalam pikiran siswa yang bertentangan dengan
pendapat ahli (Akbas & Gencturk, 2011). Pengertian lain tentang miskonsepsi, yaitu
kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan terbukti sahih tentang
suatu fenomena atau peristiwa (Ormrod, 2009: 338).
Miskonsepsi dapat mengganggu penerimaan siswa terhadap pembelajaran yang baru.
Nussabaum dan Novick (1982) merangkum penelitian tentang efek miskonsepsi, dan
menyatakan bahwa miskonsepsi sangat berpengaruh dalam pemahaman ilmu pengetahuan
(Koçyiğit, 2003). Siswa yang mengalami miskonsepsi akan mengalami kesulitan dalam belajar
konsep-konsep baru karena konsepsi awal mereka yang dijadikan pondasi memiliki kesalahan
untuk pembentukan wawasan baru.
Miskonsepsi rawan terjadi dalam sains sehingga perlu segera diatasi. Sebelum
melakukan penanganannya, diperlukan identifikasi faktor yang menyebabkan miskonsepsi
tersebut. Tekkaya (2002) menyatakan bahwa faktor penyebab miskonsepsi antara lain, berasal
dari siswa, buku teks, dan guru.
Pertama, miskonsepsi yang berasal dari siswa disebabkan karena pengaruh latar
belakang dan juga bahasa yang yang digunakan sehari-hari, misalnya dalam kehidupan sehari-
hari mereka menyebut lumba-lumba sebagai ikan. Pengaruh latar belakang siswa dan juga
bahasa yang biasa digunakan sehari-hari membentuk konsep awal bagi siswa yang terus dibawa
sampai sekolah. Akibatnya pembentukan konsep baru menjadi sulit karena konsep baru yang
diajarkan berbeda dengan konsep awal yang telah tertanam dalam pikiran siswa.
Kedua, miskonsepsi muncul dari buku teks. Menurut Storey (1991, 1992), dalam buku
teks, ada banyak kesalahan dan informasi yang tidak benar sehingga menyebabkan miskonsepsi
(Tekkaya, 2002). Dalam buku teks sering terdapat kesalahan yang kemungkinan diakibatkan
karena editor buku teks adalah orang yang tidak menguasai bidangnya.
Ketiga, menurut Sanders (1993) dan Yip (1998), miskonsepsi berasal dari guru melalui
kesalahan atau ketidakakuratan dalam mengajar (Tekkaya, 2002). Sanders (1993)
mengemukakan bahwa strategi pembelajaran guru menjadi faktor yang mempengaruhi
pengembangan miskonsepsi siswa (Tekkaya, 2002). Guru harus pandai memilih dan
menggunakan model yang cocok agar tidak terjadi miskonsepsi.
Menurut Suparno (2005: 56), upaya untuk mengatasi miskonsepsi siswa adalah pertama,
seorang guru harus mengerti cara berpikir siswa. Brouwer (1984) menyatakan cara berpikir dapat
diketahui dengan memberikan kesempatan siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikiran
mengenai materi yang sedang dipelajari secara tertulis atau lisan (Suparno, 2005: 56). Langkah
berikutnya adalah guru mencari penyebab atau akar permasalahan miskonsepsi yang dilakukan
dengan wawancara.
Miskonsepsi yang sering terjadi dalam pembelajaran biologi di antaranya adalah pada
konsep-konsep tentang materi Animalia. Menurut Sezek (2013), miskonsepsi yang terjadi dalam
pengklasifikasian Animalia antara lain: pinguin sebagai mamalia, sedangkan kura-kura dan
beberapa reptillain sebagai amfibi atau invertebrata. Tekkaya (2002) menyatakan bahwa siswa
mencampuradukkan konsep klasifikasi amphibi, reptil, ikan, echinodermata, coelenterata dan
mamalia, seperti dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Miskonsepsi dalam mengklasifikasikan Animalia yang dilakukan oleh siswa.
Klasifikasi
Pinguin, kadal, buaya dan kura-kura adalah amphibi
Paus, lumba-lumba, anjing laut, ubur-ubur dan bintang laut adalah ikan
Kelelawar adalah burung
Tingkah laku dan tempat hidup adalah dasar klasifikasi
Paramecium termasuk dalam kelompok hewan
Manusia tidak termasuk dalam kelompok hewan
(Sumber: Tekkaya, 2002)

