3. Apa yang dimaksud dengan living ideology, dan apakah Pancasila bisa dikategorikan
sebagai living ideology?
Living Ideology bisa diartikan sebagai pandangan hidup.
Pancasila bisa dikategorikan sebagai living ideology ataupun ideologi negara agar
rakyat dari suatu negara tersebut memiliki pandangan hidup.
Selain itu, menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari
bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam
kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada
kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam implementasinya
sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian,
nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata)
jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia. Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila
yang telah berkemang di dalam kehidupan masyarakat antara lain misalnya di Jawa ada :
a. tepo seliro (tenggang rasa),
b. sepi ing pamrih rame ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih),
c. gotong royong (berat ringan ditanggung bersama) Adanya konsep hu-manitas yang
sudah menjiwai bangsa Indonesia.
4. Publik diingatkan untuk tidak lupa dengan Pancasila. Apaah bukti bahwa Pancasila telah
dilupakan?
a. Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang Maha Esa “
Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan
dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada
suatu kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan
tertentu. Ini adalah adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya
nilai-nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga
Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan
tameng untuk melawan aparat hukum dan mengahakimi suatu agama tertentu.
Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi
memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia saat
ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama yaitu
“ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan
beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan
pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme )
sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite
politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti
jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Lunturnya nilai-nilai yang
terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi
hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin
banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme
yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang
mengumbar bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi
yang mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek buruk yang
dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar
berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas
terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan
rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang
didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan
pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
b. Langkanya “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “
Namun masih ingatkah dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan
ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di
jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau ingatkah
pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang
menamai dirinya sebagai “ Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya Sidang
Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah
dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka
situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila
kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan
kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘ Pisau ‘ tajam
kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku
korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum
kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti
merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh
hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama
Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang
ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi
ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama
3 bulan. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi
saat sidang Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang
terhormat terlibat aksi baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang
terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana
c. Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah untuk memerhatikan
kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun, sudahkah hal ini
dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi,
transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan
mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-
pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau
yang memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan
menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua.
Pemerintah justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat
Papua untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang
emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “
Persatuan Indonesia “ karena masyarakat lokal merasa di “ anak tirikan “ oleh
pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama OPM (
Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS
( Republik Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh
Merdeka ), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai
berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan
separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa
adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah
dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam
sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan
dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai
penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu
bukti dari Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-
nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering
mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya
berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai
sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan
persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh
negastif yang secara tidak langsung diberikan dari para politic figure yang mengurusi
PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung
terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung
dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu , ISL (
Indonesia Super League ) dengan IPL ( Indonesia Premier League ).
d. Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan “
Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin
Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang
terkandung dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau
berbagai pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu
hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah dengan
kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan
April kemarin ? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak
sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil
keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa para
wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya
dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk
memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat
tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang
menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih
menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil
keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang
dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan,
mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah
cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan
pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami
berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila
khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan
suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil
musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama,
dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang
merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
e. Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari
berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin
diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi,
data terakhir yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka
sebesar 17.7 juta orang masih hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu
dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau
gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang
seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak
berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang
mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak
adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas
garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila
kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika kita
melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas
ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih
diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah
yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup
mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini terlihat jelas
dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
5. Menurut kalian, apakah mahasiswa telah melupakan Pancasila?
Sebenarnya cukup memperihatinkan ketika melihat berita yang isinya “Mba...
apakah bisa menyebutkan sila ke empat dari Pancasila kita?” dijawab dengan
senyum=senyum," Duh ... Apa yaa.. wah sudah lupa, itukan pelajaran di SD dahulau yaa".
Contoh sederhana bagaimana Pancasila mulai di lupakan generasi bangsa ini. Ada lagi
ditanya sila ke 3, jawabnya " Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". sungguh ironis sekali.
Saya tidak tahu apakah yang ditanya seorang mahasiswa atau bukan, tetapi hal itu
merupakan salah satu bukti bahwa generasi muda sudah mulai melupakan pancasila.
Mungkin memang hanya beberapa, tetapi walaupun hanya beberapa, itu dapat merusak
masa depan bangsa.