Anda di halaman 1dari 14

Corporate Governance

Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Dewan Direksi,


Komisaris Independen, Struktur Pengawasan & Kasus Bank
Century

Anggota Kelompok 6:
Ida Ayu Mas Indira Pramesti (1515351065/4)
Ni Wayan Sukma Kartika Dewi (1515351084/12)
I Gusti Ayu Made Rita Susanti (1515351115/20)
Ni Made Ayu Nita Adiyantari (1515351118/21)

Program Studi Non Reguler


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2018
I. Audit Internal
Menurut Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors-IIA), Audit Internal
adalah aktivitas independen, keyakinan objektif, dan konsultasi yang dirancang untuk
menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal membantu organisasi
dalam upayanya mencapai tujuan dengan berbagai cara seperti melakukan pendekatan
sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen.
Definisi lain menurut Agoes (2004:221) mengenai audit internal yakni internal
audit adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik
terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap
kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan
pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.
Definisi di atas menunjukkan bahwa audit intern telah mengalami perkembangan.
Lingkup audit intern tidak lagi hanya terbatas melakukan pemeriksaan di bidang keuangan
saja, tetapi juga melakukan pemeriksaan di bidang lainnya seperti pengendalian,
kepatuhan, operasional dan lain-lain, manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata
kelola organisasi.

