Anda di halaman 1dari 260

Katalog Dalam Terbitan.

Kementerian Kesehatan RI

614. 407 Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Badan


2 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Jawa Barat 2013.—Jakarta :
Ind Kementerian Kesehatan RI.2013
r
ISBN 978-602-235-494-9

1. Judul I.HEALTH SERVICES – ORGANIZATION


AND ADMINISTRATION II. HEALTH PLANNING
III. HEALTH POLICY

Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang


All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Jawa Barat 2013
Penulis : Heny Lestary, Dkk
Layout : Ade Rian Hidayat
Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Trihono, Agus Suwandono, Anwar Musadad, Susilowati Herman


C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 293 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

Diterbitkan oleh :
Lembaga Penerbitan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013
Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226
Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933
Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh :
Tim Riskesdas 2013
Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu,
dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
614. 407
2
Ind

POKOK-POKOK HASIL
RISET KESEHATAN DASAR

PROVINSI JAWA BARAT


TAHUN 2013

PENULIS
Heny Lestary, SKM, MKM
Andi Leny Susyanty, S.Si., MKM., Apt
Asep Hermawan, S.Kep, Ners
Yuyun Yuniar, S.Si., M.A, Apt
Ida Diana Sari, S.Si, M.Ph, Apt
Rosita, SKM
Sugiharti, SKM, MKM
Khadijah, SKM, MKM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN


KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan
riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas
menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan
kesehatan.
Hasil akhir Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-
Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan,
dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013
dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel.Riskesdas Biomedis menyajikan hasil
analisis pemeriksaan biomedis. Ketiga buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan
membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas, buku 2 untuk
memperoleh informasi lebih rinci.
Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 –
2013.Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah
diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan.
Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan www.litbang.depkes.go.id
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Poltekkes, Pimpinan
Perguruan Tinggi, Kepala Balitbangda, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas
2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan
analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan
kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab
operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan
lancar.
Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan
barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Kepala Pusat
Teknologi Intervensi dan Kesehatan Masyarakat

Dr. Dede Anwar Musadad, SKM, M.Kes

i
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data
dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah
dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan
data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan.
Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan
kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.
Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data
dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan
program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya
juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan
Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil
Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan
penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan
kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.
Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator,para
penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional
dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta
semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting
dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Pembangunan Kesehatan di negeri ini.
Semoga buku ini bermanfaat.
Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 1 Desember 2013
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI

Dr. dr. Trihono, MSc

ii
RINGKASAN

Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas 2013) merupakan riset kedua yang mengumpulkan
data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan
faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang
menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status
kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi
perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan
bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah
kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru
dapat menjawab pertanyaan penelitian 1, dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan
dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu penyediaan data
dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun
tingkat individual, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2)
Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan
ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9)
Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan;
13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan,
tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera
mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pengambilan spesimen darah dan
urin, garam dan air rumah tangga.
Disain Riskesdas 2013 merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam
Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota. Sampel rumah
tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dirancang terpisah dengan daftar sampel
rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013. Berbagai ukuran sampling error termasuk
di dalamnya standard error, relative standard error, confidence interval, design effect, dan jumlah
sampel tertimbang menyertai setiap estimasi variabel.
Riskesdas 2013 di provinsi Jawa Barat berhasil mengunjungi 958 blok sensus (BS) yang mencapai
100 persen dari total BS yang ditargetkan, 23.694 dari 23.950 RT (98,9%), dan 77.701 dari 83.522
anggota RT (93,0%). Riskesdas 2013 juga mengumpulkan spesimen darah anggota RT umur ≥ 1
tahun untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis. Untuk
mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (23.694);
pemeriksaan garam iodium dari sub-sampel nasional; pemeriksaan air untuk melihat level iodium,
dan pemeriksaan iodium dalam urin pada sampel anak usia sekolah terpilih (6-12 tahun) dan sampel
wanita usia subur terpilih (15-49 tahun).
Keterbatasan Riskesdas 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok sensus yang tidak
terjangkau atau terjadi konflik di wilayah tersebut, RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak
bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi
tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel
untuk keperluan analisis.
Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan
perencanan program kesehatan. Dengan 1060 variabel yang dikelompokkan berdasarkan dua jenis
kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 telah dan dapat digunakan
antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan
Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan
pemodelan statistik.

iii
Ringkasan hasil per topik Riskesdas 2013 disajikan pada tulisan berikut ini.

Akses pelayanan kesehatan


Akses pelayanan kesehatan yang didapatkan dari Riskesdas 2013 merupakan tingkat pengetahuan
RT terhadap jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada disekitar tempat tinggalnya. Jenis
pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada 8 jenis, yaitu keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS
swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau klinik; (5) praktek bidan atau rumah
bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8) polindes. Selain data itu juga
diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tersebut yang dilihat dari
jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju fasilitas kesehatan tersebut.
Secara nasional proporsi Rumah Tangga (RT) mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak
69,6 persen, sedangkan RS swasta 53,9 persen. Sedangkan proporsi RT di Jawa Barat yang
mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 70,6 persen dan RS swasta 54,8 persen. RT
yang mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi adalah di Kota Tasikmalaya (99,1%)
sedangkan terendah di Kab. Bandung Barat (35,4%). Pengetahuan RT tentang keberadaan RS
swasta tertinggi di Kota Tasikmalaya (95,4%) dan terendah di Kab. Garut (15,7%). Pengetahuan RT
tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin adalah 76,7 persen, tertinggi di Kota Banjar
(92,9%) dan terendah di Kab. Bandung Barat (57,1%). Pengetahuan tentang keberadaan posyandu
sebanyak 78,2 persen, tertinggi di Kota Tasikmalaya (97,5%) dan terendah di Kab. Karawang
(53,7%).
Proporsi RT yang menggunakan moda transportasi kendaraan umum menuju RS pemerintah di
perkotaan 54,0 persen dan perdesaan 41,7 persen, sedangkan yang menggunakan sepeda motor di
perkotaan 28,2 persen dan di perdesaan 38,0 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari
satu moda transportasi di perkotaan dan perdesaan masing-masing 11,8 persen.
Waktu tempuh RT menuju fasilitas kesehatan RS pemerintah paling lama antara 16-30 menit dan
31-60 menit yaitu masing-masing lebih dari 33 persen, sedangkan yang lebih dari 60 menit
sebanyak 21,8 persen. Berbeda dengan RS pemerintah, untuk waktu tempuh ke puskesmas,
posyandu dan polindes membutuhkan waktu tempuh 15 menit atau kurang (masing-masing 62,5%,
94,8% dan 88,2%).
Biaya transportasi paling banyak sejumlah Rp.10.000,- atau kurang untuk menuju ke RS pemerintah
(63,0%), puskesmas atau pustu (90,1%), dan posyandu (93,6%).

Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional


Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi
RT yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki
pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan
alasan memanfaatkan yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Secara nasional 35,2 persen dari 294.959 RT di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi.
Sejumlah 8.534 atau 36,3 persen dari 23.694 RT di Jawa Barat menyimpan obat untuk
swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di Kota Depok (64,0%) dan terendah di Kab. Sukabumi
(12,7%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 36,3 persen RT yang
menyimpan obat, proporsi RT yang menyimpan obat keras 32,3 persen dan antibiotika 24,3 persen.
Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak
rasional. Terdapat 81,3 persen RT menyimpan obat keras dan 77,3 persen RT menyimpan
antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang
digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’ maka 34,9 persen RT menyimpan obat
yang sedang digunakan, 43,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 45,5 persen RT yang
menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat

iv
sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum
tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah
gunakan atau rusak/kadaluarsa.
RT yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG secara nasional sebanyak 38,0 persen.
Sebanyak 83 persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat murah, 75,8 persen obat program
pemerintah, 48,5 persen OG berkhasiat sama dengan obat bermerek dan 24,8 persen OG adalah
obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling
banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (62,6%). Oleh karena itu masih sangat perlu promosi
mengenai obat generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.
Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan
tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 5.419 dari 23.694 (23,7%) RT di Jawa Barat
memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan yankestrad
tertinggi di Kab. Indramayu (57,7%) dan terendah di Kab. Garut (4,8%). Jenis yankestrad yang
dimanfaatkan oleh RT terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (68,1%) dan ramuan (48,0%).

Kesehatan lingkungan
Air minum
Secara nasional proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia
adalah sebesar 66,8 persen (perkotaan: 64,3%; perdesaan:69,4%). Proporsi RT yang memiliki
akses terhadap sumber air minum improved di Jawa Barat adalah sebesar 65,1 persen (perkotaan:
66,6%; perdesaan:62,3%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk RT yang memiliki
akses terhadap air minum improved adalah Kab. Kuningan (90,0%), Kab. Ciamis dan Kota Depok
(85,7%), Kab. Purwakarta (85,8%), dan Kota Bogor (83,8%); sedangkan lima kabupaten/kota
terendah adalah Kab. Bekasi (47,8%), Kab. Bandung (51,0%), Kota Cimahi (52,6%), Kota Banjar
(54,1%) dan Kab. Cianjur (54,3%).
Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air di Jawa Barat pada umumnya adalah laki-laki
dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 67,9% dan 30,7%). Masih terdapat anak laki-laki
(1,2%) dan anak perempuan (0,3%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk
kebutuhan minum RT.
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (2,7%), berwarna (1,3%),
berasa (2,9%), berbusa (0,6%), dan berbau (1,4%). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi RT
tertinggi dengan air minum keruh, berwarna, berasa, berbusa dan berbau adalah di Kab. Cianjur
(7,1%, 4,2%, 8,8%, 1,7% dan 2,5%).
Proporsi RT yang mengolah air sebelum diminum di Jawa Barat adalah sebesar 69,1 persen. Dari
69,1 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5 persennya melakukan
pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan air lainnya adalah dengan dijemur di bawah
sinar mata hari/solar disinfection (2,8%), menambahkan larutan tawas (0,05%), disaring kemudian
ditambah larutan tawas (0,01%) dan disaring saja (0,7%).

Sanitasi
Secara nasional proporsi RT di Indonesia menggunakan fasilitas Buang Air Besar (BAB) milik
sendiri adalah 76,2 persen, milik bersama sebanyak 6,7 persen, dan fasilitas umum adalah 4,2
persen. Proporsi RT di Indonesia menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 78,2 persen, milik
bersama sebanyak 7,6 persen, dan fasilitas umum adalah 7,0 persen. Masih terdapat RT yang tidak
memiliki fasiltas BAB atau BAB sembarangan, yaitu sebesar 7,2 persen. Lima kabupaten/kota
tertinggi RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Kab. Subang (17,2%), Kab.
Bekasi (14,8%), Kab.Karawang (11,8%) serta Kab.Cianjur dan Majalengka (masing-masing 11,4).

v
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di
Jawa Barat adalah sebesar 58,1 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi proporsi RT yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Kota Bekasi (90,4%), Kota Depok (87,5%), Kab.
Kuningan (80,4%), Kab. Indramayu (80,3%) dan Kab. Purwakarta (79,2%). Sedangkan lima
kabupaten/kota terendah adalah Kab. Tasikmalaya (25,1%), Kab. Garut (27,3%), Kota Tasikmalaya
(30,9%), Kota Sukabumi (33,9%), dan Kab. Cianjur (35,0%).
Untuk penampungan air limbah RT di Jawa Barat umumnya dibuang langsung ke got (60,3%).
Hanya 17,4 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi
SPAL, dan 9,8 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 7,6% ditampung di
luar pekarangan. Sedangkan dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara
dibakar (48,0%) dan hanya 27,0 persen yang diangkut oleh petugas. Cara lainnya dengan cara
ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Lima
kabupaten/kota dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi adalah
Kab. Indramayu (69,9%), Kab. Karawang (71,7%), Kab. Tasikmalaya (68,3%), Kab. Ciamis (67,9%)
dan Kab. Bandung Barat (67,0%).

Perumahan
Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Indonesia menempati rumah milik
sendiri (81,4%), begitu pula sebagian besar RT di Jawa Barat menempati rumah milik sendiri
(79,9%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/saudaraatau
menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 14,1 persen rumah dengan
kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi ruangan
dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula dalam hal
kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih
dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 50 persen RT yang ventilasinya cukup dan dilengkapi
dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman
(listrik, gas/elpiji) secara nasional sebesar 64,1% sedangkan di Jawa barat sebesar 80,4 persen. Di
Jawa Barat untuk daerah perkotaan lebih tinggi (91,0%) dibandingkan di perdesaan (60,5%). Untuk
pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan obat anti nyamuk
bakar (47,7%), diikuti oleh penggunaan kelambu (7,1%), repelen (26,4%), insektisida (12,0%), dan
kasa nyamuk (9,9%). Sebanyak 16,6 persen RT di Jawa Barat menyimpan/menggunakan
pestisida/insektisida/pupuk kimia dalam rumah.

Penyakit menular
Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan
yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui
makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria).

Ditularkan melalui udara


Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan keluhan penduduk secara nasional adalah 24,8% sedangkan di Jawa Barat adalah 24,8 persen.
Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah Kota Bogor (34,4%), Kab. Majalengka (33,2%),
Kota Cimahi (29,7%), Kota Tasikmalaya (29,5%) serta Kota Bekasi dan Kab. Bandung (29,4%).
Insiden dan prevalensi Indonesia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen. Insiden dan
prevalensi pneumonia di Jawa Barat tahun 2013 adalah 1,9 persen dan 4,9 persen. Lima
kabupaten/kota yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur

vi
adalah Kota Tasikmalaya, Kab. Sumedang, Kab. Tasikmalaya, Kab. Bandung Barat, dan Kab.
Purwakarta.
Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013
tidak berbeda (0,4%). Prevalensi penduduk Jawa Barat yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan
2013 adalah 0,7 persen. Lima kabupaten/kota dengan TB tertinggi adalah Kab. Cianjur, Kab.
Subang, Kab. Sukabumi, Kab. Bandung dan Kab. Bekasi. Penduduk yang didiagnosis TB oleh
tenaga kesehatan, 56,2 persen diobati dengan obat program.

Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya


Prevalensi hepatitis tahun 2013 secara nasional adalah 1,2% sedangkan di Jawa Barat adalah
1,0%. Lima kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi hepatitis adalah Kota Banjar, Kota
Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kab.Sukabumi dan Kab.Cianjur.
Insiden dan period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur secara nasional adalah 3,5
persen dan 7,0 persen sedangkan di Jawa Barat lebih tinggi yaitu 3,9 persen dan 7,5 persen. Lima
kabupaten/kota dengan insiden maupun periode prevalensi diare tertinggi adalah Kota Bogor, Kota
Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bogor, dan Kab.Cianjur. Insiden diare pada kelompok usia balita di
Indonesia adalah 7,9 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Kota
Bogor, Kab.Cianjur, Kota Sukabumi, Kota Cimahi dan Kab. Bogor.

Ditularkan vektor
Secara nasional insiden malaria tahun 2013 adalah 1,9%. Insiden Malaria penduduk Jawa Barat
tahun 2013 adalah 1,6 persen. Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 4,7 persen. Lima
kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Kab. Sumedang, Kab. Majalengka,
Kab. Bandung Barat, Kab. Tasikmalaya, dan Kota Cimahi.

Penyakit tidak menular


Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang.
Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruktif kronis (PPOK); (3)
kanker; (4) DM;(5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10)
gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek
dan kanker diambil dari responden semua umur, PPOK dari umur ≥30 tahun, DM, hipertiroid,
hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal,
penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanyakan pada responden umur ≥15 tahun.
Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara berupa gabungan kasus penyakit
yang pernah didiagnosis dokter/tenaga kesehatan atau kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM
(berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal
ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk hipertensi, selain
berdasarkan hasil wawancara, prevalensi juga disampaikan berdasarkan hasil pengukuran tekanan
darah.
Secara nasional prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Indonesia masing-
masing 4,5 persen, 3,7 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan
wawancara di Jawa Barat masing-masing 5,0 persen, 4,0 persen, dan 0,1 per mil. Prevalensi asma
sama antara laki-laki dan perempuan, sedangkan kanker dan PPOK lebih tinggi pada perempuan.
Prevalensi DM dan hipertiroid di Indonesia berdasarkan jawaban pernah didiagnosis dokter sebesar
1,5 persen dan 0,4 persen. Kriteria yang sama di Jawa Barat untuk prevalensi DM dan hipertiroid
adalah 1,3 persen dan 0,5 persen sedangkan DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,0
persen. Prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun yang didapat melalui jawaban pernah

vii
didiagnosis tenaga kesehatan sebesar secara nasional adalah 9,5 persen sedangkan di Jawa Barat
10,5 persen. Prevalensi hipertensi di Jawa Barat yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau
sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 10,6 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk
yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes. Prevalensi
hipertensi di Jawa Barat berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 29,4 persen.
Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.
Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Jawa Barat sama dengan
angka nasional yaitu sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,6
persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Jawa Barat sebesar 0,1
persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke secara
nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 permil sedangkan di Jawa Barat 6,6
permil. Prevalensi yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala secara nasional
sebesar 12,1 permil sedangkan di Jawa Barat sebesar 12,0 permil. Prevalensi penyakit jantung
koroner gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden.
Prevalensi penyakit jantung koroner dan gagal jantung lebih tinggi pada perempuan, sedangkan
stroke terdiagnosis tenaga kesehatan lebih tinggi pada laki-laki sementara yang terdiagnosis dan
gejala lebih tinggi pada perempuan.
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Jawa Barat sebesar 0,3
persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,8 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah
didiagnosis nakes di Jawa Barat 17,5 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 32,1 persen.

Cedera
Prevalensi cedera di provinsi Jawa Barat adalah 8,5 persen sedangkan secara nasional 8,2 persen.
Prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Sukabumi (19,9%) dan terendah di Kab. Karawang (2,3%).
Penyebab cedera terbanyak adalah jatuh (43,7%) dan kecelakaan sepeda motor (39,1%). Proporsi
jatuh tertinggi di Kab. Kuningan (55,3%) dan terendah di Kab. Karawang (25,5%). Berdasarkan
karakteristik, proporsi jatuh terbanyak pada penduduk umur <1 tahun, perempuan, tidak sekolah,
tidak bekerja, di perdesaan, dan pada kuintil terbawah.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Kab. Karawang (64,4%) dan
terendah di Kab. Cirebon (25,9%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 15-24 tahun, laki-laki, tamat
SMA, wiraswasta, tinggal di perkotaan dan kelompok kuintil menengah atas.
Tiga urutan terbanyak jenis cedera yang dialami penduduk adalah luka lecet/memar (70,8%), terkilir
(33,2%) dan luka robek (24,9%). Adapun urutan proporsi terbanyak untuk tempat terjadinya cedera,
yaitu di jalan raya (42,1%), rumah (37,4%), area pertanian (5,3%) dan sekolah (4,9%).

Gigi dan mulut


Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh
perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah
dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara
wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan
penerangan sinar matahari atau lampu senter. Wawancara dilakukan pada responden semua umur.
Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh
responden dari tenaga medis gigi dan Effective Medical Demand (EMD). Wawancara perilaku
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dilakukan pada responden umur ≥10 tahun sedangkan
pemeriksaan gigi serta melihat kondisi gigi dan mulut pada responden umur ≥12 tahun.
Prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,8 persen. Prevalensi masalah gigi dan mulut
di Jawa Barat adalah 28,0 persen, sebanyak 14 kabupaten/kota mempunyai prevalensi masalah gigi

viii
dan mulut di atas angka provinsi. Secara keseluruhan kemampuan untuk mendapatkan pelayanan
dari tenaga medis gigi sebesar 9,4 persen (EMD). Ditemukan EMD meningkat pada kelompok umur
yang lebih tinggi umur 45-54 tahun meningkat (EMD:12,8 dibanding EMD umur 12 tahun: 8,8), EMD
di perkotaan (9,9) lebih besar dari EMD perdesaan (8,4), dan EMD meningkat pada status ekonomi
lebih tinggi (EMD teratas:10,0). Prevalensi nasional menyikat gigi setiap hari adalah 97,0 persen
sebanyak 11 kabupaten/kota berada di bawah prevalensi Jawa Barat.
Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah
tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Jawa Barat menyikat gigi pada saat mandi
pagi (97,0) maupun mandi sore (95,9%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah makan pagi
dan sebelum tidur malam, untuk Jawa Barat ditemukan hanya 1,8 persen sementara angka nasional
adalah 2,3 persen.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan
penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Prevalensi Indeks DMF-T secara nasional adalah 4,6 sedangkan di Jawa Barat
adalah 4,1. Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (4,45) dibanding laki-laki (3,81). Namun
untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat
pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 4,64, sedangkan untuk yang teratas nilai
DMF-T nya lebih rendah (yaitu 3,50).

Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan.
Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana
seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal
yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi
besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi
efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Riskesdas 2013 menunjukkan 87,9-94,6 persen penduduk Jawa Barat disability free. Interpretasi
lain adalah penduduk Jawa Barat cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang
dialami dalam melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Prevalensi disabilitas Jawa
Barat adalah 12,7 persen. Kabupaten/kota dengan disabilitas tertinggi adalah Kota Tasikmalaya
(27,3%) dan terendah Kab. Bekasi (3,8%).

Kesehatan jiwa
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,65 permil yang tidak jauh berbeda
dengan angka nasional (1,7 permil). Gangguan jiwa berat terbanyak adalah di Kab. Majalengka,
Kab. Bandung, Kota Sukabumi, Kab. Kuningan dan Kab.Ciamis. Prevalensi gangguan mental
emosional pada penduduk Jawa Barat adalah 9,0 persen yang lebih tinggi dari angka nasional
(6,0%). Kabupaten/kota dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Kota Bogor,
Kab. Bogor, Kota Bekasi, Kab. Bandung dan Kota Sukabumi.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku


Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih.
Proporsi penduduk Jawa Barat yang berperilaku cuci tangan secara benar pada tahun 2013 adalah
45,7 persen sedangkan angka nasional adalah 47,0 persen. Perilaku BAB secara benar di Jawa
Barat adalah 87,8 persen sedangkan secara nasional adalah 82,6 persen.

ix
Proporsi penduduk Jawa Barat usia ≥10 tahun yang merokok setiap hari adalah 27,1 persen.
Ditemukan 0,6 persen perokok berusia 10-14 tahun, 7,8 persen tidak bekerja, dan 31,5 persen pada
kuintil terbawah. Rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk umur ≥10 tahun di Jawa Barat
adalah 10,7 batang yang lebih rendah dari rerata nasional (12,3 batang). Jumlah rerata batang
rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kab.Subang (12 batang). Proporsi terbanyak perokok
aktif setiap hari pada umur 45-49 tahun sebesar 37,2 persen, pada laki-laki lebih banyak di
bandingkan perokok perempuan (51,7% berbanding 1,8%). Berdasarkan jenis pekerjaan,
petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (56,1%)
dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun
pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum di Jawa Barat adalah 25,4 persen yang
tidak jauh berbeda dengan angka nasional (26,1%). Terdapat 13 kabupaten/kota dengan penduduk
aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata provinsi. Proporsi penduduk Jawa Barat
dengan perilaku aktivitas fisik ringan (sedentary) ≥6 jam perhari 33,0 persen. Lima kabupaten/kota di
atas rerata provinsi adalah Kota Cimahi (66,7%), Kab. Purwakarta (60,6%), Kab. Cianjur (59,2%),
Kota Tasikmalaya (57,9%) dan Kab. Bandung (57%).
Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun baik secara nasional maupun
di Jawa Barat pada umumnya sama. Secara nasional konsumsi bumbu penyedap (77,3%), diikuti
makanan dan minuman manis (53,1%), dan makanan berlemak (40,7%). Di Jawa Barat paling
banyak konsumsi bumbu penyedap (87,1%), diikuti makanan dan minuman manis serta makanan
berlemak masing-masing 50,1 persen.
Proporsi penduduk Jawa Barat yang mengkonsumsi mi instan ≥1 kali per hari adalah 13,8 persen.
Kabupaten/kota yang mengkonsumsi mi instan ≥1 kali per hari diatas rerata provinsi adalah Kab.
Bogor (20,6%), Kab. Karawang (20,5%), Kab. Garut (20%), Kab. Bandung (18,0%) dan Kab.
Indramayu (14,4%).

Pembiayaan
Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Secara nasional, sebanyak 50,5 persen penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan.
Proporsi penduduk Jawa Barat yang belum memiliki jaminan kesehatan adalah 54,7 persen
penduduk Jawa Barat belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 4,7
persen penduduk, Jamsostek 5,7 persen, asuransi kesehatan swasta 2,1 persen dan tunjangan
kesehatan perusahaan sebesar 2,3 persen dan Jamkesda 3,4 persen. Kepemilikan jaminan
didominasi oleh Jamkesmas (29,4 %).
Kota Cirebon menjadi Kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara provinsi lain,
yaitu hanya sekitar 37,1 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya Kabupaten Ciamis
menjadi Kabupaten dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah dengan
69,0 persen penduduk tidak punya jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 49,3 persen, 41,5 persen dan 31,7
persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (20,0%) dan teratas
(9,6%).

Mengobati sendiri
Proporsi penduduk Jawa Barat yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan
membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 31,4 persen sedangkan angka
nasional adalah 26,4 persen dengan rerata pengeluaran sama yaitu sebesar Rp.5.000. Kabupaten

x
Bogor merupakan Kabupaten/Kota tertinggi (54,2%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.2.000.
Sebaliknya, Kab. Sukabumi merupakan Kabupaten/Kota dengan proporsi terendah (12,7%).
Sedangkan rerata pengeluaran tertinggi adalah di Kota Cirebon dan Kab.Subang dengan rerata
pengeluaran terbesar yaitu sebesar Rp.10.000.

Rawat jalan
Sebanyak 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan
biaya rerata yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000. Penduduk Jawa Barat yang dalam satu bulan
terakhir melakukan rawat jalan sebanyak 11,1 persen dan biaya rerata yang dikeluarkan sebesar
Rp.45.000. Kota Sukabumi merupakan Kota tertinggi yang melakukan rawat jalan (24,3%) dengan
median biaya paling rendah sebesar Rp.15.000 sedangkan Kab.Karawang merupakan yang
terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,7%) dengan pengeluaran rerata sebesar
Rp.50.000. Rerata pengeluaran rawat jalan yang terbesar adalah Rp.100.000 di Kota Bandung.
Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Jawa Barat masih didominasi (74,3%)
pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut
disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (11,0%) dan Jamkesda (2,8%), dan terendah adalah
pembiayaan oleh asuransi swasta dan lebih dari 1 sumber (1,0%). Sumber biaya rawat jalan dari
Askes/ASABRI (asuransi sosial), Jamsostek dan lainnya masing-masing sebesar 2,4 persen
sedangkan untuk tunjangan kesehatan Perusahaan 2,5 persen.

Rawat inap
Dalam satu tahun terakhir 2,3 persen penduduk Indonesia melakukan rawat inap dengan biaya
rerata sebesar Rp.1.700.000 sedangkan penduduk Jawa Barat yang melakukan rawat inap adalah
2,1 persen dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.2.000.000. Kota Sukabumi merupakan
kota tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,2 persen dengan median biaya dalam
satu tahun terakhir sebesar Rp.3.000.000 disusul oleh Kota Cimahi (3,9%) dengan median biaya
sebesar Rp.1.500.000. Kabupaten Garut merupakan kabupaten yang terendah untuk pemanfaatan
rawat jalan, yaitu 0,3 persen dengan median biaya Rp.1.250.000. Pengeluaran untuk rawat inap
terendah adalah di Kota Banjar dan Kab.Tasikmalaya yaitu Rp.700.000 sedangkan yang terbesar
adalah di Kota Depok, yaitu sebesar Rp.4.000.000.
Sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Jawa Barat masih
didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 53,3 persen tidak jauh berbeda dengan
angka nasional (53,4%). Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap
berturut-turut adalah Jamkesmas 11,1 persen, perusahaan 7,1 persen, lebih dari satu sumber biaya
6,5 persen, Jamsostek 5,3 persen, sumber lainnya 5 persen. Sementara itu sumber biaya untuk
rawat inap dari Jamkesda digunakan oleh 4,8 persen, Askes/ASABRI 4,2 persen dari Asuransi
kesehatan swasta 2,7 persen.

Kesehatan reproduksi
Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan
pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan
selama masa hamil sampai masa nifas.
Responden WUS di Jawa Barat yang menjadi sampel Riskesdas 2013 adalah 27.433 orang. Angka
kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 3,44 persen yang lebih tinggi dari angka
nasional (2,68%). Kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 2,5 persen. Apabila tidak
dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi
tingkat fertilitas di Jawa Barat khususnya dan Indonesia secara umum.

xi
Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini.
Pemakaian alat/cara KB modern yang dinyatakan dengan Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
modern di antara Wanita Usia Subur (WUS) 15-49 tahun merupakan salah satu dari indikator
universal akses kesehatan reproduksi. Hasil Riskesdas 2013, pemakaian alat/cara KB secara
nasional adalah 59,7 persen dan CPR modern 59,3 persen. Pemakaian alat/cara KB di Jawa Barat
sebesar 64,4 persen dan CPR modern sebesar 64,2 persen. Diantara penggunaan KB modern
tersebut 56,2 persen penggunaan KB hormonal, dan 7,9 persen non-hormonal. Menurut metodenya
9,4 persen penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), dan 54,8 persen non-MKJP.
Sebagian besar menggunakan cara KB suntikan (37,0%) dan merupakan penyumbang terbesar
pada kelompok non MKJP dan jenis hormonal. Pelayanan KB di Indonesia sebagian besar diberikan
oleh bidan (73,0%) di fasilitas pelayanan swasta yaitu tempat praktek bidan (60,0%).
Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan
tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui
pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu
hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang
terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Seperti juga secara nasional (95,4%), hampir seluruh ibu
hamil di Jawa Barat (95,9%) sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dan frekuensi
kehamilan minimal 4 kali selama masa kehamilannya adalah 87,2 persen. Adapun untuk cakupan
pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester pertama adalah 82,7 persen dan frekuensi
Antenatal Care (ANC) 1-1-2 atau K4 (minimal 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada
trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester ketiga) sebesar 74,4 persen. Tenaga yang paling
banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (90,5%) dan tempat pelayanan ANC paling
banyak diberikan di praktek bidan (60,3%).
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan,
sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas 2013 di
Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa persalinan di fasilitas kesehatan adalah 66,4 persen dan
angka ini lebih rendah dari angka nasional (70,4%). Dengan demikian masih terdapat 33,6 persen
persalinan di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter
spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai 81,6 persen yang juga lebih rendah dari angka
nasional (87,1%).
Pelayanan kesehatan masa nifas dimulai dari 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Terdapat
76,6 persen ibu bersalin yang mendapat pelayanan nifas pertama pada periode 6 jam sampai 3 hari
setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah melahirkan (KF2) sebesar 59,0 persen
dan periode 29 sampai 42 hari setelah melahirkan (KF3) sebesar 53,6 persen. Akan tetapi angka
nasional untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 37,8 persen. Ibu bersalin yang mendapat
pelayanan KB pasca bersalin mencapai 72,5 persen.

Kesehatan anak
Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap di secara nasional adalah 59,2 persen,
sedangkan di Jawa Barat adalah 56,6 persen. Akan tetapi masih dijumpai 35,1 persen yang
diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,73 persen yang tidak pernah diimunisasi. Alasan tidak
imunisasi antara lain takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh,
tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Persentase tertinggi di Kota Sukabumi (87,3%) dan
terendah di Kab. Bandung Barat (11,5%).
Cakupan pemberian vitamin A pada tahun 2013 adalah 81,6 persen yang lebih tinggi dari angka
nasional (75,5%). Persentase tertinggi terdapat di Kota Banjar (97,4%) dan yang terendah di Kab.
Cianjur (65,8%). Kunjungan neonatus pada 6-48 jam pertama (KN1) telah dilakukan pada 67,5

xii
persen bayi yang dilahirkan. Kunjungan neonatal lengkap sampai dengan 28 hari hanya dilakukan
oleh 42,6 persen bayi lahir.
Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada
dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak
lainnya). Sebanyak 54,3 persen balita tidak memiliki catatan berat badan lahir dan 61,3 persen tidak
memiliki catatan panjang badan lahir. Secara nasional masih terdapat 10,2 persen bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) atau kurang dari 2.500 gram, sedangkan di Jawa Barat terdapat
10,8 persen bayi BBLR. Prevalensi tertinggi di Kab. Kuningan (18,3%), sedangkan yang terendah di
Kota Cirebon (6,0%).
Untuk pertama kali tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang bayi lahir. Persentase
bayi dengan panjang badan lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,6 persen. Prevalensi tertinggi di Kab.
Majalengka (33,9%) dan terendah di Kab. Indramayu (2,9%). Jika dikombinasikan antara BBLR dan
panjang badan lahir pendek, maka terdapat 4,0 persen balita yang BBLR dan juga memiliki panjang
badan lahir pendek. Prevalensi tertinggi di Kab. Subang (9,4%) dan terendah di Kab. Indramayu dan
Karawang (0,0%).
Pemantauan pertumbuhan balita yang dilakukan setiap bulan menunjukkan bahwa persentase balita
umur 6-59 bulan di Jawa Barat yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir adalah 24,1
persen yang lebih baik dari angka nasional (34,3%).
Inisiasi menyusu dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 35,7 persen, menunjukkan
sedikit lebih dari angka nasional (34,5%). Persentase tertinggi di Kota Banjar yaitu sebesar 56,1
persen dan terendah di Kota Tasikmalaya (13,9%). Persentase cara perawatan tali pusar pada anak
usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa secara nasional adalah 24,1 persen sedangkan di Jawa
Barat adalah 30,1 persen. Bayi yang diberi betadine/alkohol masih lebih besar (64,8%). Persentase
pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun secara nasional adalah 51,2 persen
sementara di Jawa Barat masih lebih tinggi yaitu sebesar 73,4 persen. Persentase tertinggi di Kab.
Bogor (93,6%), dan terendah di Kab. Kuningan (33,5%).

Kesehatan indera
Prevalensi kebutaan secara nasional adalah 0,4 persen sedangkan di Provinsi Jawa Barat sebesar
0,3 persen. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Kab.
Sukabumi, Kab Majalengka dan Kab. Indramayu masing-masing 0,6 persen. Prevalensi kebutaan
terendah ditemukan di Kab. Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bekasi dan Kota Cimahi masing-masing
0,1 persen.
Prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun ke atas di Jawa Barat sebesar 0,8 persen,
tidak jauh berbeda dengan angka nasional (0,9%). Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di
Kab. Sukabumi (2%) dan Kota Bandung (1,8%). Kabupaten/kota dengan prevalensi severe low
vision terendah adalah Kota Cimahi (0,1%) dan Kota Bekasi (0,5%).
Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak secara nasional berturut-turut adalah 8,3
persen; 5,5 persen; dan 1,8 persen. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak di
Provinsi Jawa Barat lebih rendah yaitu 6,0 persen; 4,9 persen; dan 1,5 persen. Prevalensi pterygium
tertinggi ditemukan di Kab. Garut (13,5%), Kab. Indramayu (12,1%), dan Kab. Sukabumi (11,7%).
Sedangkan Kota Bogor mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 1,4 persen, diikuti oleh
Kota Bandung 1,5 persen.
Prevalensi kekeruhan kornea tertinggi ditemukan di Kota Tasikmalaya (10,9%), diikuti oleh Kab.
Subang (10,1%) dan Kab. Bandung (8,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di
Kota Bogor dan Kota bandung (1,6%) dan diikuti oleh Kab. Bekasi (2,1%).
Prevalensi katarak tertinggi di Kab. Kuningan (5,2%), diikuti oleh Kab. Purwakarta (4,2%) dan Kab.
Subang (3,3%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kota Cimahi dan Kab. Bogor (masing-

xiii
masing 0,4%) diikuti oleh Kota Depok (0,6%). Tiga alasan utama penderita katarak belum dioperasi
adalah karena ketidaktahuan (55,4%), ketidakmampuan (12,8%), dan ketidakberanian (7,1%).
Prevalensi ketulian di Jawa Barat sebesar 0,1 persen dan prevalensi tertinggi ditemukan di Kab.
Kuningan dan Kab. Ciamis (0,2%). Prevalensi gangguan pendengaran di Jawa Barat sebesar 2,5
persen dan prevalensi tertinggi terdapat di Kab. Sumedang (4,7%), sedangkan yang terendah di
Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok (1,4%).

Gizi
Prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) secara nasional adalah 19,6 persen sedangkan di
Jawa Barat lebih baik yaitu 15,7%. Prevalensi yang tertinggi adalah di Kab. Bandung Barat (22,4%)
sedangkan terendah di Kota Cimahi (10,2%).
Masalah stunting/pendek pada balita menunjukkan angka rerata Jawa Barat 35,3 persen yang juga
lebih baik dari angka nasional (37,2%). Prevalensi yang tertinggi di Kab. Bandung Barat (52,5%)
dan terendah di Kota Depok (25,7%).

Biomedis
Pemeriksaan spesimen biomedis dimaksud untuk mengetahui status iodium dan konfirmasi penyakit
menular dan tidak menular. Status iodium dinilai dari kadar iodium dalam air minum dan garam RT,
serta urin anak umur 6-12 tahun dan WUS 15-49 tahun.
Secara nasional, proporsi RT mengonsumsi garam mengandung cukup iodium adalah 77,1 persen,
garam mengandung kurang iodium 14,8 persen dan garam tidak mengandung iodium 8,1 persen.
Untuk wilayah Jawa Barat proporsi RT mengonsumsi garam mengandung cukup iodium adalah 68,6
persen, garam mengandung kurang iodium 20,5 persen dan garam tidak mengandung iodium 10,9
persen.

xiv
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………… i
KATA SAMBUTAN.............................................................................................................. ii
RINGKASAN......................………………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………... xv
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………………….. xviii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………………. xxiv
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………………………… xxxii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………. 1
1.2 Ruang lingkup Riskesdas 2013…………………………………….…………………… 2
1.3 Pertanyaan penelitian……………………………………………………………………. 2
1.4 Tujuan Riskesdas 2013…………………………………………………………………. 2
1.5 Kerangka pikir…………………………………………………………………………….. 3
1.6 Alur pikir Riskesdas 2013………………………………………………………………… 4
1.7 Pengorganisasian Riskesdas 2013…………………………………………………….. 6
1.8 Manfaat Riskesdas 2013………………………………………………………………… 7
1.9 Persetujuan etik Riskesdas 2013……………………………………………………….. 7
BAB II METODOLOGI RISKESDAS………….……………………………………………….. 8
2.1 Desain……………………………………………………………………………………. 8
2.2 Lokasi…………………………………………………………………………………….. 8
2.3 Populasi dan sampel…………………………………………………………………… 8
2.4 Variabel………………………………………………………………………………….. 10
2.5 Alat pengumpul data dan cara pengumpulan data............................................ 11
2.6 Manajemen data…………………………………………………………………………. 12
2.6.1 Receiving batching……………………………………………………………… 12
2.6.2 Editing data……………………………………………………………………….. 12
2.6.3 Entry data………………………………………………………………………... 13
2.6.4 Penggabungan data……………………………………………………………... 13
2.6.5. Cleaning data……………………………………………………………………. 13
2.6.6. Imputasi data………………………………………………………………... 13
2.7 Keterbatasan data Riskesdas 2013………………………………………………........ 14
2.8 Pengolahan dan analisis data…………………………………………………………... 14
2.9 Gambaran umum Provinsi Jawa Barat…………………………………………………. 14
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………………… 17
3.1 Akses dan Pelayanan Kesehatan…………………………………………………….... 17
3.1.1. Keberadaan fasilitas kesehatan………………………………………………... 17
3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan……………………………………………. 19
3.2 Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional……………………………………… 32
3.2.1. Obat dan obat tradisional (OT) di rumah tangga……………………………… 32
3.2.2. Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik……………………………. 36
3.2.3 Pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad)………………… 39
3.3 Kesehatan Lingkungan………………………………………………………………….. 42
3.3.1. Air minum dan keperluan rumah tangga………………………………………. 42
3.3.2. Sanitasi…………………………………………………………………………….. 47
3.3.3. Perumahan………………………………………………………………………... 50
3.4 Penyakit Menular…………………………………………………………………………. 56
3.4.1. Penyakit yang ditularkan melalui udara………………………………………... 56
3.4.1.1. ISPA………………………………………………………………………… 56

xv
3.4.1.2. Pneumonia/radang paru………………………………………………… 56
3.4.1.3. Tuberkulosis……………………………………………………………… 59
3.4.2. Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya………………… 61
3.4.2.1. Hepatitis…………………………………………………………………… 61
3.4.2.2 Diare………………………………………………………………………. 61
3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh vector (Malaria) ……………………………… 65
3.5 Penyakit tidak menular…………………………………………………………………. 70
3.5.1. Penyakit asma……………………………………………………………………. 71
3.5.2. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ………………………… ……………. 71
3.5.3. Penyakit kanker………………………………………………………………….. 71
3.5.4. Penyakit diabetes melitus……………………………………………………….. 74
3.5.5. Penyakit hyperthyroid……………………………………………………………. 74
3.5.6. Penyakit hipertensi/darah tinggi………………………………………………… 74
3.5.7. Penyakit jantung…………………………………………………………………. 77
3.5.7.1 Penyakit jantung koroner…………………………………………………. 77
3.5.7.2. Penyakit gagal jantung…………………………………………………… 77
3.5.8. Stroke……………………………………………………………………………… 77
3.5.9. Penyakit Ginjal………………………………………………………………….. 80
3.5.10. Penyakit sendi/rematik/encok………………………………………………… 80
3.6 Cedera…………………………………………………………………………………… 84
3.6.1. Prevalensi cedera dan penyebabnya………………………………………… 84
3.6.2. Jenis Cedera……………………………………………………………………. 87
3.6.3. Tempat terjadinya cedera……………………………………………………… 89
3.7 Kesehatan gigi dan mulut……………………………………………………………… 92
3.7.1. Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota………………………… 92
3.7.2. Effective Medical Demand menurut karakteristik……………………………... 93
3.7.3. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥10 tahun menurut kabupaten/kota 96
3.7.4. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥10 tahun menurut karakteristik….. 100
3.7.5. Indeks DMF-T dan komponen D-T, M-T, F-T, menurut kabupaten/kota...... 101
3.7.6. Indeks DMF-T dan komponen D-T, M-T, F-T, menurut karakteristik………. 101
3.8 Disabilitas………………………………………………………………………………… 103
3.9 Kesehatan jiwa…………………………………………………………………………… 105
3.9.1. Gangguan jiwa berat……………………………………………………………. 105
3.9.2. Gangguan mental emosional…………………………………………………… 106
3.10 Pengetahuan, sikap dan perilaku……………………………………………………. 108
3.10.1. Perilaku higienis………………………………………………………………… 108
3.10.2. Penggunaan tembakau………………………………………………………… 109
3.10.3. Perilaku aktivitas fisik………………………………………………………….. 113
3.10.4. Perilaku konsumsi buah dan sayur…………………………………………… 117
3.10.5. Pola konsumsi makanan tertentu……………………………………………. 117
3.10.6. Konsumsi makanan olahan dari tepung……………………………………… 118
3.11 Pembiayaan kesehatan………………………………………………………………… 119
3.11.1. Kepemilikan jaminan kesehatan…………………………………………….. 119
3.11.2. Mengobati sendiri…………………………………………………………….. 122
3.11.3. Rawat jalan…………………………………………………………………….. 123
3.11.4. Rawat inap……………………………………………………………………… 125
3.11.5. Sumber pembiayaan…………………………………………………………… 127
3.12 Kesehatan reproduksi…………………………………………………………………. 131
3.12.1. Kehamilan saat ini……………………………………………………………… 131
3.12.2. Pelayanan program KB………………………………………………………… 132
3.12.2.1. Pola penggunaan KB saat ini………………………………………….. 132

xvi
3.12.2.2. Penggunaan KB jenis kandungan hormonal dan jangka waktu
efektifitas…………………………………………………....……………. 134
3.12.2.3. Tenaga dan tempat pelayanan KB modern…………………………. 135
3.12.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas…………… 136
3.12.3.1. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan indikator cakupan ANC…….. 136
3.12.3.2. Tenaga dan tempat pemeriksa kehamilan…………………………… 138
3.12.3.3. Konsumsi zat besi……………………………………………………….. 139
3.12.3.4. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K……………………….. 140
3.12.3.5. Metode persalinan………………………………………………………. 141
3.12.3.6. Penolong persalinan…………………………………………………….. 142
3.12.3.7. Tempat persalinan ……………………………………………………… 144
3.12.3.8. Pelayanan kesehatan masa nifas……………………………………… 146
3.13 Kesehatan anak………………………………………………………………………… 148
3.13.1. Berat dan panjang badan lahir………………………………………………… 148
3.13.2. status imunisasi…………………………………………………………………. 153
3.13.3. Kunjungan neonatal…………………………………………………………… 159
3.13.4. Perawatan tali pusar………………………………………………………….... 163
3.13.5. Pola pemberian ASI…………………………………………………………….. 164
3.13.6. Cakupan kapsul vitamin A…………………………………………………… 165
3.13.6. Pemantauan pertumbuhan……………………………………………………. 166
3.13.8 Sunat perempuan……………………………………………………………….. 167
3.14 Status Gizi…………………………………..…………………………………………… 169
3.14.1 Status Gizi anak balita…………………………………..………………………. 169
3.14.1.1. Cara penilaian status gizi anak balita…………………………………. 169
3.14.1.2. Sifat-sifat indikator status gizi………………………………………….. 170
3.14.1.3. Status gizi balita menurut indikator BB/U……………………………... 170
3.14.1.4. Status gizi anak balita menurut indikator TB/U………………………. 171
3.14.1.5. Status gizi anak balita menurut indikator BB/TB…………………….. 172
3.14.1.6. Prevalensi Status Gizi Anak Balita 2013……………………………… 173
3.14.1.7. Status gizi anak balita menurut gabungan indikator TB/U dan
BB/TB…………………………………..…………………………………. 173
3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun……………………………………………... 174
3.14.2.1. Status gizi remaja umur 5-12 tahun…………………………………… 174
3.14.2.2. Status gizi remaja umur 13-15 tahun………………………………….. 176
3.14.2.3. Status gizi remaja umur 16-18 tahun………………………………….. 178
3.14.3. Status Gizi Dewasa……………………………………………………………... 180
3.14.3.1. Status gizi dewasa menurut indeks masa tubuh (IMT)................... 180
3.14.3.2. Status gizi dewasa menurut indikator lingkar perut (LP).................. 183
3.14.4. Status risiko kurang energikronis (KEK) pada wanita umur 15 -49 tahun 183
(WUS) dan wanita hamil………………………………………………………
3.14.5. Wanita hamil beresiko tinggi…………………………………………………… 185
3.14.6. Tes cepat iodium dalam garam……………………………………………… 186
3.15 Kesehatan Indera………………………………………………………………………. 189
3.15.1. Kesehatan mata………………………………………………………………… 189
3.15.1.1. Prevalensi kebutaan……………………………………………………. 190
3.15.1.2. Kelainan permukaan mata dan lensa…………………………………. 194
3.15.2. Kesehatan telinga……………………………………………………………… 199
3.15.2.1. Prevalensi ketulian……………………………………………………… 201
3.15.2.2. Morbiditas telinga……………………………………………………… 202
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………… 204
LAMPIRAN.......................................................................................................................... 206

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi
menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2013…………………......................... 9

Tabel 2.2 Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan
masyarakat yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota,
Riskesdas 2013…………………………………………………………………….. 10

Tabel 3.1.1 Persentase rumah tangga berdasarkan pengetahuan tentang keberadaan


jenis fasilitas kesehatan menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……….. 17

Tabel 3.1.2 Persentase rumah yang dapat menggunakan moda transportasi menuju
rumah sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………. 20

Tabel 3.1.3 Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi
menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013……………………………………………………………………. 22

Tabel 3.1.4 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju rumah sakit
pemerintah menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………. 24

Tabel 3.1.5 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju puskesmas
atau puskesmas pembantu menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……….. 25

Tabel 3.1.6 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju posyandu
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………. 27

Tabel 3.1.7 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju polindes
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………………….. 28

Tabel 3.1.8 Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju rumah
sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………… 29

Tabel 3.1.9 Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju


puskesmas atau puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Jawa Barat
2013....................................................................................................... 31

Tabel. 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang
disimpan menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………… 32

Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga menurut jenis obat dan obat tradisional yang
disimpan menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………… 34

Tabel 3.2.3 Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa
resep menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………. 35

Tabel. 3.2.4 Proporsi rumah tangga menurut sumber mendapatkan obat dan obat
tradisonal menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………… 36

xviii
Tabel. 3.2.5 Proporsi rumah tangga menurut status obat dan obat tradisional yang
disimpan menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………. 36

Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang
obat generik menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………… 37

Tabel 3.2.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang
obat generik menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………….. 38

Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga menurut persepsinya tentang obat generik menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………………. 38

Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga menurut sumber informasi tentang obat generik
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………. 39

Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………. 40

Tabel 3.2.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013………………………………………………………………… 41

Tabel 3.3.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
menurut kriteria JMP WHO – Unicef 2006 dan karakteristik, Jawa Barat 2013 42

Tabel 3.3.2 Proporsi rumah tangga menurut rerata pemakaian air per orang per hari dan
karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………………. 43

Tabel 3.3.3 Proporsi rumah tangga menurut cara pengolahan air minum sebelum
diminum dan karakteristik,Jawa Barat 2013…………………………………… 46

Tabel 3.3.4 Proporsi rumah tangga menurut tempat buang air besar
dan karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………. 47

Tabel 3.3.5 Proporsi rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir tinja
dan karakteristik Jawa Barat 2013……………………………………………….. 48