b. Model Guided Discovery Learning


Discovery berasal dari kata “to discover” yang berarti menemukan dan “discovery”
adalah penemuan. Pendekatan penemuan pertama kali dipopulerkan oleh Jerome Bruner
(Rustaman, 2005: 96). Menurut Bruner, model Discovery Learning adalah model yang
didasarkan pada teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila
pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi siswa diharapkan
mengorganisasi sendiri. Dasar ide Bruner berasal dari pendapat Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas. Prinsip belajar yang nampak jelas dalam
Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak
disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk
mengidentifikasi yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian
mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) hal-hal yang mereka ketahui, dan mereka pahami
dalam suatu bentuk akhir (Kemendikbud, 2013). Sintak Discovery Learning menurut Veermans
(2002) adalah Orientation, Hypothesis generation, Hypothesis tesing, Conclusion, dan
Regulative processes.
(1) Orientation
Selama proses orientasi, peserta didik membangun ide-ide pertama mereka dari materi dan
lingkungan. Proses ini dapat melibatkan pengantar berupa membaca, mengamati, memetakan
informasi yang dibawa dari latar belakang peserta didik, mengidentifikasi variabel dan
menghubungkan dengan konsep awal yang dimiliki siswa.
(2) Hypothesis generation
Peserta didik merumuskan hipotesis tentang masalah dan pertanyaan tentang materi. Selain
itu, hipotesis juga bisa berupa pernyataan tentang hubungan antara dua atau lebih variabel
untuk mengungkap konsep yang dicari.
(3) Hypothesis tesing
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji, mengumpulkan data dan menginterpretasikan
hasil. Pengujian juga dapat dilakukan dengan merancang atau melakukan eksperimen.
(4) Conclusion
Selama proses menyimpulkan peserta didik harus meninjau hipotesis dengan bukti hasil
pengujian hipotesis. Peserta didik harus memutuskan apakah bukti tersebut sejalan dengan
prediksi pada hipotesis, atau perlu dilakukakn identifikasi perbedaan antara bukti dengan
prediksi.
(5) Regulative processes
Pada proses regulative, peserta didik mengelola pekerjaan melalui proses belajar penemuan
yang dijelaskan di atas.
Menurut Carian dan Sund (1982), pembelajaran dengan pendekatan penemuan
dibedakan menjadi penemuan terpimpin (Guided Discovery Learning); penemuan terpimpin
yang kurang terstruktur (less structured guide discovery); dan penemuan bebas (free discovery)
(Rustaman, 2005: 96). Pada penemuan terpimpin (Guided Discovery Learning), guru
mengemukakan masalah, memberikan pengarahan mengenai pemecahan masalah dan
membimbing siswa dalam hal mencatat data. Selain itu dalam penemuan terpimpin (Guided
Discovery Learning), guru memberi beberapa petunjuk kepada siswa untuk membantu siswa
menghindari jalan buntu. Guru memberi pertanyaan atau mengungkapkan dilema yang
membutuhkan pemecahan-pemecahan, menyediakan materi-materi yang sesuai dan menarik,
serta meningkatkan kemampuan siswa untuk mengemukakan dan menguji hipotesis.
Pembelajaran dengan menggunakan Guided Discovery Learning bertujuan untuk
memperbaiki pola pengajaran yang selama ini hanya mengarah pada menghapal fakta-fakta saja,
tetapi tidak memberikan kepada siswa pengertian konsep-konsep dan atau prinsip-prinsip yang
terdapat dalam suatu materi pembelajaran, sehingga sangat rawan terjadi miskonsepsi. Pada
pembelajaran Guided Discovery Learning, siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep
dan fakta ilmiah melalui percobaan dengan mengamati dan menuliskan data yang dihasilkan ke
dalam LKS, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS. Siswa menemukan
konsep-konsep berdasarkan data yang diperoleh dan membandingkannya dengan teori yang
terdapat dalam LKS atau buku pelajaran. Siswa diharapkan dapat mengembangkan keterampilan
berpikirnya dengan menemukan sendiri konsep-konsep dari materi yang diajarkan dan
pemahaman konsep siswa akan lebih bersifat permanen atau tidak akan mudah hilang dari
ingatan.
Model Discovery Learning memiliki kelebihan, antara lain:
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan
proses-proses kognitif.
b. Pengetahuan yang diperoleh dapat menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Model ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
d. Berpusat pada siswa, dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan.
Guru juga dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
e. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
f. Siswa belajar memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar (Kemendikbud, 2013).