II. Peran Audit Internal


Peranan auditor internal yakni menemukan indikasi terjadinya kecurangan dan
melakukan investigasi terhadap kecurangan. Jika auditor internal menemukan indikasi dan
mencurigai terjadinya kecurangan di perusahaan, maka ia harus memberitahukan hal
tersebut kepada top management. Jika indikasi tersebut cukup kuat, manajemen akan
menugaskan suatu tim untuk melakukan investigasi. Tim tersebut biasanya terdiri dari
internal auditor, lawyer, investigator, security dan spesialis dari luar atau dalam perusahaan
(misalkan ahli komputer, ahli perbankan dan lain-lain). Hasil investigasi tim harus
dilaporkan secara tertulis kepada top management yang mencakup fakta, temuan,
kesimpulan, saran dan tindakan perbaikan yang perlu dilaporkan. Terdapat 4 pilar utama
dalam memerangi kecurangan, yaitu:
a. Pencegahan kecurangan (fraud prevention)
b. Pendeteksian dini kecurangan (early fraud detection)
c. Investigasi kecurangan (fraud investigation)
d. Penegakan hukum atau penjatuhan sanksi (follow-up legal action)
Peran internal auditor dalam mencegah dan mendeteksi kecurangan diatur secara
jelas dalam kewenangan pelaporan dan standar profesi. Komisi Treadway
merekomendasikan bahwa internal auditor harus berperan aktif dalam mencegah dan
mendeteksi kecurangan. Demikian pula dalam Pernyataan Standar Internal Audit
mensyaratkan bahwa internal auditor harus berperan aktif dalam mencegah dan mendetesi
kecurangan dengan mengidentifikasi tanda-tanda kemungkinan terjadinya kecurangan,
menginvestigasi gejala kecurangan dan melaporkan temuannya pada komite audit atau
kepada tingkat manajemen yang tepat.
Namun dalam perkembangannya peranan audit internal yang sebelumnya hanya
sebatas sebagai pengawas di dalam perusahaan yang kerjanya hanya mencari kesalahan,
pada saat ini audit internal dapat memberikan saran dan masukan berupa tindakan
perbaikan atas sistem yang telah ada. Oleh karena itu, saat ini audit internal dapat juga
dikatakan sebagai konsultan perusahaan dalam mencapai tujuannya di masa yang akan
datang. Internal auditor harus selalu meningkatkan pengetahuan baik di bidang auditing
sendiri maupun pengetahuan di bidang bisnis perusahaan agar dapat memberikan saran dan
masukan berupa tindakan perbaikan tersebut.
Menurut Diaz (2002), peran yang dapat dilakukan oleh auditor internal selaku
akuntan perusahaan yang menjalankan internal audit adalah sebagai berikut:
1. Membantu direksi dan dewan komisaris dalam menyusun dan mengimplementasikan
kriteria GCG sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
2. Membantu direksi dan dewan komisaris dalam menyediakan data keuangan dan operasi
serta data lain yang dapat dipercaya, accountable, akurat, tepat waktu, obyektif, mudah
dimengerti dan relevan bagi para stakeholder untuk mengambil keputusan.
3. Membantu direksi dan dewan komisaris mematuhi dan mengawasi penerapan atas
seluruh ketentuan yang berlaku dan auditor intern harus memastikan bahwa seluruh
elemen perusahaan dan dalam setiap aktivitas perusahaan, mereka telah mengikuti
ketentuan secara konsisten.
4. Membantu direksi menyusun dan mengimplimentasikan struktur pengendalian intern
yang andal dan memadai. Auditor intern dalam konteks ini harus memastikan bahwa
struktur tersebut telah tersedia dengan memadai dan telah berfungsi atau diikuti oleh
setiap elemen perusahaan.
5. Menstimulasi direksi dan dewan komisaris untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem audit yang baik, khususnya mendororng pembentukan
komite audit yang ideal, merancang pedoman audit intern, serta menumbuhkan
efektifitas penggunaan dan pemanfaatan hasil kerja auditor.
III. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah kegiatan pimpinan puncak mengidentifikasi,
mengevaluasi, menangani dan memonitor risiko bisnis yang dihadapi perusahaan mereka
di masa yang akan datang. Apabila dampak risiko itu terhadap operasi bisnis diperkirakan
cukup signifikan, pimpinan perusahaan yang profesional akan menyusun rencana
mengatasi atau meredusir dampak negatif risiko tersebut. Manajemen risiko adalah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari good corporate governance. Manajemen risiko dapat
diterapkan untuk menanggulangi dampak negatif rencana bisnis perusahaan secara
keseluruhan. Dapat pula dilakukan secara terbatas pada rencana kegiatan tiap bagian atau
divisi. Hal itu disebabkan karena risiko bisnis yang dihadapi perusahaan tiap masa tertentu
dapat meliputi seluruh rencana kegiatan, dapat pula hanya pada rencana operasi bisnis tiap
bagian atau divisi tertentu saja. Perusahaan yang tidak mengindahkan manajemen risiko
dapat mengalami kerugian.
IV. Jenis Risiko Bisnis
Risiko bisnis terdiri dari berbagai macam jenis. Dari berbagai macam jenis itu
empat di antaranya perlu mendapat perhatian secara lebih cermat dan kontinyu dari
pimpinan perusahaan. Adapun keempat jenis risiko bisnis tadi adalah sebagai berikut:
a. Risiko Citra Perusahaan
Selama ratusan tahun tidak sedikit jumlah perusahaan yang tergila- gila pada
citra besar yang "berhasil". Mereka mencoba memperkecil risiko bisnis yang dihadapi
dengan jalan memfokuskan transaksi bisnisnya dengan perusahaan- perusahaan
bercitra bagus. Mereka meminjamkan kredit kepada perusahaan-perusahaan itu,
membeli surat berharga yang diterbitkan perusahaan itu, memesan produk, mesin dan
peralatan dari perusahaan itu', membeli premi asuransi dari mereka dan sebagainya.
Fakta kehidupan sehari-hari mengajari para pimpinan perusahaan, bertransaksi
bisnis dengan perusahaan-perusahaan bercitra baik, berarti bebas dari risiko. Bayangan
bertransaksi bisnis dengan perusahaan-perusahaan besar yang nampak dari luar serba
cemerlang berisiko sangat kecil, mulai pudar sejak tumbangnya perusahaan-perusahaan
raksasa dunia.
b. Risiko Kredit
Sejak berabad-abad yang lalu risiko kredit dihadapi para kreditur yang
meminjamkan dananya atau menjual produk dengan pembayaran di belakang. Akibat
fatal yang dapat mereka derita adalah debitur tidak menepati janjinya membayar
kembali utang atau bunga pinjaman. Termasuk dalam risiko kredit adalah country risk,
yaitu risiko kredit yang diberikan kepada debitur yang berdomisili di negara-negara
tertentu. Semakin tinggi country risk suatu negara semakin tinggi pula risiko kredit
yang diberikan kepada debitur di negara itu.
Dalam artikelnya yang berjudul Managing Risk In An Unstable World (Harvard
Business Review, June 2005) Ian Bremer menyebutkan dua jenis risiko yang dapat
dihadapi investor dan kreditur manca negara apabila mereka memberikan kredit
(obligasi, kredit bank dan asuransi dsb), yaitu risiko ekonomis dan risiko politik.
Kehidupan ekonomi dan politik setiap negara dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Kehidupan ekonomi
dan politik negara yang tidak stabil dapat mengganggu kemampuan debitur di negara
yang bersangkutan mengembalikan pinjaman mereka.
Contoh faktor yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi adalah tingkat inflasi
yang tinggi, depresiasi nilai tukar mata uang nasional, bencana alam dan korupsi yang
kronis dan merata di seluruh negeri. Sedangkan contoh faktor yang mengganggu
stabilitas kehidupan politik adalah perang saudara, pemberontakan, gerakan
separatisme dan terorisme.