Tabel 3.3.6 Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah


dan karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………… 49

Tabel 3.3.7 Proporsi rumah tangga menurut status penguasaan bangunan tempat tinggal
dan karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………… 50

Tabel 3.4.1 Period prevalence ISPA, Period prevalence pneumonia, prevalensi


pneumonia,dan Period prevalence pneumonia balita menurut
Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013…………………………………………… 57

Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, Period prevalence pneumonia, prevalensi


pneumonia, dan Period prevalence pneumonia balita menurut
Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013………………………………………………. 58
Tabel 3.4.3 Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………… 59

xix
Tabel 3.4.4 Prevalensi TB menurut diagnosis dan gejala TB menurut karakteristik, Jawa
Barat 2013………………………………………………………………………….. 60

Tabel 3.4.5 . Prevalensi hepatitis, insiden diare dan period prevalence diare, serta
insiden diare balita menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………… 62

Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence
diare menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………… 63

Tabel 3.4.7 Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut


kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………………………… 64

Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Jawa
Barat 2013………………………………………………………………………….. 65

Tabel 3.4.9 Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013 66

Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Jawa Barat 2013….. 67

Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program
dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat……………………………………………………………………....... 68

Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program
dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Jawa
Barat 2013……………………………………………………………………………. 69

Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronis, kanker menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………………………… 72

Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronis, kanker menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………. 73
Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada
umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………… 75

Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Jawa Barat
2013…………………………………………………………………………………. 76

Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥
15 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………… 78

Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥
15 tahun menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………… 79

Tabel 3.5.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥
15 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………… 81

Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥
15 tahun menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………… 82

Tabel 3.6.1 Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013…………………………………………………………………… 85

xx
Tabel 3.6.2 Prevalensi Cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Jawa Barat 2013 86

Tabel 3.6.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………….. 87

Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………….. 88

Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Jawa Barat
2013........................................................................................................ 90

Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Jawa Barat 2013.. 90

Tabel 3.7.1 Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan
terakhir sesuai Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Jawa
Barat 2013……………………………………………………………………………. 93

Tabel 3.7.2 Prevalensi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………. 94

Tabel 3.7.3 Persentase Penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Jawa Barat,
2013………………………………………………………………………………... 95

Tabel 3.7.4 Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013 97

Tabel 3.7.5 Persentase penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Jawa Barat 2013 98

Tabel 3.7.6 Persentase penduduk ≥10 tahun yang berperilaku benar menyikat gigi
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………………….. 99

Tabel 3.7.7 Persentase Penduduk ≥10 tahun yang berperilaku benar menyikat gigi
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………………… 100

Tabel 3.7.8 Komponen D, M, F dan Index DMF-T Menurut Karakteristik, Jawa Barat
2013…………………………………………………………………………………. 102

Tabel 3.8.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Jawa Barat 2013 103

Tabel 3.8.2 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………….. 104

Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota Jawa Barat 2013 106

Tabel 3.9.2 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun
(menurut Self Reporting Questionnaire-20)* dan kabupaten/kota, Jawa Barat
2013………………………………………………………………………………... 107

Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air
besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………… 108

Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………… 109

xxi
Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………… 110

Tabel 3.10.4 Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥10 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………….. 1111

Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah
tembakau menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………… 112

Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………….. 113

Tabel 3.10.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut aktifitas sedentari dan
Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013……………………………………………….. 114

Tabel 3.10.8 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut aktifitas sedentari dan
karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………………. 116

Tabel 3.10.9 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi beresiko
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………. 117

Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan


kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………….. 120

Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan


karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………………………….. 121

Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
biayanya menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………. 123

Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………. 125

Tabel 3.11.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang
dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…………………….. 127

Tabel 3.11.6 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan dan
karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………………………….. 128

Tabel 3.11.7 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………. 130

Tabel 3.12.1 Persentase kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut
penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kabupaten/kota, Jawa Barat
2013…………………………………………………………………………………. 143

Tabel 3.12.2 Persentase kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut
penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan karakteristik, Jawa Barat 2013 144

Tabel 3.13.1 Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Jawa Barat 2013 ……………… 148

Tabel 3.13.2 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013…………………………………………………………………… 149

xxii
Tabel 3.13.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………….. 150

Tabel 3.13.4 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013…………………………………………………………………. 151

Tabel 3.13.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………. 154

Tabel 3.13.6 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………………………. 155

Tabel 3.13.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………. 156

Tabel 3.13.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………. 157

Tabel 3.13.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan,
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………………. 158

Tabel 3.13.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan, menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………. 159

Tabel 3.13.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur
0-59 bulan, menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………………… 162

Tabel 3.13.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan, menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………. 163

Tabel 3.13.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………………………….. 165

Tabel 3.14.1 Prevalensi status gizi (IMT/U) anak umur 16-18 tahun menurut karakteristik
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………………………….. 180

Tabel 3.14.2 Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT
dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………….. 182

Tabel 3.14.3 Persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium menurut
hasil tes cepat dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………….. 187

Tabel 3.14.4 Kandungan iodium garam rumah tangga hasil tes cepat menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………………………….. 188

Tabel 3.15.1 Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, low Vision dan kebutaan pada
responden ≥6 tahun keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………… 194

Tabel 3.15.2 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013……………………………………….. 195

xxiii
Tabel 3.15.3 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak
pada responden semua umur menurut karakteristik, Jawa Barat 2013…….. 197

Tabel 3.15.4 Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak
pada responden semua umur menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013 198
Tabel 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia ≥ 5 tahun
sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Jawa Barat 2013………………. 200
Tabel 3.15.6 Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia≥ 2 tahun menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013…………………………………………………….. 202
Tabel 3.15.7. Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia≥ 2 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………………………… 203

xxiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari gabungan sistem
kesehatan WHO dengan konsep model BLUM ………………………. 3
Gambar 1.2 Alur pikir Riskesdas 2013.…………………………………………………… 5
Gambar 3.1.1 Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas
kesehatan menurut karakteristik tipe daerah, Jawa Barat 2013…….. 18
Gambar 3.1.2 Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas
kesehatan menurut karakteristik kuintil kepemilikan, Jawa Barat 2013 19
Gambar 3.1.3 Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda
transportasi menuju RS pemerintah menurut karakteristik tipe daerah,
Jawa Barat 2013……………..................................................................... 20

Gambar 3.1.4 Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi
menuju RS pemerintah menurut karakteristik kuintil indeks kepemilikan,
Jawa Barat 2013……………………………………………………………… 21

Gambar 3.1.5 Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi
menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013…………………………………………………………… 23

Gambar 3.1.6 Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi
menuju puskesmas atau puskesmas pembantu menurut karakteristik
kuintil Indeks Kepemilikan, Jawa Barat 2013…………......................... 23

Gambar 3.1.7 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju rumah
sakit pemerintah menurut tempat tinggal dan Kuintil Indeks
Kepemilikan, Jawa Barat 2013…………………………………………… 25

Gambar 3.1.8 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju


puskesmas atau puskesmas pembantu menurut tempat tinggal dan
Kuintil Indeks Kepemilikan, Jawa Barat 2013…………………………… 26

Gambar 3.1.9 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju posyandu
menurut tempat tinggal dan Kuintil Indeks Kepemilikan, Jawa Barat
2013…………………………………………………………………………… 27
Gambar 3.1.10 Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju polindes
menurut tempat tinggal dan kuintil Indeks Kepemilikan, Jawa Barat
2013…………………………………………………………………………….. 29
Gambar 3.1.11 Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi rumah tangga
menuju RS pemerintah menurut tempat tinggal dan Kuintil Indeks
Kepemilikan, Jawa Barat 2013…………………………………………….. 30
Gambar 3.1.12 Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi rumah tangga
menuju Puskesmas atau Puskesmas pembantu menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013…………………………………………………………….. 30

xxv
Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat
yang disimpan, Jawa Barat 2013… …………………………………
33
Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam
1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan,
Jawa Barat 2013…………………………………………………… 39
Gambar 3.3.1 Proporsi rumah tangga menurut anggota rumah tangga yang
biasa mengambil air dan tempat tinggal, Jawa Barat 2013 … 44
Gambar 3.3.2 Proporsi rumah tangga menurut anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013…….. 44
Gambar 3.3.3 Proporsi rumah tangga menurut kualitas fisik air minum dan
karakteristik, Jawa Barat 2013………………………………….. 45
Gambar 3.3.4 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air
sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013 … 45
Gambar 3.3.5 Proporsi rumah tangga menurut cara pengolahan air minum
sebelum diminum, Jawa Barat 2013……………………………… 46
Gambar 3.3.6 Proporsi rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir
tinja dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………… 48
Gambar 3.3.7 Proporsi rumah tangga menurut p enampungan air limbah,
Jawa Barat 2013………………………………………………….. 49
Gambar 3.3.8 Proporsi rumah tangga menurut s tatus penguasaan bangunan
tempat tinggal dan kabupaten/kota , Jawa Barat 2013………… 50
Gambar 3.3.9 Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian dan
Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013……………........................ 51
Gambar 3.3.10 Proporsi rumah tangga menurut jenis plafon/langit -langit, jenis
dinding dan jenis lantai terluas, Jawa Barat 2013 ……………… 52
Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga menurut ketersediaan ruang tidur,
ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan,
keberadaan jendela, ventilasi, dan penc ahayaan alami, Jawa 52
Barat 2013…………………………………………………………..
Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan,
Jawa Barat 2013……………………………………………………… 53
Gambar 3.3.13 Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan non
listrik dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………… 53
Gambar 3.3.14 Proporsi rumah tangga menurut jenis bahan bakar/energi dan 54
Karakteristik, Jawa Barat 2013…… ………………………………
Gambar 3.3.15 Proporsi rumah tangga menurut perilaku mencegah gigitan
nyamuk, Jawa Barat 2013…………………… ………………….. 54
Gambar 3.3.16 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia , Jawa Barat 2013…………… 55
Gambar 3.4.1 Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Jawa
Barat 2013……………………………………………………………………. 57

xxvi
Gambar 3.7.1 Penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat
perawatan, dan EMD*), Jawa Barat 2013 ……………………………......... 95
Gambar 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan
olahan dari tepung ≥1kali/hari, Jawa Barat 2013………………………. 118
Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median
besaran biayanya menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013................. 122
Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………………… 124
Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan(Rp)
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………. 126
Gambar 3.11.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan,
Jawa Barat 2013.................................................................. 128
Gambar 3.11.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobata n rawat inap,
Jawa Barat 2013........................... ....................................... 129
Gambar 3.12.1 Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan
rumah tangga menurut kelompok umur, Jawa Barat 2013 …… 132
Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut Kabupaten/Kota, Jawa
Barat 2013......................................................................... 133
Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan
kelompok umur, Jawa Barat 2013……………………………………......... 133
Gambar 3.12.4 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan
kelompok umur, Jawa Barat 2013……………………………..................... 134
Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern
berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota,
135
Jawa Barat 2013……………………………………………………………..
Gambar 3.12.6 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern
berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut
135
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013.....................................................
Gambar 3.12.7 Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih WUS kawin untuk mendapat
pelayanan KB, Jawa Barat 2013.......................................................
136

Gambar 3.12.8 Proporsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan


KB yang dipilih WUS kawin, Jawa Barat 2013……………………………
136

Gambar 3.12.9 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013......................................................
137

Gambar 3.12.10 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013........................................................
138

Gambar 3.12.11 Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC,


Jawa Barat 2013……………………………………………………
139

xxvii
Gambar 3.12.12 Proporsi fasilitas kesehatan untuk pelayanan ANC, Jawa
Barat 2013...............................................................
139

Gambar 3.12.13 Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jum lah
hari mengonsumsi, Jawa Barat 2013................................. ....
139

Gambar 3.12.14 Proporsi kepemilikan buku KIA dan Isian 5 Komponen P4K
menurut hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari Buku
140
KIA yang dapat menunjukkan, Jawa Barat 2013... ...................
Gambar 3.12.15 Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1
Januari 2010 sampai saat wawancara menurut
141
Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013… …………………………
Gambar 3.12.16 Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1
Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013………….................................... ............. 142

Gambar 3.12.17 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara


menurut tempat bersalin dan kabupaten/ko ta, Jawa Barat
2013……………………………………………………………………. 145

Gambar 3.12.18 Proporsi tempat bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs


di rumah/lainnya dan karakteristik, Jawa Bara t 2013............ 145

Gambar 3.12.19 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat
wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Jawa
Barat 2013…………………………………….... ........................... 146
Gambar 3.12.20 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam -3 hari setelah
melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai s aat wawancara
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013........... ............... 147
Gambar 3.12.21 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam -3 hari setelah
melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013.. .......................... 147

Berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Jawa Barat


Gambar 3.13.1 148
2013…......................................................................

Gambar 3.13.2 Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir<2500
gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut
152
Kabupaten/Kota,Jawa Barat 2013…………………………….

Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan
panjang badan lahir <48 cm menurut karakteristik,Jawa Barat
152
2013…………………..................................................... .
Gambar 3.13.4 Cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12 -59 153
bulan,Jawa Barat 2013………………………………… …………

xxviii
Gambar 3.13.5 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
pada anak umur 12-59 bulan, Jawa Barat 2013……………… 159
Gambar 3.13.6 Kunjungan neonatal lengkap, Jawa Barat 2013…………. 159

Gambar 3.13.7 KN1 menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………… 161


Gambar 3.13.8 Kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota , Jawa
Barat 2013…………………………………………………………..
161
Gambar 3.13.9 Proses mulai menyusu pada anak umur 0 -23 bulan, Jawa
Barat 2013……………………………………………………………..
164
Gambar 3.13.10 Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6 -59 bulan,
Jawa Barat 2013……………………………………………………
166
Gambar 3.13.11 Frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6 -59 bulan 166
dalam 6 bulan terakhir, Jawa Barat 2013…………………….

Gambar 3.13.12 Frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6


bulan terakhir menurut kabupaten/kota , Jawa Barat 2013…
167
Gambar 3.13.13 Persentase anak perempuan umur 0 -11 tahun yang pernah
disunat menurut kabupaten/kota , Jawa Barat 2013…………
167
Gambar 3.13.14 Persentase anak perempuan umur 0 -11 tahun yang pernah
disunat menurut karakteristik , Jawa Barat 2013…………………
168
Gambar 3.14.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2 SD menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………… ………
171
Gambar 3.14.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut
kabupaten/kota,Jawa Barat 2013………………………………
172
Gambar 3.14.3 Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut
kabupaten/kota,Jawa Barat 2013……………… ………………
173
Gambar 3.14.4 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan
gemuk pada balita, Jawa Barat 2013……………………………
173
Gambar 3.14.5 Prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U
dan BB/TB, Jawa Barat 2013……………………………… ………
174
Gambar 3.14.6 Prevalensi anak pendek umur 5 – 12 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………
175
Gambar 3.14.7 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………………………
175
Gambar 3.14.8 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 – 12 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………
176
Gambar 3.14.9 Prevalensi pendek remaja umur 13 – 15 tahun menurut 176
kabupaten/kota,Jawa Barat 2013……………....………..........

xxix
Gambar 3.14.10 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut 177
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013......... ...............................
Gambar 3.14.11 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U)
remaja umur 13 – 15 tahun kabupaten/kota, Jawa Barat
177
2013……………………………………………………………………
Gambar 3.14.12 Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut 178
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………
Gambar 3.14.13 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut 178
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………

Gambar 3.14.14 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16 – 18 179
tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………

Gambar 3.14.15 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk


dewasa (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Jawa Barat
181
2013................................ ............................... .........
Gambar 3.14.16 Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) yang
mengalami obesitas di kabupaten/kota,Jawa Barat 2013. .......
181
Gambar 3.14.17 Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013…………………
183
Gambar 3.14.18 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15 - 49 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013....... .....................
184
Gambar 3.14.19 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15 - 49 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013................ ............
184
Gambar 3.14.20 Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis
(KEK), menurut umur, Jawa Barat 2013...................... ...........
185
Gambar 3.14.21 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm)
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………………
186
Gambar 3.15.1. Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low
vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Jawa Barat
191
2013............................ ...........................................
Gambar 3.15.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low
vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Jawa Barat 2013.....
191
Gambar 3.15.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low
vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Jawa
192
Barat 2013................................................................
Gambar 3.15.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low
vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Jawa Barat
192
2013.......................... .............................................
Gambar 3.15. 5 Prevalensi kebutaan pada responden ≥ 6 tahun tanpa/dengan 193
koreksi optimal di kabupaten/kota, Jawa Barat 2013……………

xxx
Gambar 3.15.6. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013............................... ..........
196
Gambar 3.15.7 Prevalensi katarak pada responden semua umur menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………
198
Gambar 3.15.8 Prevalensi ketulian responden umur ≥ 5 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013………………………………
201
Gambar 3.15.9. Prevalensi gangguan pendengaran pe nduduk umur ≥5 tahun
sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Jawa Barat
201
2013…………………………………………………………………..

xxxi
DAFTAR SINGKATAN

µg/L : microgram per Liter

ACT : Artemisinin-based combination therapy

ADA : American Diabetes Assocation

Amanat Persalinan : Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat

ANC : Antenatal care

ANC 4x + : proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil


minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.

APN : Asuhan Persalinan Normal

ART : Anggota Rumah Tangga

Asabri : Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

ASI : Air Susu Ibu

Askes : Asuransi kesehatan

BAB : Buang air besar

Badan Litbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Balita : Bawah lima tahun

BB : Berat Badan

BB/TB : Berat badan/Tinggi Badan

BB/U : Berat badan/umur

BBLR : Berat Badan Lahir Rendah

BP : Balai Pengobatan

BPS : Badan Pusat Statistik

BS : Blok Sensus

Buku KIA : Buku Kesehatan Ibu dan Anak

CPR : Contraceptive Prevalence Rate

D : Diagnosis dokter/tenaga kesehatan

xxxii
D1 : Diploma 1

D3 : Diploma 3

DG : Diagnosis atau gejala

Dinkes : Dinas Kesehatan

DM : Diabetes Mellitus

DO : Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri

EIU : Eksresi Iodium Urin

EKG : Elektro Kardio Gram

EMD : Effective Medical Demand

FKM : Fakultas Kesehatan Masyarakat

G : Gejala klinis spesifik penyakit

GAKI : Gangguan Akibat Kekurangan Iodium

GATS : Global Adults Tobacco Survey

GDP : Glukosa Darah Puasa

GDPP : Glukosa Darah Pasca Pembebanan

GDS : Glukosa Darah Sewaktu

GGK : Gagal ginjal kronik

Hb : Hemoglobin

HDL : High-Density Lipoprotein

HIV/ AIDS : Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency


Syndrome

ICCIDD : International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders

ICF : International Classification of Functioning

IFCC : International Federation of Clinical Chemistry

IMD : Inisiasi Menyusu Dini

IMT : Indeks Massa Tubuh

Indeks DMF-T : Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth)

xxxiii
IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut

IU : International Unit

IUD : Intra Uterine Device

Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah

Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja

JMP : Joint Monitoring Programme

JNC : Joint National Committee

JPK : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

K1 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil


minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan

K1 ideal : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil


pertama kali pada trimester 1

K4 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil


selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada
trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada
trimester 3.

Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan

Kasie litbang : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan

Kasie Litbangda : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah

Kasie puldata : Kepala Seksi Pengumpulan Data

Kasubdin : Kepala Sub Dinas

Katim : Ketua Tim

KB : Keluarga Berencana

KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KEK : Kurang Energi Kronis

KEPK : Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

xxxiv
Kespro : Kesehatan Reproduksi

KF : Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam


sampai 42 hari setelah melahirkan.

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIO3 : Kalium Iodat

KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

KK : Kepala Keluarga

KLB : Kejadian Luar Biasa

KMS : Kartu Menuju Sehat

KN : Kunjungan Neonatal

Korwil : Koordinator Wilayah

Lansia : Lanjut usia

LDL : Low-Density Lipoprotein

LH : Lahir Hidup

LiLA : Lingkar Lengan Atas

Linakes : Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis


kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan)

LM : Lahir Mati

LN : Luar Negeri

LP : Lingkar Perut

MDGs : Millennium Development Goals

Menkes : Menteri Kesehatan

MI : Missing Indeks

MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu

Nakes : Tenaga Kesehatan

NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III

xxxv
NLIS : Nutrition Landscape Information System

Non MKJP : Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

OG : Obat Generik

OT : Obat Tradisional

P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi

PB : Panjang Badan

PBTDK : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan

PCA : Principal Component Analysis

PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

PDBK : Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan

PERDAMI : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia

PERHATI : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

Perpres : Peraturan Presiden

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PM : Penyakit Menular

PMT : Pemberian Makanan Tambahan

PNS : Pegawai Negeri Sipil

Polindes : Pondok Bersalin Desa

Poltekkes : Politeknik Kesehatan

Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren

Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu

PPI : Program Pengembangan Imunisasi

Ppm : Part per million

xxxvi
PPS : Probability Proportional To Size

PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis

PSU : Primary Sampling Unit

PT : Perguruan Tinggi

PTI : Performance Treatment Index

PTM : Penyakit Tidak Menular

PUS : Pasangan Usia Subur

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Pustu : Puskesmas Pembantu

PWS KIA : Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak

RB : Rumah Bersalin

RDT : Rapid Diagnostic Test

RI : Republik Indonesia

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RKD : Riskesdas

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RS : Rumah Sakit

RT : Rumah Tangga

RTI : Required Treatment Index

SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

SDM : Sumber Daya Manusia

SKN : Sistem Kesehatan Nasional

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMA/MA : Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah

SMP/MTS : Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah

xxxvii
SP 2010 : Sensus Penduduk 2010

SPK : Standar Pelayanan Kebidanan

SRQ : Self Reporting Questionnaire

STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional

TB : Tinggi Badan

TB : Tuberkulosis

TB/U : Tinggi badan/Umur

TGT : Toleransi Glukosa Terganggu

TKP : Tempat Kejadian Perkara

TNI/Polri : Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI

U : Ukur

UI : Universitas Indonesia

UKBM : Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

UNAIR : Universitas Airlangga

UNHAS : Universitas Hasanuddin

UNICEF : United Nations Children’s Fund

USI : Universal Salt Iodization

UU : Undang – Undang

WG : Washington Group

WHO : World Health Organization

WHODAS 2 : WHO Disability Assessment Schedule 2

WUS : Wanita Usia Subur

Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional

xxxviii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil,
dan makmur. Visi tesebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan
kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan;
dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun
2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem
yang ada (Sekneg, 2007)
Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah
“Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta
berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data
kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara
berkesinambungan dan dapat dipercaya (SKN, 2012).
Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan riset kesehatan berbasis komunitas yang
dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara
berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai
bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada hasil Riskesdas di
Prrovinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu
status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan
status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku
kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol,
aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan
(akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah
tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007).
Hasil Riskesdas 2007 (Balitbangles, 2010) telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil
keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah
digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan
sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan (IPKM)yang berguna untuk membuat
peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) (Kemenkes, 2012).
Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan
keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.
Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan
meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan
kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti pemukiman, ekonomi dan
farmasi. Penambahan indikator juga dilakukan untuk kesehatan mental ditambah informasi
mengenai gangguan jiwa berat dan pasung, kesehatan reproduksi, frekuensi konsumsi makanan

1
olahan yang bersumber dari tepung terigu, kesehatan indera pendengaran, pemeriksaan iodium
dalam air dan pemeriksaan iodium urin pada wanita usia subur (WUS). Indikator status ekonomi
dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok pemukiman dan ekonomi.
Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 juga didata.
Sebaliknya, ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah
tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang
tidak dikumpulkan, antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS,
kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar
rumah tangga.

1.2 Ruang Lingkup Riskesdas 2013


Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data
berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di
tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu:
1.3.1 Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi,
dan kabupaten tahun 2013?
1.3.2 Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan
kabupaten/kota?
1.3.3 Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat
di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota?
1.3.4 Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan?
1.3.5 Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?
Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian
3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

1.4 Tujuan Riskesdas 2013


1.4.1 Tujuan Umum:

Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di


berbagai tingkat administrasi.

1.4.2 Tujuan Khusus:

1.4.2.1. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya
di berbagai tingkat administrasi.

1.4.2.2. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota pada tahun 2013.

1.4.2.3. Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari
2007 ke 2013.

1.4.2.4. Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM.

1.4.2.5. Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.

2
1.5 Kerangka Pikir

Gambar 1.1

Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari gabungan sistem kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

3
1.6 Alur Pikir Riskesdas 2013
Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting
dalam Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar
Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat
dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan
individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai
dari tahapan 1 hingga tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis
dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013
bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan
arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya.
Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang
sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013
dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan
pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian
pertanyaan World Health Survey tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health
Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia (WHO, 2002).

4
G
1. Indikator
 Status gizi
 Kesehatan ibu dan Policy
anak Questions 6. Laporan
 Morbiditas PM, PTM,
cedera dan kesehatan  Tabel dasar
jiwa  Hasil pendahuluan
 Sanitasi lingkungan nasional
 Pengetahuan, sikap  Hasil pendahuluan
dan perilaku provinsi
Research
 Disabilitas  Hasil akhir nasional
Questions
 Ekonomi  Hasil akhir provinsi
 Akses dan
pembiayaan
Pelayanan
 Farmasi dan
Pelayanan Kesehatan
5. Statistik
tradisional
 Deskriptif
Riskesdas  Bivariat
2. Disain Alat 2013
Pengumpul Data  Multivariat
 Kuesioner wawancara,  Uji hipotesis
pengukuran,
pemeriksaan
 Validitas
 Reliabilitas
 Dapat diterima

3. Pelaksanaan
Riskesdas 2013 4. Manajemen Data
 Pengembangan Riskesdas 2013
manual Riskesdas  Editing
 Uji coba  Entry
 Pengembangan modul  Cleaning
pelatihan  Perlakuan terhadap
 Pelatihan pelaksana missing data
 Penelusuran sampel  Perlakuan terhadap
 Pengorganisasian outliers
 Logistik  Consistency check
 Pengumpulan data  Analisis syntax
appropriateness
 Supervisi / bimbingan
teknis  Pengarsipan
 Validasi

Gambar 1.2.
Alur pikir Riskesdas 2013

5
1.7 Pengorganisasian Riskesdas 2013

Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun
2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No.
HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun
2013.

Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:

1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim
Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat :
 Tim Penasehat terdiri dari Menkes, Kepala BPS dan Pejabat Eselon I
Kementerian Kesehatan.
 Tim Pengarah terdiri dari Kabadan, Pejabat Eselon I dan sektor terkait.
 Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing.
 Tim Teknis terdiri dari Pejabat Eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes
 Tim Manajemen terdiri dari Pejabat Eselon II, Eselon III dan staf Badan
Litbangkes
 Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (Korwil), setiap Korwil
mengkoordinir beberapa provinsi.

2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:


 Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina
Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes
Provinsi.

3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :


 Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten,
Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik
Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota.

Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim
pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri
dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan
manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.

Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan
manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan
kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.

6
1.8 Manfaat Riskesdas 2013
Manfaat Penelitian
1. Untuk kabupaten/kota:
a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah
kesehatan dalam enam tahun terakhir.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.

2. Untuk provinsi dan pusat:


a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas
pembangunan kesehatan antar wilayah.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan.

3. Untuk Peneliti
a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut.
b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.

4. Untuk Institusi Pendidikan


a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir.
b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data
lainnya.

1.9 Persetujuan Etik Riskesdas 2013

Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor
LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed
Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.

7
BAB II. METODOLOGI RISKESDAS

2.1 Desain

Riskesdas 2013 adalah sebuah survei yang dilakukan dengan desain potong lintang (cross
sectional). Desain yang sama juga diterapkan pada Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat.
Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah
kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Jawa Barat, yang terwakili oleh penduduk
provinsi dan kabupaten/kota.

2.2 Lokasi
Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat tersebar di 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat.

2.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat adalah seluruh rumah tangga biasa
(sesuai kriteria Badan Pusat Statistik (BPS)) yang mewakili 26 kabupaten/kota. Sampel
rumah tangga dalam Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat dipilih berdasarkan listing Sensus
Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage
sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut
ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud.

2.3.1. Penarikan sampel Blok Sensus

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat memilih Blok
Sensus (BS) yang telah dikumpulkan Sensus Penduduk (SP) 2013. Pemilihan BS dilakukan
sepenuhnya oleh BPS di masing-masing kabupaten/kota dengan memperhatikan status
ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel
dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka
prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas 2007. Secara keseluruhan di Jawa Barat
jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan masyarakat sebesar 958 BS dengan 23.950
rumah tangga, sedang untuk sampel biomedis sebesar 174 BS. Dari setiap kabupaten/kota
diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di
kabupaten/kota tersebut. Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat berhasil mengumpulkan data
dari seluruh BS. Jumlah sampel BS, rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat
dikunjungi di setiap kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 2.1. dan 2.2.
.

8
Tabel 2.1
Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Blok sensus Target Sampel kesehatan masyarakat yang dikunjungi


Kabupaten/Kota Kesehatan Pemeriksaan Blok Rumah Anggota rumah
masyarakat laboratorium sensus tangga tangga
Bogor 50 12 50 1239 4740
Sukabumi 42 10 42 1046 3738
Cianjur 42 10 42 1040 3810
Bandung 45 8 45 1117 4016
Garut 43 11 43 1075 4301
Tasikmalaya 38 10 38 950 3155
Ciamis 40 10 40 1000 3129
Kuningan 32 4 32 800 2861
Cirebon 42 10 42 1049 3840
Majalengka 35 4 35 875 2830
Sumedang 35 4 35 875 2832
Indramayu 40 9 40 991 3049
Subang 38 6 38 950 3156
Purwakarta 30 4 30 749 2631
Karawang 42 5 42 1038 3454
Bekasi 45 11 45 1099 3732
Bandung Barat 38 6 38 915 3179
Kota Bogor 30 8 30 744 2956
Kota Sukabumi 24 0 24 600 2370
Kota Bandung 43 10 43 1064 3983
Kota Cirebon 24 6 24 591 1990
Kota Bekasi 43 8 43 1057 3831
Kota Depok 40 8 40 940 3169
Kota Cimahi 29 0 29 692 2386
Kota Tasikmalaya 27 0 27 674 2594
Kota Banjar 21 0 21 524 1790
Jawa Barat 958 174 958 23694 83522

9
Tabel 2.2
Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang
dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Blok sensus Rumah tangga Individu


Kabupaten/Kota Dikun- Respon Dikun- Respon Wawan- Respon
Sampel Sampel Sampel
jungi rate (%) jungi rate (%) cara rate (%)
Bogor 50 50 100 1250 1239 99,12 4740 4279 90,27
Sukabumi 42 42 100 1050 1046 99,62 3738 3611 96,60
Cianjur 42 42 100 1050 1040 99,05 3810 3439 90,26
Bandung 45 45 100 1125 1117 99,29 4016 3691 91,91
Garut 43 43 100 1075 1075 100,00 4301 4094 95,19
Tasikmalaya 38 38 100 950 950 100,00 3155 2855 90,49
Ciamis 40 40 100 1000 1000 100,00 3129 2961 94,63
Kuningan 32 32 100 800 800 100,00 2861 2794 97,66
Cirebon 42 42 100 1050 1049 99,90 3840 3696 96,25
Majalengka 35 35 100 875 875 100,00 2830 2560 90,46
Sumedang 35 35 100 875 875 100,00 2832 2732 96,47
Indramayu 40 40 100 1000 991 99,10 3049 2741 89,90
Subang 38 38 100 950 950 100,00 3156 3004 95,18
Purwakarta 30 30 100 750 749 99,87 2631 2468 93,80
Karawang 42 42 100 1050 1038 98,86 3454 3434 99,42
Bekasi 45 45 100 1125 1099 97,69 3732 3491 93,54
Bandung Barat 38 38 100 950 915 96,32 3179 3114 97,96
Kota Bogor 30 30 100 750 744 99,20 2956 2409 81,50
Kota Sukabumi 24 24 100 600 600 100,00 2370 1999 84,35
Kota Bandung 43 43 100 1075 1064 98,98 3983 3948 99,12
Kota Cirebon 24 24 100 600 591 98,50 1990 1913 96,13
Kota Bekasi 43 43 100 1075 1057 98,33 3831 3560 92,93
Kota Depok 40 40 100 1000 940 94,00 3169 2744 86,59
Kota Cimahi 29 29 100 725 692 95,45 2386 2113 88,56
Kota Tasikmalaya 27 27 100 675 674 99,85 2594 2343 90,32
Kota Banjar 21 21 100 525 524 99,81 1790 1708 95,42
Jawa Barat 958 958 100 23950 23694 98,93 83522 77701 93,03

Penarikan sampel Rumah Tangga /Anggota Rumah Tangga


Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara
acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan
sesuai dengan Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT) yang dikeluarkan oleh BPS Kab/Kota
setempat.
Penarikan sampel Biomedis
Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili
nasional. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota rumah
tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pemeriksaan
biomedis. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin dan
malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan sampel
biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air.

2.4 Variabel
Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan
menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan
dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 315

10
variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian
variabel pokok (menurut Blok) sebagai berikut:
Blok I. Pengenalan tempat
Blok II. Keterangan rumah tangga
Blok III. Keterangan pengumpul data
Blok IV. Keterangan anggota rumah tangga
Blok V. Akses dan pelayanan kesehatan
Blok VI. Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional
Blok VII. Gangguan kesehatan jiwa berat dalam keluarga
Blok VIII. Kesehatan lingkungan
Blok IX. Pemukiman dan ekonomi.
Blok X. Keterangan wawancara individu
Blok XI. Keterangan individu
a. Penyakit menular
b. Penyakit tidak menular
c. Cedera
d. Gigi dan mulut
e. Ketidakmampuan/disabilitas
f. Kesehatan jiwa
g. Pengetahuan, sikap dan perilaku
h. Pembiayaan kesehatan
i. Kesehatan reproduksi
j. Kesehatan anak dan imunisasi
k. Pengukuran dan pemeriksaan
l. Pemeriksaan mata
m. Pemeriksaan THT
n. Pemeriksaan status gigi permanen
o. Pengambilan spesimen darah dan sampel urin

2.5 Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan alat dan cara pengumpulan data dengan
rincian sebagai berikut:
1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
Kuesioner dan Pedoman Pengisian Kuesioner RKD13.RT.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah kepala keluarga atau ibu rumah
tangga atau anggota rumah tangga yang dapat memberikan informasi.
b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh
anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama
sekali tidak diwawancarai.
2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan Kuesioner dan Pedoman Pengisian Kuesioner
RKD13.IND.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.
b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam
kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang
menjadi pendampingnya.
3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
a. Timbangan badan
b. Alat ukur tinggi badan
c. Alat ukur lingkar pinggang dan lengan atas tensimeter
d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart

11
e. Spekulum
f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan
garam).
4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen
dikumpulkan dengan menggunakan formulir tersendiri.

2.6 Manajemen Data


2.6.1 Receiving batching
Proses receiving-batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner. Pencatatan
dilakukan pada electronic file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah
diwawancarai, jumlah RT dan ART yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri.
Manfaat dari proses ini untuk menilai konsistensi jumlah data responden yang
diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data, dan juga untuk
memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data
yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.
2.6.2 Editing data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu
mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai
dilakukan oleh ketua tim dilanjutkan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak
enumerator selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota
harus memahami makna dan alur pertanyaan.
PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali
kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada
setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti:
Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh
pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 10-54
tahun.
Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi.
Kelengkapan formulir biomedis (BM01 sd BM05), termasuk stiker nomor laboratorium,
sebelum dilakukan entri data.

2.6.3 Entri data


Program entri data Riskesdas 2013 dikembangkan oleh tim manajemen data Riskesdas
Badan Litbangkes menggunakan software CS Pro 4.1 dengan operating system windows
7 yang memiliki fasilitas autorun. Program entri tersebut mencakup kuesioner RT,
individu,dan hasil pemeriksaan biomedis (formulir specimen darah, urin, garam, dan air,
termasuk sticker nomorlaboratorium). Entri data kuesioner kesmas dilakukan oleh tim
pengumpul data di lokasi pengumpulan data,sedangkan data hasil pemeriksaan
spesimen darah dan urin dilakukan oleh tim biomedis di Jakarta dan Balai GAKI –
Magelang.
Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai
kelompok umur yang berbeda, sehingga kuesioner disusun dengan beberapa lompatan
pertanyaan (skip questions) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga
konsistensi data dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena
itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara
komputerisasi. Hasil entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses
manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.

12
2.6.4 Penggabungan data
File data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen
data pusat.Langkah selanjutnya dilakukan penggabungan data dan cleaning sementara
agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki
data, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil
penggabungan data dari hampir 12000 BS terdiri dari file RT, file daftar ART, file
Individu,danfile biomedis. Satu tim manajemen data pusat menangani data satu atau dua
provinsi.
2.6.5 Cleaning data
Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk
menunjang kualitas data. Tim manajemen data di pusat sudah melakukan cleaning awal
pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT
Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di
kabupaten, maka tim manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten
untuk entri ulang dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email.
Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap
sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan
cleaning variabel secara keseluruhan. Hanya data yang sudah dinyatakan clean yang
dianalisislebihlanjut.
Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data
Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan
akurasi dan presisi dari analisis yang dihasilkan Riskesdas2013.
2.6.6 Imputasi data
Imputasi adalah proses untuk penanganan data missing dan outlier. Tim Manajemen
Data melaku kan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas2013
imputasi dilakukan untuk data kontinyu yang outlier,sedangkan jika responden tidak
bersedia menjawab maka diberikan kode sebagai data missing.

2.7 Keterbatasan Data Riskesdas 2013


Keterbatasan data Riskesdas 2013 mencakup keterbatasan data yang dikumpulkan dan
keterbatasan manajemen operasional.

 Keterbatasan data yang dikumpulkan


Beberapa indikator MDGs Kesehatan tidak dapat dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
karena besar sampel yang tidak memadai dan cara pengumpulan / pengukuran /
pemeriksaan yang tidak dapat dilaksanakan dalam survei kesehatan rumah tangga,
yaitu :
a. Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka
Kematian Ibu (AKI)
b. Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil yang berusia antara 15-24 tahun
c. Penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi
d. Rasio kehadiran di sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun karena
HIV/AIDS
e. Angka kematian karena malaria
f. Angka kematian karena TB
g. Angka kesembuhan penderita TB

 Keterbatasan manajemen operasional


Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen operasional antara lain
adalah :
a. Sejumlah rumah tangga yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat
dijumpai oleh Tim Enumerator 2013. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi

13
Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak, 98,93 persen yang tersebar
di seluruh kabupaten/kota (lihat tabel 2.2).
b. Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya
bisa diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas 2013 Provinsi Jawa Barat.
Pada saat pengumpulan data dilakukan sebagian anggota rumah tangga tidak ada
di tempat. Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 93,03
persen (lihat tabel 2.2).

2.8 Pengolahan dan Analisis Data


Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan
Riskesdas 2013 yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas 2013. Jumlah sampel rumah
tangga dan anggota rumah tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada
tabel 2.2.
Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga
maupun anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh
variabel Riskedas pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan
missing values dan outlier serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing
sampel.
Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan
gambaran nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan
jumlah sampel yang digunakan untuk kepentingan analisis.

2.9 Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat


2.9.1 Gambaran Geografi
Provinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 5O50’ – 7O50’ Lintang Selatan dan
104o48’ – 108O48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah di sebelah barat berbatasan dengan
Provinsi Banten, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah selatan
dibatasi oleh Samudera Indonesia, sedangkan di daerah utara adalah Laut Jawa.
Luas wilayah Provinsi Jawa Barat sebesar 35.584,71 kilometer persegi atau sekitar 27,82%
dari luas wilayah Pulau Jawa dan Madura atau 1,9% dari luas wilayah Indonesia dan
merupakan salah satu provinsi di bagian barat Pulau Jawa. Kondisi geografis yang strategis
ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan
perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan
selatan berbukit-bukit
dengan sedikit pantai serta
dataran tinggi bergunung-
gunung ada di kawasan
tengah.
Kondisi topografi Jawa Barat,
dibedakan atas wilayah
pegunungan curam (9,5%)
yang terletak di bagian
selatan dengan ketinggian
lebih dari 1.500 m di atas
permukaan laut, wilayah
lereng bukit yang landai
(36,48 %) yang terletak di
bagian tengah dengan
ketinggian 10-1.500 m dpl.,
dan wilayah daratan landai

14
(54,02%) yang terletak di bagian utara dengan ketinggian 0-10 m dpl.
Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata berkisar 17,40-30,70 OC dengan
kelembaban udara 73-84%. Jawa Barat beriklim tropis dengan curah hujan tinggi, rata-rata
curah hujan dalam sebulan adalah 161 milimeter dan 7 hari hujan.Iklim demikian menunjang
adanya lahan subur yang berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai
menyebabkan sebagian besar dari luas tanah yang ada dipergunakan sebagai lahan
pertanian. Suhu 9OC di Puncak Gunung Pangrango dan 34OC di Pantai Utara, curah hujan
rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai
5.000 mm per tahun.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota, mencakup sekitar 618
Kecamatan, 626 perkotaan dan 5.245 perdesaan dan dibagi menjadi 5 Koordinator Wilayah
yaitu :
a. Wilayah Bogor yang terdiri dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten
Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur.
b. Wilayah Purwakarta terdiri dari Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang.
c. Wilayah Cirebon terdiri dari Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Majelengka, Kabupaten Kuningan.
d. Wilayah Priangan Timur terdiri dari Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten
Tasikmalaya Kota Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang.
e. Wilayah Priangan Barat terdiri dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten
Garut, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.

2.9.2 Gambaran Demografi


Berdasarkan estimasi penduduk tahun 2011, Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat adalah
43.867.447 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 22.321.083 jiwa (50,88%) dan
penduduk perempuan adalah 21.546.364 (49,12%). Kenaikan penduduk Provinsi Jawa Barat
kurun waktu tahun 2000-2011 terdapat peningkatan jumlah penduduk sebesar 8.143.884 jiwa
(22,80%).
Sex ratio di Provinsi Jawa Barat tahun 2011 adalah 103,6. Hal itu berarti bahwa pada setiap
100 orang perempuan, terdapat 104 orang laki-laki. Komposisi penduduk Provinsi Jawa Barat
berdasarkan struktur umur dan jenis kelamin menunjukan komposisi umur penduduk Provinsi
Jawa Barat pada tahun 2011 masih termasuk dalam kategori penduduk menengah, dimana
median umurnya berada pada umur 26,86 tahun. Kategori penduduk menengah tersebut
sesuai dengan gambaran proporsi jumlah penduduk terbesar di Jawa Barat yang berkisar
65.83 % - 66.09 % ada pada kelompok umur 15-64 tahun dalam kurun waktu 2005 – 2011.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif cenderung
terus menurun. Pada periode 2005 – 2006, LPP Provinsi Jawa Barat mencapai 1,94%,
periode berikutnya mengalami penurunan sehingga pada periode tahun 2007-2008 menjadi
1,71% dan pada periode tahun 2000-2010 menjadi 1,89%. Kondisi tersebut menunjukan
upaya pengendalian penduduk di Provinsi Jawa Barat relatif cukup baik.
Luas wilayah yang tidak seimbang di antara Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
berdampak pula pada persebaran penduduk yang berakibat menjadi kompleksnya masalah
kependudukan di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk terbesar
yaitu 11,08% dari jumlahpenduduk Jawa Barat, disusul dengan Kabupaten Bandung sebesar
7,38%.Sedangkan daerah yang memiliki penduduk terkecil adalah Kota Banjar yang hanya
sebesar 0,41% dari total penduduk Jawa Barat.
Lima besar kabupaten/kota di Jawa Barat dengan peringkat jumlah penduduk tertinggi
berturut‐turut adalah Kabupaten Bogor (4.862.121jiwa), Kabupaten Bandung (3.238.617 jiwa),
Kabupaten Bekasi (2.680.116.jiwa), Kabupaten Garut (2.449.559 jiwa) dan Kota Bandung
(2.440.136 jiwa). Persebaran penduduk di Jawa Barat tidak merata, terjadi pemusatan
penduduk yang mempunyai kepadatan diatas 1.000 jiwa per kilometer persegi yaitu di
Wilayah Bogor (Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Sukabumi), Wilayah

15
Purwakarta (Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Karawang), Wilayah Cirebon
(Kabupaten/Kota Cirebon, Majalengka), Wilayah Priangan Timur (Kota Banjar dan Kota
Tasikmalaya) dan Wilayah Priangan Barat (Kabupaten/Kota Bandung, Kabupaten Bandung
Barat, Kota Cimahi). Kemungkinan disebabkan oleh karena daerah tersebut merupakan
daerah pusat industri yang menjadi daerah tujuan utama para migran.

16
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2013 yaitu memberikan informasi terkini keadaan
kesehatan masyarakat dan juga memperhatikan perubahan yang terjadi dari 2007 untuk
beberapa indikator, seperti status gizi, beberapa penyakit menular dan penyakit tidak
menular, cakupan pelayanan kesehatan, serta kondisi lingkungan. Seluruh pembahasan
disajikan menurut provinsi dan karakteristik penduduk. Untuk masing-masing bahasan
mencantumkan jumlah sampel yang teranalisis baik untuk rumah tangga dan anggota rumah
tangga.

3.1 Akses dan Pelayanan Kesehatan


Akses pelayanan kesehatan yang didapatkan dari Riskesdas 2013 merupakan tingkat
pengetahuan rumah tangga terhadap jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada
disekitar tempat tinggalnya. Akses dan pelayanan kesehatan ditanyakan pada seluruh rumah
tangga yang menjadi sampel, yaitu sebanyak 23.694 rumah tangga di Jawa Barat.

3.1.1 Keberadaan Fasilitas Kesehatan


Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan yang terdiri dari RS
pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek
bidan atau rumah bersalin, polindes, poskesdes atau poskestren dan posyandu.
Pengetahuan rumah tangga terhadap keberadaan fasilitas kesehatan merupakan indikator
terhadap aksesabilitas fasilitas kesehatan.

Tabel 3.1.1
Persentase rumah tangga berdasarkan pengetahuan keberadaan jenis fasilitas kesehatan
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Keberadaan fasilitas kesehatan
KabupatenKota RS RS Pusk/ Praktek Praktek Posyan Poskesdes/ Polin
pemerintah swasta pustu dokter/ klinik bidan / RB du poskestren des
Bogor 61,0 54,1 94,0 65,8 77,9 76,0 2,5 0,7
Sukabumi 67,1 27,2 92,9 46,7 69,2 73,8 4,1 3,3
Cianjur 80,4 17,5 94,8 42,7 79,6 88,2 10,9 2,9
Bandung 82,6 48,5 96,9 68,0 87,0 90,8 9,4 13,2
Garut 61,1 15,7 92,5 46,0 62,6 76,7 3,4 0,7
Tasikmalaya 65,1 41,4 95,7 51,6 77,7 89,9 8,6 3,6
Ciamis 74,1 43,0 94,1 56,2 75,1 84,2 31,2 4,6
Kuningan 89,2 83,7 97,2 74,7 88,4 94,8 46,5 15,5
Cirebon 88,6 63,5 98,5 66,3 88,5 81,1 24,8 16,4
Majalengka 88,3 53,9 97,4 68,0 86,4 86,6 19,3 13,4
Sumedang 93,3 73,9 96,1 65,3 84,0 83,0 36,1 32,6
Indramayu 75,6 48,2 95,1 56,1 78,3 76,3 4,3 1,7
Subang 71,2 61,2 83,7 65,5 73,2 62,3 1,3 5,7
Purwakarta 80,2 52,7 90,6 60,6 75,2 67,5 4,0 0,2
Karawang 43,0 38,3 76,0 47,7 67,5 53,7 0,4 0,5
Bekasi 52,1 69,4 82,7 65,5 72,1 68,3 2,8 0,3
Bandung Barat 35,4 19,5 79,9 38,4 57,1 60,3 1,5 1,3
Kota Bogor 59,4 70,3 96,9 67,5 73,5 85,5 0,1 0,0
Kota Sukabumi 96,8 89,6 98,3 76,2 74,8 89,2 0,0 0,0
Kota Bandung 88,9 88,5 95,8 78,6 74,8 81,7 0,0 0,0
Kota Cirebon 97,3 95,0 98,5 83,9 87,8 93,1 1,2 1,0
Kota Bekasi 68,2 80,5 85,9 78,3 80,8 78,5 0,0 0,0
Kota Depok 67,5 82,5 88,3 71,7 76,5 76,2 0,1 0,0
Kota Cimahi 89,5 83,0 90,6 81,9 83,3 81,5 0,8 0,0
Kota Tasikmalaya 99,1 95,4 99,4 72,5 80,2 97,5 5,2 5,2
Kota Banjar 98,3 73,2 98,6 88,3 92,9 95,5 34,8 0,8
Jawa Barat 70,6 54,8 91,7 62,1 76,7 78,2 7,8 4,4

17
Tabel 3.1.1 menunjukan bahwa pengetahuan rumah tangga terhadap keberadaan fasilitas
kesehatan terbanyak adalah pengetahuan keberadaan puskesmas (91,7%) dan terendah
adalah polindes (4.4%) dan poskesdes/poskestren (7,8%).

Berdasarkan kabupaten/kota, pengetahuan rumah tangga terhadap keberadaan fasilitas


kesehatan, Kota Tasikmalaya merupakan kabupaten/kota dengan pengetahuan rumah
tangga tertinggi keberadaan RS Pemerintah (99,1%), puskesmas/pustu (99,4%), dan RS
Swasta (95,4%).Pengetahuan rumah tangga terhadap keberadaan RS pemerintah terendah
adalah Bandung Barat, keberadaan RS swasta terendah Kabupaten Garut, sedangkan untuk
Puskesmas adalah Karawang (76%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang
keberadaan poskesdes atau poskestren yang terbanyak di Kuningan(46,5%) dan terendah di
Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Sukabumi (0,0%).