c. Dialog Socrates
Dialog Socrates adalah prosedur yang digunakan oleh filsuf Yunani, yaitu Socrates,
untuk membimbing siswa-siswanya untuk mendapatkan pengetahuan melalui pertanyaan dalam
dialog (Vyskočilová & Praško, 2012). Pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk membantu orang
lain memperluas pandangan mereka dari suatu masalah tertentu dan kemudian mendapatkan
pandangan baru sesuai dengan konsep. Teknik ini ditujukan untuk membantu siswa menemukan
informasi yang berguna sehingga pemahaman konsep menjadi lebih baik (Padesky, 1995 : 17-
19).
Dialog Socrates dimulai dengan mendebatkan pengetahuan awal siswa dengan
pertanyaan-pertanyaan, kemudian membawa siswa pada pemahaman materi (Vyskočilová &
Praško, 2012). Hajhosseiny (2012), mengaplikasikan Dialog Socrates dengan kombinasi Dialog
Socrates yang dilakukan oleh Nelson (2003) dan Freire (1972), yaitu menentukan masalah,
diskusi, dan evaluasi. Langkah pertama, dalam sesi kelas singkat, guru dan siswa dengan
meninjau pembahasan sebelumnya, mengemukakan beberapa poin yang kontroversial dan
mempersiapkan konteks untuk mendiskusikan masalah baru. Langkah kedua, guru memulai
diskusi kelas dengan mengemukakan masalah. Siswa berbagi definisi mereka, masing-masing
definisi ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang hukum ilmiah, komponen dan
elemen yang telah dianalisis serta siswa terlibat dalam diskusi dan mengkritisi sudut pandang
satu sama lain. Guru memposisikan dirinya seakan-akan ingin tahu, bukan orang yang tahu
jawaban yang benar. Langkah ketiga, guru dan siswa mengkaji, mengevaluasi dan
menyimpulkan pemahaman dari masalah yang diajukan mereka.
Guru berperan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan penyelidikan untuk
mengekspos nilai-nilai dan keyakinan yang mendukung pikiran dalam penyelidikan. Tanya
jawab dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan ini merupakan cara yang paling umum
digunakan guru untuk memeriksa pemahaman siswa. Menurut Frey (2011), ketika siswa sedang
berbicara, guru memiliki kesempatan untuk menilai pemahaman siswanya. Sehingga salah satu
cara efektif untuk memeriksa miskonsepsi adalah melalui bahasa lisan (berbicara dan
mendengarkan).
Teknik tanya jawab yang dinilai efektif antara lain menggunakan Dialog Socrates.
Menurut Lam (2011), Dialog Socrates dapat meningkatkakan minat belajar siswa, mengurangi
miskonsepsi materi, membantu siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan, memupuk
keterampilan berpikir dan membantu siswa memonitor pembelajaran mereka sendiri. Guru juga
menggunakan pertanyaan untuk mendorong siswa memikirkan lebih jauh tentang informasi yang
mereka pelajari sebelumnya atau untuk memulai suatu diskusi, contoh dialog tersaji pada Tabel
2.4.

Tabel 2.4. Contoh Dialog Socrates


Contoh Dialog Socrates
Student: Why are these frog eggs in water when a frog lives on land?
Teacher: What other animals can you think of that lay eggs in the water?
Student: A fish lays eggs in the water.
Teacher: Does a fish live on land?
Student: No.
Teacher: Can you think of any other animals that lay eggs in the water?
Student: A dragonfly lays eggs in the water.
Teac her: Does a dragonfly live in the water?
Student: No., it lives on land.
Teacher: Can you think of a way to find out how dragonflies and frogs are the same?
Student: Can I go to the Media Center?
(Sumber: Castronova, 2002)