c. Risiko Operasional
Dampak risiko operasional timbul karena munculnya gangguan operasional dari
dalam atau dari luar perusahaan. Gangguan operasional dari dalam perusahaan dapat
berupa kerusakan mesin atau peralatan produksi yang lain, kesalahan manusia dan
kesalahan sistem dan prosedur operasi. Sedangkan contoh gangguan dari luar
perusahaan dapat berupa krisis moneter, krisis politik, faktor persaingan pasar,
keterlambatan pasokan bahan dari perusahaan pemasok dan bencana alam. Dalam tabel
1 disajikan contoh risiko operasional, penyebab potensial risiko dan potensi kerugian
yang dapat diderita perusahaan.
Tabel 1
Contoh risiko Operasional

Risiko Penyebab Potensial Potensi Kerugian


Kehilangan Muncul teknologi baru, Penurunan hasil penjualan,
pangsa pasar muncul pesaing kuat, tidak penurunan keuntunga, kehilangan
mampu meningkatkan usaha. distributor andalan.
Perluasan Gagal mengvaluasi kelayakan Kerugian finansial, tidak mampu
usaha gagal perusahaan, gagal mengembalikan kredit, kehilangan
mendapatkan dana investasi kepercayaan para pemegang saham
dengan biaya wajar.
Kecurangan Lingkungan kerja yang tidak Kerugian keuangan, penurunan
(intern dan etis, tidak mematuhi peraturan reputasi bisnis, kehiangan
ekstern) intern dan ekstern. kepercayaan para pemegang saham
Kerusakan sara Banjir, gempa bumi, tsunami, Kerugian finansial, kegiatan
produksi kebakaran, gerakan produksi terhenti
separatisme, terorosme

V. Proses Manajemen Risiko


Manajemen risiko merupakan satu proses kegiatan manajemen yang mengikuti urutan
langkah tertentu. Kegiatan ini menjadi tanggung jawab sebuah tim yang anggotanya terdiri
dari para eksekutif senior. Kebanyakan perusahaan publik di berbagai negara industri maju
menyerahkan tugas penting ini kepada Komite Audit Dan Manajemen Risiko. Urutan
langkah proses manajemen risiko adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi Risiko Potensial
Banyak jenis risiko bisnis erat hubungannya dengan pelaksanaan rencana
jangka menengah/panjang. Sebagai contoh perusahaan yang merencanakan
menerjunkan produk baru ke pasar, menghadapi risiko perusahaan-perusahaan
saingannya akan melakukan hal yang serupa. Akibatnya produk baru tersebut nantinya
harus bersaing ketat di pasar dengan produk-produk baru yang serupa dan setingkat.
Risiko yang lain adalah konsumen sasaran tidak menyukai produk. Akibatnya target
penjualan dan keuntungan yang disusun dalam rencana launching produk baru tidak
tercapai.
Sebelum memutuskan bagaimana mengelola risiko yang akan dihadapi pada
saat melaksanakan rencana strategik perusahaan mereka, sudah barang tentu pimpinan
puncak perusahaan perlu mengetahui dengan jelas apa dan bagai mana risiko-risiko
tersebut. Untuk melaksanakan hal itu perlu disusun daftar komprehensif risiko
potensial yang mungkin muncul. Komite Audit dan Manajemen Risiko hendaknya
mengumpulkan pendapat dari para pimpinan puncak dan eksekutif senior tentang
berbagai risiko yang menurut mereka dapat dihadapi perusahaan dalam pelaksanaan
rencana jangka menengah/panjang.
Potensi kerugian. Dalam mengidentifikasi risiko perusahaan memperkirakan
potensi kerugian yang dapat ditimbulkan tiap jenis risiko. Dalam terbitan mereka Risk
Management, The Joint Australian/ New Zealand Technical Committee on, Risk
Management menyajikan daftar potensi 'kerugian , yang dapat ditimbulkan berbagai
jenis risiko bisnis.
Daftar kuesioner risiko. Seperti diutarakan di atas agar dapat mengidentifikasi
risiko dan potensi kerugian yang dapat ditimbulkannya, Komite Audit atau eksekutif
lain yang diserahi tugas itu mengumpulkan pendapat pimpinan puncak. Untuk
mengumpulkan pendapat tersebut the Joint Australian/ NewZealand Tecmical
Committee on Risk Management mengajukan daftar kuesioner yang dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan atau contoh.