92.789.6 Perkotaan
100
90 75 78.373.7 79.176.4
80 66.3 70.8 Perdesaan
70 62.3
60 45.8
50 33.3
40
30
20 11.2
6 3.7 5.7
10
0
RS RS Swasta Pusk/ Pustu Praktek Praktek Posyandu Poskesdes/ Polindes
Pemerintah dokter/ bidan / RB Poskestren
Klinik

Gambar 3.1.1
Persentase rumah tangga berdasarkan pengetahuan keberadaan fasilitas kesehatan
menurut tempat tinggal, Jawa Barat 2013

Pada gambar 3.1.1, menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan
fasilitas kesehatan untuk daerah perkotaan (RS pemerintah 75,0%, RS swasta 66,3%,
puskesmas/pustu 92,7%, praktek klinik dokter 70,8%, praktek bidan/RB 78,3% dan posyandu
79,1%) lebih baik dibanding dengan perdesaan (RS pemerintah 62,3%, RS swasta 33,3%,
puskesmas/pustu 89,6%, praktek klinik dokter 45,8%, praktek bidan/ RB 73,7% dan
Posyandu 76,4%). Sebaliknya penduduk perdesaan lebih banyak mengetahui keberadaan
fasilitas kesehatan berbasis UKBM seperti poskesdes/ poskestren (11,2%) dan polindes
(5,7%) dibanding rumah tangga perkotaan (poskestren 6,0% dan polindes 3,7%).

Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, diketahui bahwa rumah tangga dengan kriteria
terbawah mempunyai kecenderungan pengetahuan yang rendah terhadap keberadaan
fasilitas kesehatan. Pengetahuan rumah tangga mengenai keberadaan RS pemerintah, pada
kuintil terbawah sebanyak 55,4 persen dan pada kuintil teratas sebanyak 78,7 persen. Pada
fasilitas kesehatan polindes terjadi sebaliknya, bahwa rumah tangga dengan kuintil terbawah
(4,1%) mengetahui keberadaan polindes lebih banyak dibanding dengan rumah tangga pada
katagori teratas (3,2%). (Gambar 3.1.2)

18
100 93.2 90.8
89.1
90 78.7 80.9 80 79.2 81.8 79.6 80.3
80 73.2 72.7
63.2 65.9
70
55.4 55.5
60
50 40.6
40 25.9
30
20 8.7 9
5.4 4.1 5.4 3.2
10
0
RS RS Swasta Pusk/ Pustu Praktek Praktek Posyandu Poskesdes/ Polindes
Pemerintah dokter/ bidan / RB Poskestren
Klinik
Terbawah MenengahBawah Menengah Menengah Atas Teratas

Gambar 3.1.2
Persentase rumah tangga berdasarkan pengetahuan keberadaan fasilitas kesehatan menurut
kuintil indeks kepemilikan, Jawa barat 2013

3.1.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan

Keterjangkauan fasilitas kesehatan dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda
transportasi, waktu tempuh (dalam satuan menit) dan biaya transportasi menuju fasilitas
kesehatan. Moda transportasi yang digunakan menuju fasilitas kesehatan tersebut berupa
mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara
(kecuali ke posyandu, poskesdes dan polindes) dan lainnya, yang menggunakan lebih dari
satu moda transportasi.

Pengetahuan rumah tangga tentang waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dihitung dalam
bentuk menit yang dibuat menjadi 4 kategori yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit dan
> 60 menit. Sedangkan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan dalam mata uang
rupiah dibuat 4 kategori yaitu ≤ 10.000; >10.000 – 50.000; >50.000 – 200.000 dan >200.000.

Pada tabel 3.1.2 bahwa pengetahuan rumah tangga menuju ke RS pemerintah yang
terbanyak menggunakan kendaraan umum (45,5%), sepeda motor (35,0%), lebih dari 1 moda
transportasi (11,8%), menggunakan mobil pribadi (5,6%), lainnya (1,4%), jalan kaki (0,6%),
sepeda (0,1%). Pengetahuan rumah tangga tentang moda transportasi menuju RS
pemerintah dengan menggunakan moda mobil pribadi terbanyak di Kota Bekasi (14,2%).
Kendaraan umum paling banyak diketahui untuk moda transportasi oleh rumah tangga di
Kab. Tasikmalaya (72,5%), Sedangkan jalan kaki lebih banyak dipilih oleh rumah tangga di
Kab. Bandung Barat (4,6%), Penggunaan sepeda motor terbanyak di Kab. Karawang
(58,1%), penggunaan sepeda terbanyak di Kab.Bandung (0,4%), penggunaan moda
transportasi lainnya terbanyak di Kab. Karawang (15,3%) dan penggunaan lebih dari 1 moda
terbanyak di Kota Bogor (42,3%) dan Kab.Majalengka (31,3%).

19
Tabel 3.1.2
Persentase rumah yang dapat menggunakan moda transportasi menuju RS pemerintah
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Moda transportasi
Mobil Kendaraan Jalan Sepeda Sepeda Transpor Lainnya Lebih
Kabupaten/ Kota
pribadi umum kaki motor tasi dari 1
udara moda
Bogor 4,3 46,7 0,0 43,2 0,0 0,0 0,1 5,5
Sukabumi 1,4 50,3 0,4 35,3 0,0 0,0 0,0 12,4
Cianjur 1,1 61,5 1,8 13,4 0,0 0,0 0,1 22,0
Bandung 5,0 40,8 0,8 40,8 0,4 0,0 5,7 6,5
Garut 1,4 60,2 0,0 12,4 0,0 0,0 0,6 25,4
Tasikmalaya 3,4 72,5 0,3 16,8 0,0 0,0 0,2 6,8
Ciamis 4,3 59,6 0,5 26,4 0,0 0,0 0,0 9,2
Kuningan 3,7 64,3 0,3 31,1 0,0 0,0 0,1 0,5
Cirebon 2,1 48,5 0,1 42,2 0,2 0,0 0,0 7,0
Majalengka 6,6 39,3 0,4 21,8 0,3 0,0 0,3 31,3
Sumedang 4,9 53,5 0,3 21,0 0,0 0,0 0,0 20,3
Indramayu 4,5 37,3 0,8 53,8 0,3 0,0 1,9 1,4
Subang 13,5 57,7 0,0 23,0 0,0 0,0 2,6 3,2
Purwakarta 5,2 50,3 1,0 20,8 0,0 0,0 0,5 22,2
Karawang 5,1 19,4 0,0 58,1 0,0 0,0 15,3 2,1
Bekasi 5,5 36,5 0,2 49,3 0,0 0,0 0,0 8,6
Bandung Barat 5,6 52,9 4,6 24,6 0,0 0,0 0,5 11,8
Kota Bogor 1,7 25,7 1,4 28,8 0,0 0,0 0,0 42,3
Kota Sukabumi 6,9 67,5 0,5 23,1 0,0 0,0 0,0 2,0
Kota Bandung 12,7 32,6 0,3 37,8 0,0 0,0 0,4 16,2
Kota Cirebon 10,5 47,9 0,4 37,6 0,1 0,0 0,1 3,3
Kota Bekasi 14,2 28,9 1,3 43,5 0,1 0,0 0,7 11,2
Kota Depok 7,7 36,3 0,6 48,3 0,0 0,0 0,3 6,8
Kota Cimahi 7,2 31,8 1,4 48,5 0,0 0,0 0,2 11,0
Kota Tasikmalaya 4,8 35,1 0,3 28,3 0,3 0,0 5,2 26,0
Kota Banjar 6,0 15,7 1,2 49,4 0,2 0,0 7,3 20,3
Jawa Barat 5,6 45,5 0,6 35,0 0,1 0,0 1,4 11,8

60 54 Perkotaan
50 41.7 Perdesaan
38
40 28.2
30
20 11.8 11.8
6.3 4
10 0.8 0.2 0.1 0.1 0 0 0 0 1.3 1.7
0

Gambar 3.1.3
Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju RS
pemerintah menurut tempat tinggal, Jawa Barat 2013

20
59.3 Terbawah
60 Menengah Bawah
50.4
50 45.8 Menengah
Menengah Atas
40 33.7
27.4
Teratas
30
18.4 19.1 17.3
20 11.3
7.4
10 1.3 2.2 0.6 0.8 0.5 0.2 0.1 0 0 0 0 2.1 1.5 0.4
0

Gambar 3.1.4
Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju RS
pemerintah menurut kuintil indeks kepemilikan,Jawa Barat, 2013

Pada gambar 3.1.3 memberikan informasi menurut karakteristik bahwa rumah tangga yang
menggunakan moda transportasi dengan sepeda motor menuju RS pemerintah di perkotaan
sejumlah 38,0% dan di perdesaan sebanyak 28,2%, sedangkan yang menggunakan
kendaraan umum di perkotaan 41,7 persen dan di perdesaan 54,0 persen. Rumah tangga
yang menggunakan lebih dari 1 moda transportasi di perkotaan dan perdesaan masing-
masing 11,8 persen. Pada rumah tangga yang menggunakan kendaraan pribadi di perkotaan
6,3 persen dan perdesaan 4,0 persen. Rumah tangga yang jalan kaki di perkotaan 0,8 persen
dan perdesaan 0,2 persen.

Menurut kuintil indeks kepemilikan rumah tangga yang menggunakan sepeda motor
terbanyak adalah rumah tangga dengan kuintil menengah atas 47,0 persen dan terbawah
19,1 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum terbanyak untuk mengakses RS
pemerintah adalah pada rumah tangga kuintil terbawah 59,3 persen dan terendah pada
rumah tangga kuintil teratas 27,4 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari 1 moda
transportasi pada rumah tangga terbawah 17,3 persen dan terendah pada kuintil teratas 7,4
persen.

Pada tabel 3.1.3 bahwa pengetahuan rumah tangga menuju ke puskesmas yang terbanyak
menggunakan sepeda motor (50,0%), berikutnya kendaraan umum (27,2%), lebih dari 1
moda transportasi (6,4%), menggunakan mobil pribadi (1,7%), lainnya (1,1%), jalan kaki
(12,9%), dan sepeda (0,7%).

Pengetahuan rumah tangga tentang moda transportasi menuju puskesmas dengan


menggunakan moda mobil pribadi terbanyak di Kota Bekasi (5,2%). Kendaraan umum paling
banyak diketahui untuk moda transportasi oleh rumah tangga di Kota Sukabumi (42,8%),
Sedangkan jalan kaki lebih banyak dipilih oleh rumah tangga di Kota Bogor (49,5%),
penggunaan sepeda motor lebih banyak di Kab. Subang (75,3%), penggunaan sepeda
terbanyak di Kab. Indramayu (5,5%), lainnya Kota Tasikmalaya (7,9%) dan lebih dari 1 moda
Kab. Purwakarta (19,7%).

21
Tabel 3.1.3
Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju Puskesmas
atau Puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Moda transportasi
Lebih
Kabupaten/Kota Mobil Kendaraan Jalan Sepeda
Sepeda perahu Lainnya dari 1
pribadi umum kaki motor
moda
Bogor 1,0 35,3 12,7 46,7 0,3 0,0 0,1 3,8
Sukabumi 0,6 32,1 3,6 56,2 0,0 0,0 0,0 7,5
Cianjur 0,7 35,7 8,8 43,5 0,0 0,0 0,0 11,4
Bandung 2,3 27,1 17,3 44,6 0,3 0,0 5,0 3,2
Garut 0,5 33,3 10,2 48,6 0,0 0,0 0,1 7,3
Tasikmalaya 1,3 36,6 6,7 52,1 0,0 0,0 0,0 3,3
Ciamis 2,2 32,7 7,9 51,9 0,5 0,0 1,3 3,4
Kuningan 1,8 37,6 6,2 52,3 0,0 0,0 1,6 0,6
Cirebon 0,2 26,4 15,3 51,2 4,2 0,0 0,2 2,4
Majalengka 2,1 21,2 9,1 50,3 1,8 0,0 0,8 14,7
Sumedang 1,7 27,8 11,6 49,8 0,0 0,0 0,0 9,1
Indramayu 0,3 19,0 6,2 66,3 5,5 0,0 2,1 0,6
Subang 2,6 14,6 5,5 75,3 0,9 0,0 0,1 1,0
Purwakarta 1,5 37,8 4,4 36,1 0,0 0,0 0,5 19,7
Karawang 0,4 14,9 12,4 64,3 0,7 0,0 3,8 3,5
Bekasi 1,4 20,9 12,5 60,1 0,6 0,0 0,0 4,5
Bandung Barat 1,2 36,7 13,8 40,1 0,1 0,0 2,9 5,1
Kota Bogor 0,1 10,7 49,5 21,8 0,0 0,0 0,0 17,8
Kota Sukabumi 3,7 42,8 31,6 20,9 0,0 0,0 0,0 1,0
Kota Bandung 4,2 16,2 22,8 42,5 0,0 0,0 1,0 13,3
Kota Cirebon 4,3 32,7 22,8 38,8 0,3 0,0 0,4 0,7
Kota Bekasi 5,2 22,1 10,8 51,5 1,1 0,0 1,0 8,4
Kota Depok 2,9 24,0 18,0 49,1 0,0 0,0 0,3 5,7
Kota Cimahi 2,8 19,5 20,2 47,4 0,0 0,0 0,4 9,6
Kota Tasikmalaya 2,8 24,7 14,0 37,0 0,4 0,0 7,9 13,2
Kota Banjar 2,5 7,7 12,0 56,2 4,7 0,0 4,9 12,1
Jawa Barat 1,7 27,2 12,9 50,0 0,7 0,0 1,1 6,4

Gambar 3.1.5 menjelaskan tentang pengetahuan rumah tangga yang menggunakan moda
transportasi menuju puskesmas atau pustu menurut karakteristik tempat tinggal dan kuintil
indeks kepemilikan. Moda transportasi yang paling banyak digunakan di rumah tangga
perdesaan adalah sepeda motor (45,8%), sedangkan daerah perkotaan adalah sepeda
motor(58,1%). Sedangkan moda transportasi yang paling sedikit digunakan penduduk baik di
perdesaan dan perkotaan di Jawa Barat adalah sepeda (0,7% dan 0,8%) dan perahu
(masing-masing 0%).

22
100.0
Perdesaan
80.0 Perkotaan
58.1
60.0 45.8
40.0 27.1 27.3
15.6
20.0 7.6 7.3 4.5
2.1 0.9 0.7 0.8 0.0 0.0 1.3 0.8
0.0

Gambar 3.1.5
Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju Puskesmas
atau Puskesmas pembantu menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

59.0
60.0 44.5
50.0 33.4
40.0
30.0 16.2
20.0 11.6 12.3 7.8
6.6 5.2
10.0 0.3 1.0 0.1 0.0 0.0 1.4 0.4
0.0

Terbawah Menengah Bawah Menengah Menengah Atas Teratas

Gambar 3.1.6
Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju Puskesmas
atau Puskesmas pembantu menurut karakteristik kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.1.6 juga menjelaskan bahwa penggunaan mobil pribadi sebagai moda transportasi
ke puskesmas/pustu digunakan terbanyak oleh penduduk kuintil teratas, sedangkan
kendaraan umum paling banyak digunakan oleh penduduk kuintil terbawah dan moda
transportasi yang paling sedikit digunakan adalah sepeda.

23
Tabel 3.1.4
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju RS pemerintah menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Waktu tempuh (menit)


Kabupaten/Kota
<16’ 16-30’ 31-60’ >60’
Bogor 11,9 42,6 32,7 12,8
Sukabumi 9,3 28,1 36,8 25,8
Cianjur 12,3 15,0 22,9 49,9
Bandung 17,3 39,8 29,2 13,7
Garut 4,2 15,4 39,7 40,8
Tasikmalaya 1,7 11,8 22,9 63,7
Ciamis 8,4 24,7 28,0 39,0
Kuningan 9,1 38,0 29,4 23,5
Cirebon 13,8 39,7 33,2 13,4
Majalengka 13,0 35,7 35,0 16,3
Sumedang 8,0 23,7 43,7 24,6
Indramayu 18,8 27,8 44,1 9,3
Subang 1,9 21,1 34,1 42,9
Purwakarta 7,9 35,6 35,4 21,2
Karawang 11,8 16,4 31,4 40,4
Bekasi 7,7 36,2 42,7 13,4
Bandung Barat 17,3 24,5 34,8 23,5
Kota Bogor 39,6 42,3 16,4 1,7
Kota Sukabumi 36,1 43,0 20,5 0,5
Kota Bandung 7,5 36,9 41,3 14,3
Kota Cirebon 61,7 34,1 4,2 0,1
Kota Bekasi 12,5 42,3 30,8 14,4
Kota Depok 21,3 40,2 30,7 7,9
Kota Cimahi 37,7 48,0 13,9 0,4
Kota Tasikmalaya 25,2 44,2 24,0 6,6
Kota Banjar 49,7 40,7 8,9 0,7
Jawa Barat 13,5 32,4 32,3 21,8

Tabel 3.1.4 menunjukan waktu tempuh menuju RS pemerintah, proporsi terbanyak di Jawa
Barat untuk waktu tempuh adalah dalam waktu 16-30 menit (32,4%), kemudian waktu tempuh
31-60 menit (32,3%) selanjutnya >60 menit (21,8%) dan proporsi terendah adalah dengan
aksesabilitas waktu <16 Menit (13,5%). Proporsi penduduk dengan aksesabilitas waktu
terhadap RS pemerintah paling cepat (<16 menit) adalah penduduk di Kota Cirebon (61,7%)
dan Kota Banjar (49,7%) sedangkan paling lama (>60 menit) adalah penduduk di Kab.
Tasikmalaya (63,7%) dan Kab. Cianjur (49,9%).
.
Gambar 3.1.7. menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga menuju RS pemerintah di
perkotaan terbanyak pada waktu 16-30 menit (38,6%) dan paling sedikit pada waktu lebih dari
1 jam (11,8%). Sedangkan di perdesaan, proporsi penduduk yang mengakses rumah sakit
paling banyak dengan waktu tempuh lebih dari 1 jam (44,3%) dan hanya 2,6 persen
penduduk perdesaan yang mampu mengakses rumah sakit kurang dari 16 menit.

Menurut kuintil indeks kepemilikan dengan waktu tempuh penduduk pada kuintil terbawah
paling banyak mengakses RS pemerintah pada waktu lebih dari 1 jam (43,6%), kuintil
menengah bawah 31-60 menit (33,1%), menengah pada 16–30 menit (33,8%), kuintil
menengah atas pada 16-30 menit (36,8%) pada penduduk kuintil teratas pada 16-30 menit
(38,1%). Berdasarkan kabupaten/kota, Kab. Tasikmalaya (63,7%) dan Kab.Cianjur (49,9%)
merupakan kabupaten dengan proporsi penduduk paling banyak yang mengakses RS
pemerintah lebih dari 1 jam, sedangkan Kota Cirebon (0,1%) dan Kota Cimahi (0,4%)

24
merupakan kabupaten/kota yang proporsi penduduknya paling sedikit mengakses RS
pemerintah dalam waktu lebih dari 1 jam.

Gambar 3.1.7
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju RS pemerintah menurut
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Tabel 3.1.5
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Puskesmas atau Puskesmas
pembantu menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Waktu tempuh (menit)
Kabupaten/Kota
<16’ 16-30’ 31-60’ >60’
Bogor 60,66 31,68 5,28 2,38
Sukabumi 52,88 36,01 7,00 4,10
Cianjur 40,11 31,42 12,62 15,85
Bandung 70,84 25,79 3,16 0,21
Garut 39,28 44,14 11,55 5,03
Tasikmalaya 47,86 35,91 12,43 3,80
Ciamis 60,68 31,37 6,49 1,46
Kuningan 70,81 26,21 1,98 1,00
Cirebon 64,36 31,14 4,50 0,0
Majalengka 77,64 19,47 1,37 1,52
Sumedang 56,73 36,37 5,99 0,91
Indramayu 77,64 19,30 3,06 0,0
Subang 59,51 32,95 7,07 0,46
Purwakarta 68,28 25,40 4,90 1,41
Karawang 62,71 32,14 2,24 2,91
Bekasi 56,12 37,53 5,66 0,69
Bandung Barat 59,83 32,38 7,01 0,78
Kota Bogor 82,54 15,70 1,25 0,50
Kota Sukabumi 90,37 9,26 0,37 0,0
Kota Bandung 66,74 30,51 2,11 0,65
Kota Cirebon 92,49 7,07 0,33 0,11
Kota Bekasi 64,32 31,92 3,06 0,70
Kota Depok 69,03 28,58 1,98 0,40
Kota Cimahi 84,57 13,95 1,35 0,13
Kota Tasikmalaya 84,59 12,79 2,09 0,52
Kota Banjar 85,19 13,82 0,84 0,15
Jawa Barat 62,53 30,05 5,21 2,22

25
Tabel 3.1.5 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju pukesmas dan
pustu, proporsi rumah tangga paling banyak mengakses puskesmas dan pustu dalam waktu
<16 menit (62,53%) dan paling sedikit dengan waktu >60 menit (2,22%). Jika berdasarkan
kabupaten, proporsi rumah tangga yang mengakses puskesmas/pustu dalam waktu tempuh
<16 menit terbanyak di Kota Cirebon (92,49%) sedangkan terendah di Kab. Garut (39,28%).
Rumah tangga yang paling lama (>60 menit) mengakses puskesmas/pustu terbanyak di
Kab.Cianjur (15,85%), dan Kab.Garut (5,03%)

Gambar 3.1.8
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Puskesmas atau Puskesmas
pembantu menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.1.8 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas
atau pustu dilihat dari tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. secara umum rumah
tangga di perkotaan lebih singkat dalam mengakses fasilitas kesehatan ini. Rumah tangga di
perkotaan Jawa Barat (69,5%) lebih banyak mengakses puskesmas/pustu dengan waktu
tempuh ≤15 menit dibanding rumah tangga perdesaan (49,0%). Aksesabilitas
puskesmas/pustu pada waktu tempuh 16-30 menit lebih banyak di perdesaan (35,4%),
sementara proporsi rumah tangga perkotaan 27,1 persen.

Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga pada kuintil teratas (73.6%)
memiliki akses lebih singkat dibanding rumah tangga kuintil terbawah (42,8%), menengah
bawah (58,7%), menengah (67,0%), dan menengah atas (68,6%). Proporsi rumah tangga
perdesaan (5,4%) dan rumah tangga pada kuintil terbawah (7,1 %) merupakan rumah tangga
dengan aksesabilitas ke puskesmas dan pustu paling lama (<60 Menit).

Tabel 3.1.6 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (94,8%) menyatakan bahwa
waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu ≤ 15 menit dan sebanyak 4,6 persen rumah
tangga menyatakan waktu tempuh ke posyandu 16-30 menit. Jika dilihat berdasarkan
kabupaten/kota, waktu tempuh posyandu ≤15 menit terbanyak yaitu di Kota Sukabumi
(99,6%) dan terendah di Kab.Cianjur (85,2%), sedangkan waktu tempuh >60 menit terbanyak
di Kab.Sumedang (1%).

26
Tabel 3.1.6
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Posyandu menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Waktu tempuh (menit)


Kabupaten/Kota
< 16’ 16-30’ 31-60’ >60’
Bogor 97,8 1,8 0,3 0,2
Sukabumi 91,5 7,7 0,6 0,2
Cianjur 85,2 13,4 1,1 0,3
Bandung 97,0 2,6 0,4 0,1
Garut 91,0 6,6 1,7 0,7
Tasikmalaya 83,7 15,4 0,5 0,4
Ciamis 95,5 3,9 0,1 0,4
Kuningan 96,2 3,2 0,1 0,5
Cirebon 98,5 1,5 0,0 0,0
Majalengka 97,6 2,2 0,1 0,1
Sumedang 91,3 7,5 0,2 1,0
Indramayu 99,5 0,1 0,4 0,0
Subang 95,3 3,7 0,1 0,9
Purwakarta 97,5 2,5 0,0 0,0
Karawang 99,2 0,4 0,0 0,3
Bekasi 93,6 6,2 0,0 0,2
Bandung Barat 89,4 9,8 0,4 0,4
Kota Bogor 98,3 1,4 0,0 0,3
Kota Sukabumi 99,6 0,2 0,2 0,0
Kota Bandung 95,0 4,6 0,2 0,2
Kota Cirebon 99,1 0,5 0,0 0,4
Kota Bekasi 97,3 2,6 0,0 0,1
Kota Depok 96,5 3,0 0,3 0,2
Kota Cimahi 99,1 0,7 0,1 0,2
Kota Tasikmalaya 97,3 2,7 0,1 0,0
Kota Banjar 97,4 2,6 0,0 0,0
Jawa Barat 94,8 4,6 0,3 0,3

Gambar 3.1.9
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Posyandu menurut tempat
tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

27
Gambar 3.1.9. menampilkan waktu tempuh rumah tangga menuju posyandu menurut tempat
tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Untuk waktu tempuh ≤ 15 menit di perkotaan 96,9
persen dan perdesaan 90,8 persen. Dengan waktu 16-30 menit di perkotaan 2,8 persen dan
perdesaan 8,1 persen.

Proporsi rumah tangga menurut kuintil indeks kepemilikan dengan waktu tempuh ke
posyandu ≤ 15 menit tertinggi pada penduduk kuintil teratas (97,5%) dan paling rendah pada
kuintil terbawah (87,3%). Proporsi rumah tangga menurut kuintil indeks kepemilikan dengan
waktu tempuh 16-30 menit tertinggi pada penduduk terbawah (11,6%) dan terendah pada
kuintil teratas (2,1%).

Tabel 3.1.7
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Polindes menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Waktu tempuh (menit)
Kabupaten / Kota
< 16’ 16-30’ 31-60’ >60’
Bogor 88,6 0,0 11,4 0,0
Sukabumi 90,7 9,4 0,0 0,0
Cianjur 58,5 41,5 0,0 0,0
Bandung 85,2 11,8 3,1 0,0
Garut 100,0 0,0 0,0 0,0
Tasikmalaya 80,2 18,4 1,4 0,0
Ciamis 83,1 16,9 0,0 0,0
Kuningan 94,0 4,5 0,0 1,5
Cirebon 98,5 1,2 0,0 0,3
Majalengka 95,7 3,4 0,9 0,0
Sumedang 83,2 15,3 1,6 0,0
Indramayu 100,0 0,0 0,0 0,0
Subang 90,8 7,6 1,6 0,0
Purwakarta 100,0 0,0 0,0 0,0
Karawang 100,0 0,0 0,0 0,0
Bekasi 68,4 2,7 0,0 29,0
Bandung Barat 93,1 6,9 0,0 0,0
Kota Bogor 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Sukabumi 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Bandung 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Cirebon 93,7 6,3 0,0 0,0
Kota Bekasi 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Depok 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Cimahi 0,0 0,0 0,0 0,0
Kota Tasikmalaya 72,7 25,7 1,5 0,0
Kota Banjar 84,2 15,8 0,0 0,0
Jawa Barat 88,2 10,2 1,4 0,3

Tabel 3.1.7 menunjukkan waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut
kabupaten/kota, Proporsi rumah tangga terbanyak (88,2%) adalah dengan waktu ≤15 menit.
Seluruh rumah tangga (100%) di Kab. Garut, Kab.Indramayu, Kab.Purwakarta, dan
Kab.Karawang mengaku memiliki akses ke polindes ≤15 menit, sementara akses ke polindes
≤15 menit terendah adalah di Kab.Cianjur (58,5%).

Gambar 3.1.10 menunjukkan waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut tempat
tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Proporsi rumah tangga dengan waktu tempuh ke
polindes ≤15 menit di perkotaan sebanyak 91,3 persen dan di perdesaan 84,4 persen.
Proporsi rumah tangga dengan waktu tempuh ke polindes 16-30 menit di perkotaan sebanyak

28
7,4 persen dan perdesaan 13,6 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi
penduduk dengan dengan akses ke polindes dengan waktu ≤15 menit yaitu pada penduduk
kuintil teratas 95,4 persen dan proporsi terendah pada penduduk kuintil terbawah (72,6%).

Gambar 3.1.10
Persentase rumah tangga berdasarkan waktu tempuh menuju Polindes menurut tempat
tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Tabel 3.1.8
Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju RS pemerintah
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Kabupaten/kota
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 >50.000 Tidak Menjawab
Bogor 72,6 23,5 4,0 0,0
Sukabumi 45,9 50,7 3,4 0,0
Cianjur 43,3 40,4 16,4 0,0
Bandung 75,5 19,5 4,9 0,0
Garut 44,1 48,2 7,7 0,0
Tasikmalaya 32,0 62,2 5,8 0,0
Ciamis 46,2 40,6 13,2 0,0
Kuningan 62,9 31,8 5,3 0,0
Cirebon 71,0 26,7 2,0 0,2
Majalengka 71,4 25,8 2,8 0,0
Sumedang 47,1 45,2 7,7 0,0
Indramayu 57,5 39,0 3,5 0,0
Subang 37,6 44,4 17,9 0,0
Purwakarta 65,9 30,9 3,2 0,0
Karawang 32,4 64,6 3,0 0,0
Bekasi 55,2 40,1 4,7 0,0
Bandung Barat 63,3 33,7 3,0 0,0
Kota Bogor 95,1 4,5 0,3 0,04
Kota Sukabumi 95,1 4,6 0,3 0,0
Kota Bandung 84,2 15,5 0,3 0,0
Kota Cirebon 83,8 16,1 0,0 0,0
Kota Bekasi 59,4 38,2 2,3 0,0
Kota Depok 86,8 11,6 1,6 0,0
Kota Cimahi 96,3 3,7 0,1 0,0
Kota Tasikmalaya 93,9 6,0 0,1 0,0
Kota Banjar 94,3 5,7 0,0 0,0
Jawa Barat 63,0 32,0 5,0 0,001

29
Tabel 3.1.8 menunjukkan biaya transportasi rumah tangga menuju RS pemerintah menurut
kabupaten/kota. Sebagian besar rumah tangga (63,0%) mengakses RS pemerintah dengan
biaya transportasi ≤Rp.10.000, kemudian sebanyak 32,0 persen rumah tangga menggunakan
biaya transportasi > Rp.10.000-Rp.50.000 dan 5,0 persen rumah tangga menggunakan biaya
transportasi > Rp.50.000. Berdasarkan kabupaten, proporsi penduduk terbanyak yang
mengakses RS pemerintah dengan biaya transportasi ≤ Rp.10.000 adalah Kota Cimahi
(96,3%) dan terendah di Kab.Tasikmalaya (32%). Sedangkan proporsi penduduk paling
banyak yang mengakses RS pemerintah dengan biaya transportasi lebih dari 50.000 adalah
Kab. Subang (17,9%) dan Kab. Cianjur (16,4%).

Gambar 3.1.11
Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju RS pemerintah
menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.1.11 memberi informasi biaya transportasi menuju RS pemerintah menurut tempat
tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan (75,2%)
memberi informasi biaya transportasi ≤ Rp 10.000. Sebagian besar rumah tangga di
perdesaan (52,8%) memberi informasi biaya transportasi ke RS pemerintah sebesar >
Rp.10.000 – Rp.50.000. Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga
yang member informasi biaya ≤ Rp. 10.000 adalah rumah tangga menengah atas (71,9%)
dan proporsi terendah pada rumah tangga terbawah (40,4%). Proporsi rumah tangga
tertingggi yang memberi informasi biaya transportasi >Rp.10.000 – Rp.50.000 adalah rumah
tangga terbawah (47,9%).

Gambar 3.1.12
Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju Puskesmas atau Pustu
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

30
Gambar 3.1.12 menunjukkan informasi biaya transportasi sekali jalan menuju puskesmas
atau pustu menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Sebagian besar rumah
tangga di perkotaan (95,4%) dan perdesaan (79,8%) memberi informasi biaya transportasi
sekali jalan dengan kategori ≤Rp.10.000. Rumah tangga yang menyatakan biaya transportasi
menuju puskesmas/pustu antara >Rp. 10.000 – Rp. 50.000 di perkotaan sebesar 3,2 persen
dan perdesaan sebesar 17,5 persen. Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, sebagian
besar rumah tangga di seluruh kuintil menyatakan biaya transportasi ≤ Rp.10.000.

Tabel 3.1.9
Persentase rumah tangga berdasarkan biaya transportasi menuju Puskesmas atau Pustu
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Biaya transportasi
Kabupaten/kota
<=10.000,- >10.000 - 50.000,- > 50.000 Tidak menjawab
Bogor 91,7 7,1 1,2 0,1
Sukabumi 78,4 19,6 2,1 0,0
Cianjur 68,5 27,3 4,1 0,1
Bandung 95,9 4,0 0,1 0,0
Garut 85,8 13,0 1,2 0,1
Tasikmalaya 85,7 14,2 0,1 0,0
Ciamis 88,8 10,6 0,7 0,0
Kuningan 93,5 6,3 0,2 0,0
Cirebon 83,6 1,2 0,0 15,2
Majalengka 96,9 2,9 0,2 0,0
Sumedang 90,2 9,5 0,3 0,0
Indramayu 93,5 6,5 0,0 0,0
Subang 88,6 11,2 0,2 0,0
Purwakarta 96,8 3,2 0,0 0,0
Karawang 82,2 6,3 0,0 11,4
Bekasi 94,7 5,3 0,0 0,0
Bandung Barat 87,8 11,5 0,7 0,0
Kota Bogor 99,5 0,5 0,0 0,0
Kota Sukabumi 100,0 0,0 0,0 0,0
Kota Bandung 96,4 3,6 0,0 0,0
Kota Cirebon 97,6 2,4 0,0 0,0
Kota Bekasi 92,9 6,8 0,3 0,0
Kota Depok 97,4 2,2 0,4 0,0
Kota Cimahi 97,8 0,5 0,0 1,7
Kota Tasikmalaya 97,9 2,0 0,1 0,0
Kota Banjar 98,3 1,7 0,0 0,0
Jawa Barat 90,1 8,1 0,6 1,2

Tabel 3.1.9 memberi informasi tentang biaya transportasi sekali jalan menuju puskesmas
menurut kabupaten/kota. Sebagian besar rumah tangga (90,1%) menyatakan pada besaran
biaya ≤ Rp.10.000, kemudian 8,1% rumah tangga menyatakan antara > Rp.10.000 –
Rp.50.000, sementara itu yang menyatakan biaya transportasi sekali jalan menuju
puskesmas/pustu > Rp.50.000 hanya sebesar 0,6% rumah tangga. Jika dilihat dari kategori
besar biaya transportasi, maka kabupaten/kota dengan rumah tangga terbanyak yang
menyatakan biayanya sebesar ≤ Rp.10.000 adalah Kota Sukabumi 100% persen dan
terendah di Kab.Cianjur (68,5%). Sedangkan kabupaten/kota dengan rumah tangga
terbanyak yang menyatakan biaya transportasi antara > Rp. 10.000 – Rp.50.000 adalah
Kab.Cianjur (27,3%) dan terendah di Kota Sukabumi (0,0%).

31
3.2 Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui
proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga
yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang
obat generik. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun terakhir.
3.2.1. Obat dan Obat Tradisional di Rumah Tangga
Sejumlah 8.534 atau 36,3 persen dari 23.694 rumah tangga di Jawa Barat menyimpan obat
untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Depok
(64,0%) dan terendah di Kabupaten Sukabumi (12,7%). Rerata sediaan obat yang disimpan
berjumlah 3 macam dengan proporsi tertinggi di Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor (rata-
rata 3,6 macam) dan terendah di Karawang (rata-rata 2,1 macam) (Tabel 3.2.1).
Tabel 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata
jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013
Menyimpan obat
Kabupaten/Kota Ya*
Rerata jumlah obat
Bogor 45,7 3,3
Sukabumi 12,7 2,6
Cianjur 29,5 2,7
Bandung 44,4 2,6
Garut 15,0 2,2
Tasikmalaya 16,3 2,7
Ciamis 29,8 2,4
Kuningan 31,9 2,5
Cirebon 22,1 2,3
Majalengka 39,8 3,2
Sumedang 36,2 3,0
Indramayu 42,9 2,7
Subang 23,1 2,7
Purwakarta 34,0 2,9
Karawang 27,0 2,1
Bekasi 32,9 2,5
Bandung Barat 33,8 2,4
Kota Bogor 51,4 3,6
Kota Sukabumi 60,6 3,0
Kota Bandung 38,8 2,8
Kota Cirebon 55,8 2,8
Kota Bekasi 58,1 3,6
Kota Depok 64,0 3,6
Kota Cimahi 38,0 3,2
Kota Tasikmalaya 47,7 3,4
Kota Banjar 61,3 3,2
Jawa Barat 36,3 3,0
*) dalam persen (%)
Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa dari 36,3 persen rumah tangga yang menyimpan obat
untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-
obat yang tidak teridentifikasi. Obat yang diobservasi digolongkan dalam jenis obat keras
berdasarkan logo pada kemasan obat berupa lingkaran merah dengan tanda K, dan/atau
tulisan “HARUS DENGAN RESEP DOKTER” yang tercetak pada kemasan obat (strip,
blister), obat jenis narkotika (logo palang merah) dimasukkan ke dalam jenis (golongan) obat

32
keras. Penggolongan ke dalam jenis obat bebas/obat bebas terbatas berdasarkan logo pada
kemasan obat berupa lingkaran hijau atau biru. Suplemen (supplement), vitamin/multivitamin,
termasuk jenis (kategori) Obat Bebas, meskipun pada kemasannya tidak ada logo obat
bebas/bebas terbatas. Jenis antibiotika digolongkan tersendiri karena memiliki resiko
terjadinya resistensi obat, jika digunakan pada swamedikasi yang tidak tepat. Obat
digolongkan tidak teridentifikasi jika obat/OT tidak dikemas dalam kemasan asli pabrik, atau
obat dikemas namun tidak jelas/tidak dikenali logonya atau tanpa logo. Obat digolongkan
jenis obat tradisional (OT) berdasarkan adanya logo pada kemasannya (untuk jamu kemasan
pabrik), berupa gambar daun atau tulisan ‘JAMU’. Untuk jamu yang bukan kemasan pabrik
sudah jelas dari tampilan fisiknya. Termasuk jenis OT adalah Jamu, Obat Herbal Terstandar
(OHT), dan Fitofarmaka
Di Jawa Barat, proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 32,3 persen dan
antibiotika 24,3 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan
penggunaan obat yang tidak rasional.

* Termasuk dalam jenis obat Antibiotika (AB)


% adalah antibiotikaanti jamur,anti
tuberkulosis dan anti amuba

Gambar 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan,
Jawa Barat 2013

Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, rumah tangga di perkotaan lebih banyak


menyimpan obat keras, obat bebas dan obat tradisional, sementara rumah tangga di
perdesaan lebih banyak yang menyimpan obat tidak teridentifikasi, dibandingkan rumah
tangga perkotaan (11,8% vs 9,7%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotik sama
besar antara perkotaan dan perdesaan (masing-masing 24,3%). (Tabel 3.2.2)
Berdasarkan karakteristik kuintil indeks kepemilikan, rumah tangga di kuintil teratas paling
banyak menyimpan obat keras, obat bebas dan obat tradisional, sementara rumah tangga
terbawah paling banyak menyimpan antibiotik. Obat tidak teridentifikasi paling banyak
disimpan dirumah tangga menengah bawah, paling sedikit di rumah tangga teratas. (Tabel
3.2.2)

33
Tabel 3.2.2
Proporsi rumah tangga menurut jenis obat dan obat tradisonal yang disimpan
menurut karakteristik,Jawa Barat 2013

Karakteristik Obat Keras Obat Bebas Antibiotika Obat Obat tidak


tradisional teridentifikasi
Tempat tinggal
Perkotaan 33,7 83,4 24,3 18,3 9,7
Perdesaan 27,3 80,5 24,3 14,4 11,8
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 24,8 80,2 27,7 12,6 10,2
Menengah bawah 30,5 78,9 24,0 14,9 12,8
Menengah 29,5 82,2 22,6 14,9 11,1
Menengah atas 34,5 82,5 24,7 18,2 11,9
Teratas 35,5 86,0 24,0 21,1 6,9

Tabel 3.2.3 menunjukkan rumah tangga menyimpan antibiotika dan obat keras yang
diperoleh tanpa resep dokter. Dari mereka yang menyimpan obat di Jawa Barat, 81,3 persen
rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dengan proporsi tertinggi di
Kabupaten Cirebon (94,5%) dan terendah di Kabupaten Bogor (74,0%). Sebanyak 77,5
persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kota
Bandung (95,1%) dan terendah di Kota Sukabumi (76,0%). Proporsi rumah tangga yang
menyimpan antibiotika dan obat keras tanpa resep ini cukup tinggi.
Tabel 3.2.4 menunjukkan apotek dan toko obat/warung merupakan sumber utama rumah
tangga untuk mendapatkan obat dan obat tradisional di Jawa Barat dengan proporsi masing-
masing 41,6 persen dan 39,4 persen. Sumber obat rumah tangga (apotek, toko obat dst.)
dihitung jika di rumah tangga tersebut menyimpan satu saja obat yang diperoleh dari sumber
obat tersebut. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di
apotek dan pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik) lebih tinggi di
perkotaan, sebaliknya proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung
lebih tinggi di perdesaan. Sebanyak 23,6 persen rumah tangga memperoleh obat langsung
dari tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di perdesaan (30,8%). Semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah memperoleh obat dari sumber nakes.
Sumber lain – lain adalah sumber obat yang diperoleh dari pemberian orang lain, pelayanan
kesehatan tradisional dan penjual obat tradisonal keliling, proporsinya tidak jauh berbeda
antara perkotaan dan perdesaan.

Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi.
Status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’
jika sakit, dan ‘obat sisa’. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa
dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di Jawa Barat45,5 persen rumah tangga
menyimpan obat sisa, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang
menyimpan obat untuk persediaan (43,0%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat
sisa tidak jauh berbeda antara perkotaan dan perdesaan maupun antar kuintil indeks
kepemilikan.

34
Tabel 3.2.3
Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Kabupaten/Kota Jenis obat tanpa resep


Obat keras Antibiotika
Bogor 74,0 77,5
Sukabumi 79,8 77,3
Cianjur 83,9 84,2
Bandung 75,3 83,4
Garut 89,4 90,1
Tasikmalaya 89,6 92,5
Ciamis 82,6 89,2
Kuningan 78,4 84,5
Cirebon 94,5 88,4
Majalengka 79,6 83,8
Sumedang 78,4 83,8
Indramayu 88,5 87,2
Subang 80,1 87,3
Purwakarta 81,8 86,5
Karawang 91,5 89,6
Bekasi 84,6 86,4
Bandung Barat 82,8 82,1
Kota Bogor 78,1 83,4
Kota Sukabumi 75,8 76,0
Kota Bandung 90,8 95,1
Kota Cirebon 88,1 90,9
Kota Bekasi 78,5 85,0
Kota Depok 78,5 84,2
Kota Cimahi 78,1 89,3
Kota Tasikmalaya 90,3 88,6
Kota Banjar 84,5 85,2
Jawa Barat 81,3 77,5

Tabel 3.2.4
Proporsi rumah tangga menurut sumber mendapatkan obat dan obat tradisonal
dan karakteristik, Jawa Barat 2013
Karakteristik Apotek Toko obat/ Yankes Nakes Lain-lain*
warung formal
Tempat tinggal
Perkotaan 45,9 38,6 17,5 21,6 4,4
Perdesaan 26,6 42,3 14,3 30,8 4,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 23,1 40,9 15,8 28,2 3,8
Menengah bawah 29,5 39,2 18,7 27,0 4,9
Menengah 39,1 40,4 19,0 23,1 5,5
Menengah atas 44,0 39,3 16,7 24,5 3,7
Teratas 53,1 38,4 14,9 20,1 4,3

35
Tabel 3.2.5
Proporsi rumah tangga menurut status obat dan obat tradisional yang disimpan
dan karakteristik, Jawa Barat 2013
Karakteristik Status obat di rumah tangga
sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa

Tempat tinggal
Perkotaan 35,0 45,2 45,6
Perdesaan 34,4 35,4 45,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 35,9 31,5 45,4
Menengah bawah 38,3 33,8 46,4
Menengah 35,8 39,4 45,7
Menengah atas 36,4 43,9 45,2
Teratas 31,0 52,7 45,1

3.2.2. Pengetahuan Rumah Tangga tentang Obat Generik


Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau
pernah mendengar dan ’berpengetahuan benar’, serta persepsi mengenaiobat
generik.Definisi rumah tangga ’berpengetahuan benar’ tentang obat generik adalah rumah
tangga mengetahuibahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat
bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan
proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi obat generik.
Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa di Jawa Barat terdapat 38,0 persen rumah tangga yang
mengetahui atau pernah mendengar mengenai obat generik. Dari jumlah tersebut, sebagian
besar (82,6%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang obat generik.
Tabel 3.2.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang obat generik rendah baik di rumah
tangga perkotaan maupun di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin
tinggi proporsi rumah tangga dengan pengetahuan benar tentang obat generik.

Tabel 3.2.8 menunjukkan 83,0 persen rumah tangga mempunyai persepsi obat generik
sebagai obat murah dan 75,8 persen obat program pemerintah. Sejumlah 48,5 persen rumah
tangga mempersepsikan obat generik berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi
tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan obat generik lebih
luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa obat
generik adalah obat tanpa merek dagang, cukup rendah (24,8%), padahal persepsi tersebut
adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas.

36
Tabel 3.2.6
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
tentang obat generik menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Mengetahui tentang Pengetahuan tentang obat generik


Kabupaten/Kota obat generik Benar* Salah
Bogor 33,8 12,9 87,1
Sukabumi 18,6 10,0 90,0
Cianjur 28,0 18,9 81,1
Bandung 51,5 15,7 84,3
Garut 20,1 8,9 91,1
Tasikmalaya 20,8 13,8 86,2
Ciamis 32,7 17,4 82,6
Kuningan 28,4 11,8 88,2
Cirebon 27,1 4,4 95,6
Majalengka 28,5 23,4 76,6
Sumedang 41,2 16,2 83,8
Indramayu 28,8 21,7 78,3
Subang 27,0 20,5 79,5
Purwakarta 34,8 7,4 92,6
Karawang 26,9 7,8 92,2
Bekasi 38,6 22,5 77,5
Bandung Barat 32,4 21,9 78,1
Kota Bogor 48,8 12,3 87,7
Kota Sukabumi 66,5 15,0 85,0
Kota Bandung 68,2 28,5 71,5
Kota Cirebon 70,2 30,3 69,7
Kota Bekasi 55,4 22,4 77,6
Kota Depok 62,2 16,7 83,3
Kota Cimahi 60,6 11,6 88,4
Kota Tasikmalaya 73,0 19,2 80,8
Kota Banjar 49,9 13,3 86,7
Jawa Barat 38,0 17,4 82,6

Tabel 3.2.7
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
tentang obat generik menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Mengetahui tentang Pengetahuan tentang obat generik


Karakteristik obat generik Benar* Salah
Tempat tinggal
Perkotaan 46,9 17,8 82,2
Perdesaan 21,4 15,6 84,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 12,8 9,3 90,7
Menengah bawah 25,8 13,8 86,2
Menengah 36,3 15,3 84,7
Menengah atas 47,8 16,5 83,5
Teratas 64,9 22,0 78,0

37
Tabel 3.2.8
Proporsi rumah tangga menurut persepsinya tentang obat generik
dan karakteristik, Jawa Barat 2013

Persepsi responden Tentang obat generik


Obat Obat Obat Dapat Obat Khasiat Obat
Karakteristik
gratis murah bagi dibeli di tanpa sama dg program
pasien warung merek obat pemerintah
miskin dagang bermerek
Tempat tinggal
Perkotaan 39,1 84,8 47,2 20,3 25,1 50,5 77,1
Perdesaan 40,5 75,7 48,2 16,5 23,3 40,2 70,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 36,7 70,3 48,3 15,9 18,3 34,0 65,6
Menengah bawah 42,2 76,2 49,3 17,9 23,0 37,4 69,3
Menengah 39,4 81,4 48,2 19,5 21,5 45,4 72,5
Menengah atas 39,4 83,0 47,8 19,2 24,2 48,4 77,4
Teratas 38,7 88,8 45,8 21,3 28,8 57,0 80,6

Sumber informasi tentang obat generik di perkotaan maupun perdesaaan paling banyak
diperoleh dari tenaga kesehatan (62,6%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga hamper
merata pada semua kuintil indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi obat generik
dari media cetak dan elektronik lebih banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil
indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

Tabel 3.2.9
proporsi rumah tangga menurut sumber informasi tentang obat generik
dan karakteristik, Jawa Barat 2013
Rumah tangga yang mengetahui tentang OG dan menyatakan sumber informasi
Karakteristik OG diperoleh dari:
Media Media Tenaga Kader, Teman, Pendidikan
cetak elektronik kesehatan toma kerabat
Tempat tinggal
Perkotaan 24,0 56,0 62,2 19,0 16,3 6,2
Perdesaan 14,7 47,4 64,1 17,5 13,7 4,3
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 9,9 39,7 62,3 12,9 13,6 2,1
Menengah bawah 14,2 45,2 60,7 17,8 13,1 1,9
Menengah 19,2 50,7 58,2 19,1 13,7 3,7
Menengah atas 19,1 51,7 62,8 18,0 15,0 4,7
Teratas 31,3 64,4 65,7 20,5 19,0 10,0

3.2.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)


Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang
menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat
(akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa
alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi),dan
keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga
dalam).

38
Gambar dan tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang
pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang
dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya.