Menurut Airsian (1994), guru dapat menggunakan pertanyaan sebagai pemerikasaan


pembelajaran (Slavin, 2008: 271). Pertanyaan sedikit banyak adalah pemeriksaan pembelajaran,
yang dalam segi kualitas jawaban akan menunjukkan kepada guru seberapa baik siswa
mempelajari pelajaran tersebut. Menurut Clark et.al. (1979), pada semua tingkat sekolah,
pertanyaan tentang fakta pada umumnya membantu kemampuan faktual dan pertanyaan yang
mendorong siswa memikirkan konsep untuk membantu kemampuan konseptual (Slavin, 2008:
271),.

d. Teori Belajar Konstruktivisme


Teori belajar konstruktivisme merupakan teori balajar yang menekankan pada kegiatan
membangun pengetahuan dengan cara ikut aktif dalam proses pembelajaran. Menyusun
pengetahuan secara mandiri didapatkan siswa jika siswa ikut aktif dalam pembelajaran, sehingga
siswa memperoleh pengalaman belajar. Siswa membangun pemahaman sendiri dari pengetahuan
awal melalui pembelajaran yang didapat dari proses penemuan, pengamatan, penyelidikan lalu
dikemas untuk menjadi suatu pengetahuan. Guru berperan sebagai pembimbing dan siswa
dituntut aktif dalam proses pembelajaran agar pembelajaran berjalan lancar. Siswa menerapkan
dan menemukan ide-ide mereka sendiri dan guru membimbing siswa untuk menyadari sesuatu,
dan siswa menggunakan cara mereka sendiri dalam kegiatan pembelajaran (Trianto, 2010:28).
Sesuai dengan sintak Guided Discovery Learning, pada fase Hypothesis tesing siswa
dituntut untuk melakukan penyelidikan, pengujian, pengamatan dan mengintepretasikan data
sehingga didapatkan suatu konsep. Dengan begitu siswa mendapat pengalaman sehingga konsep
tertanam lebih kuat.

2. Hasil Penelitian yang Relevan


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Riyan (2012), penerapan model
Guided Discovery Learning dapat meningkatkan hasil belajar kognitif biologi dan berpengaruh
terhadap sikap ilmiah siswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Abrari (2012) menyatakan
bahwa Guided Discovery Learning berpengaruh terhadap keterampilan proses sains siswa.
Hasil penelitian Lam (2011) menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan Dialog
Socrates dapat meminimalkan dampak miskonsepsi, membantu siswa mengkonstruksi
pengetahuan yang kuat, dan menumbuhkan metakognisi.

B. Kerangka Berpikir
Hasil tes pra-penelitian siswa kelas X-9 SMA Muhammadiyah 1 Karanganayar pada
materi Animalia menunjukkan 20 siswa tidak paham konsep, 15 siswa miskonsepsi dan 2 siswa
paham konsep sehingga dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa X-9 lemah. Padahal
yang diharapkan setelah siswa melakukan pembelajaran adalah siswa mampu memahami konsep
Animalia yang benar sehingga mampu mengaitkan fakta dan femonena ilmiah dalam kehidupan
sehari-hari. Analisis akar permasalahannya adalah pembelajaran yang belum sepenuhnya
melatihkan siswa untuk mengkonstruksi konsep, melatih kemampuan untuk menyelidiki dan
menggali informasi secara langsung dan adanya konsep awal siswa yang salah.
Alternatif solusi yang ditawarkan adalah penerapan model Guided Discovery Learning
berbasis Dialog Socrates. Model Guided Discovery Learning dapat membantu siswa dalam
memahami konsep melalui aktivitas mengkonstruksi konsepnya sendiri, selain itu adanya
panduan bertujuan untuk mengarahkan siswa pada konsep yang benar. Dialog Socrates
dilatihkan pada saat pembelajaran berlangsung dengan cara menyelidiki dan saling bertukar
pemikiran dengan rekan satu tim untuk menyelesaikan tugas dan mendapatkan informasi.
Penerapan model Guided Discovery Learning berbasis Dialog Socrates diharapkan mampu
meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas X-9. Alur kerangka berpikir dalam melaksanakan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

C. Hipotesis
Penerapan Guided Discovery Learning dipadu modul berbasis dialog Socrates dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas X-9 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.

Anda mungkin juga menyukai