b. Menganalisis Risiko.
Tujuan utama analisis risiko adalah memisahkan risiko yang potensi
kerugiannya diperkirakan kecil dari yang derajad kerugiannya cukup signifikan.
Dengan perkataan lain menyusun daftar kategori risiko. Sudah barang tentu daftar
kategori risiko satu perusahaan tidak sama dengan yang lain, walaupun mereka
bergerak dalam sektor usaha yang sama. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan
tingkat kekuatan dan kelemahan masing-masing perusahaan dalam menangani dan
memonitor risiko. Secara umum dapat diutarakan apabila dampak negatif risiko kecil
saja, risiko tersebut dapat ditolerir.
Sebagai contoh risiko penurunan hasil penjualan tahunan produk sebesar lima
persen sebagai akibat munculnya teknologi baru atau perusahaan saingan baru yang
kuat, masih dapat ditolerir oleh sebuah perusahaan yang menduduki peringkat follow
the market leader.
Batas toleransi. Untuk menentukan dapat atau tidaknya dampak risiko
ditolerir, perusahaan perlu menyusun kriteria tentang hal itu. Kriteria toleransi terhadap
dampak risiko dapat diambil dari aspek operasional, teknis, finansial, legal, sosial atau
kriteria yang lain. Contoh kriteria aspek keuangan, misalnya risiko yang bersangkutan
tidak akan menurunkan keuntungan total perusahaan sampai maksimal dua setengah
persen. Sedangkan contoh kriteria aspek teknis adalah, risiko yang bersangkutan tidak
akan menyebabkan sarana produksi tidak dapat lagi beroperasi tiga shifts tiap hari.
Apabila dimungkinkan pada akhir tahap analisis risiko dapat disimpulkan derajad
toleransi yang dapat diberikan pada tiap jenis risiko.

c. Mengaksep Risiko
Dari hasil tahap-tahap manajemen risiko terdahulu perusahaan dapat memutuskan
risiko bisnis mana dapat diterima, karena dampak negatifnya diperkirakan masih dapat
ditolerir. Di lain pihak mereka juga dapat menentukan jenis-jenis risiko mana yang
membutuhkan penanganan dan monitoring secara khusus, karena dampaknya
diperkirakan signifikan.

d. Penanganan Risiko
Penanganan risiko lebih lanjut meliputi aktifitas yang berikut:
- Menentukan pilihan penanganan risiko,
- Mengevaluasi tiap jenis pilihan penanganan,
- Menyiapkan rencana penanganan tiap jenis risiko,
- Pelaksanaan penanganan

e. Memonitor risiko
Kebanyakan resiko tidak bersifat statis. la dapat berubah sesuai dengan
perubahan faktor-faktor yang menimbulkannya. Oleh karena itu secara reguler
perusahaan wajib memonitor perkembangan resiko yang mereka hadapi dan efektifitas
upaya mereka menangani masing-masing resiko.