Gambar 3.2.2.
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir
dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Jawa Barat 2013

Sejumlah 5.419 dari 23.694 (23,7%) rumah tangga di Jawa Barat memanfaatkan yankestrad
dalam 1 tahun terakhir. Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak
adalah keterampilan tanpa alat (68,1%) dan ramuan (48,0%) (Gambar 3.2.2).

Tabel 3.2.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di
Kab. Indramayu (57,7%) dan terendah di Kab. Garut (4,8%). Proporsi rumah tangga yang
memanfaatkan yankestrad ramuan tertinggi di Kab. Cirebon (73,9%) dan yang terendah di
Kab. Sukabumi (14,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad
keterampilan dengan alat tertinggi di Kota Bandung (33,6%) dan terendah di Kab. Indramayu
(3,5%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat
tertinggi di Kab. Sukabumi (84,9%) dan terendah di Kab. Kuningan (39,9%). Proporsi rumah
tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Kab. Garut
(9,8%) dan terendah di Kota Banjar (0,2%).
Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, rumah tangga yang pernah memanfaatkan
yankestrad lebih banyak di perkotaan. Jenis yankestrad ramuan, keterampilan tanpa alat dan
keterampilan pikiran lebih banyak di perdesaan, sementara di perkotaan lebih banyak untuk
pemanfaatan yankestrad dengan alat. Pemanfaatan yankestrad lebih banyak pada rumah
tangga kuintil teratas, dengan pemanfaatan terbanyak pada jenis yankestrad keterampilan
dengan alat dan tanpa alat. (Tabel 3.2.11)

39
Tabel 3.2.10
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad
dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Pernah Yankestrad keterampilan
Yankestrad
memanfaatkan
Kabupaten/kota ramuan dengan alat tanpa alat pikiran
yankestrad
Bogor 32,0 46,1 7,5 68,4 2,8
Sukabumi 7,4 14,7 11,1 84,9 1,7
Cianjur 11,2 31,4 27,7 53,7 4,9
Bandung 17,9 26,0 25,0 62,5 3,0
Garut 4,8 26,0 15,7 63,2 9,8
Tasikmalaya 15,9 32,4 6,5 83,9 1,1
Ciamis 15,5 26,7 11,3 66,2 4,6
Kuningan 21,1 73,6 7,3 39,9 0,6
Cirebon 30,5 73,9 4,4 59,5 0,9
Majalengka 25,1 52,8 4,9 66,9 2,4
Sumedang 7,9 37,6 4,9 72,0 1,7
Indramayu 57,7 66,2 3,5 79,7 1,1
Subang 23,6 60,3 4,7 72,4 1,2
Purwakarta 13,0 26,6 18,2 66,2 0,6
Karawang 6,3 35,0 13,2 66,6 1,1
Bekasi 21,7 36,9 18,9 67,9 2,6
Bandung Barat 15,5 22,4 28,1 70,5 1,1
Kota Bogor 39,7 61,8 13,6 68,9 1,1
Kota Sukabumi 29,0 53,9 13,6 70,1 2,7
Kota Bandung 20,7 55,1 33,6 55,2 1,5
Kota Cirebon 20,9 31,8 23,3 71,5 6,1
Kota Bekasi 37,5 39,9 18,8 70,4 2,0
Kota Depok 55,3 58,9 12,6 68,2 2,4
Kota Cimahi 21,0 35,3 29,1 59,9 2,5
Kota Tasikmalaya 29,9 39,3 8,3 67,5 2,4
Kota Banjar 31,5 28,3 6,4 84,8 0,2
Jawa Barat 23,7 48,0 13,1 68,1 2,2

Tabel 3.2.11
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan
jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut Karakteristik, Jawa Barat 2013
Pernah Yankestrad keterampilan
Yankestrad
memanfaatkan
Karakteristik ramuan dengan alat tanpa alat pikiran
yankestrad
Tempat tinggal
Perkotaan 26,9 47,5 15,4 67,3 1,9
Perdesaan 17,8 49,4 6,4 70,4 3,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 14,4 48,1 5,8 68,7 1,6
Menengah bawah 17,9 52,2 10,1 62,4 2,2
Menengah 24,3 49,7 10,5 67,1 2,6
Menengah atas 28,6 51,8 13,1 67,1 2,1
Teratas 32,1 41,1 19,5 72,6 2,1

40
3.3 Kesehatan Lingkungan
Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 ditujukan untuk mengevaluasi program
yang sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan
mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan.
Dengan diperolehnya data kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan
sebagai dasar kebijakan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan.Pada
Riskesdas 2013 disajikandata kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi
(jamban dan sampah), dan kesehatan perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis
bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan
bakar untuk memasak, dan penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk
kimiadalam rumah. Disamping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak
mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD, malaria).

3.3.1. Air Minum dan Keperluan Rumah Tangga


Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan
rumah tangga dan minum. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air
terhadap penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah
tangga yang mengambil air, kualitas fisik air, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air
minum. Akses terhadap sumber air minum menggunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun
2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved
adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa,
sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA
JIKA sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya improved).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum improved di perkotaan (66,6%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (62,3%). Akses
sumber air minum bervariasi antar kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi adalah kuintil indeks
kepemilikan menengah bawah (72,8%) dan yang terendah adalah kuintil terbawah (58,4%)

Tabel 3.3.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
menurut kriteria JMP WHO – Unicef 2006 dan karakteristik, Jawa Barat 2013

Akses ke sumber air minum


Karakteristik
Improved * ) Unimproved** )
Tempat tinggal
Perkotaan 66,6 33,4
Perdesaan 62,3 37,7
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 58,4 41,6
Menengah bawah 72,8 27,2
Menengah 65,2 34,8
Menengah atas 60,9 39,1
Teratas 68,6 31,4
*) Air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air
hujan, air kemasan (HANYA JIKA sumber air utk keperluan RT lainnya improved)
** ) Air kemasan, air isi ulang (DAM), air ledeng eceran/membeli, sumur gali tak terlindung, mata air

tak terlindung, air sungai/danau/irigasi

41
Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air selain air sungai/danau/irigasi,
pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga di Jawa Barat pada umumnya berjumlah
antara 50 sampai 99,9 liter (25,3%), dan antara 100 sampai 300 liter (43,9%). Proporsi rumah
tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai 300 liter per orang per hari
paling tinggi adalah Kab. Kuningan (79,0%), sedangkan proporsi terendah adalah Kab.
Karawang (8,5%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter
per orang per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 5,6 persen
dan 0,1 persen). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi rumah tangga dengan jumlah
pemakaian air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Kab. Karawang (26,1%)
diikuti Kab. Garut (20,9%) (Lihat Buku 2 Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per
orang per hari di perdesaan (6,9%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (5,1%). Semakin
tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga dengan
pemakaian air lebih dari 20 liter per orang per hari.

Tabel 3.3.2
Proporsi rumah tangga menurut rerata pemakaian air perorang per hari
dan karakteristik, Jawa Barat2013

Rerata pemakaian air bersih


Karakteristik per orang per hari (liter)
<7,5 7,5-19,9 20-49,9 50-99,9 100-300 >300
Tempat tinggal
Perkotaan 0,1 5,0 14,3 25,2 43,7 11,8
Perdesaan
0,1 6,8 14,8 25,5 44,3 8,4
Kuintil Indeks kepemilikan
Terbawah 0,1 8,5 15,9 25,5 42,6 7,3
Menengah bawah 0,1 6,4 15,8 26,1 42,7 8,9
Menengah 0,2 5,0 14,7 27,0 42,9 10,2
Menengah atas 0,1 4,4 13,6 24,7 45,1 12,1
Teratas 0,1 4,3 12,6 23,3 45,6 14,1

Berdasarkan gender, anggota rumah tangga yang biasa mengambil air di Jawa Barat pada
umumnya adalah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (masing-masing 67,9% dan
30,7%). Apabila dibandingkan, proporsi anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil
air di perkotaan(73,4%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (60,5%); sedangkan untuk
perempuan dewasa di perdesaan (37,9%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (25,3%).
Masih terdapat anak laki-laki (1,2%) dan anak perempuan (0,3%) berumur di bawah 12 tahun
yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga
dengan anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di
perdesaan sama dengan proporsi di perkotaan (0,3%) (Gambar 3.3.2)

42
100
Anak Anak L;
P; 0,3 1,1
80 73.4

Dewasa 60.5
60
P; 30,7
37.9
40
Dewasa 25.3
L: 67,9 20
0.3 1.1 0.3 1.2
0
Perkotaan Perdesaan
Keterangan: P = perempuan, L = laki-laki
Dewasa P Dewasa L Anak P Anak L

Gambar 3.3.1
Proporsi rumah tangga menurut anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air dan tempat tinggal,Jawa Barat 2013
Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga dengan
anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air; sebaliknya semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan, semakin rendah proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga
perempuan dewasa mengambil air. (Gambar 3.3.3)

100
79.7 81.9
80 75.3
65.3
60 51.9
46.8
40 33.6
23.1
18.7 16.7
20

0
Terbawah Menengah Menengah Menengah Teratas
bawah atas
Dewasa P Dewasa L Anak P Anak L

Gambar 3.3.2
Proporsi rumah tangga menurut anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air dan kuintil indeks kepemilikan,Jawa Barat 2013

Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak
keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa,dan tidak berbau) di perkotaan (95,7%)
lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (91,7%). Semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung
meningkat (Gambar 3.3.2).

43
100.0 4.3 8.3 11.0 3.8 2.0
6.8 5.3

80.0

60.0
95.7 91.7 93.2 94.7 96.2 98.0
89.0
40.0

20.0

0.0

tidak baik Baik*

* baik = tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau

Gambar 3.3.3
Proporsi rumah tangga menurut kualitas fisik air minum dan karakteristik,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.3.3 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air
sebelum diminum menurut kabupaten/kota. Proporsi rumah tangga yang mengolah air
sebelum di minum di Jawa Barat sebesar 69,1 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi dengan
rumah tangga mengolah air sebelum diminum adalah Kab. Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab.
Garut, Kab. Sukabumi, dan Kab. Ciamis sedangkan lima kabupaten/kota terendah adalah
Kab.Bekasi, Kota Cimahi, Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kab.Indramayu.

100
80 69.1
60
40
20
0
Subang
Sumedang

Kota Cimahi
Cirebon
Kota Banjar
Majalengka

Indramayu
Sukabumi
Ciamis

Kota Cirebon

Bekasi
Cianjur

Jawa Barat
Bandung Barat
Kuningan

Kota Sukabumi

Kota Bekasi
Garut

Bogor
Tasikmalaya

Kota Bogor
Purwakarta

Karawang
Kota Tasikmalaya
Bandung

Kota Depok

Kota Bandung

Gambar 3.3.4
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Dari 69,1 persen rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 96,5
persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah

44
dengan dijemur di bawah sinar mata hari/solar disinfection (2,8%), disaring saja (0,7%).
dengan menambahkan larutan tawas (0,05%), serta disaring dan ditambah larutan tawas
(0,01%) (Gambar 3.3.5).

disaring+tawas;
Penyinaran 0,01
Tawas; 0,05
matahari; 2,8
Disaring saja;
0,7

Pemanasan/di
masak; 96,5

Gambar 3.3.5
Proporsi rumah tangga menurut cara pengolahan air minum sebelum diminum,
Jawa Barat 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (96,5%) hampir sama dengan
diperdesaan (96,6%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks
kepemilikan dalam melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak
(Tabel 3.3.4).

Tabel 3.3.3
Proporsi rumah tangga menurut cara pengolahan air minum sebelum diminum
dan karakteristik,Jawa Barat 2013

Cara pengolahan air*)


Tambah Disaring dan
Karakteristik Pemanas- Penyinaran Disaring
larutan tambah
an/dimasak matahari saja
tawas larutan tawas
Tempat tinggal
Perkotaan 96,5 2,5 0,05 0,01 1,0
Perdesaan 96,5 3,2 0,05 0,0 0,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 96,4 3,3 0,06 0,01 0,2
Menengah bawah 96,8 2,7 0,0 0,0 0,4
Menengah 96,6 2,7 0,14 0,03 0,5
Menengah atas 97,0 2,2 0,01 0,0 0,8
Teratas 95,2 2,5 0,01 0,0 2,3
*) rumah tangga yang melakukan pengolahan air

3.3.2. Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang
air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat

45
penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan
sampah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam
Angka.Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria
JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakanfasilitas fasilitas
BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat
pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Jawa Barat menggunakan
fasilitas BAB milik sendiri (78,2%), milik bersama (7,6%), dan fasilitas umum (7,0%). Lima
kabupaten/kota tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik
sendiri adalahKota Depok (94,0%), Kota Cirebon (93,5%), Kota Bekasi (93,3%), Kab.
Kuningan (89,0%), dan Kota Sukabumi (88,8%).Meskipun sebagian besar rumah tangga di
Jawa Barat memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas
BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 7,2 persen. Lima kabupaten/kota
rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Kab.
Subang (17,2%), Kab. Bekasi (14,8%), Kab. Karawang (11,8%), serta Kab. Cianjur dan Kab.
Majalengka (masing-masing 11,4%).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik
sendiri di perkotaan (84,6%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (66,2%); sedangkan
proporsi rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun BAB sembarangan
di perdesaan (masing-masing 10,0%, 10,4%, dan 13,4%) lebih tinggi dibandingkan dengan di
perkotaan (6,3%, 5,2%, dan 3,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi
juga proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan
semakin tinggi (Tabel 3.3.5)

Tabel 3.3.4
Proporsi rumah tangga menurut tempat buang air besar
dan karakteristik, Jawa Barat 2013

Fasilitas tempat buang air besar


Karakteristik Milik Milik
Umum Sembarangan
Sendiri Bersama
Tempat tinggal
Perkotaan 84,6 6,3 5,2 3,9
Perdesaan 66,2 10,0 10,4 13,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 26,8 16,3 24,2 32,7
Menengah bawah 74,1 12,7 8,7 4,5
Menengah 91,0 6,3 2,5 0,2
Menengah atas 96,5 2,7 0,8 0,0
Teratas 99,2 0,7 0,1 0,0

Gambar 3.3.5 menunjukkan bahwa pembuangan akhir tinja rumah tangga di Jawa Barat
sebagian besar menggunakan tangki septik (62,9%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi
tertinggi untuk rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah
Kota Bekasi (96,2%), Kota Depok (92,1%), Kab.Purwakarta (84,0%), Kab.Kuningan dan
Kab.Indramayu (masing-masing 83,1%). Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan
akhir tinja tidak ke tangki septic (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut,
langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Lima kabupaten/kota dengan proporsi
pembuangan akhir tinja ke tangki septik terendah adalah Kab. Tasikmalaya (26,0%), Kab.
Garut (30,6%), Kota Tasikmalaya (36,0%), Kota Sukabumi (36,1%), dan Kab.Cianjur (39,9%).

46
100.0 37.0
80.0
60.0
40.0
20.0
62.9
0.0

Subang

Kota Cimahi
Kota Bekasi

Sumedang
Majalengka

Sukabumi
Indramayu
Cirebon

Kota Banjar
Kota Cirebon

Bekasi

Jawa Barat

Ciamis

Cianjur
Kuningan

Bandung Barat

Kota Sukabumi
Kota Bogor

Bandung

Bogor
Purwakarta

Karawang

Garut
Kota Bandung
Kota Depok

Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
Bukan Tangki Septik Tangki septik

Gambar 3.3.6
Proporsi rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir tinja
dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja


menggunakan tangki septik di perkotaan lebih tinggi (70,1%) dibanding di perdesaan (49,7%).
Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja
ke tangki septik juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan;
proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan tangki septiksemakin tinggi (Tabel 3.3.6).
Tabel 3.3.5
Proporsi rumah tangga menurut tempat pembuangan akhir tinja
dan karakteristik, Jawa Barat 2013

Tempat pembuangan akhir tinja


Karakteristik
Tangki septik Bukan tangki septik
Tempat tinggal
Perkotaan 70,1 29,9
Perdesaan 49,7 50,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 11,8 88,2
Menengah bawah 52,3 47,7
Menengah 73,3 26,7
Menengah atas 84,0 16,0
Teratas 89,4 10,6

Gambar 3.3.6 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah
dari kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Jawa
Barat membuang limbahnya langsung ke got/sungai (60,3%). Hanya 17,4 persen yang
menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi SPAL, 9,8 persen
menggunakan penampungan terbuka di lapangan, dan 7,6 persen penampungannya di luar
pekarangan.

47
Tertutup di
pekarangan/
SPAL; 17,4
Penamp. tbuka
di lap; 9,8
Langsung ke
got/sungai; Penamp. di luar
60,3 pekarangan; 7,6

Tanpa penamp.
(ditanah); 4,8

Gambar 3.3.7
Proporsi rumah tangga menurut penampungan air limbah,
Jawa Barat 2013

Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 27,0 persen rumah tangga di Jawa Barat yang
pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola
sampah dengan cara dibakar (48,0%), sebagian lainnya ditimbun dalam tanah (3,1%), dibuat
kompos (0,4%), dibuang ke kali/parit/laut (12,4%), dan dibuang sembarangan (9,1%).
Kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga tertinggi yang pengelolaan sampahnya
dengan cara diangkut petugas adalah Kota Bandung dan Kota Cirebon (masing-masing
85,3,%), Kota Sukabumi (82,4%), Kota Cimahi (80,4%), dan Kota Bekasi (63,1%).
Kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga tertinggi yang mengelola sampah dengan
cara dibakar adalah Kab. Indramayu (72,2%), Kab. Karawang (71,7%), Kab. Tasikmalaya
(68,3%), Kab.Ciamis (67,9%), dan Kab.Bandung Barat (67,0%).
Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut
petugas lebih tinggi di perkotaan (39,4%) dibandingkan di perdesaan (3,9%), sedangkan
proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar di perdesaan (60,4%)
lebih tinggi dibanding perkotaan (41,4%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi
rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas semakin tinggi.
Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar cenderung
lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih rendah (Tabel 3.3.7).

Tabel 3.3.6
Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah
dan karakteristik, Jawa Barat 2013

Cara pengelolaan sampah rumahtangga


Karakteristik Ditimbun Dibuang
Diangkut Dibuat Dibuang ke
dalam Dibakar semba-
petugas kompos kali/parit/ laut
tanah rangan
Tempat tinggal
Perkotaan 39,4 2,7 0,3 41,4 9,9 6,4
Perdesaan 3,9 3,8 0,7 60,4 17,0 14,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 4,0 3,2 0,7 52,2 21,3 18,7
Menengah bawah 15,0 3,9 0,4 54,3 15,6 10,8
Menengah 23,7 3,2 0,3 53,4 11,6 7,8
Menengah atas 33,7 2,7 0,3 47,8 9,5 6,0
Teratas 56,4 2,5 0,4 33,2 4,5 3,0

48
3.3.3. Perumahan
Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan
bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai),
lokasi rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan
membuka jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk
memasak,perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi, dan penggunaan/penyimpanan
bahan berbahaya dan beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah.
Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam Angka.
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar
3.3.7. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Jawa Barat
menempati rumah milik sendiri (79,9%). Masih terdapat rumah tangga yang menempati
rumah dengan cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang
tua/sanak/ saudara maupun rumah dinas.

bebas sewa*;
0,8 bebas Rumah Dinas;
sewa; 1,1 sewa**; 9,7 0,7
Lainnya; 0,1
kontrak; 7,6

Milik sendiri;
79,9
*) milik orang lain
**) milik orang tua/sanak/ saudara

Gambar 3.3.8
Proporsi rumah tangga menurut status penguasaan bangunan tempat tinggal
dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Tabel 3.3.7
Proporsi rumah tangga menurut status penguasaan bangunan tempat tinggal dan
karakteristik, Jawa Barat 2013

Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati


Karakteristik Bebas
Milik Bebas Rumah
Kontrak Sewa sewa** Lainnya
sendiri sewa* dinas
Tempat tinggal
Perkotaan 74,2 11,2 1,6 1,0 10,9 1,0 74,2
Perdesaan 90,7 1,0 0,1 0,5 7,4 0,2 90,7
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 86,6 1,6 0,4 1,0 10,0 0,2 0,1
Menengah bawah 79,6 7,5 0,7 1,0 10,3 0,7 0,1
Menengah 75,3 9,4 1,4 0,6 12,4 0,8 0,1
Menengahatas 76,1 10,7 1,4 0,8 10,1 0,7 0,1
Teratas 82,5 8,5 1,3 0,7 5,7 1,2 0,1
*) milik orang lain
**) milik orang tua/sanak/ saudara

49
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik
sendiri di perkotaan lebih rendah (74,2%) dari pada di perdesaan (90,7%). Sebaliknya
proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di
perkotaan lebih tinggi (kontrak: 11,2%, sewa 1,6%) dari pada di perdesaan(kontrak: 1,0,%,
sewa 0,1%) (Tabel 3.3.8).
Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan
Menteri Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 perorang
dikategorikan sebagai tidak padat. Proporsi rumah tangga di Jawa Barat yang termasuk ke
dalam kriteria tidak padat adalah sebesar 85,9%. Lima kabupaten/kota dengan proporsi
tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori padat (<8 m2/orang) adalah Kota Bogor
(27,9%), Kab. Garut (26,2%), Kota Bandung dan Kota Cimahi (masing-masing 21,7%), dan
Kab. Sukabumi (19,1%; Gambar 3.3.8).

100.0 14.1
80.0
60.0
40.0 85.9

20.0
0.0

Subang

Kota Cimahi
Cirebon

Sumedang
Majalengka
Bekasi
Ciamis
Indramayu
Kota Banjar

Kota Cirebon

Jawa Barat
Kota Sukabumi

Cianjur

Sukabumi
Kuningan

Kota Bekasi
Karawang

Bandung Barat

Bogor

Garut
Purwakarta
Kota Depok

Tasikmalaya

Kota Bandung

Kota Bogor
Kota Tasikmalaya

Bandung

Padat <8 m2/orang Tdk Padat ≥8 m2/orang

Gambar 3.3.9
Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian dan kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.3.9 memperlihatkan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi
plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah
terluas berplafon adalah sebesar 89,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 79,7
persen, dan lantai bukan tanah sebesar 97,1 persen.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
perkotaan (91,2%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (86,1%). Demikian juga untuk
dinding dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan
tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 88,6%; lantai bukan tanah:
98,2%) dibandingkan perdesaan (dinding tembok: 63,2%; lantai bukan tanah: 95,0%).

50
98.2 95
97.1 100 91.2
100 89.4 86.1 88.6
79.7
80 80
63.2
60 60

40 20.3 40
10.6
20 2.9
20
0
ya tidak ya tidak ya tidak 0
Atap Tembok Bukan
Atap berplafon dinding lantai
berplafon tanah
tembok bukan
tanah Perkotaan Perdesaan

Gambar 3.3.10
Proporsi rumah tangga menurut jenis plafon/langit-langit, jenis dinding
dan jenis lantai terluas, Jawa Barat 2013
Pada gambar 3.3.10 di bawah ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan
ruang tidur, ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan
jendela, ventilasi dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah
dari ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang
tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang
dari 50 persen rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang
dibuka setiap hari.

94.9 94.7
100 89.6
76.0 77.7 77.2
80 66.3
64.9 62.5
60
36.2 43.5
34.4 36.2 33.9
40 28.8

20

0
Ruang Tidur Ruang Keluarga Ruang Dapur

Terpisah Bersih Jendela dibuka tiap hari


Ventilasi cukup Pencahayaan Cukup

Gambar 3.3.11
Proporsi rumah tangga menurut ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur
dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami,Jawa Barat 2013

51
Gambar 3.3.11 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Jawa Barat, sebagian besar
(99,8%) rumah tangga di Jawa Barat menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam
rumah, siasanya (0,2%)menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor(non listrik).

Listrik;
99,8

Non Listrik;
Listrik: Listrik PLN dan non PLN 0,2
Non listrik:Petromaks/ aladin, Pelita/sentir/ obor

Gambar 3.3.12
Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.3.12 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
menurut kabupaten/kota. Lima kabupaten/kotadengan proporsi rumah tangga yang tidak
menggunakan listrikadalah Kab.Cianjur(1,0%), Kab.Bandung Barat(0,9%), Kab. Sukabumidan
Kab.Ciamis (masing-masing 0,7%), serta Kab.Garut dan Kab.Kuningan(masing-masing
0,4%).

1.2
1.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.2
0.0
Kota Cimahi

Subang
Kota Banjar
Sumedang
Bekasi

Kota Cirebon

Ciamis
Kota Bekasi

Kota Sukabumi

Cirebon
Majalengka

Jawa Barat

Cianjur
Kuningan
Sukabumi
Bogor
Karawang
Kota Bogor

Garut

Bandung Barat
Kota Bandung

Bandung
Tasikmalaya

Purwakarta
Kota Depok

Kota Tasikmalaya

Gambar 3.3.13
Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan non listrik
dan Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013

Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.13. Proporsi
jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per kabupaten/kota dikelompokan
menjadi dua, yaitu yang aman, artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan
gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah,
arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar aman di
Jawa Barat adalah sebesar 80,4 persen.
Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (91,0%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (60,5%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan

52
bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (39,5%) dibanding di perkotaan (9,0%)
Gambar 3.3.13.

91.0
100.0

Tidak 80.0 60.5


Aman ; Aman; 60.0
19,6
39.5
80,4
40.0
9.0
20.0

0.0
Bahan bakar aman: listrik, Gas/ elpiji Perkotaan Perdesaan
Tidak aman:minyak tanah, arang, kayu bakar
Aman Tidak Aman

Gambar 3.3.14
Proporsi rumah tangga menurut jenis bahan bakar/energi dan karakteristik,Jawa Barat 2013

Gambar 3.3.14 memperlihatkan proporsi rumahtangga dalam upaya mencegah gigitan


nyamuk di Jawa Barat. Baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun kimiawi
(insektisida, obat anti nyamuk bakar, repelen). Proporsi tertinggi rumah tangga dalam upaya
pencegahan gigitan nyamuk adalah dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar (47,7%),
diikuti oleh penggunaan repelen (26,4%), insektisida (12,0%), kasa nyamuk (9,9%) dan
kelambu (7,1%). Menurut karakteristik, proporsi penggunaan obat anti nyamuk bakar di
perdesaan (51,6) lebih tinggi dibanding di perkotaan (45,6%). Demikian juga penggunaan
kelambu, proporsi di perdesaan (12,0%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (4,5%).
Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen, insektisida dan kasa nyamuk
di perkotaan (masing-masing 30,3%; 15,2%, dan 12,8%) lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan (masing-masing 18,9%; 6,1%; dan 4,6%).

insektisi minum
60
da; 12 obat; 51.6
Kelambu 0,6 50 45.6
; 7,1
40
30.3
30
18.9
repelen; 15.2
Obat 20 12.8 12
26,4
nyamuk 6.1
bakar; 10 4.5 4.6
0.5 0.7
47,7
0
Perkotaan Perdesaan
kasa
nyamuk; Kelambu Obat nyamuk bakar
9,9 Kasa nyamuk Repelen

Gambar 3.3.15
Proporsi rumah tangga menurut perilaku mencegah gigitan nyamuk, Jawa Barat 2013

53
Gambar 3.3.15 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimiadi
dalam rumahdi Jawa Barat. Proporsi rumah tangga yang menggunakan ataumenyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 16,6 persen. Penyimpanan/penggunaan
pestisida/insektisida/pupuk kimia di perkotaan (18,0%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan (14,0%).
60.0

40.0
Tidak
menyimp
an; 83,4
18.0
20.0 14.0

Menyimp
an; 16,6 0.0
Perkotaan Perdesaan
Gambar 3.3.16
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk
kimia, Jawa Barat 2013

54
3.4 Penyakit Menular
Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok
umur. Informasi yang diperoleh berupa insiden (kejadian 2 minggu terakhir), period
prevalence (kejadian 1 bulan terakhir) dan prevalensi penyakit yang digali melalui teknik
wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur
secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah
didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden
yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita
gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan
prevalensi penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan
dalam kurun waktu tertentu.
Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit
yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan
tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui
makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut
berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG’s dan
program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. Jumlah
responden yang diwawancarai untuk bagian penyakit menular adalah semua umur (77.701
orang).

3.4.1.Penyakit yang ditularkan melalui Udara


Bahasan ini menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan
melalui udara meliputi ISPA, Pneumonia, dan Tuberkulosis menurut Kabupaten/Kota dan
karakteristik. Beberapa penyakit disesuaikan waktunya. Informasi kurun waktu tertentu seperti
pneumonia ditambahkan untuk menyesuaikan kebutuhan program.

3.4.1.1. ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali
dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek,
batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan
terakhir. Kabupaten/Kota dengan ISPA tertinggi adalah Kota Bogor (34,4%), Majalengka
(33,2%), Cimahi (29,7%), dan Kota Tasikmalaya (29,5%).
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(41,7%). Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit
ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah (lihat tabel 3.4.2)

3.4.1.2. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi
disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala
lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada
semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan
atau kurang. Tiga Kabupaten/Kota yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk semua umur adalah Kota Tasikmalaya (3,9% dan 8,1%), Sumedang (3,3% dan
6,7%), dan Kabupaten Tasikmalaya (2,9% dan 6,4%). (tabel 3.4.1).

Berdasarkan kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia yang tinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 35-44 tahun dan terus
meninggi pada kelompok umur berikutnya. Insiden pneumonia balita di Jawa Barat adalah
18,5 ‰. Lima Kabupaten/Kota yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi adalah
Sumedang (66,7‰), Subang (53,9‰), Banjar (47,5‰), Kabupaten Sukabumi (41,7‰), dan

55
Majalengka (36,7‰) (tabel 3.4.1). Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada
kelompok umur 12-23 bulan (25,3‰) (gambar 3.4.3). Pneumonia balita lebih banyak dialami
pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (31,1‰).
Tabel 3.4.1
Period prevalence ISPA, Period prevalence pneumonia, prevalensi pneumonia, dan Period
prevalence pneumonia balita menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013
Periode Periode Periode prevalence
Prevalensi
prevalence prevalence Pneumonia
Kabupaten/Kota pneumonia
ISPA Pneumonia Balita(permil)
D DG D DG D DG D DG
Bogor 12,4 28,8 0,1 1,9 2,0 5,5 0,0 4,7
Sukabumi 16,3 26,3 0,5 2,0 2,6 5,1 18,2 41,7
Cianjur 8,8 26,9 0,6 2,2 2,1 4,8 7,1 7,1
Bandung 14,6 29,4 0,3 2,4 2,4 5,6 3,9 23,2
Garut 13,0 18,6 0,3 1,6 2,8 4,9 0,0 21,5
Tasikmalaya 15,0 26,5 0,2 2,9 1,6 6,4 0,0 35,1
Ciamis 10,8 23,6 0,1 2,5 1,6 5,8 0,0 19,6
Kuningan 17,9 21,9 0,2 0,9 2,2 3,2 0,0 3,3
Cirebon 14,2 19,4 0,2 1,2 1,3 3,0 6,3 22,0
Majalengka 18,5 33,2 0,2 2,5 2,2 6,0 0,0 36,7
Sumedang 7,5 24,5 0,3 3,3 2,3 6,7 2,7 66,7
Indramayu 11,9 29,1 0,3 2,1 1,8 5,1 8,3 22,3
Subang 18,0 25,2 0,3 1,5 3,1 5,7 14,2 53,9
Purwakarta 10,8 24,4 0,5 2,6 2,1 5,5 2,9 16,7
Karawang 9,9 12,1 0,1 0,5 1,2 1,9 0,0 7,7
Bekasi 16,2 22,6 0,2 1,3 2,7 4,5 2,4 10,4
Bandung Barat 12,3 26,8 0,4 2,8 2,0 5,7 3,3 22,0
Kota Bogor 17,4 34,4 0,2 1,9 1,9 5,2 0,0 16,1
Kota Sukabumi 15,7 28,4 0,4 1,5 2,6 5,2 10,9 18,8
Kota Bandung 6,2 14,4 0,1 1,0 1,5 3,0 0,0 7,6
Kota Cirebon 19,6 23,0 0,3 0,8 1,8 3,0 0,0 5,2
Kota Bekasi 16,4 29,4 0,2 2,1 1,8 5,0 0,0 8,5
Kota Depok 8,8 23,6 0,1 1,4 1,1 4,0 5,8 5,8
Kota Cimahi 16,3 29,7 0,2 1,8 2,3 5,3 0,0 14,3
Kota Tasikmalaya 11,6 29,5 0,2 3,9 1,2 8,1 0,0 18,4
Kota Banjar 15,7 22,5 0,4 1,9 3,6 6,9 16,8 47,5
Jawa Barat 13,2 24,8 0,2 1,9 2,0 4,9 3,5 18,5
D = Diagnosis DG = Diagnosis dan gejala

Gambar 3.4.1
Insidens pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Jawa Barat 2013

56
Tabel 3.4.2
Period prevalence ISPA, Period prevalence pneumonia, prevalensi pneumonia, dan Period
prevalence pneumonia balita menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Periode Periode prevalence
Periode prevalence Prevalensi
prevalence Pneumonia Balita
Karakteristik ISPA pneumonia
Pneumonia (permil)
D DG D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 19,5 34,6 0,6 1,7 1,6 3,2
1-4 25,0 41,7 0,3 1,9 2,4 4,9
5-14 14,2 27,0 0,2 1,6 1,9 4,2
15-24 9,9 20,7 0,1 1,6 1,7 4,4
25-34 11,3 21,2 0,2 1,5 1,7 4,3
35-44 11,1 21,6 0,3 2,1 1,9 5,0
45-54 12,0 23,2 0,2 2,3 2,1 5,5
55-64 12,8 24,5 0,3 2,3 2,6 6,4
65-74 15,1 28,0 0,6 3,4 4,1 9,0
≥75 15,1 26,9 0,6 2,6 3,5 8,6

Balita
0-11 bulan 5,5 17,2
12-23 bulan 5,9 25,3
24-35 bulan 1,5 22,6
36-47 bulan 2,0 12,1
48-59 bulan 2,6 15,7

Jenis Kelamin
Laki-laki 13,3 25,0 0,3 2,1 2,2 5,3 2,9 16,1
Perempuan 13,0 24,7 0,2 1,7 1,8 4,5 4,0 14,7

Pendidikan
Tidak sekolah 16,2 28,7 0,2 2,3 2,4 6,2
Tidak tamat SD/MI 13,6 27,2 0,3 2,2 2,2 5,5
Tamat SD/MI 12,2 23,0 0,2 2,1 1,9 5,2
Tamat SMP/MTS 10,6 21,4 0,2 1,8 1,9 4,6
Tamat SMA/MA 9,9 19,2 0,2 1,4 1,9 4,0
Tamat D1-D3/PT 9,2 16,3 0,2 0,8 2,2 3,7

Pekerjaan
Tidak bekerja 11,5 22,4 0,2 1,7 1,9 4,7
Pegawai 11,0 20,2 0,1 1,2 2,2 4,3
Wiraswasta 10,4 20,8 0,4 2,1 1,8 4,9
Petani/Nelayan/Buru
12,1 23,9 0,3 2,7 2,2 6,2
h
Lainnya 11,6 22,4 0,3 2,2 1,7 4,9

Tempat Tinggal
Perkotaan 13,3 24,7 0,2 1,8 2,0 4,7 3,0 12,7
Perdesaan 12,9 25,0 0,3 2,1 2,2 5,3 4,4 21,1

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 13,5 27,1 0,2 2,7 2,1 6,0 1,0 14,4
Menengah Bawah 14,4 27,4 0,3 2,2 2,0 5,5 3,9 31,1
Menengah 13,6 25,9 0,3 2,0 2,1 5,1 6,0 16,6
Menengah Atas 12,7 23,9 0,2 1,5 2,0 4,2 2,8 8,0
Teratas 11,9 20,7 0,2 1,3 1,9 4,0 3,1 9,4

57
3.4.1.3. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) yang dalam hal ini adalah TB Paru merupakan penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utamanya adalah
batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.
Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis
yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke
duanya, Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut
dimasukkan dalam total jumlah penduduk dengan TB.

Tabel 3.4.3
Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut Kabupaten/Kota,
Jawa Barat 2013
Gejala TB
Kabupaten/Kota Diagnosis TB
Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah
Bogor 0,7 4,0 2,9
Sukabumi 1,0 3,1 4,5
Cianjur 1,4 3,7 5,5
Bandung 1,0 2,3 2,4
Garut 0,5 3,3 4,0
Tasikmalaya 0,5 3,4 4,1
Ciamis 0,4 4,6 2,5
Kuningan 0,9 2,1 4,9
Cirebon 0,4 2,5 2,1
Majalengka 0,3 3,7 1,7
Sumedang 0,5 2,6 1,9
Indramayu 0,7 3,5 1,6
Subang 1,2 3,5 4,9
Purwakarta 0,8 2,3 2,3
Karawang 0,2 1,3 6,3
Bekasi 1,0 3,3 4,0
Bandung Barat 0,6 3,1 3,5
Kota Bogor 0,9 4,8 1,2
Kota Sukabumi 0,7 3,3 4,0
Kota Bandung 0,3 2,7 1,5
Kota Cirebon 0,4 2,7 1,9
Kota Bekasi 0,6 4,1 0,9
Kota Depok 0,5 3,7 1,4
Kota Cimahi 0,7 5,4 1,5
Kota Tasikmalaya 0,3 3,5 2,8
Kota Banjar 0,7 2,6 3,5
Jawa Barat 0,7 3,3 2,8

Prevalensi penduduk Jawa Barat yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013
adalah 0.7 persen. Lima Kabupaten/Kota dengan TB tertinggi adalah Cianjur (1,4%), Subang
(1,2%), Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi (masing-masing
1,0%).

58
Tabel 3.4.4
Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Gejala TB
Karakteristik Diagnosis TB
Batuk ≥ 2 mgg Batuk darah
Kelompok umur (tahun)
<1 0,8 1,8 0,5
1-4 1,1 3,1 1,6
5-14 0,7 3,1 1,4
15-24 0,5 2,9 3,4
25-34 0,5 2,8 2,7
35-44 0,6 2,9 2,8
45-54 0,7 3,7 3,5
55-64 0,8 4,7 5,8
65-74 1,5 5,9 4,7
≥75 1,5 6,9 3,2

Jenis Kelamin
Laki-laki 0,8 3,4 3,0
Perempuan 0,6 3,1 2,6

Pendidikan
Tidak sekolah 0,9 3,9 2,6
Tidak tamat SD/MI 0,7 4,0 3,1
Tamat SD/MI 0,7 3,2 4,2
Tamat SMP/MTS 0,5 3,0 2,3
Tamat SMA/MA 0,5 2,9 1,4
Tamat D1-D3/PT 0,5 2,9 3,0

Pekerjaan
Tidak bekerja 0,6 3,1 2,8
Pegawai 0,5 3,2 1,2
Wiraswasta 0,5 3,1 3,5
Petani/nelayan/buruh 0,7 4,0 4,7
Lainnya 0,9 3,9 4,4

Tempat Tinggal
Perkotaan 0,7 3,3 2,3
Perdesaan 0,7 3,2 4,0

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 0,7 3,8 5,0
Menengah Bawah 0,8 3,5 3,6
Menengah 0,6 3,1 2,2
Menengah Atas 0,8 3,1 1,6
Teratas 0,4 2,9 1,9

Prevalensi penduduk Jawa Barat dengan gejala TB adalah 3,3 persen dan 2.8 persen
diantaranya mengalami batuk berdarah (tabel 3.4.3). Berdasarkan karakteristik penduduk
Jawa Barat, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk ≥65 tahun dan berusia 1-4
tahun, laki-laki, pendidikan SD ke bawah, namun tidak ada perbedaan prevalensi antara
tempat tinggal di daerah perkotaan dengan perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan,
prevalensi TB terendah terdapat pada kuintil indeks kepemilikan teratas (0.4%) (tabel 3.4.4)

59
Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, hanya 56,2% diobati
dengan obat program. Lima Kabupaten/Kota terbanyak yang mengobati TB dengan obat
program adalah Kabupaten Bandung (70,6%), Purwakarta (68,9%), Cianjur (66,4%), Kota
Bekast (65,5%) dan Kota Tasikmalaya (65,3%) (lihat dalam buku Jawa Barat dalam angka).

3.4.2.Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya


Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare
dan hepatitis. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2
minggu, sesuai dengan kebutuhan program.

3.4.2.1. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E.
Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut
kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning
pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi
tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis).
Prevalensi hepatitis Jawa Barat tahun 2013 adalah 1,0 persen. Lima Kabupaten/Kota dengan
prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kota Banjar (2,1%), Kota Tasikmalaya (1,9%), Kota
Sukabumi (1,8%), Kabupaten Sukabumi dan Cianjur (masing-masing 1,7%) dan Kabupaten
Tasikmalaya (1,6%) (tabel 3.4.5).
Prevalensi Hepatitis berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati
prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin
meningkat pada penduduk berusia diatas 15 tahun (tabel 3.4.6). Jenis hepatitis yang banyak
menginfeksi penduduk Jawa Barat adalah hepatitis B (27,3%) dan hepatitis A (21,1%) (tabel
3.4.7).
3.4.2.2. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir.
Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan
period prevalens diare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007.
Period prevalens diare pada Riskesdas 2013 sebesar 7,5 persen, sementara insiden diare
untuk seluruh kelompok umur di Jawa Barat adalah 3,5 persen.
Lima Kabupaten/Kota dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Kota Bogor
(7,9% dan 13,7%), Kota Sukabumi (6,1% dan 11,0%), Kabupaten Bandung (5,6% dan
10,0%), Kabupaten Bogor (5,5% dan 11,0%), dan Cianjur (5,3% dan 8,7%) (tabel 3.4.5).
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling
tinggi menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Penduduk yang tidak
bekerja dan Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan
(3,7 dan 3,6%), sedangkan jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak
jauh berbeda (tabel 3.4.6).
Insiden diare balita di Jawa Barat adalah 7,9 persen. Lima Kabupaten/Kota dengan insiden
diare tertinggi adalah Kota Bogor (13,7%), Cianjur (13,5%), Kota Sukabumi (12,7%), Cimahi
(11,0%), dan Kabupaten Bogor (10,9%) (tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi
pada kelompok umur 12-23 bulan (11,8%), laki-laki (8,3%), tinggal di daerah pedesaan
(8,7%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (11,4%) (tabel 3.4.6).

60
Tabel 3.4.5
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan period prevalence diare, serta insiden diare balita
menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013
Prevalensi Period prevalence Insiden Diare
Insiden Diare
Kabupaten/Kota Hepatitis Diare balita
D DG D DG D DG D DG
Bogor 0,6 1,2 3,4 5,5 6,5 11,0 8,1 10,9
Sukabumi 0,4 1,7 2,8 3,9 5,1 7,2 6,7 7,4
Cianjur 0,8 1,7 2,8 5,3 4,7 8,7 9,6 13,5
Bandung 0,5 1,0 3,5 5,6 6,5 10,0 8,6 10,7
Garut 0,3 0,9 2,4 2,8 4,9 5,8 4,5 6,5
Tasikmalaya 0,4 1,6 1,7 2,5 4,6 6,8 4,1 5,4
Ciamis 0,9 1,3 1,6 2,1 3,6 4,7 6,1 6,5
Kuningan 0,1 0,4 2,0 2,4 3,7 4,5 7,6 8,6
Cirebon 0,1 0,8 2,5 3,4 4,0 5,3 5,9 8,8
Majalengka 0,3 1,2 2,3 3,6 4,6 6,7 6,5 9,6
Sumedang 0,2 1,4 3,8 4,8 6,7 8,8 6,4 7,8
Indramayu 0,2 0,4 1,7 3,4 3,6 6,3 5,6 9,4
Subang 0,4 0,8 2,1 3,0 5,9 8,1 5,5 6,7
Purwakarta 0,3 0,9 2,4 3,8 4,9 8,0 5,0 5,3
Karawang 0,0 0,2 1,8 1,9 2,7 2,9 3,3 4,1
Bekasi 0,2 0,4 2,7 3,7 5,0 6,9 5,3 5,6
Bandung Barat 0,6 1,3 2,6 3,9 4,2 6,6 6,1 6,9
Kota Bogor 0,9 1,5 4,2 7,9 7,1 13,5 7,7 13,7
Kota Sukabumi 0,8 1,8 4,5 6,1 7,7 11,0 11,5 12,7
Kota Bandung 0,2 0,4 1,2 2,2 3,0 4,9 1,6 3,9
Kota Cirebon 0,1 1,2 2,4 3,0 4,7 6,1 4,1 4,1
Kota Bekasi 0,4 1,4 2,5 4,4 5,4 8,6 3,7 4,4
Kota Depok 0,4 0,8 2,0 3,9 3,6 7,0 3,5 5,0
Kota Cimahi 0,3 1,2 2,3 4,0 5,0 8,1 8,7 11,0
Kota Tasikmalaya 0,8 1,9 0,7 2,8 2,4 6,3 1,7 3,9
Kota Banjar 0,7 2,1 3,6 4,7 6,6 8,4 9,1 10,6
Jawa Barat 0,4 1,0 2,5 3,9 4,9 7,5 6,1 7,9

61
Tabel 3.4.6
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013
Insiden diare Period prevalence
Hepatitis Insiden Diare
Karakteristik Penduduk balita Diare
D DG D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 0,0 0,4 6,8 8,2 10,4 12,8
1-4 0,2 0,6 5,9 7,9 9,8 13,5
5-14 0,4 0,9 2,1 3,3 4,3 6,4
15-24 0,4 1,0 2,0 3,8 3,8 6,9
25-34 0,4 1,0 2,1 3,2 4,1 6,5
35-44 0,5 1,2 2,2 3,5 4,4 7,0
45-54 0,4 1,2 2,6 4,1 5,1 7,8
55-64 0,2 1,0 1,7 3,2 4,6 7,0
65-74 0,5 1,7 2,8 3,7 6,0 7,9
≥75 1,0 2,3 4,1 4,9 6,0 8,5
Kelompok Umur Balita
0-11 bulan 6,8 8,2
12-23 bulan 8,4 11,8
24-35 bulan 6,7 8,7
36-47 bulan 5,6 6,8
48-59 bulan 3,0 4,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,4 1,2 2,5 3,8 6,5 8,3 4,9 7,5
Perempuan 0,4 0,9 2,6 4,0 5,6 7,5 4,8 7,4
Pendidikan
Tidak sekolah 0,4 1,1 3,0 4,0 5,7 7,9
Tidak tamat SD 0,6 1,3 2,4 3,7 4,7 7,4
Tamat SD 0,4 1,2 2,2 3,6 4,6 7,0
Tamat SMP 0,4 1,0 1,9 3,3 3,8 6,4
Tamat SMA 0,4 0,8 2,0 3,4 4,0 6,7
Tamat D1/D2/D3/PT 0,5 0,7 1,4 2,3 3,3 5,3
Pekerjaan 5,9
Tidak bekerja 0,4 1,0 2,3 3,7 4,3 7,0
Pegawai 0,3 0,7 1,9 2,9 4,2 6,4
Wiraswasta 0,2 1,0 2,1 3,3 4,3 6,9
Petani/Nelayan/Buruh 0,6 1,6 2,1 3,6 4,6 7,2
Lainnya 0,4 1,3 1,9 3,3 3,8 6,7
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,4 1,0 2,5 4,0 5,8 7,6 4,8 7,6
Perdesaan 0,4 1,1 2,6 3,7 6,7 8,7 5,0 7,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,6 1,4 3,2 4,8 8,2 11,4 5,8 8,8
Menengah Bawah 0,4 1,2 2,5 3,8 7,1 9,3 5,0 7,6
Menengah 0,4 1,0 2,7 4,1 5,5 7,8 5,2 7,7
Menengah Atas 0,3 0,9 2,3 3,7 4,9 4,6 7,2
Teratas 0,3 0,7 2,0 3,3 5,2 6,2 4,0 6,4

62
Tabel 3.4.7
Proporsi Penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut Kabupaten/Kota,
Jawa Barat 2013

Jenis Hepatitis yang Diderita


Kabupaten/Kota Hepatitis
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C
Lainnya
Bogor 7,7 30,1 2,3 0,0
Sukabumi 28,0 20,9 0,0 0,0
Cianjur 3,4 22,3 0,0 2,9
Bandung 25,7 24,6 0,0 0,0
Garut 16,7 12,7 6,7 0,0
Tasikmalaya 25,6 9,7 0,0 0,0
Ciamis 64,4 9,2 0,0 0,0
Kuningan 0,0 49,9 0,0 0,0
Cirebon 26,7 39,8 0,0 0,0
Majalengka 15,3 11,5 0,0 0,0
Sumedang 28,3 9,2 0,0 0,0
Indramayu 0,0 52,2 0,0 0,0
Subang 9,3 30,1 0,0 19,1
Purwakarta 61,4 0,0 0,0 0,0
Karawang 0,0 100,0 0,0 0,0
Bekasi 10,3 55,3 9,0 0,0
Bandung Barat 29,7 30,4 0,0 0,0
Kota Bogor 10,3 25,8 0,0 0,0
Kota Sukabumi 23,2 12,1 16,7 0,0
Kota Bandung 52,0 21,5 0,0 0,0
Kota Cirebon 0,0 100,0 0,0 0,0
Kota Bekasi 9,3 61,5 6,5 0,0
Kota Depok 24,5 46,9 0,0 0,0
Kota Cimahi 30,9 8,7 0,0 0,0
Kota Tasikmalaya 26,3 15,3 0,0 0,0
Kota Banjar 30,0 0,0 0,0 0,0
Jawa Barat 21,1 27,3 1,6 0,9

Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai
rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan
Kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare.
Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya
angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Tabel 3.4.8 menunjukkan pemakaian oralit
dalam mengelola diare pada penduduk Jawa Barat adalah 33,6 persen. Lima Kabupaten/Kota
tertinggi penggunaan oralit adalah Kuningan (55,4%), Kabupaten Bandung (47,5%),
Kabupaten Sukabumi (46,4%), Sumedang (45,0%), dan Kabupaten Cirebon (44,1%).
Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Jawa Barat adalah 16,0
persen. Lima Kabupaten/Kota tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Kota
Sukabumi (47,5%), Kabupaten Cirebon (34,7%), Ciamis (33,6%), Sumedang (33,1%), dan
Purwakarta (31,0%).