VI. Permasalahan pada Bank Mega


1. Kasus PT. Elnusa
Bank Mega Tbk. (MEGA) beroperasi pada aktivitas perbankan. MEGA mulai
beroperasi komersial pada tahun 1969 di Surabaya, Jawa Timur. MEGA memindahkan
kantor pusatnya ke Jakarta pada tahun 1992. MEGA menyediakan produk tabungan
seperti Mega Dana, Mega Taxi, Mega Proteksi; produk giro seperti Mega Pro dan Mega
Business; Produk Deposito Berjangka seperti Mega Depo, Mega Deposito On Call and
Mega Sertifikat.
Pada pertengahan April 2011, terjadi kasus pada Bank Mega. Secara garis besar
kasus ini dimulai dengan adanya pencairan dana deposito milik PT Elnusa dengan dalih
investasi, dana tersebut dapat cair karena terdapat pemalsuan tanda tangan. Kronologi
kasus tersebut digambarkan sebagai berikut:
1. 7 September 2009
Elnusa mulai menempatkan dana di Bank Mega cabang Jababeka, Cikarang
sejak 7 September 2009 sebesar Rp161 miliar. Dana ini disimpan dalam bentuk
rekening deposito berjangka dengan bunga 7%. Total deposito terbagi menjadi lima
bilyet, dengan jangka waktu beragam satu hingga tiga bulan. Seluruh dana telah
ditransfer Elnusa dan diterima oleh Bank Mega.
2. 5 Maret 2010
Pada tanggal 5 Maret 2010 Elnusa mencairkan deposito senilai Rp50 miliar
dan dananya telah diterima dengan baik di rekening sesuai perintah Elnusa.
Sehingga dana Elnusa pada bank mega tersisa sebesar Rp111 miliar dalam bentuk
deposito.
3. 19 April 2011
Permasalahan tentang dana deposito Elnusa baru muncul ketika Elnusa akan
mencairkan deposito tersebut pada 19 April 2011. Menurut kepala cabang Bank
Mega Jababeka Cikarang, penempatan dana itu sudah tidak ada karena telah
dicairkan. Elnusa mempertanyakan sistem dan prosedur yang ada di Bank Mega.
Karena pihak Elnusa merasa belum pernah mencairkan dana mereka, mereka
menyatakan baru satu kali melakukan pencairan dana deposito yaitu sejumlah Rp50
miliar dari total penempatan dana sebesar Rp161 miliar pada tanggal 5 Maret 2010.

Setelah dilakukan penyidikan, pembobolan dana PT Elnusa dilakukan melalui


kerja sama antara pihak dalam PT Elnusa yakni Direktur Keuangan Elnusa, Kepala
Cabang Bank Mega Jababeka, pihak perusahaan investasi (Discovery dan Harvest), dan
pihak lain, seorang makelar bisnis yang mempertemukan kedua pihak. Dimana salah
satu pelaku tersebut terkait dengan kasus pembobolan dana Pemkab Aceh di Bank
Mandiri cabang Jalembar, Jakarta Barat.
Para pelaku memanfaatkan dana cadangan PT Elnusa yang dianggap
“menganggur” dan sering tidak digubris perusahaan. Dana ini disimpan dalam bentuk
rekening deposito berjangka dengan bunga 7%. Cara yang dilakukan pelaku cukup
sederhana, yaitu memalsukan akta dan tanda tangan pada blangko pencairan deposito.
Dana PT Elnusa seolah-olah beralih dari deposito berjangka menjadi Deposito harian.
Kemudian para tersangka bahu-membahu menggelapkan uang cadangan dari
rekening resmi ke rekening asli tapi palsu atas nama PT Elnusa di Bank Mega Cabang
Bekasi. Setelah jatuh masanya, deposit on call itu mereka cairkan dan mengalir ke
rekening PT Discovery dan PT Harvest. Uang itu kemudian digunakan untuk bisnis
investasi para tersangka, dan sisanya dialirkan ke rekening pribadi-pribadi para pelaku.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan
kasus pembobolan dana PT Elnusa Tbk merupakan tindak pidana pencucian uang.
Bank Indonesia menyatakan kasus ini terjadi karena kelemahan pelaksanaan
manajemen risiko di Bank Mega. kelemahan tersebut antara lain direksi belum
memiliki sarana pengendalian yang memadai untuk memastikan bahwa seluruh
aktifitas operasional Bank telah didukung oleh SOP yang memadai.
Selain itu masih lemahnya kebijakan dan prosedur, seperti belum adanya
kebijakan yang mengatur prosedur pelayanan pembukaan rekening tanpa kehadiran
calon nasabah dan tata cara pemberian data nasabah kepada pihak ketiga termaksud
kantor Akuntan publik dan belum dilakukan peninjauan kembali terhadap penetapan
limit di KCP (kantor cabang pemantau).
BI juga menemukan adanya perangkapan fungsi marketing dan otorisasi
nasabah baru oleh pemimpin KCP dan dalam pengendalian internal ditemukan
kelemahan pengawasan KC dan Kanwil terhadap KCP, kelemahan atas pemantauan
kewajaran transaksi nasabah serta lemahnya pemantauan terhadap perubahan gaya
hidup pegawai dikaitkan dengan posisi jabatannya.