63
Tabel 3.4.8
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013
Kabupaten/Kota Oralit Zn
Bogor 31,3 7,3
Sukabumi 46,4 28,5
Cianjur 25,9 6,4
Bandung 47,5 24,1
Garut 41,4 2,9
Tasikmalaya 32,7 6,7
Ciamis 34,6 33,6
Kuningan 55,4 13,8
Cirebon 44,1 34,7
Majalengka 31,1 28,1
Sumedang 45,0 33,1
Indramayu 31,1 29,4
Subang 25,7 15,3
Purwakarta 25,1 31,0
Karawang 37,1 20,0
Bekasi 27,6 8,4
Bandung Barat 14,1 21,6
Kota Bogor 23,8 7,2
Kota Sukabumi 34,2 47,5
Kota Bandung 25,5 0,0
Kota Cirebon 38,0 28,8
Kota Bekasi 34,2 13,8
Kota Depok 12,8 10,1
Kota Cimahi 31,6 16,9
Kota Tasikmalaya 27,4 25,9
Kota Banjar 40,6 24,0
Jawa Barat 33,6 16,0

3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)


Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB di daerah
endemis, dan berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat
mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada
responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan”
ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara
berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan
terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan
atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah didiagnosis malaria
oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program
kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama
menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.

64
Tabel 3.4.9
Insiden dan prevalensi malaria menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013
Insiden Malaria Prevalen Malaria
Kabupaten/Kota
D DG D DG
Bogor 0,1 1,1 0,4 3,8
Sukabumi 0,1 1,9 0,7 4,2
Cianjur 0,0 2,1 0,5 5,6
Bandung 0,1 2,2 0,5 5,5
Garut 0,1 1,2 0,8 4,4
Tasikmalaya 0,1 2,8 1,0 7,5
Ciamis 0,0 1,5 0,4 3,8
Kuningan 0,0 0,4 0,5 2,3
Cirebon 0,0 0,9 0,4 2,3
Majalengka 0,1 2,9 0,5 5,5
Sumedang 0,1 4,4 0,7 7,9
Indramayu 0,0 1,2 0,2 4,9
Subang 0,1 1,1 0,4 5,5
Purwakarta 0,0 2,6 0,4 5,9
Karawang 0,0 0,2 0,7 1,6
Bekasi 0,0 0,7 0,6 3,5
Bandung Barat 0,0 2,9 0,4 6,3
Kota Bogor 0,0 2,5 0,3 6,4
Kota Sukabumi 0,0 1,4 0,3 5,8
Kota Bandung 0,0 0,8 0,2 2,8
Kota Cirebon 0,1 1,0 0,3 3,0
Kota Bekasi 0,0 2,1 0,2 6,8
Kota Depok 0,0 1,5 0,7 5,2
Kota Cimahi 0,0 2,7 0,6 6,0
Kota Tasikmalaya 0,0 1,4 0,1 6,8
Kota Banjar 0,1 1,3 0,7 6,5
Jawa Barat 0,1 1,6 0,5 4,7
Insiden Malaria pada penduduk Jawa Barat tahun 2013 adalah 1,6 persen, sementara
prevalensi malaria tahun 2013 adalah 4,7 persen. Lima Kabupaten/Kota dengan insiden dan
prevalensi tertinggi adalah Sumedang (4,4% dan 7,9%), Majalengka (2,9% dan 5,5%),
Bandung Barat (2,9% dan 6,3%), Kabupaten Tasikmalaya (2,8% dan 7,5%), dan Cimahi
(2,7% dan 6,0%) (tabel 3.4.9). Dari 26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, 11 Kabupaten/Kota
mempunyai prevalensi malaria di atas angka malaria Jawa Barat. Sebagian besar kasus
malaria di Jawa Barat terdeteksi bukan berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan.

65
Tabel 3.4.10
Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Insiden Malaria Prevalen Malaria
Karakteristik Responden
D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 1,0 0,2 3,2
1-4 0,1 1,3 0,4 4,2
5-14 0,1 1,5 0,5 4,7
15-24 0,0 1,6 0,5 4,8
25-34 0,1 1,7 0,5 4,8
35-44 0,0 1,5 0,6 4,6
45-54 0,1 1,8 0,5 5,0
55-64 0,0 1,6 0,4 4,4
65-74 0,0 1,9 0,7 5,3
≥75 1,2 0,2 3,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,1 1,6 0,5 4,8
Perempuan 0,0 1,6 0,5 4,5
Pendidikan
Tidak sekolah 0,1 1,6 0,4 4,6
Tidak tamat SD 0,0 1,8 0,5 5,0
Tamat SD 0,1 2,0 0,5 5,0
Tamat SMP 0,0 1,6 0,6 4,9
Tamat SMA 0,0 1,1 0,4 4,2
Tamat D1/D2/D3/PT 0,2 0,9 0,6 3,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,1 1,7 0,5 4,7
Pegawai 0,0 1,0 0,4 4,2
Wiraswasta 0,0 1,4 0,6 4,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,1 2,1 0,6 5,4
Lainnya 1,1 0,3 4,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,0 1,4 0,5 4,5
Pedesaan 0,1 1,9 0,6 5,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,1 2,2 0,6 5,2
Menengah Bawah 0,0 1,7 0,5 5,4
Menengah 0,1 1,7 0,5 4,9
Menengah Atas 0,0 1,5 0,4 4,4
Teratas 0,0 1,0 0,5 3,7

66
Tabel 3.4.11
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita
malaria yang mengobati sendiri menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013

Penobatan penyakit malaria


Mendapatkan Minum obat
Kabupaten/kota Mendapatkan obat Mengobati diri
obat dalam 24 selama 3
ACT program sendiri
jam pertama hari
Bogor 12,3 0,0 63,6 0,1
Sukabumi 37,1 0,0 100,0 0,4
Cianjur 0,0 0,0 0,0 0,2
Bandung 6,9 0,0 0,0 0,7
Garut 4,0 100,0 100,0 0,2
Tasikmalaya 10,6 71,4 100,0 0,5
Ciamis 0,0 0,0 0,0 0,2
Kuningan 0,0 0,0 0,0 0,1
Cirebon 0,0 0,0 0,0 0,2
Majalengka 0,0 0,0 0,0 0,3
Sumedang 2,4 0,0 0,0 0,7
Indramayu 0,0 0,0 0,0 0,3
Subang 12,7 100,0 100,0 0,1
Purwakarta 19,5 46,2 46,2 0,2
Karawang 0,0 0,0 0,0 0,1
Bekasi 4,5 0,0 0,0 0,2
Bandung Barat 4,6 0,0 100,0 0,1
Kota Bogor 0,0 0,0 0,0 0,6
Kota Sukabumi 0,0 0,0 0,0 0,1
Kota Bandung 0,0 0,0 0,0 0,3
Kota Cirebon 0,0 0,0 0,0 0,1
Kota Bekasi 13,9 100,0 100,0 1,0
Kota Depok 11,5 15,2 84,8 0,8
Kota Cimahi 0,0 0,0 0,0 0,4
Kota Tasikmalaya 0,0 0,0 0,0 0,4
Kota Banjar 10,3 100,0 100,0 0,5
Jawa Barat 7,9 25,3 78,6 0,4

*Pengobatan efektif ( pengobatan malaria sesuai program) adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien
panas dan obat diminum habis dalam 3 hari

Tabel 3.4.12 menunjukkan Prevalensi malaria pada anak <15 tahun relatif lebih rendah
dibanding pada orang dewasa. Proporsi pengobatan dengan obat malaria program
cenderung lebih baik pada anak dibandingkan orang dewasa. Keadaan ini menunjukkan
kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada anak sudah cukup baik.
Rerata lebih 25 persen Penderita malaria yang mendapat obat program dalam 24 jam
pertama menderita sakit dijumpai sebesar 25%. Pengobatan dengan obat malaria program
relatif lebih di daerah perkotaan, pada kelompok pendidikan tinggi, dan kelompok dengan
kuintil indeks kepemilikan tinggi.

67
Tabel 3.4.12
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita
malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria
Mendapatkan Mendapatkan Mengobati
Karakteristik Responden Minum obat
obat ACT obat dalam 24 diri sendiri
selama 3 hari
program jam pertama
Kelompok umur (tahun)
<1 0,0 0,0 0,0 0,4
1-4 5,5 31,1 68,9 0,7
5-14 8,9 60,3 60,3 0,4
15-24 8,0 0,0 100,0 0,3
25-34 10,3 21,0 89,2 0,2
35-44 9,2 20,8 66,1 0,3
45-54 8,5 5,6 100,0 0,4
55-64 1,8 0,0 0,0 0,4
65-74 0,0 0,0 0,0 0,4
≥75 0,0 0,0 0,0 0,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 12,1 20,7 82,8 0,3
Perempuan 3,2 45,0 60,7 0,4
Pendidikan
Tidak sekolah 0,0 0,0 0,0 0,3
Tidak tamat SD 6,5 38,7 38,7 0,4
Tamat SD 13,1 33,8 93,6 0,3
Tamat SMP 3,6 0,0 100,0 0,4
Tamat SMA 7,0 5,9 100,0 0,3
Tamat D1/D2/D3/PT 15,7 0,0 20,5 0,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 4,9 53,1 53,1 0,3
Pegawai 18,4 4,5 53,7 0,3
Wiraswasta 10,3 27,2 100,0 0,4
Petani/Nelayan/Buruh 15,3 11,8 100,0 0,3
Lainnya 0,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 6,2 33,8 70,9 0,4
Pedesaan 10,5 17,7 85,5 0,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 11,5 36,2 100,0 0,3
Menengah Bawah 5,2 0,0 100,0 0,3
Menengah 10,6 34,4 68,6 0,4
Menengah Atas 6,7 19,7 22,7 0,4
Teratas 4,5 5,9 100,0 0,3

68
3.5 Penyakit tidak menular
Penyakit tidak menular (PTM) adalah penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang.
PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat
jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner,
gagal jantung, stroke), kanker, diabetes (DM) dan penyakit pernafasan kronis (asma dan
penyakit paru obstrukstif kronis).
Tujuan Riskesdas 2013 dalam bidang PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk
dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui
pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma
(2) penyakit paru obstrukstif kronis (PPOK) (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7)
jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12)
penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: besaran PTM yang didiagnosis tenaga
kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden
dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden.
Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga
medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Data penyakit
asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur (77.701 responden),
untuk penyakit paru obstruksi kronis umur > 30 tahun (39.740 responden), untuk penyakit
kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung
koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke
ditanya pada umur > 15 tahun (55.752 responden). Riwayat penyakit ditanyakan mengenai
umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala
ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi
dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara,
ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-
hipertensi saat diwawancara.Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran,dilakukan
pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap
responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10 mmHg
dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran
dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur
tensi.Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013
dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah
didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan
dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi,
dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya? Pada RKD 2013 pertanyaan asma
berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara
dingin/rokok/ debu/infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat
malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya
ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak,
dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan
bertambah dengan meningkatnya usia.
Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga
kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pembengkakan seperti lipoma sering disebut
tumor oleh masyarakat. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh
dokter. Pertanyaan tentang hipertiroid dalam RKD 2007 tidak ada, pada RKD 2013
ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter? Prevalensi yang didapat
berdasar pertanyaan tentu akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya
penduduk berobat ke tenaga medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah
berlanjut. Tekanan darah pada waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital IA2 dan
sesuai pedoman, pengukuran dilakukan pada lengan kanan. RKD 2013 mengggunakan
tensimeter IA1 karena IA2 diskontinu dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri. Orang
Indonesia umumnya menggunakan lengan kanan yang lebih banyak gerak dari pada lengan
kiri dan telah diketahui hasil pengukuran lengan kanan akan lebih tinggi 1 – 4 mmHg dari
pada lengan kiri.

69
Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantung koroner/gagal
jantung/ jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga
kesehatan? Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita
penyakit jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan
pertanyaan gejala sesuai kriteria “Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung
pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh
dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal
jantung. Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal
ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan
tahun 2007 yaitu apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan
pertanyaan gejala terkait penyakit. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM)
meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung
koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit
sendi/rematikdisajikan dalam bentuk tabel. Untuk beberapa penyakit, ditambahkan bentuk
grafik kecenderungan 2007 dan 2013. Tabel menunjukkan prevalensi provinsi dan
kabupaten/kota, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti telah
didiagnosis tenaga kesehatan atau dokter, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang
belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan
gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi
berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis/minum
obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U.

3.5.1 Asma
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan
(sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi,dan dada terasa
tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap
rokok), sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan.
Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalamigejala sesak napas yang terjadi pada
salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok
dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau
alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas
berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau
menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari
atau menjelang pagi DAN jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur < 40 tahun.

3.5.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara
khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk),
disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang
dengan pengobatan.Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk
berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks
Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai
lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari.

3.5.3 Kanker
Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus
bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan
sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh
dokter.

Tabel 3.5.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Jawa Barat masing-
masing 5,0 persen, 4,0 persen, dan 0,1 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Kota

70
Bogor(7,9%), diikuti Kab.Cianjur dan Kab.Purwakarta(7,6%). Prevalensi PPOK tertinggi
terdapat di Kab.Purwakarta (7,2%), diikuti Kab.Cianjur (6,7%), serta Kab. Bogor dan Kota
Tasikmalaya masing-masing 5,4 persen. Prevalensi PPOK lebih rendah dari kejadian
sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun.
Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Kota Depok dan Kota Cimahi (masing-masing 0,3‰).

Tabel 3.5.1
Prevalensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronis, kanker
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)***


Bogor 7,4 5,4 0,0
Sukabumi 5,2 4,4 0,1
Cianjur 7,6 6,7 0,1
Bandung 5,9 4,6 0,1
Garut 2,1 3,5 0,0
Tasikmalaya 4,6 5,2 0,1
Ciamis 3,3 3,6 0,2
Kuningan 2,5 3,0 0,2
Cirebon 3,4 2,6 0,0
Majalengka 5,0 5,0 0,1
Sumedang 4,8 4,4 0,0
Indramayu 4,8 4,4 0,1
Subang 5,1 3,4 0,2
Purwakarta 7,6 7,2 0,1
Karawang 1,4 1,4 0,0
Bekasi 3,5 2,7 0,1
Bandung Barat 5,0 4,8 0,2
Kota Bogor 7,9 5,3 0,0
Kota Sukabumi 4,3 3,3 0,2
Kota Bandung 2,2 1,8 0,0
Kota Cirebon 2,0 0,9 0,2
Kota Bekasi 7,4 2,9 0,2
Kota Depok 6,4 3,5 0,3
Kota Cimahi 7,5 2,6 0,3
Kota Tasikmalaya 5,2 5,4 0,0
Kota Banjar 3,5 3,0 0,1
Jawa Barat 5,0 4,0 0,1

*Wawancara semua umur berdasarkan gejala


**Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter

71
Tabel 3.5.2
Prevalensi penyakit asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis dan kanker menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013
Karakteristik Asma* PPOK** Kanker(‰)***
Kelompok umur (tahun)
<1 1,8 0,0
1- 4 4,6 0,0
5-14 4,6 0,0
15-24 6,3 0,0
25-34 6,1 1,9 0,1
35-44 5,9 2,4 0,1
45-54 3,6 4,3 0,3
55-64 2,8 5,9 0,3
65-74 2,5 9,4 0,2
75+ 2,8 10,8 0,6
Jenis kelamin
Laki-Laki 5,0 4,6 0,0
Perempuan 5,0 3,3 0,2
Pendidikan
Tidak sekolah 3,3 7,8 0,0
Tidak tamat SD 5,3 6,4 0,1
Tamat SD 5,4 4,6 0,1
Tamat SMP 5,7 2,7 0,0
Tamat SMA 4,8 1,7 0,1
Tamat PT 4,1 1,4 0,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 5,4 4,3 0,2
Pegawai 5,2 1,6 0,1
Wiraswasta 4,6 3,1 0,1
Petani/nelayan/buruh 5,4 5,1 0,1
Lainnya 5,2 3,1 0,1
Tempat tinggal
Perkotaan 5,0 3,5 0,1
Perdesaan 4,9 4,8 0,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 5,8 7,2 0,1
Menengah bawah 4,9 5,2 0,1
Menengah 5,3 4,2 0,1
Menengah atas 4,8 3,2 0,1
Teratas 4,4 1,8 0,2

Dari tabel 3.5.2 terlihat prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥ 45 tahun mulai menurun.
Prevalensi kanker meningkat pada umur ≥75 tahun (0,6‰).
Prevalensi PPOKpada laki-laki cenderung lebih tinggi, kankerlebih tinggi pada perempuan,
sementara untuk prevalensi asma tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Prevalensi asma dan kanker terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih
tinggi di perdesaandari perkotaan, hal ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai faktor risiko
PPOK terbanyak.Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah dan status ekonomi terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada
kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi
cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks
kepemilikan teratas.

72
3.5.4 Diabetes melitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.
Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik
secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/ diabetes
juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II
yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa.
Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri)
terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat,
keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur,
impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan
pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai
DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah
didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami
gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat
badan turun.

3.5.5. Penyakit hipertiroid


Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi
berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang
mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-
debar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara
dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh
dokter.

3.5.6 Hipertensi/tekanan darah tinggi


Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara
kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat
mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal.
Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit
tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah
didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk
tekanan darah tinggi (minum obat sendiri).
Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis
JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun, maka
prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk
umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥
15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003
akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi.

73
Tabel 3.5.3
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Hipertensi
Diabetes Hipertiroid
Kabupaten/Kota Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Bogor 1,1 2,5 0,8 12,0 12,0 27,6
Sukabumi 0,7 1,0 0,3 11,4 11,5 26,4
Cianjur 1,0 1,6 0,6 13,3 13,3 31,5
Bandung 1,3 3,1 0,8 14,4 14,7 30,2
Garut 0,6 1,4 0,2 7,0 7,2 36,2
Tasikmalaya 0,8 1,8 0,4 9,7 9,9 31,6
Ciamis 1,2 2,1 0,6 11,8 12,0 34,9
Kuningan 1,6 1,7 0,2 8,7 8,8 43,6
Cirebon 1,0 1,0 0,1 4,9 4,9 18,5
Majalengka 1,6 2,1 0,5 11,8 11,9 39,5
Sumedang 1,0 1,7 0,4 13,2 13,3 31,0
Indramayu 1,4 1,5 0,2 7,7 7,7 26,6
Subang 1,6 2,7 0,7 10,3 10,4 35,4
Purwakarta 1,1 2,1 0,8 13,3 13,4 30,9
Karawang 0,8 0,9 0,2 6,3 6,4 27,7
Bekasi 1,5 1,7 0,1 5,5 5,5 30,0
Bandung Barat 0,8 1,3 0,2 12,7 12,8 32,0
Kota Bogor 1,1 2,1 1,1 16,4 16,6 28,6
Kota Sukabumi 1,5 2,4 0,7 11,8 12,2 29,6
Kota Bandung 1,5 1,7 0,2 9,0 9,0 21,8
Kota Cirebon 3,0 3,2 0,7 6,0 6,0 28,9
Kota Bekasi 2,7 3,4 0,9 11,6 11,7 29,2
Kota Depok 2,0 2,7 0,9 12,3 12,5 25,8
Kota Cimahi 1,6 2,2 2,5 13,2 13,6 25,2
Kota Tasikmalaya 1,0 1,6 0,6 12,8 12,8 29,1
Kota Banjar 1,9 2,1 0,1 11,5 11,6 25,0
Jawa Barat 1,3 2,0 0,5 10,5 10,6 29,4

Dari tabel 3.5.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Jawa Barat berdasar wawancara
yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,5 persen.
DM terdiagnosis dokter atau gejala (D/G) sebesar 2,0 persen. Prevalensi diabetes yang
terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Kota Cirebon(3,0%), Kota Bekasi(2,7%), dan Kota
Depok (2,0%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi terdapat di
Kota Bekasi (3,4%), Kota Cirebon(3,2%), dan Kab.Bandung (3,1%).
Prevalensi hipertiroid tertinggi diKota Cimahi (2,5%), diikuti Kota Bogor (1,1%), serta Kota
Bekasi dan Kota Depok (masing-masing 0,9%). Prevalensi hipertensi di Jawa Barat yang
didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 29,4 persen, tertinggi di
Kuningan(43,6%), diikuti Kab.Majalengka(39,5%), dan Kab.Garut(36,2%).
Prevalensi hipertensi rata-rata di Jawa Barat yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 10,5 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau minum
obat (D/O) sebesar 10,6 persen.

74
Tabel 3.5.4
Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Hipertensi**
Diabetes * Hipertiroid*
Karakteristik Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,6 0,7 1,4 1,4 10,5
25-34 0,2 1,0 0,4 4,3 4,3 18,2
35-44 1,2 1,9 0,4 9,4 9,5 29,7
45-54 2,6 3,4 0,7 17,1 17,3 39,6
55-64 4,0 5,0 0,3 23,0 23,3 51,6
65-74 3,7 4,2 0,5 27,9 28,2 64,1
75+ 2,4 3,0 0,4 30,2 30,2 70,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 1,2 1,8 0,4 6,9 7,0 25,3
Perempuan 1,4 2,1 0,7 14,1 14,3 33,6
Pendidikan
Tidak Sekolah 1,7 2,8 0,3 19,2 19,4 49,3
Tidak Tamat SD 1,8 2,9 0,5 15,3 15,4 38,8
Tamat SD 1,2 2,0 0,4 12,8 12,9 34,0
Tamat SMP 0,7 1,3 0,6 7,6 7,7 23,7
Tamat SMA 1,4 1,9 0,5 6,4 6,5 21,2
Tamat PT 2,2 2,6 0,7 7,7 7,8 24,0
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 1,5 2,2 0,7 14,1 14,3 33,8
Pegawai 1,5 1,9 0,5 6,1 6,2 23,0
Wiraswasta 1,4 2,2 0,4 8,6 8,7 27,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,6 1,4 0,3 7,7 7,7 26,8
Lainnya 1,9 2,3 0,5 11,0 11,0 28,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 1,5 2,2 0,6 10,7 10,8 28,9
Perdesaan 0,8 1,5 0,4 10,1 10,2 30,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 1,5 0,4 11,6 11,7 32,8
Menengah bawah 0,9 1,7 0,5 11,0 11,2 32,0
Menengah 1,0 1,8 0,4 9,9 10,0 27,1
Menengah atas 1,4 2,1 0,7 10,5 10,6 28,1
Teratas 2,4 2,7 0,5 9,6 9,7 28,1
*Umur > 15 tahun **Umur ≥ 18 tahun

Dari tabel 3.5.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter atau gejala
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung
menurun, mungkin pada kelompok ini banyak yang telah meninggal. Prevalensi hipertiroid
cenderung bervariasi antar kelompok umur.
Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat
meningkat dengan bertambahnya umur.
Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada
laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari
pada perdesaan, kecuali pada pengukuran tekanan darah. Hasil pengukuran tekanan darah,
menunjukkan hipertensi di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
Prevalensi DM cenderung bervariasi antar tingkat pendidikan, namun cenderung meningkat
pada kuintil indeks kepemilikan tinggi.

75
Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan
kelompok tidak bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.

3.5.7 Penyakit jantung


Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner
dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai
penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami
responden.

3.5.7.1 Penyakit jantung koroner


Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan
darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan
nyeri dada atau terasa tidak nyaman didada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang
mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau
berjalan jauh.
Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau
infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah
mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan
nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke
lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan
tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.

3.5.7.2 Penyakit gagal jantung


Gagal jantung / payah jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat
beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah
membengkak.
Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit
gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita
penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan
sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah
lelah dan tungkai bawah bengkak.

3.5.8 Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global,
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan
gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak
jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain.
Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga
kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke
oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi
tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi
tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit
bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan.

76
Tabel 3.5.5
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Jantung Koroner Gagal jantung Stroke (‰)


Kabupaten/Kota
D D/G D D/G D D/G
Bogor 0,3 2,1 0,2 0,3 4,7 9,4
Sukabumi 0,6 1,4 0,0 0,3 4,2 7,7
Cianjur 0,4 2,3 0,2 0,7 3,6 13,9
Bandung 1,2 3,8 0,0 0,3 11,8 17,1
Garut 0,3 1,2 0,1 0,4 4,0 10,8
Tasikmalaya 0,5 2,0 0,0 0,6 6,8 19,0
Ciamis 0,8 2,1 0,6 0,8 10,0 14,9
Kuningan 0,8 0,9 0,2 0,3 5,2 8,6
Cirebon 0,4 0,7 0,2 0,3 3,9 5,7
Majalengka 0,7 2,6 0,5 0,7 10,5 23,8
Sumedang 0,9 2,3 0,2 0,5 8,9 17,8
Indramayu 0,1 0,5 0,0 0,1 9,7 14,6
Subang 0,6 1,0 0,1 0,4 12,1 16,3
Purwakarta 0,7 2,4 0,2 0,2 4,7 10,5
Karawang 0,2 0,3 0,0 0,0 6,3 9,8
Bekasi 0,3 0,6 0,0 0,1 2,4 4,1
Bandung Barat 0,5 1,2 0,3 0,4 7,9 12,0
Kota Bogor 0,8 2,2 0,0 0,1 7,7 14,8
Kota Sukabumi 1,1 1,9 0,3 0,4 7,0 9,2
Kota Bandung 0,4 0,5 0,0 0,1 3,3 5,0
Kota Cirebon 0,6 0,7 0,2 0,3 4,8 8,7
Kota Bekasi 0,6 1,8 0,1 0,3 5,7 9,9
Kota Depok 0,6 1,4 0,2 0,5 11,0 21,4
Kota Cimahi 0,9 1,6 0,1 0,4 11,4 17,1
Kota Tasikmalaya 0,4 2,2 0,0 0,3 9,5 16,3
Kota Banjar 0,7 1,2 0,1 0,2 10,2 13,9
Jawa Barat 0,5 1,6 0,1 0,3 6,6 12,0

Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter
di Jawa Barat sebesar 0,5 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,6
persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kab. Bandung
(1,2%) diikuti Kota Sukabumi (1,1%), Kab. Sumedang dan Kota Cimahi masing-masing 0,9
persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di Kab.
Bandung (3,8%), diikuti Kab.Majalengka (2,6%), dan Kab.Purwakarta (2,4%).
Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Jawa Barat sebesar
0,1 persen, dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal
jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kabupaten Ciamis (0,6%), disusul
Kab.Majalengka (0,5%), dan Kota Sukabumi (0,3%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan
diagnosis dan gejala tertinggi di Kab.Ciamis (0,8%), diikuti Kab.Majalengkadan Kab.Cianjur
(masing-masing 0,7%).
Prevalensi stroke di Jawa Barat berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 permil
dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,0 permil. Prevalensi Stroke
berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Subang dan Kab. Bandung (masing-masing 1,1‰),
diikuti Kab.Majalengka, Kota Depok, dan Kota Cimahi masing-masing 1,1 permil. Prevalensi
Stroke berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi terdapat di Kab.Majalengka
(23,8‰), diikuti Kota Depok (21,4‰) dan Kab. Tasikmalaya (16,3‰).

77
Tabel 3.5.6
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Jantung Koroner Gagal jantung Stroke (‰)
Karakteristik
D D/G D D/G D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,7 0,0 0,1 0,0 0,3
25-34 0,2 0,9 0,0 0,1 0,1 0,4
35-44 0,4 1,4 0,1 0,2 0,2 0,6
45-54 0,7 2,3 0,2 0,5 1,2 1,9
55-64 1,6 3,2 0,3 0,7 2,3 3,2
65-74 2,7 4,7 0,7 1,3 2,8 4,2
75+ 2,4 3,7 0,7 1,4 4,7 7,5
Jenis kelamin
Laki-laki 0,5 1,4 0,1 0,3 0,7 1,1
Perempuan 0,6 1,8 0,2 0,4 0,6 1,3
Pendidikan
Tidak sekolah 0,5 3,1 0,3 1,0 1,9 3,3
Tidak tamat SD 0,7 2,6 0,3 0,6 1,2 2,3
Tamat SD 0,6 1,8 0,2 0,4 0,7 1,3
Tamat SMP 0,3 1,3 0,1 0,1 0,4 0,7
Tamat SMA 0,5 1,0 0,1 0,1 0,3 0,7
Tamat PT 0,9 1,0 0,1 0,2 0,8 1,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,7 1,9 0,2 0,4 0,9 1,7
Pegawai 0,4 1,0 0,1 0,1 0,4 0,6
Wiraswasta 0,6 1,3 0,1 0,4 0,5 0,8
Petani/nelayan/buruh 0,3 1,5 0,1 0,2 0,3 0,8
Lainnya 0,5 1,5 0,2 0,3 0,8 1,1
Tempat tinggal
Perkotaan 0,6 1,6 0,1 0,3 0,7 1,2
Perdesaan 0,4 1,6 0,2 0,4 0,5 1,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 0,5 2,0 0,1 0,4 0,6 1,5
Menengah bawah 0,5 1,9 0,2 0,4 0,8 1,5
Menengah 0,4 1,4 0,1 0,3 0,7 1,2
Menengah atas 0,6 1,6 0,1 0,2 0,7 0,9
Teratas 0,7 1,2 0,2 0,3 0,6 1,0

Tabel 3.5.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara
yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,7 persen dan 3,7
persen, menurun sedikit pada kelompok umur ≥75 tahun.
Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter maupun berdasarkan diagnosis dokter dan gejala
lebih tinggi pada perempuan (0,6% dan 1,8%). Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat
tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi
di perkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala, prevalensinya sama antara
perkotaan dan perdesaan. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada
kuintil indeks kepemilikan teratas, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala,
prevalensi tertinggi pada kunitil indeks kepemilikan terbawah dan semakin kecil seiring
meningkatnya status ekonomi.
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi
pada umur≥ 75 tahun (0,7%), begitu dengan yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi
pada umur ≥ 75 tahun (1,4%). Untuk yang didiagnosis dokter dan diagnosis dengan gejala,
prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2% dan 0,4%) dibanding laki-laki (0,1% dan 0,3%).

78
Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi
pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan hidup di perdesaan.
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis
nakes dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur≥ 75
tahun (4,7‰ dan 7,5‰). Prevalensi yang terdiagnosis nakes lebih tinggi pada laki-laki (0,7‰)
sementara yang didiagnosis nakes dan gejala lebih tinggi pada perempuan (1,3 ‰).
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik
yang didiagnosis nakes (1,9‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (3,3‰). Prevalensi stroke
yang didiagnosis nakes di kota lebih tinggi dari di desa, namun prevalensi stroke diagnosis
nakes dan gejala tidak berbeda antar perkotaan dan perdesaan (masing-masing 1,2‰).
Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes
(0,9‰) maupun yang didiagnosis nakes dan gejala (1,7‰). Prevalensi stroke yang
didiagnosis dan gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
bawah masing masing 1,5 permil .
3.5.9 Penyakit ginjal
Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai
faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan
lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat
keparahan yang berbeda-beda.
Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang
pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien
dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau
transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah.
Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal
ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis
menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh
dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit
batu ginjal oleh dokter.
3.5.10 Penyakit sendi/ rematik/ encok
Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-
sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/ rematik berupa gangguan nyeri pada persendian
yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena
benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi
hari.
Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita
penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika
bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku
atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan.

79
Tabel 3.5.7
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi
Kabupaten/Kota
D D D D/G
Bogor 0,2 0,6 11,5 30,2
Sukabumi 0,2 0,5 30,1 41,5
Cianjur 0,6 1,0 22,1 45,9
Bandung 0,6 1,0 22,9 38,9
Garut 0,2 0,6 22,4 30,7
Tasikmalaya 0,4 0,7 30,3 53,3
Ciamis 0,6 2,2 33,4 53,4
Kuningan 0,1 0,9 14,8 24,8
Cirebon 0,3 0,5 15,6 24,7
Majalengka 0,5 1,1 24,2 35,3
Sumedang 0,7 1,3 29,5 45,5
Indramayu 0,5 1,0 16,7 35,0
Subang 0,2 0,3 17,5 37,0
Purwakarta 0,3 1,0 18,0 36,0
Karawang 0,3 0,3 7,6 11,7
Bekasi 0,1 0,4 12,2 19,9
Bandung Barat 0,4 1,3 22,3 34,0
Kota Bogor 0,1 0,7 10,5 30,9
Kota Sukabumi 0,2 1,0 13,6 31,9
Kota Bandung 0,2 0,1 12,5 20,3
Kota Cirebon 0,4 0,8 7,2 14,3
Kota Bekasi 0,3 1,1 7,2 26,8
Kota Depok 0,4 1,0 10,2 23,8
Kota Cimahi 0,4 0,7 12,5 28,3
Kota Tasikmalaya 0,2 0,6 13,4 45,4
Kota Banjar 0,7 0,9 18,4 24,5
Jawa Barat 0,3 0,8 17,5 32,1

Tabel 3.5.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar didiagnosis dokter di Jawa
Barat sebesar 0,3 persen. Prevalensi tertinggi di Kab.Sumedangdan Kota Banjar, masing-
masing sebesar 0,7 persen, diikuti Kab.Cianjur, Kab.Bandung, dan Kab.Ciamis masing-
masing 0,6 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter
di Jawa Barat sebesar 0,8 persen. Prevalensi tertinggi di Kab.Ciamis (2,2%), diikuti
Kab.Sumedang dan Kab.Bandung Barat (masing-masing 1,3%). Prevalensi penyakit sendi
berdasar diagnosis nakes di Jawa Barat 17,5 persen dan berdasar diagnosis dan gejala 32,1
persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kab.Ciamis (33,4%), diikuti Kab.
Tasikmalaya (30,3%),dan Kab.Sukabumi (30,1%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan
diagnosis nakes dan gejala tertinggi Kab.Ciamis (53,4%), diikuti Kab. Tasikmalaya (53,3%),
dan Kab.Cianjur (45,9%).

80
Tabel 3.5.8
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi*
Karakteristik D/G
D D D
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,2 2,5 9,6
25-34 0,2 0,3 10,5 23,8
35-44 0,3 0,9 19,2 36,5
45-54 0,5 1,3 29,3 48,8
55-64 0,7 1,9 34,0 54,5
65-74 0,7 1,7 42,6 62,5
75+ 0,6 1,1 47,4 66,6
Jenis kelamin
Laki-Laki 0,4 1,0 15,7 29,0
Perempuan 0,3 0,6 19,3 35,3
Pendidikan
Tidak sekolah 0,4 1,1 29,0 50,3
Tidak tamat SD 0,3 0,9 27,0 46,4
Tamat SD 0,4 1,0 24,8 42,2
Tamat SMP 0,3 0,5 11,0 22,7
Tamat SMA 0,2 0,5 8,0 19,0
Tamat PT 0,3 1,0 8,8 19,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,3 0,6 17,2 31,0
Pegawai 0,4 0,8 9,0 20,2
Wiraswasta 0,3 1,0 17,0 32,1
Petani/nelayan/buruh 0,4 1,0 22,9 40,5
Lainnya 0,7 1,0 16,1 31,4
Tempat tinggal
Perkotaan 0,3 0,7 14,6 28,4
Perdesaan 0,4 0,9 23,1 39,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 0,4 0,8 25,5 44,3
Menengah bawah 0,4 0,7 21,7 37,1
Menengah 0,3 0,9 17,1 32,0
Menengah atas 0,3 0,7 13,9 27,8
Teratas 0,3 0,7 11,1 22,2

Tabel 3.5.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara
yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
kelompok umur 55-64 dan 65-74 tahun (0,7%). Prevalensi pada laki-laki (0,4%) lebih tinggi
dari perempuan (0,3%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,4%), tidak
bersekolah dan tamat SD (0,4%), pekerjaan lainnya, (0,7%), dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,4 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal
berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
kelompok umur 55-64 tahun (1,9%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74 tahun
(1,7%) dan umur ≥ 75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (1,0%) dibanding
perempuan (0,6%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah (1,1%) serta
pekerjaan wiraswasta, Petani/nelayan/buruh dan lainnya (masing-masing 1,1%) dan status
ekonomi tertinggi pada status kuintil menengah (0,9%). Prevalensi di perdesaan (0,9%)lebih
tinggi dibanding perkotaan (0,7%).
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi

81
tertinggi pada umur ≥75 tahun (47,4% dan 66,6%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih
tinggi pada perempuan (19,3%) dibanding laki-laki (15,7%) demikian juga yang didiagnosis
nakes dan gejala pada perempuan (35,3%) lebih tinggi dari laki-laki (29,0%). Prevalensi lebih
tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (29,0%) maupun
diagnosis nakes dan gejala (50,3%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan
petani/nelayan/buruh baik yang didiagnosis nakes (22,9%) maupun diagnosis nakes dan
gejala (40,5%). Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (23,1%) lebih tinggi dari
perkotaan (14,6%), demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala di pedesaan (39,5%), di
perkotaan (28,4%). Kelompok yang didiagnosis nakes, prevalensi tertinggi pada status
ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (25,5%).
Demikian juga pada kelompok yang terdiagnosis nakes dan gejala, prevalensi tertinggi pada
status ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (44,3%) .

82
3.6 CEDERA
Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang
tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera
diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami
responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Yang dimaksud dengan cedera
dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan
aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam
12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut
pengakuan responden.

3.6.1 Prevalensi Cedera dan Penyebabnya


Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab
yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan
(undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri,
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak),
penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak
disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian,
digigit/diserang binatang,kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja,
terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam,
radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated
intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab
yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini
adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi cedera menurut kabupaten
disajikan pada tabel 3.6.1.
Dilihat dari tabel 3.6.1 prevalensi cedera se provinsi Jawa Barat adalah 8,5 persen, prevalensi
tertinggi ditemukan di kota Sukabumi (19,9 persen) dan terendah di kab. Karawang (2,3
persen). Kabupaten yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka provinsi
sebanyak 10 kabupaten.
Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (43,7%) dan kecelakaan sepeda motor (39,1%).
Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0 meliputi terkena
benda tajam/tumpul (6,2%), Transportasi darat lain (6,8%) dan kejatuhan (2,7%). Sedangkan
untuk penyebab yang belum disebutkan proporsinya kecil.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada kabupaten Karawang
(64,4%) dan terendah di Kab. Cirebon (25,9%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi
tertinggi terdapat di Kab. Cirebon (14,3%) dan terendah ditemukan di Kab. Garut (0,4%).
Proporsi jatuh tertinggi di Kab. Kuningan (55,3%) dan terendah di Kab. Karawang (25,5%).
Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terdapat di Kab. Garut (29%) dan terendah di
Kota Sukabumi (1,7%).
Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Kab. Karawang (3,2%) dan
terendah (tanpa kasus) di Kab. Garut, Kab. Cirebon, Kab.Indramayu, Kab. Purwakarta, Kota
Bogor, Kota Cirebon dan Kota Banjar.
Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terdapat di Kab. Majalengka (1,0%)
terendah (tanpa kasusu) terdapat di 16 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Kab. Garut (8,2%) dan terendah di Kab. Karawang
(0,8%). Keracunan tidak ditemukan kasusnya di Provinsi Jawa Barat.

83
Tabel 3.6.1
Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Penyebab cedera
Kabupaten/ Cedera Sepeda Trans Benda Ter Gigitan Ke Ke Lain
Kota motor darat Jatuh tajam/ bakar hewan jatuhan racunan nya
lain tumpul
Bogor 11,6 41,3 4,8 47,2 3,3 0,1 0,4 2,6 0,0 0,3
Sukabumi 6,3 34,3 6,7 46,5 7,6 1,9 0,0 2,9 0,0 0,0
Cianjur 9,2 37,6 4,9 43,6 10,6 1,0 0,0 2,0 0,0 0,3
Bandung 11,1 36,9 4,2 49,2 5,7 0,2 0,2 2,6 0,0 1,0
Garut 3,0 36,1 0,4 40,4 14,3 0,0 0,0 8,2 0,0 0,6
Tasikmalaya 6,3 34,4 8,1 42,4 8,4 0,2 0,2 4,8 0,0 1,6
Ciamis 9,1 43,3 5,5 40,0 7,6 0,4 0,3 2,9 0,0 0,0
Kuningan 7,4 33,2 4,5 55,3 3,6 1,0 0,0 2,4 0,0 0,0
Cirebon 5,3 25,9 14,4 52,4 3,9 0,0 0,0 3,4 0,0 0,1
Majalengka 8,1 29,5 10,3 42,2 10,5 2,3 1,0 3,6 0,0 0,7
Sumedang 10,8 38,2 5,2 44,0 8,0 0,7 0,0 2,8 0,0 1,1
Indramayu 8,0 44,7 8,8 39,7 4,7 0,0 0,0 1,8 0,0 0,3
Subang 8,6 45,7 4,2 40,4 3,9 0,9 0,6 2,1 0,0 2,1
Purwakarta 6,7 57,6 2,2 32,9 4,5 0,0 0,0 2,8 0,0 0,0
Karawang 2,3 64,4 3,4 25,5 2,8 3,2 0,0 0,8 0,0 0,0
Bekasi 5,4 47,1 12,9 32,5 4,1 1,2 0,6 1,2 0,0 0,5
Bandung Barat 7,7 40,3 7,6 40,6 5,8 0,7 0,0 4,5 0,0 0,5
Kota Bogor 15,2 33,4 7,4 51,6 5,4 0,0 0,0 2,2 0,0 0,0
Kota Sukabumi 19,9 37,3 5,7 51,8 1,7 0,7 0,0 2,8 0,0 0,1
Kota Bandung 8,0 40,7 8,5 35,1 10,0 2,5 0,0 3,0 0,0 0,2
Kota Cirebon 6,7 48,7 6,6 39,0 3,0 0,0 0,0 1,5 0,0 1,2
Kota Bekasi 13,6 34,2 7,9 46,2 8,4 1,6 0,2 0,9 0,0 0,6
Kota Depok 11,5 35,3 10,1 42,3 5,1 2,0 0,5 3,2 0,0 1,4
Kota Cimahi 7,3 49,2 7,8 32,0 5,8 1,5 0,0 3,4 0,0 0,3
Kota Tasikmalaya 9,1 51,4 6,8 29,8 5,2 1,1 0,4 5,1 0,0 0,2
Kota Banjar 7,6 37,0 8,5 47,6 5,1 0,0 0,0 1,2 0,0 0,6
Jawa Barat 8,5 39,1 6,8 43,7 6,2 0,9 0,2 2,7 0,0 0,6

Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik disajikan
pada tabel 3.6.2.
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun
(11,7 persen), laki-laki (10,5 persen), pendidikan tamat SMP/MTS (9,5 persen), yang bekerja
sebagai pegawai (9,5 persen), bertempat tinggal di perkotaan (9,0 persen) dan pada
menengah atas (8,7 persen) dan pada Indeks kuintil menengah atas (9,0 persen).
Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh (95,4 persen)
pada kelompok umur < 1 tahun, perempuan (54,0%), tidak sekolah (68,1%), tidak bekerja
(44,9%), tinggal di perdesaan (44,0%) dan Kuintil terbawah (54,5%). Selain itu penyebab
cedera karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi
tertinggi yaitu 67,7 persen pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,1%), tingkat
pendidikan tamat SMA/MA (60,5%), bekerja sebagai wiraswasta (59,3%), tinggal di perkotaan
(39,2%) dan Kuintil menengah teratas (44,5%). Sedangkan penyebab cedera transportasi
darat lain proporsi tertinggi didapatkan pada umur 5-14 tahun (13,6%), perempuan (7,1%),
tidak tamat SD (13,3%), status pekerjaan lainnya (8,0%) dan bertempat tinggal di perkotaan
dan kuintil menengah teratas masing-masing 7,3 dan 7,7 persen.

84
Tabel 3.6.2
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Penyebab Cedera
Karakteristik Sepeda Trans Benda
Gigitan Ke Ke
Cedera motor darat tajam/ Terbakar Lainnya
Jatuh Hewan jatuhan racunan
lain tumpul
Kelompok umur (thn)
<1 1,5 4,6 0,0 95,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
1–4 9,2 4,3 4,8 82,2 3,4 1,8 0,8 2,0 0,0 0,8
5 – 14 9,3 18,6 13,6 60,6 4,2 0,5 0,1 1,8 0,0 0,6
15 – 24 11,7 67,7 3,9 21,7 4,5 0,4 0,1 1,5 0,0 0,0
25 – 34 7,9 52,2 5,3 29,2 8,0 1,7 0,2 2,5 0,0 0,8
35 – 44 6,9 47,5 4,3 32,2 8,8 1,1 0,2 5,0 0,0 1,0
45 – 54 6,7 35,2 5,6 44,1 10,0 0,7 0,0 4,1 0,0 0,3
55 – 64 6,7 28,2 6,8 51,2 8,4 0,6 0,7 3,4 0,0 0,7
65 – 74 7,6 11,3 3,6 69,0 8,6 0,4 0,5 5,8 0,0 0,7
75+ 9,4 3,9 5,6 80,8 5,2 0,0 0,0 3,4 0,0 1,1

Jenis kelamin
Laki-laki 10,5 44,1 6,6 37,7 6,9 0,9 0,1 3,1 0,0 0,6
Perempuan 6,3 30,4 7,1 54,0 5,0 0,8 0,4 2,0 0,0 0,4

Pendidikan
Tidak sekolah 8,1 13,9 8,6 68,1 5,0 1,0 0,0 2,7 0,0 0,8
Tidak tamat SD/MI 8,9 21,4 13,3 56,8 5,0 0,5 0,4 1,7 0,0 0,8
Tamat SD/MI 8,1 41,5 6,3 39,5 7,5 0,8 0,3 3,8 0,0 0,2
Tamat SMP/MTS 9,5 59,5 4,2 25,2 7,4 0,8 0,0 2,8 0,0 0,1
Tamat SMA/MA 8,6 60,5 3,4 26,2 6,2 1,1 0,0 1,7 0,0 1,0
Tamat Diploma/PT 6,6 53,2 5,4 31,0 5,8 0,6 0,0 2,1 0,0 1,8

Pekerjaan
Tidak bekerja 7,9 40,0 6,8 44,9 4,8 0,7 0,2 2,3 0,0 0,4
Pegawai 9,3 59,0 4,5 24,1 7,9 0,8 0,0 2,2 0,0 1,5
Wiraswasta 8,7 59,3 5,0 26,1 5,4 1,3 0,5 2,3 0,0 0,2
Petani/nelayan/ buruh 9,5 46,8 5,1 31,7 10,3 0,9 0,2 4,5 0,0 0,3
Lainnya 7,5 49,1 8,0 26,3 10,8 0,0 0,0 4,1 0,0 1,7

Tempat tinggal
Perkotaan 9,0 39,2 7,3 43,5 5,6 0,9 0,2 2,6 0,0 0,6
Perdesaan 7,4 38,8 5,4 44,0 7,5 0,8 0,2 2,8 0,0 0,5

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 8,1 27,3 5,2 54,5 8,1 0,3 0,2 3,8 0,0 0,5
Menengah bawah 8,2 35,7 6,6 45,3 7,5 0,8 0,2 3,4 0,0 0,5
Menengah 9,0 41,3 6,9 42,4 4,5 1,3 0,2 2,9 0,0 0,4
Menengah atas 8,9 44,5 7,7 39,6 4,8 0,9 0,3 2,0 0,0 0,3
Teratas 8,2 43,4 7,0 39,1 6,7 0,8 0,2 1,6 0,0 1,2

85
3.6.2 Jenis Cedera
Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat
menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari.Seseorang yang cedera bisa mengalami
minimal 1 jenis (multiple injuries). Gambaran proporsi jenisi cedera yang dialami penduduk
menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.3.