2. Kasus Pemkab Batubara


Dalam kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening
yang dicurigai menerima dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank Mega
Jababeka. Modus pembobolan dana Pemkab Batubara, Sumtera Utara senilai Rp 80
miliar di Bank Mega Cabang Jababeka, mirip dengan kasus bobolnya dana Elnusa di
bank tersebut. Dari penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan jajaran Kejaksaan
Agung diperoleh keterangan sementara, uang Pemkab Batubara dialirkan ke PT Noble
Mandiri Invesment dan PT Pacific Fortune Management oleh sejumlah perantara yang
berharap bisa menarik keuntungan dari hal tersebut.
Modus dari kasus ini adalah pemindahan rekening bank atas nama Pemerintah
Daerah (PEMDA) yang berada di Bank Pembangunan Daerah (BPD) yakni Bank
Sumut ke bank swasta dengan iming-iming tingginya nilai jasa bunga yang akan
diberikan pihak bank swasta. Juga dengan sistem deposito on call yang dapat
memberikan kesempatan bagi para nasabah untuk melakukan penarikan deposito kapan
saja.
Namun, pengacara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka Itman Harry Basuki
(IHB), Dwi Heri Sulistiawan langsung menepis anggapan bahwa kliennya terlibat
dalam kasus ini, apalagi disebut-sebut menerima fee dari pejabat Pemkab Batubara
dalam penempatan dana Rp 80 miliar di Bank Mega cabang Jababeka. Menurutnya,
justru Itman telah melakukan prosedur yang benar dalam pencairan dana Pemkab Batu
Bara. Ia membantah pernyataan pihak Kejaksaan Agung bahwa kliennya
mengiming-imingi pejabat Pemkab Batu Bara dengan bunga tinggi untuk
mendepositokan dananya di Bank Mega.
Dalam pemeriksaan itu, kliennya juga telah menyampaikan bahwa proses
pendepositoan dana Pemkab dilakukan sesuai prosedur, alias tak menyalahi aturan
perbankan. “Dengan rate 7 persen per tahun, bukan 7 persen per 3 bulan. Itu produk
jasa perbankan biasa,” ucapnya. Lantaran itu, dana Pemkab tersebut lalu disimpan di
Bank Mega oleh Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten
Batubara Yos Rauke dan Bendahara Umum Daerah Fadil Kurniawan selaku kuasa
kas Pemkab Batubara. Tapi dalam perkembangannya, dia mengaku tidak tahu menahu
kenapa dan bagaimana dana tersebut diinvestasikan ke dua perusahaan investasi. Yang
jelas, Kejagung tak mau kecolongan. Sinyalemen adanya peran Kepala Cabang Bank
Mega Jababeka, Itman Harry Basuki yang dijadikan tersangka oleh kepolisian dalam
kasus pembobolan dana PT Elnusa dengan modus operandi serupa, yakni hilangnya
dana Pemerintah Kabupaten Batubara Rp 80 miliar di Bank Mega, ditelusuri.
Kapuspenkum Kejagung Noor Rochmat menduga, yang bersangkutan memiliki
keterkaitan dalam kasus hilangnya dana Pemkab Batubara di Bank Mega, Jababeka.
Dia juga mengatakan bahwa kasus ini mirip dengan kasus yang dialami oleh PT Elnusa.
Kasus ini terbongkar pada tahun 2011.
VII. Penyelesaian Kasus Bank Mega
Kasus Bank Mega dibawa ke jalur hijau oleh PT. Elnusa. Pegadilan Tinggi
Jakarta memutuskan bahwa pencairan deposito oleh Bank Mega kepada PT Discovery
Indonesia dan Harvestindo Asset Management tanpa sepengetahuan dan seizin Elnusa
selaku Terbanding semula Penggugat, adalah perbuatan yang melanggar hukum.
Adapun hasil putusan Pengadilan Tinggi Jakarta ini menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tanggal 22 Maret 2012 Nomor: 284/PDT.G/2011/PN.JKT.SEL
sebelumnya dan mengharuskan Bank Mega untuk segera melakukan pencairan dana
deposito milik Elnusa senilai Rp111 miliar beserta bunganya sebesar 7% persen per
tahun dari jumlah dana Rp111 miliar tersebut terhitung sejak gugatan didaftarkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dilunasinya deposito tersebut.
Bank Indonesia juga memberikan sejumlah sanksi kepada Bank Mega sebagai
tindak lanjut permasalahan dana PT Elnusa yang terjadi di PT Bank Mega Tbk, Kantor
Cabang Pembantu (KCP) Bekasi Jababeka. Sanksi dan instruksi yang diberikan kepada
Bank Mega yakni:
1. Menghentikan penambahan nasabah DoC baru dan perpanjangan DoC lama,
termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of Deposit (NCD),
selama satu tahun, menghentikan pembukaan jaringan kantor baru selama satu
tahun. Sanksi tersebut berlaku sejak 24 Mei 2011.
2. BI akan melakukan fit and proper test terhadap manajemen dan pejabat eksekutif
Bank Mega.
3. BI menginstruksikan Bank Mega untuk :
1) Mereview seluruh kebijakan dan prosedur, khususnya aktivitas pendanaan
termasuk penetapan target, limit dan kewenangan untuk kantor cabang, kantor
cabang pembantu, kantor kas dan individu, baik nominal maupun suku bunga,
pengaturan wilayah kerja kantor serta mekanisme inisiasi nasabah baru.
2) Memperbaiki fungsi internal control dan risk management, termasuk
kecukupan jumlah auditor di setiap kantor, proses check and balance baik
melalui tahapan kewenangan maupun sistem, fungsi pengawasan kantor pusat
terhadap kantor-kantor di bawahnya dan prinsip know your employee.
3) Memberhentikan pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat dalam kasus
dana nasabah atas nama PT Elnusa dan dana Pemkab Batubara, Sumatera Utara
di KCP Bekasi Jababeka.
4) Segera membentuk escrow account senilai dana PT. Elnusa dan Pemkab
Batubara, Sumatera Utara di KCP Bekasi Jababeka. Pencairan escrow account
tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia dalam hal
sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang
diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau
melalui kesepakatan para pihak.

Rekomendasi agar kasus serupa tidak terjadi yakni sebagai berikut:


1. Membenahi elemen-elemen utama sistem pengendalian intern bank. Tertuang
dalam Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Elemen-elemen utama sistem pengendalian
intern bank meliputi Manajemen dan Kultur Pengendalian, identifikasi dan
Penilaian Resiko, kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi sistem akuntansi,
informasi dan komunikasi serta kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi
penyimpangan atau kelemahan.
2. Semua lembaga keuangan pasti mempunyai pengendalian internal (audit internal)
tapi tidak semua internal kontrol ini dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan
yang ada, dalam sebuah lembaga pengendalian internal adalah ujung tombak agar
tidak terjadi suatu kecurangan dalam lembaga tersebut, pengendalian yang perlu
dikakukan oleh Bank Mega yaitu dari aspek SDM. Dalam merekrut harus dilakukan
seleksi yang serius memang banyak orang yang mempunyai kompetensi yang baik
tetapi belum tentu semua orang yang berkompetensi itu mempunyai perilaku baik.
Sebagus apapun pengendalian iternal suatu perusahaan kalau SDM nya sendiri tidak
mampu menjaga komitmen perusahaan maka sia-sia adanya pengendalian internal
tersebut.
3. Peningkatan pengawasan dan memperketat prosedur pengambilan dana yang ada.
Juga di dalamnya termasuk peningkatan komunikasi antar nasabah dan pihak bank
agar tidak terdapat miss komunikasi dan tidak terdapat penyelewengan yang
dilakukan oleh pihak diluar wilayah nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
Aldridge, John.E Siswanto Sutojo. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta: PT Damar
Mulia Pustaka.

https://www.scribd.com/document/343801120/Analisis-Kasus-Bank-Mega. Diakses pada hari


Selasa, 24 April 2018 pukul 13:56 WITA.

Anda mungkin juga menyukai