Tabel 3.6.3
Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Jenis Cedera
Anggota
Lecet/ Luka Patah Cedera Gegar Lain
Kabupaten/kota Terkilir tubuh
memar robek tulang Mata otak nya
terputus
Bogor 70,9 24,5 8,0 28,1 0,2 0,9 0,0 2,0
Sukabumi 67,3 23,8 8,6 44,8 0,0 0,0 0,5 4,8
Cianjur 65,4 33,6 4,0 36,5 0,0 1,3 0,0 2,8
Bandung 71,1 26,3 5,6 31,3 0,0 0,5 0,0 0,5
Garut 61,0 21,8 8,2 34,8 0,9 1,8 0,0 0,0
Tasikmalaya 65,4 30,6 8,5 45,3 0,5 0,0 0,0 1,9
Ciamis 63,5 17,1 6,2 42,3 0,0 1,4 0,3 1,9
Kuningan 74,2 19,0 6,5 25,2 0,4 0,0 0,8 1,0
Cirebon 92,2 25,4 2,8 35,8 0,0 0,1 0,6 0,0
Majalengka 69,2 20,4 6,2 32,1 0,0 0,3 0,4 4,7
Sumedang 72,3 34,3 3,9 34,9 0,3 0,6 0,0 1,3
Indramayu 76,4 19,9 6,4 33,4 0,7 0,4 0,2 1,1
Subang 70,6 18,8 7,3 34,6 0,5 0,5 0,8 2,3
Purwakarta 58,0 23,1 11,2 46,7 1,3 2,3 0,0 0,6
Karawang 74,5 26,3 6,7 28,7 0,0 0,0 0,0 4,7
Bekasi 70,9 21,7 3,9 32,0 0,0 0,0 1,2 0,3
Bandung Barat 67,0 26,6 7,8 29,6 0,0 1,3 0,4 2,4
Kota Bogor 68,2 23,2 3,5 35,6 0,8 0,0 0,0 0,4
Kota Sukabumi 86,6 17,2 4,5 33,5 0,3 0,1 0,4 0,7
Kota Bandung 77,8 34,0 4,7 31,7 0,0 0,6 0,4 1,9
Kota Cirebon 86,0 14,6 8,0 22,5 1,0 0,6 0,0 0,0
Kota Bekasi 75,0 21,3 3,6 28,3 0,1 1,0 0,4 1,3
Kota Depok 59,5 25,3 6,7 35,3 0,0 0,8 0,0 4,9
Kota Cimahi 77,0 34,8 8,2 26,2 0,5 1,2 0,0 1,0
Kota Tasikmalaya 70,8 31,8 5,5 35,8 0,0 1,4 0,0 0,7
Kota Banjar 64,6 22,3 8,5 35,6 0,7 1,3 0,0 0,1
Jawa Barat 70,8 24,9 6,0 33,2 0,2 0,7 0,2 1,8

Proporsi jenis cedera di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 70,8
persen, terbanyak terdapat di Kab. Cirebon 92,2 persen dan yang terendah di Kab.
Purwakarta yaitu 58,0 persen. Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di
Provinsi Jawa Barat 33,2 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Kab. Purwakarta sebesar
46,7 persen. Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini
tertinggi ditemukan di Kota Cimahi sekitar 34,8 persen jauh di atas Jawa Barat yaitu 24,9
persen dan terendah di Kota Cirebon 14,6 persen. Jenis cedera lainnya proporsinya kecil,
patah tulang 6,0 persen, anggota tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing
proporsinya di Indonesia 0,2 persen, 0,7 persen dan 0,2 persen. Adapun untuk gambaran
proporsi jenis cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.6.4.

86
Tabel 3.6.4
Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Jenis Cedera
Karakteristik Lecet/ Luka Patah Terkilir Anggota Cedera Gegar Lain
memar robek tulang tubuh mata otak nya
terputus
Kelompok umur (thn)
<1 41,7 0,0 0,0 58,3 0,0 0,0 0,0 0,0
1–4 75,8 22,2 1,1 20,8 0,0 0,4 0,1 2,8
5 – 14 74,6 22,2 4,4 25,8 0,2 0,2 0,0 1,9
15 – 24 77,5 28,6 6,7 34,3 0,1 0,2 0,2 1,1
25 – 34 69,8 27,6 5,7 35,4 0,0 1,3 0,4 2,0
35 – 44 67,8 25,4 8,1 37,7 0,8 1,1 0,3 1,7
45 – 54 61,6 25,3 7,5 39,3 0,1 1,5 0,0 1,3
55 – 64 53,5 22,6 6,6 40,5 0,3 1,0 0,6 3,1
65 – 74 54,0 19,8 10,7 51,4 0,7 1,2 1,1 3,6
75+ 60,8 10,5 13,9 38,9 0,0 0,8 1,7 2,2
Jenis kelamin
Laki-laki 70,9 28,7 6,4 33,1 0,3 0,9 0,3 1,6
Perempuan 70,6 18,5 5,3 33,3 0,1 0,4 0,1 2,2
Pendidikan
Tidak sekolah 68,4 21,8 6,1 30,3 0,0 0,5 0,1 2,7
Tidak tamat SD/MI 71,8 22,8 5,0 31,1 0,3 0,3 0,0 1,7
Tamat SD/MI 67,2 27,4 8,1 36,1 0,3 0,8 0,3 1,8
Tamat SMP/MTS 74,3 25,6 7,0 32,8 0,1 0,7 0,7 1,1
Tamat SMA/MA 70,5 26,5 5,5 39,0 0,3 1,0 0,2 2,0
Tamat Diploma/PT 70,5 18,9 5,1 35,4 0,0 1,3 0,0 3,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 68,8 22,4 6,8 36,2 0,1 0,4 0,1 1,7
Pegawai 72,3 25,1 6,2 32,5 0,4 1,0 0,5 2,1
Wiraswasta 73,9 29,5 8,0 38,5 0,1 0,8 0,1 2,0
Petani/nelayan/ buruh 68,5 29,6 6,5 36,5 0,5 1,6 0,6 1,6
Lainnya 67,5 25,6 11,2 31,8 0,7 1,0 1,0 0,0
Tempat tinggal
Perkotaan 71,6 24,9 5,8 31,6 0,2 0,7 0,3 1,6
Perdesaan 68,8 24,9 6,4 36,7 0,2 0,7 0,2 2,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 66,6 26,1 6,1 40,6 0,2 1,1 0,2 1,4
Menengah bawah 67,8 26,3 6,3 32,2 0,2 0,7 0,1 2,2
Menengah 72,7 22,2 5,7 30,1 0,2 0,6 0,2 2,5
Menengah atas 72,8 27,5 6,4 31,8 0,3 0,6 0,3 1,2
Teratas 72,7 22,8 5,5 32,5 0,2 0,6 0,3 1,9

*Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injuries)

Tabel 3.6.4.memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik.


Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar,
terkilir dan luka robek.
Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar dan luka robek menunjukkan pola atau
kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 proporsinya rendah, meningkat di usia muda
dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola
positif yaitu semakin bertambah umur proposinya tinggi ditunjukkan pada jenis cedera patah
tulang, sedangkan terkilir tinggi di usia < 1 tahun selanjutnya menurun dengan bertambahnya
umur. Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar
pada umur 15-24 tahun (77,5%), luka robek pada umur 15-24 tahun (28,6%), patah tulang

87
pada umur 75 tahun keatas (13,9%), anggota tubuh terputus pada usia 35-44 tahun sekitar
0,8 persen, cedera mata pada umur 45 – 54 tahun sekitar 1,5 persen, gegar otak pada umur
75+ tahun (1,7%) dan jenis cedera lainnya pada umur 65-74 tahun (3,6%).
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka
proporsi yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada jenis
cedera lecet/memar, terkilir dan lainnya.
Adapun jika berdasarkan pada pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan
pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan
proporsi jenis cedera meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi, kecuali
pada patah tulang. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak
menunjukkan pola tertentu.
Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak
ada perbedaan antar perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar lebih
tinggi di perkotaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa pola yang jelas hanya
ditunjukkan pada jenis cedera yang proporsinya menunjukkan 3 angka besar dibandingkan
dengan jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan
pola positif dengan semakin tinggi status ekonomi semakin besar proporsi luka lecetnya,
sedangkan untuk luka robek.

3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera


Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang
mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian
Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa
disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di
lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya
(indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya.
Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.3.1
Secara nasional, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan raya yaitu 42,1 persen
selanjutnya di rumah (37,4%), area pertanian (5,3%) dan sekolah (4,9%). Kabupaten/Kota
yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kab.
Cirebon (37,0%) dan terendah di Kota Tasikmalaya (22,5%).
Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kab.Majalengka (7,9%) dan
terendah di Kab. Bekasi (1,3%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi
paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/Kota yang mempunyai
proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka Provinsi sebanyak 14
kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Kab. Karawang
(61,3 persen) dan terendah di Kab. Cirebon (29,3 persen). Adapun untuk tempat kejadian
cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain.

88
Tabel 3.6.5
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Tempat terjadinya cedera


Kabupaten/Kota Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian Lain
raga raya umum nya
Bogor 39,6 4,0 3,5 43,6 2,0 2,5 4,4 0,5
Sukabumi 39,1 5,2 3,3 38,8 2,9 2,6 6,1 2,1
Cianjur 34,8 2,6 3,2 41,6 2,2 3,3 11,7 0,7
Bandung 33,9 5,4 4,2 44,9 3,3 1,2 6,0 1,1
Garut 33,4 2,9 4,1 34,1 4,7 7,3 12,4 1,1
Tasikmalaya 23,2 5,2 8,1 43,5 2,2 1,3 16,5 0,0
Ciamis 27,0 5,5 3,5 45,7 2,5 1,2 14,3 0,3
Kuningan 35,9 7,7 3,5 42,0 1,0 1,6 8,3 0,0
Cirebon 56,0 6,3 0,7 29,3 0,8 1,0 5,6 0,3
Majalengka 36,2 7,9 6,9 34,5 1,6 3,2 8,4 1,2
Sumedang 34,9 6,5 3,9 40,9 1,7 3,7 8,3 0,2
Indramayu 33,4 3,9 3,2 47,4 1,7 0,0 9,0 1,4
Subang 35,1 4,4 3,7 45,1 1,4 1,7 6,9 1,8
Purwakarta 22,9 4,8 2,7 60,6 0,9 4,5 2,9 0,8
Karawang 29,6 1,5 1,0 61,3 0,6 1,3 2,9 1,8
Bekasi 30,8 1,3 2,9 52,3 7,2 2,3 2,2 0,8
Bandung Barat 32,3 5,4 1,6 45,8 1,1 5,2 8,2 0,4
Kota Bogor 43,4 6,3 4,0 37,3 4,9 2,3 1,2 0,4
Kota Sukabumi 43,3 8,3 4,8 39,6 3,0 0,8 0,2 0,0
Kota Bandung 47,3 6,9 3,2 35,7 4,1 2,4 0,4 0,0
Kota Cirebon 37,0 5,6 1,9 55,0 0,3 0,3
Kota Bekasi 44,0 6,2 5,1 35,5 3,6 5,3 0,1 0,2
Kota Depok 45,3 3,2 9,9 36,3 2,5 1,0 1,2 0,6
Kota Cimahi 26,8 7,5 4,2 52,8 3,1 5,6
Kota Tasikmalaya 22,5 4,4 8,9 56,5 3,2 2,3 2,1 0,0
Kota Banjar 36,9 5,8 6,0 42,2 0,9 1,9 5,3 1,1
Jawa Barat 37,4 4,9 4,2 42,1 2,7 2,6 5,3 0,6

Untuk gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada tabel
3.6.6. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi tinggi terjadi
pada kelompok umur balita dan lansia (lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di
sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur anak (5-14 tahun) demikian juga dengan
tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian
cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-
24 yaitu 68,5 persen. Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola yang
sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian
proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun (24,7%).

Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan
yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin
rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif
dengan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada
tempat kejadian cedera di area olahraga, jalan raya dan tempat umum. Menurut status
pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada sekolah.
Sedangkan di area olahaga, tempat umum dan industri memperlihatkan proporsi tertinggi
pada status pegawai. Adapun di jalan raya memperlihatkan proporsi tertinggi pada status
pekerjaan wiraswasta, sedangkan untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status
pekerjaan sebagai buruh/petani (17,3%).

89
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang menunjukkan
lebih tinggi pada perkotaan dibanding perdesaan kecuali pada area pertanian. Menurut kuintil
indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring
dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah, industri dan area pertanian
menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di
ketiga tempat tersebut semakin rendah.

Tabel 3.6.6
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Tempat terjadinya cedera
Karakteristik Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Kelompok umur (thn)
<1 95,4 0,0 0,0 4,6 0,0 0,0 0,0 0,0
1–4 89,6 1,5 0,3 6,3 1,7 0,0 0,1 0,5
5 – 14 55,9 13,6 4,8 22,4 1,2 0,1 1,5 0,5
15 – 24 13,7 4,2 7,3 68,5 2,3 2,6 1,0 0,4
25 – 34 22,4 1,8 5,0 56,6 5,3 5,0 4,0 0,0
35 – 44 26,4 1,2 3,2 49,4 3,4 6,1 8,3 2,1
45 – 54 32,5 2,2 1,6 38,7 3,8 3,2 17,0 0,9
55 – 64 37,9 0,7 0,4 36,7 3,2 2,3 18,1 0,7
65 – 74 53,3 0,5 1,7 16,1 2,8 0,3 24,7 0,8
75+ 77,3 1,8 0,0 11,0 1,0 0,0 7,8 1,0
Jenis kelamin
Laki-laki 29,6 4,4 5,9 46,9 2,8 3,6 6,2 0,6
Perempuan 50,9 5,7 1,4 33,9 2,7 0,8 3,9 0,7
Pendidikan
Tidak sekolah 62,6 4,4 2,7 17,4 1,2 2,0 9,1 0,5
Tidak tamat SD/MI 50,2 11,0 3,3 26,2 1,9 1,6 4,9 0,8
Tamat SD/MI 29,6 5,1 2,9 45,3 2,5 2,2 11,5 0,9
Tamat SMP/MTS 17,2 2,7 6,0 62,3 3,3 5,4 2,6 0,3
Tamat SMA/MA 19,5 2,5 8,1 61,3 4,1 3,4 0,7 0,4
Tamat Diploma/PT 23,2 2,0 7,6 58,1 6,7 0,6 0,5 1,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 35,8 7,6 6,3 43,1 2,2 1,2 3,2 0,7
Pegawai 16,5 2,1 7,0 60,0 6,4 6,1 1,1 0,7
Wiraswasta 22,4 1,0 2,8 61,6 4,3 3,1 4,7 0,2
Petani/nelayan/ buruh 18,9 1,1 1,9 51,4 2,7 5,9 17,3 0,9
Lainnya 24,1 4,7 5,6 56,4 4,3 1,8 3,1 0,0
Tempat tinggal
Perkotaan 38,9 5,0 4,6 42,4 3,2 2,7 2,6 0,6
Perdesaan 33,9 4,8 3,4 41,5 1,6 2,2 11,9 0,8
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 40,4 4,5 2,5 30,6 2,9 2,8 15,3 1,0
Menengah bawah 36,3 5,6 3,9 41,0 1,8 2,8 7,8 0,8
Menengah 38,3 4,6 3,0 44,7 2,5 2,7 3,8 0,4
Menengah atas 36,7 5,0 4,1 46,4 3,2 2,7 1,3 0,6
Teratas 35,8 4,9 7,3 45,4 3,2 1,8 0,9 0,6

90
3.7 Kesehatan Gigi dan Mulut
Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara
periodik dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001,
SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan sekarang Riskesdas 2013.
Riskesdas 2007 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi
indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi.
Namun terdapat beberapa kesalahan dalam angka status kesehatan gigi dan mulut, oleh
karena itu dilakukan perbaikan laporan Riskesdas 2007 dalam Pemetaan Status Kesehatan
Gigi dan Mulut tahun 2012, yang telah disusun oleh Kristanti dkk (2012). Hasil Riskesdas
2013 dapat diperbandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan
intervensi dari berbagai program yang berkaitan dengan perbaikan derajat kesehatan
penduduk Indonesia.
Dalam Riskesdas 2013 ini dikumpulkan berbagai indikator kesehatan gigi-mulut masyarakat,
baik melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut. Wawancara dilakukan terhadap
responden semua umur (77.701 orang) yang meliputi data subjek yang bermasalah gigi dan
mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis, jenis tindakan yang diterima
dari tenaga medis gigi dan mulut. Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi melalui kapan
responden menyikat gigi, perilaku benar menyikat gigi yang ditanyakan pada responden usia
10 tahun keatas (64.026 orang). Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut serta
melihat kondisi gigi dan kesehatan mulut dan diidentifikasi terdapatnya gigi berjejal, gigi
goyang, ada/tidaknya karang gigi dan atau kelainan gusi, sariawan, serta diskolorisasi stain
rokok.

3.7.1 Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota


Penduduk yang bermasalah gigi dan mulut seharusnya menerima pengobatan atau
perawatan yang tepat dari tenaga medis. Agar diketahui keterjangkauan/kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi, maka perlu dihitung Effective Medical
Demand (EMD).
Tabel 3.7.1 menggambarkan prevalensi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang
menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten, dan
penduduk yang merasa terganggu karena sakit gigi.
Dalam buku Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut yang disusun oleh Kristanti dkk,
2012, Effective Medical Demand yang dihitung berdasarkan informasi tentang penduduk yang
mempunyai masalah gigi dan mulut serta penduduk yang menerima perawatan atau
pengobatan dari perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis (tenaga medis) dengan
menggunakan rumus berikut:
Effective Medical Demand = persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut
dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan
gigi dari tenaga medis.
Riskesdas 2013 ini menunjukkan sebesar 28,0 persen penduduk Jawa Barat menyatakan
mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara
yang bermasalah gigi dan mulut, terdapat 33,4persen yang menerima perawatan dan
pengobatan dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis).
Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga
medis gigi/EMD sebesar 9,4 persen.Kabupaten/Kota dengan EMD tertinggi adalah Kota
Sukabumi (16,2%), Kota Cimahi (14,2%) dan Kab. Tasikmalaya (13,3%), dan angka EMD
terendah di Kab. Karawang(2,0%).

91
Tabel 3.7.1
Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut yang mendapatkan perawatan tenaga
medis dalam 12 bulan terakhir sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013
Bermasalah Menerima Effective
Gigi dan perawatan medical
Kabupaten/Kota
mulut daritenaga medis demand
gigi
Bogor 34,2 31,2 10,7
Sukabumi 25,3 27,5 7,0
Cianjur 33,9 22,5 7,6
Bandung 33,7 39,2 13,2
Garut 23,0 36,0 8,3
Tasikmalaya 35,6 37,4 13,3
Ciamis 30,2 31,8 9,6
Kuningan 23,0 36,5 8,4
Cirebon 14,7 41,6 6,1
Majalengka 31,1 33,8 10,5
Sumedang 31,8 39,8 12,7
Indramayu 31,3 30,0 9,4
Subang 24,3 30,2 7,3
Purwakarta 24,7 30,6 7,5
Karawang 7,5 26,3 2,0
Bekasi 19,4 32,4 6,3
Bandung Barat 30,1 31,3 9,4
Kota Bogor 41,5 30,0 12,4
Kota Sukabumi 36,1 44,8 16,2
Kota Bandung 18,8 46,1 8,7
Kota Cirebon 20,1 53,4 10,7
Kota Bekasi 37,6 31,4 11,8
Kota Depok 35,3 34,1 12,0
Kota Cimahi 31,5 45,1 14,2
Kota Tasikmalaya 33,0 32,4 10,7
Kota Banjar 20,9 28,0 5,8
Jawa Barat 28,0 33,4 9,4

3.7.2 Effective Medical Demand menurut karakteristik


Tabel 3.7.2 menunjukkan persentase penduduk yang menyatakan dirinya bermasalah gigi
dan mulut/potential demand meningkat pada kelompok umur anak-anak dan pada usia
produktif.Pada usia anak-anak dan usia produktif 5-9 tahun dan 45-54 tahun, penduduk yang
menyatakan bermasalah gigi dan mulut mencapai persentase tertinggi, yaitu masing-masing
32,4 persen dan 33,9 persen. Demikian pula persentase EMD meningkat pada kelompok
umur anak-anak dan kelompok umur yang lebih tinggi, dan persentase EMD tertinggi dijumpai
pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 11,7 persen dan pada kelompok umur 45-54
tahun sebesar 12,8 persen. Pada perempuan, EMD (10,7%) lebih tinggi dibandingpada
laki-laki (8,1%). Terdapat kecenderungan pada tingkat pendidikan lebih tinggi, didapatkan
EMD yang lebih tinggi. Kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (11,1%).

92
Tabel 3.7.2
Prevalensi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013
Karakteristik Bermasalah Menerima perawatan Effective medical
gigi dan mulut daritenaga medis gigi demand
Kelompok umur
<1 0,9 29,0 0,2
1–4 12,1 26,9 3,3
5–9 32,4 35,9 11,7
10 – 14 27,2 31,3 8,5
15 – 24 25,9 28,0 7,3
25 – 34 30,4 34,1 10,4
35 – 44 31,6 36,8 11,6
45 – 54 33,9 37,8 12,8
55 – 64 32,0 32,3 10,3
65 + 23,0 27,4 6,3
Kelompok umur (WHO)
12 27,4 32,2 8,8
15 23,4 29,9 7,0
18 25,4 24,2 6,1
35-44 31,6 36,8 11,6
45-54 33,9 37,8 12,8
55-64 32,0 32,3 10,3
≥ 65 23,0 27,4 6,3
Jenis kelamin
Laki – laki 26,7 30,3 8,1
Perempuan 29,3 36,4 10,7
Pendidikan
Tidak sekolah 30,2 31,3 9,5
Tidak tamat SD 31,9 32,1 10,2
Tamat SD 30,0 31,9 9,6
Tamat SLTP 28,9 33,3 9,6
Tamat SLTA 28,2 36,8 10,4
Tamat PT 26,7 51,5 13,8
Pekerjaan
Tidak bekerja 29,1 34,4 10,0
Pegawai 28,0 39,5 11,1
Wiraswasta 30,0 33,9 10,2
Petani/nelayan/buruh 30,6 28,3 8,7
Lainnya 31,0 27,8 8,6
Tempat tinggal
Perkotaan 27,9 35,4 9,9
Pedesaan 28,2 29,7 8,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 30,6 24,5 7,5
Menengah bawah 28,3 32,5 9,2
Menengah 28,6 34,1 9,7
Menengah atas 28,5 35,5 10,1
Teratas 24,5 40,7 10,0

Di perkotaan ditemukan EMD sebesar (9,9%), lebih tinggi dibanding di perdesaan (8,4%) dan
EMD cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi, EMD padakuintil
terbawah (7,5%) dan mencapai 10,0 persen pada kuintil teratas.

93
9,4%
(EMD)

*) EMD = Effective Medical Demand


menggambarkan kemampuan atau keterjangkauan untuk mendapat
pelayanan dari tenaga medis gigi
Gambar 3.7.1
Penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan
EMD*), Jawa Barat 2013
Dalam Gambar 3.7.1 terlihat bahwa 72,0 persen penduduk tidak bermasalah terhadap gigi
dan mulut, namun 28,0 persen penduduk mengalami masalah terhadap kesehatan gigi dan
mulut. Dari 28,0 persen yang bermasalah tersebut 66,6 persen tidak dilakukan perawatan dan
33,4 persen dilakukan perawatan. Dari 33,4 persen penduduk yang menjalani perawatan gigi,
EMD-nya 9,4 persen.
Tabel 3.7.3
Persentase penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Jawa Barat2013
Kabupaten/Kota Dokter gigi Perawat Paramedik Tukang Lainnya
Dokter gigi
spesialis gigi lainnya gigi
Bogor 2,6 57,7 12,2 24,7 1,3 5,4
Sukabumi 0,9 29,3 23,8 46,9 0,5 2,6
Cianjur 4,5 27,9 25,4 43,6 0,7 5,5
Bandung 5,7 49,1 22,8 25,2 0,4 6,0
Garut 1,0 9,1 47,1 30,1 1,1 20,0
Tasikmalaya 0,4 19,7 46,4 31,2 0,3 11,9
Ciamis 3,3 30,7 30,1 26,9 2,4 10,4
Kuningan 7,3 30,4 25,4 43,8 0,8 1,4
Cirebon 0,2 22,7 53,2 11,2 3,1 16,4
Majalengka 2,4 33,1 42,5 15,6 1,8 7,1
Sumedang 1,8 42,7 33,2 23,8 0,3 2,0
Indramayu 2,0 39,5 18,4 26,9 0,6 16,6
Subang 4,0 46,8 43,5 20,4 1,0 3,8
Purwakarta 4,9 58,5 19,0 17,0 1,7 4,0
Karawang 2,1 57,8 9,9 19,1 2,3 11,3
Bekasi 6,2 71,8 10,6 6,7 0,5 8,9
Bandung Barat 1,1 52,2 10,9 22,8 0,5 13,0
Kota Bogor 5,4 70,9 0,6 8,0 0,6 16,4
Kota Sukabumi 9,5 69,5 16,3 4,9 0,8 4,6
Kota Bandung 10,9 78,9 8,7 5,5 1,0 1,8
Kota Cirebon 3,7 87,2 23,0 1,2 0,6
Kota Bekasi 13,3 69,4 5,3 7,6 1,0 5,5
Kota Depok 16,7 70,0 2,0 8,5 1,5 3,7
Kota Cimahi 11,8 75,8 14,0 5,1 1,3 1,1
Kota Tasikmalaya 4,2 34,3 55,7 21,4 2,0 0,5
Kota Banjar 5,6 28,1 33,7 26,7 2,3 7,8
Jawa Barat 5,3 49,0 21,9 21,2 1,0 7,5

94
Pada Tabel 3.7.3 terlihat bahwa penduduk yang berobat gigi ke dokter spesialis terbanyak
berada di Kota Depok sebesar 16,7 persen danKota Bekasi sebanyak 13,3 persen. Pada
umumnya responden datang ke dokter gigi yang banyak berada di perkotaan, seperti di Kota
Cirebon sebanyak 87,2 persen, diikuti oleh Kota Bandung sebesar 78,9 persen.Perawatan
dokter gigi terendah berada di Kab. Garut sebesar 9,1 persen. Perawat gigi yang terbanyak
berada pada Kota Tasikmalaya sebesar 55,7 persen dan terendah di Kota Bogor sebanyak
0,6 persen.Persentase penduduk merawat gigi sesuai tenaga kesehatan yang dikunjungi dan
menurut karakteristik dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam Angka.

3.7.3 Perilaku menyikat Gigi penduduk Umur ≥10 tahun menurut kabupaten/kota
Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan
benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi
dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui apakah responden mempunyai
kebiasaan menyikat gigi setiap hari dan kapan saja waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku
benar dalam menyikat gigi dalam Riskesdas 2013, adalah kebiasaan menyikat gigi setiap
hari, sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Perilaku menyikat gigi dengan benar
berkaitan dengan karakteristik penduduk jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, dan tempat
tinggal. Jumlah responden usia ≥10 tahun adalah 64.026 orang. Tabel 3.7.4 menunjukkan
sebagian besar (97,0%) penduduk Jawa Barat umur 10 tahun keatas mempunyai kebiasaan
menyikat gigi setiap hari. Kabupaten/Kota dengan persentase tertinggi adalah Kota Bandung
(98,5%) dan Kota Cirebon (98,4%), sedangkan yang terendah adalah Kab. Indramayu(94,4%)
Sebagian besar penduduk Jawa Barat (95,9%) menyikat gigi pada saat mandi pagi, dengan
urutan tertinggi adalah Kab. Cirebon sebesar 99,6.%. Sebagian besar penduduk juga
menyikat gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar 81,4% dengan urutan tertinggi diKab.
Karawang sebesar 95,2%, dan yang terendah di Kota Cimahi sebesar 57,4%. Sebagian
besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi dan sore. Kebiasaan yang keliru
hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk
Indonesia hanya 1,8 persen, rata-rata penduduk Indonesia menyikat gigi tidak benar berkisar
98,2 persen. Kabupaten/Kota tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar adalah Kota
Banjaryaitu 4,5 persen, kemudian diikuti Kota Cirebon 4,1 persen, sedangkan yang terendah
adalah di Kab. Cirebon 0,3 persen.Perilaku penduduk menyikat gigi menurut karakteristik
dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam Angka.

95
Tabel 3.7.4
Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Jawa Barat2013
Waktu menyikat gigi
Sikat Gigi
Kabupaten/Kota Mandi Mandi Sesudah Sesudah Sebelum Sesudah Mandi Pagi
Setiap Hari
Pagi Sore Makan Pagi Bangun Pagi Tidur Malam makan siang dan sore
Bogor 96,8 95,0 83,3 3,9 6,1 29,3 11,7 81,1
Sukabumi 97,7 97,6 84,6 3,9 3,8 23,7 3,8 84,0
Cianjur 97,1 92,5 75,1 3,6 7,9 33,3 10,8 72,1
Bandung 97,7 90,4 65,9 2,3 10,2 41,0 8,4 62,3
Garut 96,6 94,5 72,3 3,1 5,8 26,0 3,1 70,3
Tasikmalaya 98,2 97,3 87,2 2,8 4,5 22,8 7,3 86,3
Ciamis 97,3 97,4 89,6 1,5 2,1 24,0 8,6 88,0
Kuningan 95,9 98,0 87,7 3,5 8,0 24,7 7,3 86,7
Cirebon 97,3 99,6 92,5 1,4 0,7 9,1 0,8 92,5
Majalengka 94,9 96,7 89,2 1,9 1,1 14,8 6,8 87,4
Sumedang 96,8 98,5 90,0 4,6 9,4 24,4 8,9 89,4
Indramayu 94,4 98,7 90,1 1,3 0,9 15,1 2,9 89,3
Subang 94,7 97,7 90,9 3,0 8,5 18,0 6,9 89,5
Purwakarta 95,0 96,9 85,0 3,9 5,9 31,5 11,8 83,3
Karawang 96,8 99,3 95,2 4,2 5,3 11,4 3,0 95,0
Bekasi 96,6 97,7 88,7 2,1 4,0 25,5 4,8 87,6
Bandung Barat 97,7 93,6 68,7 2,4 8,1 41,0 10,5 65,9
Kota Bogor 98,0 94,9 78,2 2,3 4,0 40,0 10,4 75,2
Kota Sukabumi 98,2 97,7 70,6 2,6 4,8 51,9 6,0 70,2
Kota Bandung 98,5 98,0 74,2 4,1 12,7 43,9 7,5 73,2
Kota Cirebon 98,4 98,0 88,4 7,7 7,9 31,0 3,8 87,7
Kota Bekasi 96,5 93,5 74,8 4,8 7,6 41,1 10,1 72,1
Kota Depok 98,3 93,7 74,4 3,2 5,7 46,2 10,5 71,7
Kota Cimahi 98,0 92,5 57,4 3,3 7,6 56,0 11,7 55,0
Kota Tasikmalaya 97,0 93,6 80,2 3,3 8,1 43,6 6,8 76,8
Kota Banjar 96,4 97,0 91,4 5,7 7,8 29,3 10,0 90,1
Jawa Barat 97,0 95,9 81,4 3,2 6,1 29,5 7,5 79,6

96
Tabel 3.7.5
Persentase Penduduk ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Waktu menyikat gigi
Sikat gigi setiap
Karakteristik Mandi sore Sesudah makan Sesudah bangun Sebelum tidur Sesudah makan Mandi pagi dan
hari Mandi pagi
pagi pagi malam siang sore
Kelompok umur ( thn )
10 – 14 97,6 97,6 82,4 2,6 3,8 23,1 4,9 81,4
15 – 24 98,8 96,0 81,1 3,3 6,8 34,3 6,8 79,3
25 – 34 98,8 95,7 80,5 3,2 6,7 33,6 7,3 78,8
35 – 44 98,9 95,6 82,0 2,9 6,3 30,1 8,7 80,3
45 – 54 97,5 95,5 82,2 3,5 6,5 27,6 8,8 80,1
55 – 64 94,3 94,8 81,1 3,0 5,9 23,4 8,4 78,9
65 + 77,0 94,5 79,3 3,6 5,8 18,9 7,8 76,8
Kelompok umur 12 Th (WHO)
12 97,4 97,8 81,3 3,4 3,9 24,6 4,9 80,5
15 99,1 97,2 82,1 2,4 4,4 31,8 5,7 81,0
18 98,5 96,8 80,1 3,5 6,6 34,1 7,4 78,6
35-44 98,9 95,6 82,0 2,9 6,3 30,1 8,7 80,3
45-54 97,5 95,5 82,2 3,5 6,5 27,6 8,8 80,1
55-64 94,3 94,8 81,1 3,0 5,9 23,4 8,4 78,9
≥65 77,0 94,5 79,3 3,6 5,8 18,9 7,8 76,8
Jenis kelamin
Laki – laki 96,4 95,5 80,0 2,9 5,6 25,3 6,5 78,1
Perempuan 97,6 96,2 82,8 3,4 6,7 33,8 8,4 81,2
Pendidikan
Tidak sekolah 86,9 95,4 84,4 2,6 4,4 14,3 7,6 81,8
Tidak tamat SD 94,6 96,2 82,4 3,0 4,8 21,2 7,4 80,6
Tamat SD 96,7 95,9 84,2 2,8 5,8 22,7 7,8 82,2
Tamat SLTP 98,7 95,8 81,1 2,6 6,2 32,1 7,4 79,4
Tamat SLTA 98,8 95,7 77,6 3,8 7,0 41,6 6,6 76,2
Tamat PT 99,4 95,5 72,1 6,2 9,9 55,7 8,4 70,9
Pekerjaan
Tidak bekerja 96,7 96,3 82,2 3,2 6,2 30,5 7,4 80,6
Pegawai 98,8 95,6 76,1 4,2 7,1 42,4 8,1 74,8
Wiraswasta 98,0 95,2 81,1 2,8 7,0 29,4 7,6 79,1
Petani/nelayan/buruh 96,0 95,4 82,7 2,5 4,8 19,9 7,1 80,4
Lainnya 97,9 94,6 78,5 3,6 6,0 32,3 7,4 76,9
Tempat tinggal
Perkotaan 97,3 95,6 79,1 3,4 6,7 34,0 7,5 77,3
Pedesaan 96,3 96,4 85,9 2,7 5,0 20,6 7,5 84,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 94,5 95,7 83,9 2,6 4,7 17,9 8,3 81,6
Menengah bawah 96,3 95,9 81,9 2,6 5,5 23,3 7,7 80,1
Menengah 97,0 95,7 81,3 3,5 5,6 29,3 7,2 79,4
Menengah atas 98,3 95,8 80,8 2,9 6,2 32,8 7,0 79,3
Teratas 98,3 96,1 79,5 4,0 8,2 41,1 7,4 78,1

97
Tabel 3.7.6
Persentase penduduk ≥10 tahun yang berperilaku benar menyikat gigi
Menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Berperilaku benar menyikat gigi


Kabupaten/Kota
Ya Tidak
Bogor 2,0 98,0
Sukabumi 2,1 97,9
Cianjur 1,8 98,2
Bandung 1,6 98,4
Garut 1,2 98,8
Tasikmalaya 1,7 98,3
Ciamis 0,9 99,1
Kuningan 1,4 98,6
Cirebon 0,3 99,7
Majalengka 1,3 98,7
Sumedang 2,0 98,0
Indramayu 0,5 99,5
Subang 1,5 98,5
Purwakarta 2,3 97,7
Karawang 1,8 98,2
Bekasi 1,1 98,9
Bandung Barat 1,6 98,4
Kota Bogor 1,0 99,0
Kota Sukabumi 1,9 98,1
Kota Bandung 3,5 96,5
Kota Cirebon 4,1 95,9
Kota Bekasi 3,4 96,6
Kota Depok 2,0 98,0
Kota Cimahi 2,5 97,5
Kota Tasikmalaya 1,9 98,1
Kota Banjar 4,5 95,5
Jawa Barat 1,8 98,2

98
Tabel 3.7.7
Persentase penduduk ≥ 10 tahun yang berperilaku benar menyikat gigi
Menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Berperilaku Benar Menyikat Gigi


Karakteristik
Ya Tidak
Kelompok umur (thn)
10 – 14 1,3 98,7
15 – 24 1,9 98,1
25 – 34 1,9 98,1
35 – 44 1,7 98,3
45 – 54 2,2 97,8
55 – 64 1,6 98,4
65 + 2,0 98,0
Kelompok umur (WHO)
12 1,3 98,7
15 1,2 98,8
18 2,0 98,0
35-44 1,7 98,3
45-54 2,2 97,8
55-64 1,6 98,4
≥ 65 2,0 98,0
Jenis Kelamin
Laki – laki 1,5 98,5
Perempuan 2,1 97,9
Pendidikan
Tidak sekolah 1,0 99,0
Tidak tamat SD 1,4 98,6
Tamat SD 1,4 98,6
Tamat SLTP 1,5 98,5
Tamat SLTA 2,4 97,6
Tamat PT 5,1 94,9
Pekerjaan
Tidak bekerja 1,9 98,1
Pegawai 2,9 97,1
Wiraswasta 1,8 98,2
Petani/nelayan/buruh 1,0 99,0
Lainnya 2,1 97,9
Tempat tinggal
Perkotaan 2,0 98,0
Pedesaan 1,3 98,7
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 1,2 98,8
Menengah terbawah 1,1 98,9
Menengah 1,9 98,1
Menengah atas 1,7 98,3
Teratas 2,9 97,1

3.7.4 Perilaku menyikat gigi penduduk ≥ 10 tahun menurut karakteristik


Tabel diatas menggambarkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia berperilaku salah dalam
menyikat gigi. Hal ini, dialami oleh penduduk umur ≥10 tahun. Untuk perilaku menyikat gigi
menurut karakteristik, pada variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, besarnya
bervariasi. Sedang untuk tempat tinggal,ditemukan variabel perkotaan lebih besar dari pada
pedesaan menyikat gigi dengan baik. Demikian pula pada kuintil indeks kepemilikan dari
bawah hingga teratas mengalami peningkatan.variabel umur,ditemukan bervariasi. Dan laki-

99
laki lebih rendah dalam menyikat gigi secara benar, pada perempuan ditemukan 2,1 persen.
Pada variabel pendidikan ditemukan semakin tinggi pendidikan (pendidikan perguruan tinggi)
semakin besar menyikat gigi dengan benar. Sedang pada variabel pekerjaan ditemukan
pegawai lebih besar menyikat gigi dengan benar.
Pada kuintil Indeks kepemilikan ditemukan semakin tinggi tingkat ekonominya 2,9 persen
semakin baik menyikat gigi dengan benar

3.7.5 Indeks DMF-T dan komponen D-T,M-T,F-T, menurut kabupaten/kota


Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan
banyaknya kerusakan yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan
jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M
(jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah
gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T
menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Indeks DMF-T menurut
karakteristik dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 Jawa Barat dalam Angka.

3.7.6. Indeks DMF-T dan komponen D-T,M-T,F-T, menurut karakteristik


Tabel 3.7.8, menunjukkan indeks DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu
sebesar 1,47 pada kelompok umur 12 tahun, kemudian 1,31 pada umur 15 tahun, 1,51 pada
umur 18 tahun, 4,92 pada umur 35-44 tahun, 7,15 pada umur 45-54 tahun, 11,12 pada umur
55-64 tahun dan 17,04 pada umur 65 tahun keatas. Namun untuk indeks kepemilikan,
semakin tinggi status ekonomi responden, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada
kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 4,64 sedang pada status ekonomi
teratas nilai DMF-Tnya lebih rendah yaitu 3,50. Data DMF-T pada Riskesdas 2013 hanya
mewakili Provinsi sehingga informasi DMF-T tidak dapat ditampilkan menurut kabupaten/kota.

100
Tabel 3.7.8.
Komponen D, M, F dan index dmf-t menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Karakteristik D–T M–T F–T DMF – T
(X) (X) (X) DF-T (X)
Kelompok umur (WHO)
12 1,04 0,38 0,05 0,00 1,47
15 1,01 0,27 0,05 0,01 1,31
18 1,12 0,35 0,08 0,04 1,51
35 – 44 1,95 2,88 0,10 0,02 4,92
45 – 54 2,17 4,80 0,24 0,06 7,15
55 – 64 2,12 8,95 0,07 0,02 11,12
65 + 1,69 15,30 0,13 0,08 17,04
Kelompokumur ( Th)
12-14 1,08 0,38 0,03 0,00 1,49
15-24 1,21 0,52 0,05 0,01 1,77
25-34 1,62 1,83 0,09 0,02 3,52
35-44 1,95 2,88 0,10 0,02 4,92
45-53 2,17 4,80 0,24 0,06 7,15
54-64 2,12 8,95 0,07 0,02 11,12
≥ 65 1,69 15,30 0,13 0,08 17,04
Jenis kelamin
Laki – laki 1,57 2,19 0,07 0,02 3,81
Perempuan 1,54 2,84 0,09 0,02 4,45
Pendidikan
Tidak sekolah 1,69 7,94 0,00 0,00 9,64
Tidak tamat SD 1,60 3,30 0,03 0,00 4,92
Tamat SD 1,67 2,80 0,05 0,02 4,49
Tamat SLTP 1,40 1,43 0,06 0,01 2,89
Tamat SLTA 1,45 1,91 0,18 0,05 3,49
Tamat PT 1,40 1,98 0,52 0,02 3,87
Pekerjaan
Tidak bekerja 1,39 2,14 0,06 0,02 3,58
Pegawai 1,59 1,85 0,28 0,05 3,68
Wiraswasta 1,75 3,36 0,16 0,04 5,23
Petani nelayan/ buruh 1,94 3,59 0,04 0,01 5,55
Lainnya 1,63 2,65 0,03 0,00 4,31
Tempat tinggal
Perkotaan 1,50 2,37 0,11 0,02 3,95
Pedesaan 1,67 2,81 0,03 0,01 4,50
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 1,81 2,81 0,04 0,02 4,64
Menengah terbawah 1,56 2,97 0,02 0,00 4,55
Menengah 1,68 2,35 0,04 0,01 4,05
Menengah atas 1,48 2,39 0,07 0,01 3,94
Teratas 1,24 2,06 0,26 0,05 3,50

101
3.8 Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman
hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang
dialami.Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan /
aktivitas rutin yang diperlukan.Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk
mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat
kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan
melakukan aktivitas rutin (WHO 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat
dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program
kesehatan.

Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai
operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF), yang terdiri dari
12 pernyataan/komponen untuk mendapatkan informasi tentang status disabilitas seseorang.
Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator non medis. Responden untuk topik disabilitas
adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas dengan jumlah responden 55.752 orang. Data
yang dikumpulkan meliputi ada tidaknya kondisi disabilitas dalam kurun waktu satu bulan
sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban untuk responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2)
sedikit kesulitan/ringan, 3) cukup mengalami kesulitan/sedang, 4) kesulitan berat, dan
5)sangat berat/tidak mampu melakukan kegiatan. Selanjutnya bagi responden dengan
jawaban 2,3,4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama
sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan
aktivitas rutin walaupun tidak optimal.

Tabel 3.8.1
Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Jawa Barat 2013
Persentase disabilitas
Permasalahan Sangat
Tidak ada Ringan Sedang Berat
berat
1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? 88,2 5,8 3,5 2,1 0,4
2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang
89,4 5,8 3,0 1,4 0,3
menjadi tanggungjawabnya
3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru,
seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, 89,4 5,7 3,0 1,5 0,4
mempelajarai permainan, resep baru
4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan 90,6 5,5 2,5 1,1 0,3
keagamaan, sosial)
5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami
88,0 6,7 3,9 1,2 0,3
mempengaruhi keadaan emosi?
6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam
89,8 5,9 3,0 1,1 0,3
melakukan sesuatu selama 10 menit?
7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1
87,9 5,2 3,3 2,8 0,8
kilometer?
8. Seberapa sulit membersihkan seluruhtubuh? 94,2 3,9 1,2 0,5 0,2
9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 94,6 3,8 1,0 0,4 0,2
10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang
92,1 5,0 2,0 0,6 0,2
yang belum dikenal sebelumnya?
11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 92,8 4,9 1,7 0,5 0,2
12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari? 91,7 5,1 2,0 1,0 0,3

Tabel 3.8.1 menunjukkan bahwa proporsi disabilitas paling tinggi tidak mencapai 15%. Hal ini
terlihat dari persentase tidak ada disabilitas yang berkisar antara 87,9% - 94,6%. Proporsi
disabilitas yang paling tinggi adalah tingkat disabilitas ringan. Masalah kesehatan yang
mempengaruhi emosi merupakan komponen masalah yang paling banyak dialami pada
tingkat disabilitas ringan dan sedang, yaitu masing-masing 6,7% dan 3,9%. Sedangkan pada

102
tingkat disabilitas berat dan sangat berat adalah masalah ketidakmampuan berjalan jarak
jauh yaitu masing-masing 2,8% dan 0,8%.

Tabel 3.8.2
Rerata hari produktif hilang karena disabilitas menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Rerata hari produktif hilang
Kabupaten/kota Prevalensi Total Tidak mampu Masih
mampu
Bogor 17,1 4,65 1,40 3,25
Sukabumi 11,8 5,92 1,54 4,38
Cianjur 11,3 8,93 3,71 5,22
Bandung 19,9 3,67 1,45 2,22
Garut 11,4 5,57 2,37 3,19
Tasikmalaya 11,3 6,09 1,71 4,38
Ciamis 13,3 7,33 1,50 5,83
Kuningan 4,6 11,73 2,32 9,41
Cirebon 9,2 4,61 1,71 2,90
Majalengka 11,0 11,40 1,70 9,70
Sumedang 8,5 5,82 1,09 4,73
Indramayu 5,6 14,27 4,69 9,59
Subang 7,8 13,23 2,49 10,74
Purwakarta 7,2 7,47 3,19 4,28
Karawang 4,5 7,23 2,32 4,91
Bekasi 3,8 5,90 0,71 5,19
Bandung Barat 20,7 3,90 0,68 3,22
Kota Bogor 24,8 4,08 0,45 3,62
Kota Sukabumi 22,5 4,34 1,55 2,79
Kota Bandung 6,8 4,23 1,31 2,92
Kota Cirebon 4,3 8,99 3,05 5,94
Kota Bekasi 22,5 4,38 1,02 3,36
Kota Depok 16,4 5,19 1,26 3,93
Kota Cimahi 21,3 4,11 0,72 3,38
Kota Tasikmalaya 27,3 3,64 0,83 2,81
Kota Banjar 5,5 6,07 1,55 4,52
Jawa Barat 12,7 5,49 1,53 3,96

Berdasarkan data kabupaten/kota (Tabel 3.8.2), prevalensi disabilitas sedang sampai berat
untuk provinsi Jawa Barat adalah 12,7%. Kabupaten/kota dengan prevalensi disabilitas
tertinggi adalah Kota Tasikmalaya (27,3%) disusul oleh Kota Bogor (24,8%) serta Kota
Sukabumi dan Kota Bekasi masing-masing 22,5%. Sedangkan prevalensi paling rendah
adalah di Kab. Bekasi (3,8%), Kota Cirebon (4,3%) dan dan Kab. Karawang (4,6%).
Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal
dalam satu bulan, karena disabilitas. Untuk rerata hari produktif yang hilang di Jawa Barat
adalah 5,49 hari, terdiri dari 1,53 hari tidak mampu beraktivitas dan 3,96 hari masih mampu
beraktivitas. Dilihat dari rerata jumlah hari tertinggi yaitu di Kab. Indramayu yaitu 14,27 hari,
dengan jumlah hari tidak mampu beraktivitas tertinggi juga di Kab. Indramayu yaitu 4,69 hari.
Sedangkan rerata jumlah hari terendah yaitu di Kota Tasikmalaya (3,64 hari) sedangkan
rerata jumlah hari tidak mampu paling rendah yaitu di Kota Bogor (0,45 hari).

103
3.9 Kesehatan Jiwa

Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat,
gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah
gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan
(insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi,
waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya
agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah
satu contoh psikosis adalah skizofrenia.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh
karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar
bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya
pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta
perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan
akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh
karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia.
Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental
emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental
emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan
yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan
gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan
yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula.
Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil
ditanggulangi.
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007
adalah 11,6% dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun
2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur
serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi
lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan
sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang
kompeten.
Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan.
3.9.1 Gangguan Jiwa Berat
Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh
pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala
rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa
melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah
tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat
seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan
jiwa, ditanya mengenai riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama
hidupnya. Pewawancara telah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta
pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singka tersebut memberikan
keterampilan kepada pewawancara tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi
terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau orang yang mewakilinya.
Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan
kasus tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat.
Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan
operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis
atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat
dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa,
kemungkinan tidak terdata.

104
Tabel 3.9.1
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Kabupaten/Kota Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia)
(per mil)
Bogor 1.43
Sukabumi 0.76
Cianjur 1.90
Bandung 3.68
Garut 1.15
Tasikmalaya 1.93
Ciamis 2.27
Kuningan 2.99
Cirebon 1.28
Majalengka 3.81
Sumedang 1.11
Indramayu 1.97
Subang 1.72
Purwakarta 1.35
Karawang 1.28
Bekasi 1.83
Bandung Barat 0.93
Kota Bogor 0.57
Kota Sukabumi 3.48
Kota Bandung 0.85
Kota Cirebon 1.86
Kota Bekasi 1.04
Kota Depok 0.61
Kota Cimahi 2.05
Kota Tasikmalaya 1.17
Kota Banjar 1.81
Jawa Barat 1.65

Berdasarkan Tabel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi Kabupaten Majalengka
(3,81 per mil), sedangkan yang terendah di Kota Bogor (0,57 per mil). Prevalensi gangguan
jiwa berat rerata provinsi sebesar 1,65 per mil. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada laporan Jawa Barat dalam
Angka.
Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 per mil sampai
dengan 1,4% (Lewis et al.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum
prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen penduduk.

3.9.2. Gangguan mental emosional


Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional
tercantum dalam kuesioner individu butir F01–F20. Gangguan mental emosional dinilai
dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur ≥ 15 tahun yang
memenuhi kriteria inklusi. Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan
“tidak”. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila
responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut
diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai
penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, 1995. Data yang dikumpulkan menggunakan

105
instrument SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap status emosional individu sesaat
(± 30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik.

Tabel 3.9.2
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun menurut Self
Reporting Questionnaire-20*) dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Kabupaten/kota Gangguan mental emosional (%)
Bogor 19.0
Sukabumi 4.8
Cianjur 7.7
Bandung 15.6
Garut 6.1
Tasikmalaya 5.6
Ciamis 10.7
Kuningan 2.2
Cirebon 1.4
Majalengka 7.0
Sumedang 7.5
Indramayu 1.8
Subang 7.5
Purwakarta 10.3
Karawang 3.9
Bekasi 2.7
Bandung Barat 6.6
Kota Bogor 28.1
Kota Sukabumi 15.1
Kota Bandung 3.0
Kota Cirebon 4.6
Kota Bekasi 18.1
Kota Depok 12.0
Kota Cimahi 14.4
Kota Tasikmalaya 11.1
Kota Banjar 3.8
Jawa Barat 9.3

Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional rerata Jawa Barat adalah
9,3% dari 77.701 subyek yang dianalisis. Kabupaten dengan prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi adalah Kota Bogor (28,1%), sedangkan yang terendah di Kabupaten
Cirebon (1,4%). Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik individu
dan cakupan pengobatan seumur hidup serta 2 minggu terakhir terdapat pada Buku Jawa
Barat dalam Angka.

106
3.10 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau
lebih dengan jumlah sampel 64.026 orang. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis,
penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko
(makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan
dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan
konsumsi makanan olahan dari tepung terigu.

3.10.1 Perilaku Higienis


Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan
perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk
melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan
dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang
uang, binatang,berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak,setelah
menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi. (Promkes, 2009)

Tabel 3.10.1
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci
tangan menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Berperilaku benar Berperilaku benar
Kabupaten/Kota
dalam hal BAB* dalam hal cuci tangan**
Bogor 85,1 40,3
Sukabumi 81,4 60,3
Cianjur 81,8 36,3
Bandung 94,8 32,3
Garut 86,3 48,7
Tasikmalaya 63,8 48,5
Ciamis 82,7 61,5
Kuningan 92,9 68,3
Cirebon 90,3 45,5
Majalengka 83,8 64,5
Sumedang 92,7 45,9
Indramayu 88,0 33,0
Subang 78,4 27,9
Purwakarta 94,8 62,2
Karawang 77,3 47,3
Bekasi 82,7 47,4
Bandung Barat 92,5 26,6
Kota Bogor 93,9 42,3
Kota Sukabumi 98,5 40,4
Kota Bandung 99,7 58,6
Kota Cirebon 97,7 68,2
Kota Bekasi 99,3 41,6
Kota Depok 97,9 54,1
Kota Cimahi 99,9 39,9
Kota Tasikmalaya 84,9 33,2
Kota Banjar 89,4 41,2
Jawa Barat 87,8 45,7
*) Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban
**) Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan,
setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun),setelah buang air besar,
setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi, dan
sebelum makan.

107
Dari Tabel 3.10.1, rerata provinsi proporsi perilaku cuci tangan secara benar menunjukan
45,7 persen dan lima kabupaten/kota terendah adalah Kab. Bandung Barat (26,6 %), Kab.
Subang (27,9%), Kab. Bandung (32,3%), Kab. Indramayu (33,0%), dan Kota Tasikmalaya
(33,2%).

Rerata provinsi perilaku BAB di jamban adalah 87,8 persen. Lima kabupaten/kota terendah
adalah Kab. Tasikmalaya (63,8 %), Kab. Karawang (77,3%), Kab. Subang (78,4%), Kab.
Sukabumi (81,4 %) dan Kab. Cianjur (81,8%).

3.10.2 Penggunaan Tembakau


Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua
kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan
mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan
dengan metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan
lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.

Tabel 3.10.2
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Perokok saat ini Tidak merokok


Perokok
Kabupaten/Kota Perokok Mantan Bukan
kadang-
setiap hari perokok perokok
kadang
Bogor 28,6 5,9 5,8 59,7
Sukabumi 29,1 5,7 2,7 62,5
Cianjur 31,5 6,3 3,9 58,3
Bandung 29,9 5,9 6,2 57,9
Garut 27,3 5,6 1,9 65,2
Tasikmalaya 29,9 4,0 4,6 61,5
Ciamis 30,9 5,5 5,1 58,5
Kuningan 27,5 4,6 4,2 63,7
Cirebon 19,8 5,6 3,3 71,3
Majalengka 28,1 5,2 4,2 62,4
Sumedang 30,7 4,3 2,9 62,1
Indramayu 27,3 5,1 3,9 63,6
Subang 28,2 7,2 3,1 61,5
Purwakarta 28,4 5,8 5,2 60,6
Karawang 23,9 6,0 2,7 67,4
Bekasi 24,2 5,3 3,0 67,5
Bandung Barat 28,7 5,1 2,6 63,7
Kota Bogor 32,0 5,6 6,9 55,5
Kota Sukabumi 30,7 6,4 7,9 55,0
Kota Bandung 22,6 4,6 4,1 68,7
Kota Cirebon 19,3 5,8 4,0 70,8
Kota Bekasi 23,3 6,6 7,2 62,9
Kota Depok 23,7 5,8 7,1 63,4
Kota Cimahi 27,1 5,9 7,8 59,2
Kota Tasikmalaya 29,4 5,0 7,3 58,3
Kota Banjar 27,1 5,8 4,1 63,0
Jawa Barat 27,1 5,6 4,5 62,8

Berdasarkan Tabel 3.10.2 rerata proporsi perokok saat ini di Jawa Barat adalah 27,1
persen. Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kota Bogor dengan perokok setiap hari
32,0 persen dan Kab. Cianjur sebesar 31,5 persen.

108
Tabel 3.10.3
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik,
Jawa Barat 2013

Perokok saat ini

Karakteristik Perokok
Perokok
kadang-
setiap hari
kadang
Kelompok umur (tahun)
10-14 0,6 1,1
15-19 13,1 7,4
20-24 30,6 7,1
25-29 31,7 5,4
30-34 35,6 5,8
35-39 34,9 6,2
40-44 35,4 6,0
45-49 37,2 6,5
50-54 35,4 6,3
55-59 35,0 6,5
60-64 31,8 5,3
65+ 25,4 5,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 51,7 9,5
Perempuan 1,8 1,6
Pendidikan
Tidak sekolah 19,6 4,2
Tidak tamat SD 19,3 3,4
Tamat SD 28,4 5,1
Tamat SMP 28,9 6,1
Tamat SMA 31,2 7,7
Tamat PT 23,2 7,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 7,8 3,3
Pegawai 37,8 9,0
Wiraswasta 50,2 7,6
Petani/nelayan/buruh 56,1 8,2
Lain-lain 39,4 7,4
Tempat tinggal
Perkotaan 26,0 5,7
Perdesaan 29,3 5,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 31,5 5,3
Menengah bawah 29,3 5,4
Menengah 28,3 6,0
Menengah atas 25,9 5,5
Teratas 21,6 5,7

Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 45-49 tahun sebesar 37,2 persen,
umur 30-34 tahun 35,6 persen, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih
banyak di bandingkan perokok perempuan (51,7% banding 1,8%). Berdasarkan jenis
pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi

109
terbesar (56,1%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari
tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

Tabel 3.10.4
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk Umur ≥10 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Perokok (kretek,putih
Kabupaten/kota
dan linting) tiap/hari
Bogor 11,8
Sukabumi 10,9
Cianjur 9,5
Bandung 9,2
Garut 9,8
Tasikmalaya 10,3
Ciamis 10,7
Kuningan 10,6
Cirebon 10,7
Majalengka 10,3
Sumedang 10,4
Indramayu 11,7
Subang 12,0
Purwakarta 11,6
Karawang 11,4
Bekasi 11,2
Bandung Barat 9,6
Kota Bogor 10,8
Kota Sukabumi 10,7
Kota Bandung 10,3
Kota Cirebon 10,4
Kota Bekasi 11,5
Kota Depok 11,5
Kota Cimahi 9,9
Kota Tasikmalaya 10,3
Kota Banjar 9,7
Jawa Barat 10,7

*) Kretek,putih dan linting setiap hari)

Dari tabel 3.10.4 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap perhari per orang di Jawa
Barat adalah 10,7 batang (hampir setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok
terbanyak yang dihisap ditemukan di Kab. Subang (12 batang) dan di Kab. Bogor (hampir 12
batang).

110
Tabel 3.10.5
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau
menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat, 2013

Pengunyah Tembakau saat ini


Kabupaten/Kota
setiap hari kadang-kadang
Bogor 1,5 1,1
Sukabumi 1,6 0,8
Cianjur 2,4 0,8
Bandung 2,0 1,0
Garut 2,0 1,4
Tasikmalaya 2,1 0,8
Ciamis 2,0 0,3
Kuningan 1,5 1,3
Cirebon 0,9 0,6
Majalengka 1,6 0,8
Sumedang 2,3 1,7
Indramayu 1,9 0,4
Subang 1,5 0,8
Purwakarta 1,0 0,8
Karawang 1,9 1,1
Bekasi 1,0 1,2
Bandung Barat 1,5 1,0
Kota Bogor 1,0 0,3
Kota Sukabumi 2,0 0,7
Kota Bandung 0,7 0,3
Kota Cirebon 2,8 0,9
Kota Bekasi 1,4 0,7
Kota Depok 1,0 0,5
Kota Cimahi 0,9 1,0
Kota Tasikmalaya 1,5 0,4
Kota Banjar 2,9 1,8
Jawa Barat 1,6 0,9

Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun dengan kebiasaan mengunyah tembakau atau


smokeless setiap hari di Jawa Barat sebesar 1,6 persen, sedangkan proporsi pengunyah
tembakau terkadang sebesar 0,9 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari
yang berada diatas proporsi Jawa Barat adalah Kota Banjar (2,9%), Kota Cirebon (2,8%),
Kab. Cianjur (2,4%), Kab. Sumedang (2,3%), dan Kab. Tasikmalaya (2,1%).

111
3.10.3 Perilaku Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem
jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu
terakhir untuk penduduk ≥10 tahun. Aktifitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus
menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan
napas lebih cepat dengan biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat,
menebang pohon, mencangkul, dll.) selama minimal 3 hari dalam satu minggu dan total
waktu beraktifitas ≥1500 METminute. METminute aktifitas fisik berat adalah lamanya waktu
(menit) melakukan aktifitas dalam satu rminggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktifitas fisik
sedang apabila melakukan aktifitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal 5 hari atau
lebih dengan total lamanya beraktifitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi
tersebut termasuk dalam aktifitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012).

Perilaku sedentari atau perilaku duduk-duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat
kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di
perjalanan/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian yang
dilakukan di Amerika tentang perilaku sedentary yang menggunakan nilai cut of point <3 jam,
3-6 jam, > 6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas sedentari sampai dengan <3 jam
dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012).
Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik “aktif” dan “kurang aktif” pada tabel 3.10.6.

Tabel 3.10.6
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Aktivitas Fisik
Kabupaten/Kota
Aktif Kurang aktif*)
Bogor 82,4 17,6
Sukabumi 93,7 6,3
Cianjur 70,5 29,5
Bandung 72,8 27,2
Garut 60,3 39,7
Tasikmalaya 89,7 10,3
Ciamis 77,8 22,2
Kuningan 64,9 35,1
Cirebon 80,9 19,1
Majalengka 82,8 17,2
Sumedang 78,3 21,7
Indramayu 71,4 28,6
Subang 68,1 31,9
Purwakarta 91,5 8,5
Karawang 61,4 38,6
Bekasi 78,5 21,5
Bandung Barat 76,5 23,5
Kota Bogor 63,1 36,9
Kota Sukabumi 83,5 16,5
Kota Bandung 62,2 37,8
Kota Cirebon 72,8 27,2
Kota Bekasi 76,4 23,6
Kota Depok 59,5 40,5
Kota Cimahi 65,1 34,9
Kota Tasikmalaya 82,3 17,7
Kota Banjar 68,6 31,4
Jawa Barat 74,6 25,4
*) Kurang aktif adalah tidak melakukan aktifitas fisik berat maupun sedang

112
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 25,4 persen. Ada 13
Kabupaten/Kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-
rata Jawa Barat. Lima kabupaten/kota tertinggi adalah Kota Depok (40,5%), Kab. Garut
(39,7%), Kab. Karawang (38,6%), Kota Bandung (37,8%) dan Kota Bogor (36,9%).
Perilaku sedentari atau perilaku duduk dalam sehari hari baik di tempat kerja, di rumah,di
kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau nonton televisi, tidak termasuk waktu
tidur. Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit
penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan
hidup. Dikatakan oleh seorang peneliti dari Harvard yang meneliti perilaku sedentari dengan
nilai cut off points<3 jam, 3-6 jam, >6jam. Mereka yang melakukan perilaku sedentari setiap
hari >3 jam dapat mengurangi umur harapan hidup 22 menit (Katzmarzyk, P, 2012).

Tabel 3.10.7
Proporsi penduduk ≥10 tahun menurut aktifitas sedentari
dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Aktivitas sedentari
Kabupaten/kota
3-5,9 ≥6 jam
<3 jam
Bogor 23,4 44,6 32,0
Sukabumi 11,7 38,1 50,2
Cianjur 12,0 28,9 59,2
Bandung 8,3 34,7 57,0
Garut 48,5 35,8 15,6
Tasikmalaya 13,5 37,7 48,8
Ciamis 20,9 46,3 32,8
Kuningan 30,2 37,6 32,2
Cirebon 10,7 73,7 15,6
Majalengka 15,9 33,8 50,3
Sumedang 38,1 42,1 19,8
Indramayu 28,3 60,5 11,2
Subang 39,0 45,9 15,2
Purwakarta 7,6 31,7 60,6
Karawang 51,1 40,7 8,1
Bekasi 34,3 45,2 20,5
Bandung Barat 27,4 44,5 28,1
Kota Bogor 21,6 33,7 44,7
Kota Sukabumi 18,5 41,5 40,0
Kota Bandung 20,7 49,7 29,6
Kota Cirebon 26,4 46,3 27,4
Kota Bekasi 19,5 40,8 39,7
Kota Depok 52,1 37,4 10,5
Kota Cimahi 8,8 24,5 66,7
Kota Tasikmalaya 15,4 26,8 57,9
Kota Banjar 14,3 51,5 34,2
Jawa Barat 24,8 42,2 33,0
Berdasarkan Tabel 3.10.7 proporsi penduduk Jawa Barat dengan perilaku sedentari 3-5,99
jam adalah 42,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan aktivitas sedentari 6 jam atau lebih
yang tertinggi di Jawa Barat adalah Kota Cimahi (66,7%), Kab. Purwakarta (60,6%), Kab.
Cianjur (59,2%), Kota Tasikmalaya (57,9%) dan Kab. Bandung (57%).

113
Berdasarkan Tabel 3.10.8, proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok
umur tidak jauh berbeda untuk setiap lama waktu sedentari, tetapi ada kecenderungan
proporsi perilaku sedentari <3 jam makin meningkat dengan pertambahan umur, sedangkan
untuk waktu 3-5,99 jam sehari menurun dengan semakin bertambahnya umur dari usia ≥ 50
tahun. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak proporsi waktu sedentari pada kurang
dari 3 jam sampai 5,9 jam, sedangkan perempuan lebih tinggi pada waktu 6 jam atau lebih.
Proporsi perilaku sedentari 3-5,99 jam di daerah perdesaan (42,9) lebih besar dibandingkan
perkotaan (41,8), meskipun tidak jauh berbeda.
Perilaku sedentari merupakan perilaku yang terkait dengan duduk-duduk, kemungkinan
masyarakat diperperdesaan lebih banyak santai, kurang aktifitas dan menikmati TV, ngobrol.
Tidak tampak perbedaan proporsi perilaku sedentari 3-5,99 jam menurut jenis pekerjaan dan
tingkat kuintil indeks kepemilikan. Tetapi secara umum terlihat untuk setiap kelompok waktu
sedentari, jenis pekerjaan pegawai lebih tinggi proporsinya.

114
Tabel 3.10.8
Proporsi penduduk ≥10 tahun menurut aktivitas sedentari
dan karakteristik, Jawa Barat 2013
Aktivitas Sedentari
Karakteristik
<3 jam 3-5,9 ≥6 jam
Kelompok umur (tahun)
10-14 18,0 41,6 40,5
15-19 21,3 43,8 34,9
20-24 25,2 42,7 32,1
25-29 25,1 44,6 30,3
30-34 27,8 43,2 29,0
35-39 27,4 43,8 28,8
40-44 28,5 43,6 27,9
45-49 29,0 41,6 29,3
50-54 27,1 42,0 30,9
55-59 26,2 39,9 33,8
60-64 26,5 37,3 36,2
65+ 20,3 33,2 46,5
Jenis kelamin
Laki-laki 26,3 44,3 29,4
Perempuan 23,4 40,0 36,7
Pendidikan
Tidak sekolah 25,5 38,9 35,6
Tidak tamat SD 22,4 40,6 37,1
Tamat SD 24,0 42,5 33,5
Tamat SLTP 24,9 43,3 31,9
Tamat SLTA 27,6 42,2 30,1
Tamat D1-D3/PT 26,6 42,8 30,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 21,4 40,0 21,4
Pegawai 30,6 43,7 30,6
Wiraswasta 27,0 44,5 27,0
Petani/buruh/nelayan 29,0 45,4 29,0
Lain-lain 27,0 44,3 27,0
Tempat tinggal
Perkotaan 25,2 41,8 33,0
Perdesaan 24,1 42,9 33,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 23,7 41,4 34,9
Menengah bawah 24,0 40,5 35,5
Menengah 24,7 42,1 33,2
Menengah atas 24,9 43,0 32,0
Teratas 26,5 43,5 30,0

115
3.10.4 Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur
Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah
hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk
dikategorikan ‘cukup’ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah
minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila
konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Hasil selengkapnya dapat
dilihat dalam buku Jawa Barat Dalam Angka.

3.10.5 Pola Konsumsi Makanan Tertentu


Perilaku konsumsi makanan beresiko, antara lain kebiasaan mengonsumsi
makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan
berpenyedap yang merupakan perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi
makanan berisiko dikelompokkan sering apabila penduduk mengkonsumsi makanan tersebut
satu kali atau lebih setiap hari.
Tabel 3.10.9
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Perilaku konsumsi berisiko≥1 kali per hari


Kabupaten/Kota Hewani Kafein
Manis Asin Berlemak Dibakar Penyedap Kopi
berpengawet selain kopi
Bogor 51,4 45,6 51,2 4,1 11,2 90,6 37,5 6,8
Sukabumi 38,1 45,8 34,3 3,6 2,6 92,4 30,5 3,5
Cianjur 43,6 57,3 63,5 3,0 2,0 95,8 30,7 3,7
Bandung 60,1 65,3 60,4 2,3 4,9 89,3 34,9 7,9
Garut 42,6 53,6 51,3 4,4 4,0 88,0 32,2 5,1
Tasikmalaya 46,1 47,6 49,1 2,7 1,8 87,2 26,6 22,7
Ciamis 42,3 42,6 40,2 3,0 2,8 85,2 30,6 3,8
Kuningan 43,5 49,8 53,1 2,4 2,3 88,1 31,9 3,5
Cirebon 49,9 47,3 43,6 2,2 2,7 73,4 22,1 1,3
Majalengka 54,9 72,6 70,3 5,8 6,1 91,9 28,3 6,3
Sumedang 52,5 58,6 50,3 5,1 3,4 89,1 32,7 4,5
Indramayu 45,7 17,0 53,8 1,9 1,0 87,9 19,0 2,5
Subang 55,6 59,1 59,1 2,6 5,8 79,8 29,9 4,5
Purwakarta 37,8 38,7 38,2 2,7 3,1 85,7 27,6 9,7
Karawang 61,7 41,3 49,1 5,3 9,1 77,9 34,7 7,0
Bekasi 48,1 28,9 45,8 1,9 4,2 89,5 32,0 9,0
Bandung Barat 37,0 46,1 43,8 2,5 4,3 88,3 35,8 3,6
Kota Bogor 42,0 32,5 47,1 2,9 5,7 91,8 37,6 7,5
Kota Sukabumi 44,4 47,3 31,5 1,8 10,2 83,5 31,0 3,7
Kota Bandung 61,0 51,1 46,0 2,7 7,2 83,2 30,0 8,7
Kota Cirebon 51,2 28,6 44,1 4,3 7,4 72,1 22,1 6,1
Kota Bekasi 55,6 28,3 48,0 3,4 9,0 88,3 31,9 10,4
Kota Depok 56,5 22,1 47,7 2,9 6,1 82,5 32,1 8,5
Kota Cimahi 61,1 53,3 55,7 3,3 7,3 84,7 33,6 11,2
Kota Tasikmalaya 53,2 55,5 64,6 3,3 5,3 89,7 26,4 11,8
Kota Banjar 42,4 41,1 54,2 2,8 4,0 90,4 28,6 4,8
Jawa Barat 50,1 45,3 50,1 3,2 5,4 87,1 31,4 6,9

Berdasarkan Tabel 3.10.9 di atas, jenis makanan berisiko yang paling banyak dikonsumsi
(lebih dari 1 kali sehari) oleh penduduk Jawa Barat adalah jenis penyedap (87,1%),
sedangkan yang paling sedikit dikonsumsi adalah makanan dibakar (3,2%) dan makanan
hewani berpengawet (5,4%). Jenis makanan/minuman manis dan berlemak dikonsumsi oleh
50,1%, makanan asin 45,3%, kopi 31,4%, sedangkan minuman berkafein selain kopi 6,9%.

116
Proporsi penduduk dengan konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari di Jawa
Barat reratanya adalah 50,1. Kabupaten/kota tertinggi dilaporkan di Kab. Karawang (61,7%),
sedangkan kabupaten/kota terendah adalah di Kab. Bandung Barat (37%).
Proporsi penduduk dengan konsumsi makanan/minuman berlemak, berkolesterol dan
makanan gorengan ≥1 kali dalam sehari di Jawa Barat reratanya adalah 50,1%.
Kabupaten/Kota tertinggi dilaporkan di Kab. Majalengka (70,3%) sedangkan kabupaten/Kota
terendah adalah di Kota Sukabumi (31,5%).
Proporsi penduduk dengan konsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari di Jawa Barat reratanya
adalah 87,1%. Tiga Kabupaten/Kota tertinggi dilaporkan di Kab. Cianjur (95,8%), sedangkan
kabupaten/kota terendah adalah di Kota Sukabumi (72,1%).
Proporsi penduduk dengan konsumsi minuman berkafein selain kopi ≥1 kali dalam sehari di
Jawa Barat reratanya adalah 6,9%. Kabupaten/Kota tertinggi dilaporkan di Kab. Tasikmalaya
(22,7%), sedangkan kabupaten/kota terendah adalah di Kab. Indramayu (1,3%).

3.10.6 Konsumsi Makanan Olahan dari Tepung


Perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung ≥ 1 kali sehari untuk setiap kabupaten/kota di
Jawa Barat terdapat dalam buku Jawa Barat Dalam Angka.

16 17
13.8 16.4
14 16.5
12 16
10
15.5
8
5.7 15 14.6
6
4 14.5
2 14
0 13.5
Mi Instant Mi Basah Roti Biskuit

Gambar 3.10.1
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan
dari tepung ≥1kali/hari, Jawa Barat 2013

Gambar 3.10.1 menunjukan bahwa kebiasaan penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku
mengonsumsi makanan olahan yang terbuat dari tepung persentase terbanyak makanan roti
(16,4%), biskuit (14,6%), mie instan (13,8%) dan mie basah (5,7%).

Tiga kabupaten/kota tertinggi yang mengonsumsi mie instant ≥1 kali per hari 20 persen atau
lebih adalah Kab. Bogor (20,6%), Kab. Karawang (20,5%) dan Kab. Garut (20%). Sedangkan
rerata konsumsi mie basah adalah 5,7%. Tiga kabupaten/kota tertinggi yang mengonsumsi
mie basah ≥1 kali per hari 20 persen atau lebih adalah Kab. Garut (11,7%), Kab. Bandung
(11%) dan Kab. Karawang (9,6%).

Tiga kabupaten/kota tertinggi yang mengonsumsi roti ≥1 kali per hari adalah Kota Cimahi
(35,1%), Kota Depok (23,9%) dan Kab. Bandung (22,3%). Tiga kabupaten/kota tertinggi yang
mengonsumsi biskuit ≥1 kali per hari 20 persen atau lebih adalah Kota Cimahi (36,2%), Kab.
Bandung (22,1%) dan Kab. Karawang (21,9%). Kabupaten Ciamis termasuk kabupaten
dengan konsumsi empat kelompok makanan olahan tepung paling rendah dibanding
kabupaten/kota lainnya.

117
3.11 Pembiayaan Kesehatan
Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status),
ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan
(fairness of financing) (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis
kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta
besaran biaya yang dikeluarkannya.
Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yangharus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Tujuan
dari pembiayaan kesehatan adalah untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya bagi
penyedia pelayanan kesehatan, namun juga seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada
upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perseorangan yang efektif dan berkualitas
WHO,2000).
Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013).
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan
bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya
guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain.
Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang
memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat
mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang optimal (UU No. 36, 2009).
Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan
jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat
inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi biaya sendiri,
asuransi kesehatan sosial (meliputi askes PNS, pensiunan, veteran, TNI/Polri), Jamsostek
(Jaminan Sosial Tenaga Kerja), asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).

3.11.1. Kepemilikan Jaminan Kesehatan


Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun
yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi
kesehatan sosial Askes (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri) dan ASABRI
(TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan). Selain askes sosial terdapat
asuransi kesehatan lain yaitu JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan
kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes
dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok yaitu askes sosial, dikarenakan pemerintah
juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut.

118
Tabel 3.11.1
Proporsi penduduk menurut
kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Jenis Jaminan Kesehatan


Kabupaten/kota Askes Askes Tidak
Jamsostek perusahaan Jamkesmas Jamkesda punya
sosial swasta
Bogor 3,3 7,7 2,5 2,5 19,9 1,6 64,6
Sukabumi 2,5 1,6 0,3 0,4 38,5 1,3 56,7
Cianjur 1,6 1,4 0,3 0,2 37,2 0,4 59,5
Bandung 5,2 5,1 2,1 1,5 31,5 2,0 53,8
Garut 2,4 0,4 0,1 0,1 34,1 0,8 62,7
Tasikmalaya 3,5 0,4 0,2 0,2 32,5 3,2 60,1
Ciamis 6,0 0,8 0,1 0,1 23,9 0,2 69,0
Kuningan 5,8 0,9 0,3 0,1 34,9 0,5 57,8
Cirebon 2,8 0,9 0,1 0,1 52,0 0,4 44,2
Majalengka 5,4 1,2 0,5 0,0 34,0 0,2 58,9
Sumedang 7,1 2,9 0,7 1,1 35,1 16,7 40,5
Indramayu 3,9 1,8 0,5 0,4 37,0 0,4 56,5
Subang 6,4 4,4 0,4 0,2 31,3 0,9 56,8
Purwakarta 5,0 10,7 1,8 4,8 26,1 3,7 50,2
Karawang 2,0 5,8 0,9 3,4 42,6 7,2 40,9
Bekasi 3,8 18,8 3,2 5,0 18,6 0,6 52,8
Bandung Barat 4,0 4,2 1,1 0,9 28,1 1,1 62,0
Kota Bogor 5,7 5,4 1,5 1,9 33,3 4,7 49,2
Kota Sukabumi 10,6 5,1 4,4 0,6 30,3 0,6 49,0
Kota Bandung 10,6 7,3 5,3 4,3 18,0 0,3 58,4
Kota Cirebon 11,3 9,5 7,3 2,7 30,8 5,6 37,1
Kota Bekasi 5,6 11,7 7,3 7,4 14,3 18,9 45,6
Kota Depok 5,8 10,0 8,3 9,0 21,3 5,3 45,6
Kota Cimahi 18,2 12,0 4,1 5,0 23,0 0,3 41,1
Kota Tasikmalaya 4,6 4,2 1,1 0,8 37,3 19,8 42,8
Kota Banjar 7,5 2,9 0,9 0,3 23,7 13,4 52,6
Jawa Barat 4,7 5,7 2,1 2,3 29,4 3,4 54,7

Tabel 3.11.1 menunjukkan 54,7 persen penduduk Jawa Barat belum memiliki jaminan
kesehatan. Askes sosial dimiliki oleh sekitar 4,7 persen penduduk, Jamsostek 5,7 persen,
Jamkesda 3,4 persen, tunjangan kesehatan perusahaan sebesar 2,3 persen dan asuransi
kesehatan swasta 2,1 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (29,4%).
Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota sangat bervariasi. Kota
Cirebon menjadi kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara kab./kota
lain, yaitu hanya sekitar 37,1 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya
Kabupaten Ciamis menjadi kabupaten dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang
paling rendah dengan 69,0 persen penduduk tidak punya jaminan kesehatan.
Kabupaten/kota lain dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan kurang dari 40 persen
yaitu Kab. Bogor, Kab. Garut, Kab. Bandung Barat dan Kab. Tasikmalaya.
Tabel 3.11.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi
kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan.

119
Tabel 3.11.2
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,
Jawa Barat 2013

Jenis jaminan kesehatan


Karakteristik
Askes Jamsos Askes Perusa Jamkes Jamkes Tidak
sosial tek swasta haan mas da punya
Kel umur (tahun)
0-4 1,6 5,1 2,2 2,8 17,3 2,8 69,6
5-14 3,4 4,3 1,9 1,9 31,0 3,0 56,1
15-24 4,7 6,6 1,8 2,5 29,7 3,2 54,1
25-34 2,3 10,2 3,0 3,3 26,7 3,8 54,1
35-44 4,3 6,8 2,7 2,6 31,1 3,8 51,8
45-54 9,5 3,2 2,0 2,0 32,3 3,5 50,0
55-64 9,1 1,5 1,2 1,1 34,2 3,8 51,0
65-74 11,1 0,6 0,6 0,4 36,9 3,3 48,5
75+ 10,4 0,0 0,5 0,2 37,4 3,4 49,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 5,6 3,7 1,6 1,7 31,6 3,4 54,2
Pegawai 16,2 25,0 8,4 9,9 12,2 3,7 34,8
Wiraswasta 2,4 3,1 2,0 0,8 25,2 3,5 64,6
Petani/nelayan/buruh 0,5 3,0 0,3 0,9 41,8 3,6 51,5
Lainnya 5,7 2,7 1,8 0,9 30,1 5,7 54,7
Tempat tinggal
Perkotaan 5,9 7,7 3,1 3,3 26,1 3,9 52,9
Perdesaan 2,4 1,6 0,2 0,3 35,8 2,3 58,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 0,6 0,8 0,1 0,1 49,3 2,8 47,6
Menengah bawah 1,3 1,9 0,2 0,7 41,5 2,9 52,7
Menengah 2,2 3,9 0,6 1,0 31,7 3,4 58,5
Menengah atas 4,9 8,4 1,6 2,8 20,0 4,5 60,4
Teratas 13,4 12,0 7,5 6,3 9,6 3,3 53,0

Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan
kesehatan dibandingkan penduduk di perdesaan, terutama untuk jenis selain jamkesmas.
Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan.
Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi
antar kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah
5 tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (69,6%), sedangkan kelompok
umur 5-14 tahun sebanyak 56,1%. Selain kedua kelompok itu, kelompok usia lainnya juga
masih banyak yang belum memiliki jaminan kesehatan di atas 50%. Hanya kelompok usia≥
65 tahun yang memiliki jaminan paling tinggi.
Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi
yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (64,6%), sedangkan yang terendah
adalah pegawai (34,8%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun
eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal.
Sebanyak 51,5 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan
kesehatan apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah
Jamkesmas atau Jamkesda. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 54,2 persen
diantaranya belum memiliki jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 49,3 persen, 41,5 persen dan
31,7 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (20,0%)

120
dan teratas (9,6%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda tidak terlalu
bervariasi untuk masing-masing kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks kepemilikan,
tetapi kelompok menengah ke atas memiliki persentase tertinggi (4,5%). Pada jenis jaminan
kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan
lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas.

3.11.2. Mengobati Sendiri


Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri,
memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri
didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan
cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran
biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan
terakhir dengan menggunakan median.

% Mengobati sendiri Rata-rata


Median besar biaya (Rp)

Sukabumi 12.7 Kota Tasikmalaya 2.000


Karawang Garut 2.000
Garut Bogor 2.000
Cirebon Purwakarta
Kota Cirebon Tasikmalaya
Bekasi Kota Banjar
Kuningan Cianjur
Kota Bandung Kota Bogor
Subang Jawa Barat 5.000
Purwakarta Kota Cimahi
Ciamis Kota Bekasi
Kota Banjar Kota Bandung
Sumedang Kota Sukabumi
Tasikmalaya Bandung Barat
Jawa Barat 31.4 Bekasi
Bandung Barat Karawang
Kota Cimahi Sumedang
Kota Sukabumi Majalengka
Indramayu Cirebon
Majalengka Kuningan
Bandung Ciamis
Kota Bekasi Bandung
Kota Depok Indramayu
Cianjur Sukabumi
Kota Tasikmalaya Kota Depok
Kota Bogor Kota Cirebon 10.000
Bogor 54.2 Subang 10.000
0 20 40 60 0 5.000 10.000 15.000

Gambar 3.11.1
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median besaran biayanya
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.11.1 menggambarkan proporsi penduduk Jawa Barat yang mengobati diri sendiri
dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep
dokter adalah 31,4 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.5.000. Kabupaten Bogor

121
merupakan kabupaten/kota tertinggi (54,2%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.2.000.
Sebaliknya, Kab. Sukabumi merupakan kabupaten/kota dengan proporsi terendah (12,7%).
Sedangkan rerata pengeluaran tertinggi adalah di Kota Cirebon dan Kab. Subang dengan
rerata pengeluaran terbesar yaitu sebesar (Rp.10.000).

Tabel 3.11.3
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Karakteristik Mengobati diri sendiri


% Rp
Tempat tinggal
Perkotaan 33,0 5.000
Perdesaan 28,2 4.000

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 32,8 2.500
Menengah bawah 30,5 3.000
Menengah 33,3 4.000
Menengah atas 32,5 5.000
Teratas 28,0 10.000

Tabel 3.11.3 menggambarkan bahwa penduduk daerah perkotaan lebih banyak yang
mengobati sendiri dengan cara membeli obat ditoko obat atau diwarung (33,0%) dari pada
perdesaan (28,2%). Dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan perkotaan juga lebih
besar, yaitu sebesar Rp.5.000, nilai yang sama dengan angka nasional. Di perdesaan,
median biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar
Rp.4.000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang terbawah
untuk mengobati sendiri (28,0%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar
diantara lainnya yaitu Rp.10.000

3.11.3. Rawat Jalan

Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau
utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya.
Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya
merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan
menggunakan median.

Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Jawa Barat
dalam angka.

122
% Rawat jalan Median besar biaya
Karawang 4.7
(Rp)
Kota Bandung
Garut
Bekasi
Kota Banjar
Cirebon
Kota Cirebon
Sukabumi
Ciamis
Sumedang
Cianjur
Bandung Barat
Indramayu
Jawa Barat 11.1
Subang
Purwakarta
Kota Depok
Kota Cimahi
Kuningan
Kota Bekasi
Bandung
Bogor
Majalengka
Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
Kota Bogor
Kota Sukabumi 24.3

0 10 20 30

Gambar 3.11.2
Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.11.2 menggambarkan 11,1 persen penduduk Jawa Barat dalam satu bulan terakhir
melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.45.000. Penduduk
Kota Sukabumi merupakan kota tertinggi yang melakukan rawat jalan (24,3%) dengan
median biaya paling rendah sebesar Rp.15.000. Penduduk Kab. Karawang merupakan yang
terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,7%) dengan pengeluaran rerata

123
sebesar Rp.50.000. Sedangkan di Kota Bandung, 5 persen penduduk memanfaatkan rawat
jalan dengan median biaya sebesar Rp.100.000 yang juga merupakan pengeluaran tertinggi,
jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
Tabel 3.11.4
Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Rawat Jalan
Karakteristik
% Rp
Kel umur
0-4 tahun 17,3 35.000
5-14 tahun 8,9 35.000
15-24 tahun 7,7 50.000
25-34 tahun 9,9 45.000
35-44 tahun 10,2 50.000
45-54 tahun 13,6 50.000
55-64 tahun 15,4 55.000
65-74 tahun 17,4 50.000
75+ tahun 16,5 50.000
Tempat tinggal
Perkotaan 11,9 50.000
Perdesaan 9,4 40.000
Indeks Kuintil Kepemilikan
Terbawah 9,9 35.000
Menengah bawah 11,9 30.000
Menengah 11,8 35.000
Menengah atas 11,7 50.000
Teratas 10,1 70.000

Tabel 3.11.4. menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam
satu bulan terakhir. Sebanyak 17,4 persen penduduk umur 65-74 tahun dan 17,3 persen
balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan kelompok proporsi tertinggi yang
melakukan rawat jalan dengan median biaya masing-masing sebesar Rp.50.000, dan Rp.
35.000, sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah (7,7%). Penduduk
umur 55 – 64 tahun adalah kelompok dengan median pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp.
55.000) dan proporsi sebanyak 15,4%.
Pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda,
namun untuk biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan
sebesar Rp.50.000, sedangkan di perdesaan sebesar Rp.40.000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, pemanfaatan rawat jalan tidak terlalu berbeda, namun
median pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas
(Rp. 70.000) dengan proporsi pemanfaatan 10,1 persen. Pemanfaatan tertinggi rawat jalan
terdapat pada kuintil menengah bawah dengan median pengeluaran sebesar Rp. 30.000.

3.11.4. Rawat Inap


Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran
intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin,
maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas
bulan terakhir. Hasil analisis dsajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilias kesehatan dan
besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir (rawat jalan)
dengan menggunakan median.
Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Jawa Barat
dalam Angka.

124
% Rawat inap Rata-rata besar
Median besaran biaya
biaya (rp) (Rp)

Kota Banjar 700.000


Tasikmalaya 700.000
Majalengka
Cirebon
Sumedang
Cianjur
Garut
Sukabumi
Ciamis
Kota Cimahi
Subang
Kota Bogor
Jawa Barat 2.000.000
Kota Tasikmalaya
Kota Cirebon
Bandung Barat
Bekasi
Karawang
Bogor
Kota Bekasi
Kota Bandung
Kota Sukabumi
Indramayu
Bandung
Kuningan
Purwakarta
Kota Depok 4.000.000
0 2.000.0004.000.0006.000.000

Gambar 3.11.3
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.11.3 menggambarkan 2,1 persen penduduk Jawa Barat dalam satu tahun terakhir
melakukan rawat inap dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.2.000.000. Penduduk
Kota Sukabumi selain tertinggi dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk
pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 4,2 persen dengan median biaya dalam satu tahun
terakhir sebesar Rp.3.000.000 disusul oleh Kota Cimahi (3,9%) dengan median biaya
sebesar Rp.1.500.000. Penduduk Kab. Garut merupakan yang terendah untuk pemanfaatan
rawat jalan, yaitu 0,3 persen dengan median biaya Rp. 1.250.000. Pengeluaran untuk rawat
inap terendah adalah di Kota Banjar dan Kab. Tasikmalaya yaitu Rp.700.000 sedangkan yang
terbesar adalah di Kota Depok, yaitu sebesar Rp.4.000.000.

125
Tabel 3.11.5
Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Rawat Inap
Karakteristik
% Rp
Kel umur
0-4 tahun 2,6 2.000.000
5-14 tahun 1,0 2.000.000
15-24 tahun 1,9 2.000.000
25-34 tahun 2,4 2.000.000
35-44 tahun 2,0 2.300.000
45-54 tahun 2,4 2.000.000
55-64 tahun 2,7 2.600.000
65-74 tahun 3,7 3.000.000
75+ tahun 3,8 3.000.000
Tempat tinggal
Perkotaan 2,3 2.600.000
Perdesaan 1,5 1.100.000
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 1,3 800.000
Menengah bawah 1,6 1.500.000
Menengah 1,9 1.500.000
Menengah atas 2,3 2.400.000
Teratas 2,9 3.650.000

Tabel 3.11.5. menggambarkan sebesar 2,6 persen balita memanfaatkan rawat inap dan
jumlah tersebut termasuk cukup tinggi. Kelompok usia lanjut ≥ 65 tahunmerupakan kelompok
tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga besaran biayanya. Pemanfaatan
rawat jalan di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan, begitu pula besaran biayanya.
Besaran biaya rawat inap satu tahun terakhir di perkotaan sebesar Rp.2.600.000, jumlah
tersebut lebih dari dua kali lipat biaya rawat inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp.1.100.000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok penduduk kuintil teratas merupakan kelompok
paling tinggi dalam pemanfaatan rawat inap (2,9%) dan pengeluaran sebesar Rp. 3.650.000.

3.11.5 Sumber Pembiayaan


Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat.
Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk
yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu
tahun terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan
(PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf
Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan
kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.
Gambar3.11.4 memperlihatkan bahwa sumberbiaya rawat jalan secara keseluruhan untuk
Jawa Barat masih didominasi (74,3%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau
keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas
(11,0%) dan Jamkesda (2,8%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta dan
lebih dari 1 sumber (1,0%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes sosial, Jamsostek dan
lainnya masing-masing sebesar 2,4 persen sedangkan untuk tunjangan kesehatan
perusahaan 2,5 persen.

126
2.4 2.4 2.4 1 1
2.5
2.8

11

74.3

Biaya Sendiri Jamkesmas Jamkesda


Biaya dr Perusahaan Askes sosial Jamsostek
Sumber Lainnya Asuransi Swasta Lebih dr 1 Sumber

Gambar 3.11.4
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Jawa Barat 2013

Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan provinsi dapat
dibaca dalam buku Jawa Barat dalam angka.

Tabel 3.11.6
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan dan karakteristik,
Jawa Barat 2013

Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas


Karakteristik Biaya Askes Jamsos Asuransi Jamkes Jamkes Perusa Sumber Lebih dr 1
sendiri sosial tek swasta mas da haan Lainnya sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 71,4 2,8 3,1 1,3 11,3 3,3 3,3 2,4 1,1
Perdesaan 81,6 1,3 0,6 0,2 10,4 1,8 0,6 2,6 0,9
Indeks kuintil kepemilikan
Terbawah 72,8 0,4 0,3 0,1 20,3 2,8 0,8 2,0 0,5
Menengah bawah 75,0 0,8 0,7 0,4 16,5 1,7 1,2 2,7 1,1
Menengah 75,7 1,3 1,8 0,2 12,5 3,1 1,4 3,1 0,9
Menengah atas 75,1 2,5 4,8 0,9 5,8 3,9 3,5 2,3 1,2
Teratas 72,6 6,8 3,8 3,5 2,3 2,5 5,3 1,9 1,4

Tabel 3.11.6 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI,
Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan
perusahaan lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan lebih
banyak memanfaatkan dari sumber biaya sendiri dan sumber lainnya.

127
Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas
kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai
proporsi lebih dari 72 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 72,8 persen
melakukan rawat jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada
penduduk teratas terdapat 72,6 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang
tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (20,3%), sebaliknya pada penduduk kuintil
teratas ada 2,3 persen yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya
rawat jalan dari Askes, ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan
kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin
tinggi.

4.8 4.2 2.7


5
5.3
6.5 53.3
7.1

11.1

Biaya Sendiri Jamkesmas Perusahaan


Lebih dari 1 sumber Jamsostek Sumber lainnya
Jamkesda Askes sosial Asuransi Swasta

Gambar 3.11.5
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Indonesia 2013

Gambar 3.11.5 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada
semua fasilitas kesehatandi Jawa Barat masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket),
yaitu sekitar 53,3 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 54,7 persen
penduduk Jawa Barat belum memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 9 kabupaten/kota
memiliki persentase out of pocket diatas angka rerata Jawa Barat.
Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut
adalah Jamkesmas11,1 persen, perusahaan 7,1 persen, lebih dari satu sumber biaya 6,5
persen, Jamsostek 5,3 persen, sumber lainnya 5 persen. Sementara itu sumber biaya untuk
rawat inap dari Jamkesda digunakan oleh 4,8 persen, Askes/ASABRI 4,2 persen dari
Asuransi kesehatan swasta 2,7 persen.
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat inap menurut kabupaten/kota dapat
dibaca dalam buku Jawa Barat dalam angka.

Tabel 3.11.7

128
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Jawa Barat
2013
Sumber biaya rawat inap semua fasilitas
Karakteristik Biaya Askes Jamsos Asuransi Jamkes Jamkes Perusa Sumber Lebih dr 1
sendiri sosial tek swasta mas da haan Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Kota 50,9 4,7 6,1 3,7 10,2 4,0 8,4 4,8 7,2
Desa 60,7 2,7 2,9 0,0 13,6 7,2 3,0 5,7 4,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 55,2 0,0 0,8 0,0 24,3 8,6 3,5 4,4 3,2
Menengah bawah 50,4 0,3 2,3 1,7 19,8 6,6 3,3 10,1 5,4
Menengah 50,9 1,6 5,6 0,8 18,3 10,0 3,0 5,3 4,5
Menengah atas 57,7 2,0 8,7 1,3 6,1 2,1 8,8 4,8 8,7
Teratas 52,1 11,2 5,6 6,7 1,2 1,3 11,5 2,8 7,7

Tabel 3.11.7 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK
Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan perusahaan dan lebih dari satu
sumber lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari biaya
sendiri, Jamkesmas, Jamkesda dan sumber lainnya lebih banyak dimanfaatkan di daerah
perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan
selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya
kuintil. Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari
biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 50 persen.
Pada penduduk kuintil terbawah didapati 55,2 persen melakukan rawat inap dengan biaya
sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas didapatkan 52,1
persen. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk
kuintil terbawah (24,3%), sebaliknya pada penduduk teratas hanya 1,2 persen yang
menggunakannya.

129
3.12 Kesehatan Reproduksi
Salah satu tujuan Riskesdas 2013 adalah untuk menyediakan informasi tentang kesehatan
reproduksi untuk tingkat nasional maupun provinsi sehingga provinsi memungkinkan untuk
mendapatkan informasi tentang indikator cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis
komunitas sebagai komplemen dari data rutin.
Tujuan dari blok kesehatan reproduksi adalah menyediakan informasi yang terkait dengan
MDGs ke lima yaitu meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi.
Informasi yang dikumpulkan pada blok kesehatan reproduksi (kespro) sebagai berikut:
1. Kehamilan saat ini yaitu, kejadian kehamilan seluruh penduduk perempuan 10-54 tahun
yang dilaporkan oleh rumah tangga pada saat wawancara.
2. Penggunaan cara/alat keluarga berencana (KB) saat ini.
3. Cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas (antenatal
care /ANC, penolong persalinan dan pelayanan ibu nifas).
4. Isu kespro (umur perkawinan pertama kali, umur pertama kali melakukan hubungan
seksual, kehamilan yang tidak diinginkan).
Pertanyaan blok kespro terkait dengan masalah kesehatan ibu, ditanyakan kepada semua
perempuan berusia 10-54 tahun dengan jumlah sampel di Jawa Barat sebanyak 27.433
orang. Analisis data kesehatan reproduksi ini menggunakan 3 subset data hasil Riskesdas
2013, sebagai berikut 1) Data keterangan anggota rumah tangga untuk mendapatkan
proporsi penduduk yang sedang hamil saat ini, 2) Data individu perempuan 10-54 tahun untuk
penggunaan cara/alat KB dan beberapa isu kespro. Untuk indikator CPR (Contraceptive
Prevalence Rate) khusus WUS (wanita usia subur) 15-49 tahun berstatus kawin/ hidup
bersama. 3) Data riwayat kelahiran (lahir hidup/lahir mati/keguguran) pada periode 1 Januari
2010 sampai saat wawancara, termasuk yang sedang hamil saat wawancara berlangsung.
Untuk analisis cakupan pelayanan saat hamil sampai masa nifas menggunakan data dari
seluruh kelahiran (lahir hidup/lahir mati). Distribusi sampel blok kesehatan reproduksi
perempuan 10-54 tahun menurut karakteristik dapat dilihat pada lampiran.

3.12.1. Kehamilan
Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Jawa Barat yang
sedang hamil (Gambar 3.12.1). Pada kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat
tinggal Riskedas 2013 mengumpulkan informasi tentang karakteristik seluruh Anggota
Rumah Tangga (ART) dengan menggunakan kuesioner rumah tangga. Kepala rumah tangga
atau yang mewakili selain ditanya tentang informasi karakteristik seluruh AR, juga ditanya
tentang adanya ART perempuan 10-54 tahun yang sedang hamil.

130
8.0 7.5

7.0
6.0 5.3
4.8
5.0
4.0
2.9
3.0 2.5

2.0 1.0
1.0 0.0 0.2 0.0
0.0
10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54

Gambar 3.12.1
Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga
menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Jawa Barat 2013

3.12.2 Pelayanan Program Keluarga Berencana (KB)


Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan Program Keluarga Berencana
Nasional. Salah satu indikator program KB adalah penggunaan KB saat ini dan Contraceptive
Prevalence Rate (CPR).
CPR yaitu persentase penggunaan cara/alat KB oleh pasangan usia subur (PUS) dalam hal
ini adalah WUS kawin/hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010).
Analisis penggunaan KB ini dilakukan pada kelompok WUS berstatus kawin dan hidup
bersama. Pada saat analisis, penetapan jenis alat/cara KB merujuk pada efektivitas alat/cara
KB yang digunakan. Apabila responden menggunakan lebih dari 1 alat/cara KB maka yang
dipilih adalah yang paling efektif.
Indikator penggunaan KB dan CPR KB modern ini memungkinkan untuk memberikan
gambaran sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang disajikan dalam Laporan
Riskesdas Provinsi. Khusus untuk tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB, analisis
dilakukan dari penduduk yang menggunakan KB modern.

3.12.2.1 Pola Penggunaan KB Saat ini


Gambar 3.12.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB provinsi Jawa Barat saat ini dari hasil
Riskesdas 2013. Pada Riskesdas 2013 penggunaan KB provinsi Jawa Barat saat ini adalah
64,4 persen.
Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa secara umum proporsi penggunaan KB antar
kabupaten/kota bervariasi. Pada Riskesdas 2013, besarnya proporsi penggunaan KB
terendah 56,3 persen (Kota Tasikmalaya) dan tertinggi 75,4 persen (Kab. Sumedang).

131
80 75.4
70 64.4
56.3
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 3.12.2
Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat/cara KB modern dan cara tradisional. Penggunaan
menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB
tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah indikator MDGs ke lima dengan target
peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).
Gambar 3.12.3 menyajikan pola penggunaan KB yang didominasi oleh alat/cara KB modern
(64,2%) dibanding cara tradisional (0,2%). Alat/cara KB modern terdiri dari kondom
pria/wanita, sterilisasi pria, sterilisasi wanita, IUD/AKDR/spiral, pil, suntikan, dan diafragma
serta susuk/implant. Sedangkan alat/cara KB tradisional meliputi metode menyusui alami,
pantang berkala/kalender dan senggama terputus dan lainnya. Kabupaten/kota dengan
proporsi penggunaan KB modern tertinggi di kabupaten Sumedang (75,4%) dan terendah
kota Tasikmalaya (55,9%). Sedangkan kabupaten/kota dengan penggunaan KB modern di
bawah angka provinsi adalah Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi,
Kab. Kuningan, Kab. Cianjur, Kota Bogor, Kab. Majalengka, Kab. Karawang, Kab.
Purwakarta, Kab. Ciamis, Kab. Bogor, Kota Depok, Kab. Indramayu, dan Kab. Garut.

%
8.3 7.0 6.2 9.2
9.3% 14.4 11.7
27.8 22.6
26.3% 16.6 22.9 21.7 29.9
64.4% 0.2%
64.2 15.3 50.4
%
69.0 68.9 71.2 71.2 60.9
56.9
37.9
Sekarang menggunakan KB
Pernah KB
modern
Tidak pernah 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
tradisional
th th th th th th th

Sekarang menggunakan KB Pernah KB Tidak pernah

Gambar 3.12.3
Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan kelompok umur,
Jawa Barat 2013

132
Gambar 3.12.4
Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan kelompok umur,
Jawa Barat 2013
Gambar 3.12.4 adalah pengguna alat/cara KB menurut kelompok umur, terlihat bahwa
proporsi penggunaan KB saat ini yang terbanyak adalah kelompok umur 30-39 tahun yaitu
71,2 persen. Kelompok umur 45-49 tahun adalah kelompok umur yang paling sedikit
menggunakan alat/cara KB yaitu 37,9.

3.12.2.2 Penggunaan KB Jenis Hormonal dan Jangka Waktu Efektivitas


Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Jawa Barat 2013 dalam angka.
Gambar 3.12.5 disajikan tentang jenis-jenis alat/cara KB yang digunakan menurut kelompok
KB modern dan KB tradisional. Berdasarkan jenis alat KB modern tersebut dapat
dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas alat KB modern
yang digunakan.
Pengelompokan KB hormonal adalah KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan
non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom.
Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD,
sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.
Gambar 3.12.5 adalah proporsi penggunaan KB modern berdasarkan kelompok kandungan
hormonal. Apabila merujuk pada Tabel 3.12.4 Buku Jawa Barat dalam angka dominasi
kelompok hormonal dan Non MKJP karena sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan
yang tinggi.

133
%
100.0
80.0
60.0 7.9
40.0
56.2
20.0
0.0
Kota…
Kota Cimahi

Subang
Kota Cirebon

Ciamis

Kota Banjar
Majalengka

Bekasi
Sukabumi
Indramayu

Cirebon
Sumedang
Kota Sukabumi

Jawa Barat

Cianjur
Kuningan

Kota Bekasi

Garut
Kota Bandung

Kota Bogor
Purwakarta

Karawang

Bandung Barat
Kota Depok

Bandung

Tasikmalaya
Bogor
Non Hormonal Hormonal
Gambar 3.12.5
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok
kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

80
70
60 9.4
50
40
30 54.8
20
10
0
Kota Cimahi

Subang
Kota Banjar

Sumedang
Majalengka

Bekasi
Kota Cirebon

Cianjur
Kota Bekasi

Indramayu

Cirebon
Ciamis

Purwakarta

Jawa Barat

Sukabumi

Bandung Barat
Kuningan
Kota Sukabumi

Kota Bogor

Garut

Karawang
Kota Tasikmalaya

Kota Depok

Bandung
Kota Bandung

Tasikmalaya
Bogor

MKJP Non MKJP

Gambar 3.12.6
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka
waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi paling banyak menggunakan alat/cara KB hormonal
(56,2%), sedangkan kota Cirebon (44,8%) merupakan kabupaten/kota paling sedikit dalam
penggunaan alat/cara KB hormonal. Alat/cara KB hormonal paling banyak digunakan di Kab.
Sumedang (66,2%) dan Kab. Cirebon (65,4%).
Kab. Cirebon (62,8%) dan Kab. Sumedang (61,1%) merupakan kabupaten/kota terbanyak
WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB non MKJP, sedangkan yang paling sedikit
adalah kota Cirebon (40,5%) dan Kab. Kuningan (43,7%). Penggunaan alat/cara KB dengan
MKJP pada WUS kawin adalah paling banyak di kota Cimahi (22,9%) dan kota Bandung
(19,4%) sedangkan paling sedikit adalah Kab. Tasikmalaya (5,2%) dan Kab. Bogor (5,4%).

3.12.2.3 Tenaga dan Tempat untuk Pelayanan KB Modern


Informasi tenaga dan tempat pelayanan KB modern bermanfaat untuk evaluasi pelaksanaan
program pelayanan KB. Gambar 3.12.7 dan Gambar 3.12.8 menunjukkan proporsi WUS

134
berstatus kawin (15-49 tahun) berdasarkan tenaga dan tempat pelayanan KB. Tenaga yang
banyak memberi pelayanan KB adalah bidan hingga 73 persen, sangat kontras dengan
tenaga kesehatan lainnya hanya mencapai 11 persen.

Gambar 3.12.7 Gambar 3.12.8


Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih Proporsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk
WUS kawin untuk mendapat pelayanan mendapat pelayanan KB yang dipilih WUS kawin,
KB, Jawa Barat 2013 Jawa Barat 2013

Pada Gambar 3.12.8, tempat pelayanan KB yang paling diminati adalah praktek bidan (60%),
selanjutnya adalah di puskesmas (9%), apotek/lainnya (16%) dan rumah sakit (6%) serta
yang paling sedikit adalah di tim KB/medis keliling (1%).

3.12.3 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas


Setiap kehamilan memiliki risiko untuk menghadapi kematian ibu. Pemantauan dan
perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting
untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya.Dalam upaya mempercepat penurunan kematian
ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di
masyarakat.
Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah
melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati)
pada periode 1 Januari 2010 sampai dengan wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang
pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas.
Analisis dilakukan terhadap 3.599 kelahiran untuk mendapat gambaran indikator pelayanan
kehamilan, persalinan sampai masa nifas.
Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu.
1. Cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali
2. Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

3.12.3.1 Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Indikator Cakupan ANC


ANC (Antenatal Care) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/ SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu,
Kemkes RI, 2010).

135
Definisi Operasional Indikator ANC
K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan
ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama
kali pada trimester 1.
K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali
dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada
trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.
ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu
hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan,
dokter umum, bidan dan perawat.

100 95.9 99,0


97.3
87.2
90 85.3
80 73.4
70
60
50
40
30
20
10
0
Subang
Sumedang

Kota Cimahi
Kota Banjar
Majalengka

Kota Cirebon
Cianjur

Sukabumi

Jawa Barat
Bekasi
Indramayu
Ciamis

Cirebon

Kota Bekasi

Kota Sukabumi
Bogor

Kuningan
Garut
Karawang

Bandung
Purwakarta
Tasikmalaya

Bandung Barat

Kota Bandung

Kota Bogor
Kota Depok
Kota Tasikmalaya

K1 ANC 4x +

Gambar 3.12.9
Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013
Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs maupun indikator ANC
untuk program pelayanan kesehatan ibu di Jawa Barat seperti cakupan K4. Gambar 3.12.9
menunjukkan bahwa 95,9 persen dari kelahiran yang melakukan ANC yang berarti juga
mendapat ANC minimal 1 kali atau K1. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 85,3
persen (Kab. Bogor) dan 100 persen (Kab. Bandung, Ciamis, Kuningan, kota Bogor, kota
Cirebon, kota Depok).
Pada Gambar 3.12.9 juga menyajikan cakupan indikator ANC yang lain yaitu K1 ideal, K4 dan
ANC minimal 4 kali. Indikator K1 dan ANC minimal 4x merupakan indikator MDGs,
sedangkan K4 dan K1 ideal adalah indikator untuk melihat frekuensi dan merujuk pada
periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan
menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2010).
Indikator cakupan ANC yang meliputi K1 ideal, K4 dan ANC minimal 4x juga bervariasi
menurut provinsi. Cakupan K1 ideal secara Provinsi adalah 82,7 persen dengan cakupan
terendah di Kabupaten Bogor (71%) dan tertinggi di Kota Depok (94%). Terdapat 16 kab/kota
dengan cakupan K1 ideal di bawah rata-rata provinsi, yaitu Kota Bandung, Kota Banjar, Kota
Bogor, Kab. Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kab. Indramayu, Kota Cirebon, Kab.

136
Karawang, Kota Cimahi, Kab. Majalengka, Kab. Subang, Kota Sukabumi, Kab. Kuningan,
Kabupaten Bekasi dan Kota Depok. Cakupan K4 provinsi Jawa Barat adalah 74,4 persen,
cakupan paling rendah 61,2 persen (Kab. Bogor) dan 90,4 persen (Kota Sukabumi). Terdapat
10 kabupaten/kota yang mencapai cakupan K4 di atas rata-rata provinsi.
Adapun ANC minimal 4x adalah 87,2 persen dengan cakupan terendah 73,4 persen
(kabupaten Bogor) dan tertinggi 97,3 persen (Kota Cimahi). Indikator ini terdapat 8
Kabupaten/kota yang mencapai cakupan di atas rata-rata provinsi.

100.0
90.0 82.7
80.0 74.4
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
Sumedang

Kota Banjar

Kota Cimahi

Subang
Cianjur

Ciamis
Cirebon

Kota Bekasi

Kota Cirebon

Majalengka

Bekasi
Sukabumi

Indramayu

Kota Sukabumi
Jawa Barat

Kuningan
Bogor

Garut

Karawang
Tasikmalaya

Bandung Barat
Purwakarta

Kota Bogor
Bandung

Kota Tasikmalaya

Kota Depok
Kota Bandung

K1 ideal ANC K4

Gambar 3.12.10
Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013
Seharusnya setiap ibu yang menerima ANC pada trimestes 1 (K1 ideal) akan menerima
pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Tabel
3.12.3 terlihat dari K1 ideal sebesar 82,7 persen dan K4 sebesar 74,4 persen, yang artinya
terjadi penurunan sebesar 8 persen, dari ibu yang menerima K1 ideal tidak semua
melanjutkan ANC sampai sesuai standar minimal ANC (1-1-2).

3.12.3.2 Tenaga dan Tempat Pemeriksa Kehamilan


Tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan adalah dokter
kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Proporsi tenaga kesehatan
yang dipilih ibu hamil seperti yang disajikan pada Gambar 3.12.11 menunjukkan bahwa bidan
merupakan tenaga yang paling berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil
sebesar 90,5 persen. Hal ini juga terlihat di semua kabupaten/kota. Proporsi tenaga
kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota dan
karakteristik dapat dilihat pada Buku Jawa Barat dalam angka. Masyarakat dengan
karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan
pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh
masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan indeks kepemilikan atas.
Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil
dari RS hingga posyandu yang merupakan salah satu upaya untuk mendekatkan tenaga
kesehatan yang memberi pelayanan kepada masyarakat. Gambar 3.12.12 memperlihatkan
bahwa sebagian besar ibu hamil adalah praktek bidan (60,3%), Puskesmas/pustu sebesar

137
8,9 persen dan pemanfaatan posyandu sebesar 2,8 persen. Proporsi fasilitas kesehatan yang
dipilih masyarakat untuk pemeriksaan kehamilan menurut Kabupaten/kota dan karakteristik
dapat dilihat pada Buku Jawa Barat 2013 dalam angka.

Gambar 3.12.11 Gambar 3.12.12


Proporsi tenaga kesehatan yang Proporsi fasilitas kesehatan untuk pelayanan ANC,
memberi pelayanan ANC, Jawa Jawa Barat 2013
Barat 2013

3.12.3.3 Konsumsi Zat Besi


Konsumsi zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia pada
ibu hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan
menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama
kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 menanyakan berapa hari
mengkonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat
besi selama masa kehamilannya termasuk yang di jual bebas maupun multivitamin yang
mengandung zat besi.

90+;
Konsumsi 39,8%
Tidak; 10.1% < 90;
Fe; 89,9%
Lupa; 31,4%
18,7%

Gambar 3.12.13
Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.12.13 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama
hamil menurut kabupaten/kota. Konsumsi zat besi yang dilaporkan oleh ibu selama

138
kehamilannya adalah 89,9 persen. Dari 89,9 persen ibu yang mengkonsumsi Fe, 39,8
persennya melaporkan mengkonsumsi zat besi minimal 90 hari selama kehamilannya.

3.12.3.4 Kepemilikan Buku KIA dan Pelaksanaan P4K


Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis dengan dukungan dari JICA (Japan
International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin
dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi
tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat
1 buku KIA.
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program
terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan
tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka
meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan
yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan
penggunaan KB pasca persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Dit. Bina Kes Ibu)
Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada lembar “Amanat
Persalinan” yang merupakan kependekan dari “Menyambut Persalinan Agar Aman dan
Selamat” (Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang dituliskan
terkait perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu :
1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin).
2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya
persalinan).
3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju
tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan).
4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan
5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).

Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA, jika bisa
menunjukkan maka dilanjutkan dengan melakukan observasi terhadap isian 5 komponen
tersebut pada lembar Amanat Persalinan.

Gambar 3.12.14
Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan
hasil observasi Lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA,
Jawa Barat 2013

139
Hasil analisis menunjukkan bahwa 74,3 persen mempunyai Buku KIA, namun yang bisa
menunjukkan hanya 34,6 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan
menurut kabupaten/kota bervariasi yaitu di Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, dan kota
Banjar berkisar > 60 persen. Cakupan terendah di Kab. Bekasi berkisar dibawah 20 persen
(Lihat Buku 2 Riskesdas Jawa Barat 2013 dalam angka).
Selanjutnya pada buku KIA dilakukan observasi Lembar Amanat Persalinan untuk melihat
isian 5 komponen P4K. Hasil observasi buku KIA menunjukkan untuk isian penolong
persalinan sebesar 30,5 persen, dana persalinan sebesar 11,3 persen, kendaraan/ambulans
desa sebesar 9,8 persen, metode KB pasca salin sebesar 16 persen dan 7,8 persen untuk
isian sumbangan darah. Kelengkapan isian semua komponen sebesar 6,8 persen dan 68,5
persen tidak ada isian.

3.12.3.5 Cara Persalinan


Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau
adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan
tindak medis sebagai upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan anak.

25 23.3

20

15

10 7.8

5
0.2
0
Indramayu
Sukabumi

Cirebon
Kota Tasikmalaya

Kota Banjar
Kota Bogor
Cianjur
Garut

Subang

Karawang

Kuningan
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Sumedang

Jawa Barat

Kota Cimahi

Kota Bekasi
Kota Depok
Bogor

Majalengka

Purwakarta
Tasikmalaya

Ciamis
Bandung

Kota Cirebon

Bekasi
Bandung Barat

Gambar 3.12.15
Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010
sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Di Jawa Barat, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan
kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001c).Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran
bedah sesar sebesar 7,8 persen dan variasi antar kabupaten/kota yaitu tertinggi di Kota
Depok (23,3%) dan terendah di Kab. Cianjur (0,2%).

Secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan
proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9), tinggal di perkotaan (13,8),
pekerjaan sebagai pegawai dan pendidikan tinggi /lulus PT (18,9).

140
30

20
7.8
10

Teratas

Jawa Barat
Perkotaan
Perdesaan
Terbawah

Menengah
20-34 th
< 20 th

>= 35 th

Tidak Tamat SD
Tamat SD

Tidak berkerja
Pegawai
Tamat PT

Wiraswasta

Lainnya

Menengah atas
Menengah bawah
Tidak sekolah

Petani/Nelayan/Buruh
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Umur Pendidikan Pekerjaan Tipe Kuintil Indeks
(tahun) Daerah Kepemilikan

Gambar 3.12.16
Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

3.12.3.6 Penolong Persalinan


Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator
MDGs 5. Tenaga yang kompeten sebagai tenaga persalinan menurut PWS KIA adalah dokter
kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Departemen Kesehatan menetapkan
target bahwa 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2012 (Depkes,
2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai
siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas penolong
persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah.
Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari 1 maka dipilih yang paling
tinggi, sedangkan penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari 1
penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah.

141
Tabel 3.12.1
Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut kabupaten/kota, Jawa Barat
2013
Penolong
Kabupaten/kota Dr.kebid & Dokter Bidan Perawat Dukun Keluarga/ Tidak ada Total Linakes
kandungan umum lainnya penolong
Bogor 7.8 0,0 55.0 0,0 36.2 0,0 0.9 100 62.9
Sukabumi 4.7 0.6 70.8 0.6 22.1 0,0 1.2 100 76.1
Cianjur 4.3 0,0 49.5 0,0 44.4 0,0 1.9 100 53.7
Bandung 17.1 0.6 64.7 0.3 17.0 0,0 0.2 100 82.5
Garut 3.3 0,0 55.4 0.7 39.7 0.5 0.5 100 58.7
Tasikmalaya 2.2 0,0 60.9 0,0 35.6 1.3 0,0 100 63.1
Ciamis 11.2 0.4 82.8 1.3 4.3 0,0 0,0 100 94.4
Kuningan 22.2 0,0 77.8 0,0 0,0 0,0 0,0 100 100.0
Cirebon 7.8 0,0 89.0 0,0 2.4 0,0 0.7 100 96.8
Majalengka 17.5 1.0 64.1 0,0 16.4 0,0 1.0 100 82.6
Sumedang 15.6 0,0 78.9 0,0 5.5 0,0 0,0 100 94.5
Indramayu 13.6 0,0 81.6 0,0 4.8 0,0 0,0 100 95.2
Subang 21.3 0,0 70.7 0,0 7.9 0,0 0,0 100 92.1
Purwakarta 13.8 0.8 58.3 0,0 26.7 0,0 0.4 100 72.9
Karawang 11.2 0,0 86.9 0,0 2.0 0,0 0,0 100 98.0
Bekasi 22.6 0,0 71.9 0.4 5.0 0,0 0,0 100 94.6
Bandung Barat 13.7 0,0 56.6 0,0 28.3 0,0 1.4 100 70.3
Kota Bogor 13.1 0.9 69.2 1.1 14.2 1.1 0.4 100 83.2
Kota Sukabumi 19.8 0.7 70.3 0,0 9.1 0,0 0,0 100 90.9
Kota Bandung 24.8 0.8 69.0 0,0 4.6 0,0 0.7 100 94.7
Kota Cirebon 34.9 0,0 64.8 0,0 0.3 0,0 0,0 100 99.7
Kota Bekasi 22.0 0.7 72.8 0,0 3.5 0,0 1.0 100 95.5
Kota Depok 32.4 1.8 60.2 0,0 5.6 0,0 0,0 100 94.4
Kota Cimahi 23.5 0,0 69.0 0,0 5.6 0,0 1.9 100 92.5
Kota Tasikmalaya 9.1 0,0 79.3 0,0 11.6 0,0 0,0 100 88.4
Kota Banjar 11.5 1.5 84.3 0,0 2.7 0,0 0,0 100 97.3
Jawa Barat 14.3 0.4 67.0 0.2 17.5 0.1 0.6 100 81.6
Keterangan :
1) Jika penolong persalinan > 1, maka dipilih penolong dengan kualifikasi tertinggi
2) Penolong linakes adalah dokter kebidanan & kandungan, dokter umum dan bidan

Tabel 3.12.1 memperlihatkan distribusi kelahiran yang ditolong oleh tenaga berkualifikasi
tertinggi. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa persalinan oleh penolong linakes
(persalinan dengan tenaga kesehatan) kualifikasi tertinggi sebesar 81,6 persen, dengan
rincian 14,3 persen oleh dokter kebidanan dan kandungan, 0,4 persen oleh dokter umum dan
67persen oleh bidan. Terdapat persalinan yang ditolong oleh perawat (0,2%), sedangkan
penolong persalinan oleh dukun sebesar 17,5 persen dan 0,1 persen penolong lainnya.
Terlihat bahwa secara umum bidan merupakan tenaga utama sebagai penolong persalinan di
Jawa Barat. Kota. Cirebon dan Kota Depok merupakan kabupaten/kota dengan penolong
persalinan kualifikasi tertinggi oleh dokter spesialis mencapai 34,9 persen dan 32,4 persen
merupakan proporsi paling tinggi dibanding kabupaten/kota lainnya.
Pola penolong persalinan menurut kabupaten/kota untuk kualifikasi tertinggi yang mencapai
persentase penolong linakes di bawah rata-rata provinsiada 8 kabupaten/kota adalah
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Tasikmalaya, Kabupaten Bogor, Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur.

142
Tabel 3.12.2
Persentase kelahiran penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan karakteristik, Jawa Barat
2013
Penolong persalinan kualifikasi tertinggi
Penolong
Karakteristik Dokter Dokter Keluarga/ Tidak ada
Bidan Perawat Dukun Linakes
Obgin umum lainnya penolong
Pendidikan
Tidak sekolah 4.5 3.1 40.3 0.0 52.1 0.0 0.0 47.9
Tidak tamat SD 6.8 0.0 59.8 0.0 32.5 0.4 0.6 66.6
Tamat SD 6.9 0.2 63.0 0.2 29.2 0.0 0.5 70.1
Tamat SLTP 12.7 0.1 73.2 0.1 12.8 0.3 0.8 85.9
Tamat SLTA 22.6 0.8 71.5 0.4 4.2 0.0 0.5 94.9
Tamat D1-D3/PT 46.6 0.1 53.0 0.0 0.0 0.0 0.3 99.7
Pekerjaan
Tidak berkerja 13.2 0.3 67.9 0.2 17.7 0.1 0.5 81.4
Pegawai 29.6 1.3 62.3 0.0 6.6 0.0 0.2 93.2
Wiraswasta 20.7 1.3 63.3 0.0 14.7 0.0 0.0 85.3
Petani/nelayan/buruh 10.4 0.0 58.9 0.0 29.0 0.0 1.7 69.3
Lainnya 11.6 0.3 76.2 0.0 11.9 0.0 0.0 88.1
Tempat tinggal
Perkotaan 17.3 0.5 68.4 0.2 12.9 0.1 0.5 86.3
Perdesaan 7.7 0.0 63.9 0.2 27.5 0.1 0.6 71.6
Kuintil indeks kepemilikan
Terendah 2.6 0.2 49.6 0.0 46.5 0.0 1.1 52.4
Menengah bawah 6.6 0.3 70.5 0.2 21.4 0.2 0.8 77.4
Menengah 11.7 0.6 74.0 0.5 13.0 0.0 0.3 86.3
Menengah atas 17.9 0.4 71.1 0.0 9.7 0.3 0.5 89.4
Teratas 29.0 0.1 66.5 0.2 3.9 0.0 0.2 95.6

Pola penolong persalinan menurut karakteristik terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan
persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar demikian juga dengan
indeks kepemilikan. Sedangkan pegawai dan yang tinggal di perkotaan paling banyak
menggunakan dokter spesialis kebidanan dan kandungan (29,6%) dan (17,3%).
Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan adalah kelahiran dari ibu
yang mempunyai pendidikan rendah (tidak sekolah), buruh/petani/nelayan dan tinggal di
perdesaan. Semakin rendah indeks kepemilikan semakin banyak yang menggunakan dukun
sebagai penolong persalinan.

3.12.3.7 Tempat Persalinan


Tempat persalinan yang ideal adalah melahirkan di institusi kesehatan. Secara umum, 66,4
persen kelahiran periode 1 januari 2010 sampai dengan saat wawancara terjadi di fasilitas
kesehatan dengan rincian, 16,5 persen di rumah sakit (baik pemerintah maupun swasta) dan
43,9 persen dilahirkan di rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan, 5,0 persen di
puskesmas/pustu, 1,1 persen di poskesdes/polindes.Terdapat 33,6 persen masih melahirkan
di rumah/lainnya.

143
100%
90% 33,6
80%
70%
60%
50% 66,4
40%
30%
20%
10%
0%

Subang
Sumedang

Kota Cimahi
Bekasi

Kota Banjar
Cianjur

Majalengka

Kota Bekasi
Sukabumi

Indramayu
Jawa Barat
Cirebon

Kota Cirebon
Garut

Ciamis
Bandung Barat

Kota Sukabumi
Purwakarta

Kuningan

Karawang
Kota Bogor
Bandung

Kota Tasikmalaya

Kota Depok

Kota Bandung
Tasikmalaya
Bogor

Rumah/lainnya Faskes dan Polindes/Poskesdes

Gambar 3.12.17
Proporsi kelahiran tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Kabupaten/kota dengan cakupan persalinan di rumah tinggi adalah Kab. Cianjur (72,2%),
Kab. Garut (70,9%), dan Kab. Tasikmalaya (62,3%). Sementara Kota Cirebon, Kota Bandung,
dan Kota Bekasi merupakan kabupaten/kota dengan cakupan persalinan di rumah terendah,
masing-masing secara berturut-turut (0,3%, 7,7%, dan 8,4%).

Gambar 3.12.18
Proporsi tempat bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013

144
Gambar 3.12.18 menunjukkan tempat bersalin menurut karakteristik. Kelahiran pada ibu
berumur kurang dari 20 tahun lebih banyak di rumah (42,8%) sementara yang berumur 35
tahun ke atas lebih banyak melahirkan di RB/Klinik/Praktek Nakes (37,8%).Pendidikan ibu
dan kuintil indeks kepemilikan menunjukkan hubungan yang positif dengan tempat
persalinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, dan semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan semakin rendah persentase ibu yang melahirkan di rumah. Pemanfaatan
fasilitas kesehatan di RS, RB/Klinik/Praktek Nakes untuk persalinan jauh lebih tinggi di
daerah perkotaan dibanding di perdesaan, sementara pemanfaatan Puskesmas/Pustu dan
Polindes/Poskesdes untuk persalinan lebih tinggi di daerah perdesaan

3.12.3.8 Pelayanan Kesehatan Masa Nifas


Masa nifas adalah masih merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin.
Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagian besar kematian ibu terjadi
pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya
menurunkan angka kematian ibu.

Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode
6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program
pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam indikator :
1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin
2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan
3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.

100
76.6
80
59.0
53.6
60
37.8
40

20

0
KF 1 (6 jam - 3 KF2 (7-28 hr) KF3 (29-42 hr) KF Lengkap
hr)

Gambar 3.12.19
Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan
pemeriksaan masa nifas, Jawa Barat 2013

Berdasarkan Gambar 3.12.19 dapat dilihat bahwa secara umum kontak pasca persalinan
paling tinggi adalah pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan. Sedangkan kontak
pasca persalinan yang lengkap rata-rata Jawa Barat adalah 37,8 persen.

145
100.0 %
76.6
80.0

60.0

40.0

20.0

0.0

Subang

Majalengka
Kota Cimahi
Cianjur

Sukabumi

Bekasi

Sumedang
Cirebon
Jawa Barat

Kota Cirebon

Indramayu
Ciamis
Kota Banjar
Kota Sukabumi

Kota Bekasi

Kuningan
Bandung Barat

Garut
Tasikmalaya

Kota Bogor
Bandung

Purwakarta

Kota Bandung

Kota Depok

Karawang
Kota Tasikmalaya
Bogor

Gambar 3.12.20
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari
2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Berdasarkan Gambar 3.12.20, kabupaten/kota dengan kontak tertinggi pada KF1 adalah Kab
Indramayu (93%) diikuti dengan Kabupaten Karawang (95,8%). Sebaliknya kabupaten/kota
dengan persentase KF1 paling rendah adalah Kabupaten Bandung Barat (51,3%) dan
Kabupaten Bogor (56,7%).

Pada KF2, kabupaten/kota dengan kontak tertinggi adalah Kota Cimahi (78%) diikuti dengan
Kab Kuningan (75,2%). Sebaliknya kabupaten/kota dengan persentase KF2 paling rendah
adalah Kabupaten Cianjur (36,6%) dan Kota Banjar (42,7%).

Sedangkan untuk KF3, kabupaten/kota dengan kontak tertinggi kota Cimahi (79,3%) diikuti
dengan kota Depok (71,6%). Sedangkan presentase KF3 terendah adalah Kota Banjar
(29,9%) dan kabupaten Cianjur (31,1%).

100 92.9 89.7 88.8


77.8 78.7
80
60
40
20
0
Petani/nelayan/bu…

Teratas
< 20 th

Tamat D1-D3/PT
Tamat SLTP

Pegawai
Tamat SLTA

Wiraswasta
Tamat SD

Menengah
≥ 35 th

Tidak berkerja

Lainnya

Perdesaan

Menengah bawah
20-34 th

Menengah atas
Tidak sekolah

Terbawah
Perkotaan
Tidak Tamat SD

Kelompok Pendidikan Pekerjaan Tempat Kuintil indeks


umur Tinggal kepemilikan

Gambar 3.12.21
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari
2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

146
3.13 Kesehatan Anak
Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikaninformasi berbagai indikator kesehatan
anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan
anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek,
gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada anak
balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi
perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir,imunisasi,
kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan,
pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD),
pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.
Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur
neonatus,kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku
KIA,pemberiankolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku
Riskesdas 2013 dalam Angka. Tabel 3.13.1 menunjukkan jumlah responden yang dianalisis
sesuai indikator yang diukur.
Tabel 3.13.1
Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Jawa Barat 2013
Responden Jumlah sampel Indikator
Anak umur 0-59 bulan 5.902 Kunjungan neonatus
Berat dan panjang lahir
Perawatan tali pusar
Kepemilikan KMS dan buku KIA
Kepemilikan akte kelahiran
Anak umur 6-59 bulan 5.360 Cakupan kapsul vitamin A
Pemantauan pertumbuhan
Anak umur 24-59 bulan 3.735 Kecacatan
Anak umur 0-23 bulan 2.167 ASI dan MPASI
Anak umur 12-23 bulan 1.122 Imunisasi

3.13.1 Berat dan panjang badan lahir


Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki
oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak
lainnya. Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 45,7 persen.

Gambar 3.13.1
Berat badan lahir rendah (BBLR)pada balita, Jawa Barat 2013*)
*) Berdasarkan 45,7% sampel balita yang punya catatan

147
Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: < 2500 gram, 2500-3999 gram,
dan ≥ 4000 gram. Persentase berat badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota
disajikan pada Gambar 3.13.1. Persentase berat badan lahir < 2500 gram tertinggi terdapat di
Kuningan (18,3%) dan terendah di Kota Cirebon 6,0%.

Tabel 3.13.2
Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Jawa Barat 2013
Ada catatan
Karakteristik
<2500 gr 2500 - 3999 gr >4000 gr
Kelompok umur bulan
0- 5 bln 10,5 86,5 3,0
6-11 bln 11,4 82,7 5,8
12-23 bln 9,6 87,0 3,4
24-35 bln 12,1 83,7 4,2
36-47 bln 11,0 85,6 3,3
48-59 bln 10,3 86,4 3,3
Jenis kelamin
Laki-laki 8,9 86,6 4,5
Perempuan 12,6 84,4 3,0
Pendidikan
Tidak sekolah 6,1 80,4 13,5
Tidak tamat SD 8,9 88,2 3,0
Tamat SD 14,1 80,9 4,9
Tamat SMP 8,0 88,4 3,5
Tamat SMA 10,7 86,6 2,7
Tamat PT 8,2 87,7 4,1
Pekerjaan kepala keluarga
Tidak bekerja 14,4 82,5 3,1
Pegawai 9,2 88,1 2,8
Wiraswasta 7,6 87,0 5,4
Petani/nelayan/buruh 13,9 82,4 3,7
Lainnya 11,6 86,1 2,3
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 10,0 86,6 3,4
Perdesaan 13,2 82,1 4,8
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 16,5 79,3 4,2
Menengah bawah 12,4 84,9 2,7
Menengah 11,1 84,6 4,3
Menengah atas 8,7 86,8 4,5
Teratas 9,4 87,5 3,1

Tabel 3.13.2 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut
karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah
tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan
yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (12,6%) lebih tinggi daripada laki-laki (8,9%),
namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (4,5%) lebih tinggi dibandingkan
perempuan (3,0%).

148
Menurut kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan, semakin rendahprevalensi BBLR. Menuruttingkat pendidikan, persentase
BBLR tertinggi ada pada kelompok kepala keluarga yang tamat SD (14,1%), sedangkan
terendah ada pada kelompok kepala keluarga yang tidak sekolah (6,1%). Persentase BBLR
tertinggi menurut jenis pekerjaan ada pada kelompok kepala keluarga yang tidak bekerja
(14,4%) dan terendah pada kelompok wiraswasta (7,6%). Persentase BBLR di perdesaan
(13,2%) lebih tinggi daripada di perkotaan (10,0%).

Tabel 3.13.3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut Kabupaten/Kota,
Jawa Barat 2013

Ada catatan
Kabupaten/Kota
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Bogor 31,4 66,9 1,6
Sukabumi 11,9 86,7 1,4
Cianjur 23,8 73,0 3,2
Bandung 20,0 69,9 10,1
Garut 21,7 71,0 7,3
Tasikmalaya 26,2 68,1 5,7
Ciamis 18,1 78,8 3,1
Kuningan 17,0 82,2 0,8
Cirebon 16,6 79,8 3,7
Majalengka 33,9 61,3 4,8
Sumedang 16,4 81,6 2,0
Indramayu 2,9 92,0 5,1
Subang 23,0 75,7 1,3
Purwakarta 14,8 77,8 7,3
Karawang 16,3 78,5 5,3
Bekasi 15,1 82,3 2,6
Bandung Barat 32,6 62,6 4,8
Kota Bogor 13,9 81,3 4,8
Kota Sukabumi 16,5 81,6 1,8
Kota Bandung 23,7 73,8 2,5
Kota Cirebon 9,5 88,6 1,9
Kota Bekasi 22,0 77,1 0,9
Kota Depok 24,0 73,5 2,5
Kota Cimahi 20,0 76,0 4,0
Kota Tasikmalaya 10,3 87,1 2,6
Kota Banjar 20,3 79,4 0,3
Jawa Barat 20,6 76,0 3,4

Tabel 3.13.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-
52 cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 20,6 persendan 48-52
cm sebesar 76,0 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi
di Majalengka (33,9%) dan terendah di Kabupaten Indramayu (2,9%).

149
Tabel 3.13.4
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
dari Jawa Barat 2013

Ada catatan
Karakteristik
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Kelompok umur bulan
0- 5 bln 22,5 74,4 3,0
6-11 bln 21,7 74,0 4,3
12-23 bln 20,3 76,0 3,7
24-35 bln 22,2 73,9 3,8
36-47 bln 20,8 77,4 1,8
48-59 bln 15,0 80,7 4,4
Jenis kelamin
Laki-laki 19,7 76,9 3,5
Perempuan 21,5 75,0 3,4
Pendidikan
Tidak sekolah 12,6 87,4 0,0
Tidak tamat SD 26,4 72,8 0,8
Tamat SD 22,7 73,6 3,7
Tamat SMP 19,9 78,0 2,1
Tamat SMA 19,1 76,8 4,2
Tamat PT 19,6 75,9 4,5
Pekerjaan kepala keluarga
Tidak bekerja 19,6 78,8 1,6
Pegawai 22,2 73,8 4,0
Wiraswasta 16,3 79,6 4,1
Petani/nelayan/buruh 22,4 74,9 2,7
Lainnya 22,3 74,1 3,6
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 20,8 75,6 3,6
Perdesaan 19,9 77,2 2,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 21,1 77,4 1,5
Menengah bawah 23,6 75,0 1,4
Menengah 21,1 74,7 4,2
Menengah atas 19,1 77,0 3,9
Teratas 19,9 76,1 4,0

Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada
Tabel 3.13.4. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek paling sedikit pada kelompok umur
>48-59 bulan sebesar 15,0 persen dan tertinggi pada kelompok umur 0-5 bulan (22,5%).
Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (21,5%) lebih tinggi daripada anak laki-
laki (19,7%).

Menurut pendidikan, bayi lahir pendek tertinggi ada pada kelompok kepala keluarga dengan
tingkat pendidikan tidak tamat SD (26,4%) dan terendah yang tidak sekolah (12,6%). Menurut
jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala
rumah tangga yang bekerja sebagai perani/nelayan/buruh (22,4%), sedangkan terendah
pada kelompok wiraswasta (16,3%). Persentase anak lahir pendek di perkotaan (20,8%) lebih
tinggi daripada di pedesaan (19,9%). Menurut kuintil indeks kepemilikan, pada kelompok
menengah bawah memiliki persentase anak lahir pendek tertinggi diantara kelompok lainnya
(23,6%).

150
Gambar 3.13.2
Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir<2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut kabupaten/kota,Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.2 menyajikan persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir<2500 gram
(BBLR) dan panjang badan lahir <48 cm (lahir pendek) menurut kabupaten/kota. Persentase
balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR sebesar 4,0 persen dengan persentase
tertinggi di Kabupaten Subang (9,4%) dan terendah di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Karawang masing-masing 0%.

Gambar 3.13.3
Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut
karakteristik,Jawa Barat 2013

151
Gambar 3.13.3 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR
menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada
kelompok umur 0-5 bulan paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Persentase balita
yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada perempuan (5,1%) lebih tinggi daripada
laki-laki (2,9%).
Menurut tingkat pendidikan kepala keluarga, pada kelompok dengan kepala keluarga yang
tidak sekolah memiliki persentase tertinggi dibanding kelompok lainnya (6,1%). Sedangkan
menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan persentase balita yang memiliki riwayat lahir
pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang tidak bekerja.
Menurut tempat tinggal, riwayat lahir pendek dan BBLR pada balita di pedesaan lebih tinggi
dibanding perkotaan. Menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, terlihat bahwa pada
kelompok teratas memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi dibanding kelompok
lainnya.

3.13.2 Status imunisasi


Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan
melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya
menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi
mencakupsatu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali
imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak.Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur
kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya
diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua
bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak
paling dini umur sembilan bulan.
Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai
balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber
informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui,
catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak
lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah
diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.
Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat
kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-
HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan
pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar.
Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan,
yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain
juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga
dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat
pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. Namun karena ada
keterbatasan sampel maka untuk menggambarkan angka kab/kota, analisis dilakukan dari
data usia 12-59 bulan.
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan
beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali
sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/
buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak
disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu
balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidak akuratan pewawancara saat proses
wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi
hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam
Riskesdas 2013.

152
Gambar 3.13.4
Cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan,Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.4 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan.
Dikatakan imunisasi lengkap bila responden melakukan satu kali imunisasi HB-0, satu kali
BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi
lengkap di Jawa Barat mencapai 56,6 persen, tidak lengkap 35,1 persen, dan tidak imunisasi
8,3 persen.
Tabel 3.13.5
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013
Jenis Imunisasi Dasar
Kabupaten/Kota
HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak
Bogor 65,7 73,5 64,4 56,8 70,1
Sukabumi 83,6 86,6 72,4 76,3 77,1
Cianjur 46,8 79,7 52,3 59,4 62,4
Bandung 86,8 95,4 82,0 82,1 89,5
Garut 68,3 85,0 63,1 72,9 83,3
Tasikmalaya 80,1 88,5 64,6 66,8 92,5
Ciamis 93,5 100,0 92,1 92,4 98,5
Kuningan 90,9 94,5 92,4 90,4 97,0
Cirebon 89,8 86,0 67,1 79,7 84,6
Majalengka 85,6 100,0 96,8 99,4 100,0
Sumedang 96,4 97,5 87,6 90,9 89,9
Indramayu 91,2 91,8 43,8 63,6 72,7
Subang 92,6 93,0 68,7 80,3 88,0
Purwakarta 59,1 75,3 50,3 56,7 60,2
Karawang 71,8 76,1 60,1 58,5 64,3
Bekasi 85,6 93,1 66,0 71,5 86,0
Bandung Barat 46,1 83,3 46,5 44,8 61,0
Kota Bogor 80,1 84,0 80,6 82,8 91,0
Kota Sukabumi 100,0 100,0 96,9 95,5 96,7
Kota Bandung 87,7 93,9 90,3 90,3 92,0
Kota Cirebon 79,5 87,8 70,9 82,9 89,0
Kota Bekasi 81,0 88,3 82,1 83,6 74,8
Kota Depok 94,7 95,4 85,9 83,5 85,8
Kota Cimahi 90,5 94,9 91,8 90,8 93,4
Kota Tasikmalaya 80,6 92,2 80,7 90,2 83,5
Kota Banjar 99,1 100,0 92,9 92,9 91,8
Jawa Barat 78,8 87,8 71,5 73,9 80,8

153
Tabel 3.13.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali
(polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten/kota.
Berdasarkan jenis imunisasi persentase tertinggi adalah BCG (87,8%) dan terendah adalah
DPT-HB3 (71,5%). Kabupaten Bandung Barat mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk
Hb-0 (46,1%) dan Polio 4 (44,8%).
Untuk imunisasi BCG terendah adalah Kabupaten Bogor (73,5%), imunisasi DPT-HB 3
terendah ada di Kabupaten Indramayu (43,8%), dan campak terendah ada di Kabupaten
Purwakarta (60,2%). Kabupaten Majalengka mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk
jenis imunisasi dasar Polio 4 (99,4%) dan campak (100%). Kota Sukabumi memiliki cakupan
tertinggi untuk jenis imunisasi HB-0 (100%) dan DPT HB-3 (96,9%). Sedangkan untuk jenis
imunisasi dasar BCG terdapat 4 kabupaten dengan cakupan tertinggi 100 persen yaitu
Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kota Sukabumi, dan Kota Banjar.

Tabel 3.13.6
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013

Jenis Imunisasi Dasar


Karakteristik
HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak
Jenis kelamin
Laki-laki 79,4 87,5 70,4 72,9 78,9
Perempuan 78,1 88,2 72,6 75,0 82,9
Pendidikan
Tidak sekolah 82,0 80,8 70,5 77,5 80,8
Tidak tamat SD 60,9 67,0 53,0 56,3 63,6
Tamat SD 71,1 85,5 62,1 67,2 75,8
Tamat SMP 82,6 90,1 74,8 76,7 83,2
Tamat SMA 87,7 93,3 80,6 81,2 88,1
Tamat PT 90,5 96,2 94,0 90,3 89,9
Pekerjaan
Tidak bekerja 81,1 86,7 74,7 75,6 82,2
Pegawai 88,1 95,3 83,6 84,4 88,0
Wiraswasta 83,3 89,0 69,7 74,2 85,8
Petani/nelayan/buruh 71,4 84,3 65,5 68,6 74,1
Lainnya 74,1 74,6 68,1 64,0 79,2
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 83,0 89,8 76,4 77,4 82,7
Perdesaan 70,1 83,7 61,0 66,5 76,9
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 56,4 77,7 53,7 57,0 67,7
Menengan bawah 76,4 86,3 63,9 72,1 78,6
Menengah 84,1 87,4 72,9 75,6 79,7
Menengah atas 85,7 91,3 78,3 79,1 88,7
Teratas 86,4 94,1 84,0 82,1 86,8

Tabel 3.13.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan
imunisasi pada kelompok perempuan memiliki cakupan yang lebih tinggi dibanding laki-laki
kecuali untuk jenis imunisasi HB-0. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di

154
perkotaan dibandingkan di perdesaan. Menurut tingkat pendidikan terlihat imunisasi paling
tinggi pada kelompok KK dengan pendidikan tamat PT. Menurut jenis pekerjaan kepala
keluarga, pada kelompok kepala rumah tanggayang bekerja sebagai pegawai memiliki
cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibanding kelompok lainnya.Terlihat kecenderungan
bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi.
Tabel 3.13.7
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Kelengkapan imunisasi dasar


Kabupaten/kota
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Bogor 47,2 33,8 18,9
Sukabumi 58,1 35,0 6,9
Cianjur 24,8 67,0 8,2
Bandung 69,8 25,6 4,6
Garut 36,4 55,8 7,8
Tasikmalaya 53,1 36,1 10,8
Ciamis 85,6 14,4 0,0
Kuningan 82,7 14,5 2,8
Cirebon 61,8 29,6 8,6
Majalengka 78,9 21,1 0,0
Sumedang 85,4 14,6 0,0
Indramayu 41,9 49,9 8,2
Subang 53,9 41,8 4,3
Purwakarta 37,7 45,6 16,7
Karawang 54,9 15,1 30,0
Bekasi 55,6 38,5 6,0
Bandung Barat 11,5 76,9 11,5
Kota Bogor 61,4 36,4 2,2
Kota Sukabumi 87,3 12,7 0,0
Kota Bandung 77,8 16,6 5,6
Kota Cirebon 65,9 23,7 10,4
Kota Bekasi 57,9 38,0 4,1
Kota Depok 75,7 24,3 0,0
Kota Cimahi 79,3 15,6 5,1
Kota Tasikmalaya 61,7 38,3 0,0
Kota Banjar 82,1 17,9 0,0
Jawa Barat 56,6 35,1 8,3

Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 3.13.7.
Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Kota
Sukabumi (87,3%) dan terendah Bandung Barat (11,5%). Secara umum terdapat 8,3 persen
anak umur 12-59 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase
tertinggi Karawang (30,0%) dan terendah terdapat di 7 kabupaten/kota dengan persentase 0
persen yaitu Ciamis, Majalengka, Sumedang, Kota Sukabumi, Kota Depok, Kota Tasikmalaya
dan Kota Banjar.

155
Tabel 3.13.8
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013

Kelengkapan imunisasi dasar


Karakteristik
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Jenis kelamin
Laki-laki 56,3 34,8 8,9
Perempuan 56,8 35,4 7,8
Pendidikan
Tidak sekolah 66,4 20,9 12,6
Tidak tamat SD 36,1 45,4 18,6
Tamat SD 45,1 44,6 10,2
Tamat SMP 59,0 35,2 5,9
Tamat SMA 69,6 24,9 5,5
Tamat PT 78,8 16,3 4,9
Pekerjaan
Tidak bekerja 59,0 32,9 8,1
Pegawai 72,2 22,1 5,7
Wiraswasta 57,7 35,0 7,3
Petani/nelayan/buruh 47,6 42,6 9,8
Lainnya 49,1 35,5 15,4
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 62,5 30,5 7,0
Perdesaan 44,2 44,7 11,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 32,9 51,0 16,1
Menengan bawah 50,0 41,8 8,2
Menengah 56,9 34,8 8,3
Menengah atas 69,1 24,3 6,5
Teratas 68,6 27,4 4,0

Tabel 3.13.8. menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik.


Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (62,5%) daripada di perdesaan
(44,2%) dan terdapat 11,1 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan
imunisasi sama sekali.
Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-
23 bulan tertinggi pada kelompok kepala keluarga dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi
(78,8%) dan terendah pada kelompok tidak tamat SD (36,1%).
Menurut pekerjaan, terlihat cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59 bulan tertinggi
terdapat pada kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai (72,2%). Semakin
tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan imunisasi dasar lengkap.

156
Tabel 3.13.9
Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan,
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Alasan tidak pernah imunisasi


Karakteristik Keluarga Takut anak Anak Tidak tahu Tempat
Sibuk/
tidak menjadi sering tempat imunisasi
repot
mengijinkan panas sakit imunisasi jauh
Jenis kelamin
Laki-laki 30,5 41,4 9,2 7,5 12,8 8,6
Perempuan 28,9 35,8 0,0 4,2 26,0 6,0
Pendidikan
Tidak sekolah 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0
Tidak tamat SD 20,3 55,5 0,0 0,7 12,9 10,5
Tamat SD 12,9 32,2 9,0 8,2 27,4 10,3
Tamat SMP 65,7 37,8 7,8 0,0 15,6 4,1
Tamat SMA 57,3 42,5 0,0 10,2 0,0 0,0
Tamat PT 100,0 17,2 0,0 17,2 0,0 0,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 65,7 0,0 0,0 0,0 34,3 0,0
Pegawai 41,8 45,3 0,0 2,8 0,0 24,9
Wiraswasta 52,1 36,8 0,0 7,5 13,2 2,7
Petani/nelayan/buruh 18,4 39,1 7,6 3,7 24,2 7,0
Lainnya 11,4 60,7 11,4 27,9 11,4 0,0
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 44,4 37,3 4,8 4,6 13,3 6,5
Perdesaan 12,3 40,8 5,4 7,8 25,2 8,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 9,9 33,1 0,0 0,9 45,6 10,4
Menengan bawah 10,6 70,2 16,4 0,0 0,0 2,8
Menengah 56,3 29,5 11,8 0,0 5,1 7,5
Menengah atas 51,2 39,8 0,0 21,2 0,0 10,4
Teratas 53,7 20,7 0,0 21,6 8,1 0,0
*) dari 8,3% anak yang tidak diimunisasi
Kuintil indeks kepemilikan menengah memiliki nilai persentase tertinggi (56,3%) beralasan
keluarga tidak mengizinkan imunisasi. Persentase anak di perkotaan yang tidak diizinkan
keluarga untuk diimunisasi (44,4%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (12,3%).
Persentase balita yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan diimunisasi tertinggi
pada kelompok kepala rumah tangga yang tidak bekerja (65,7%).
Pada balita yang tidak diimunisasi karena tempat imunisasi jauh, terlihat bahwa semakin
tinggi pendidikan kepala rumah tangga, persentase balita yang tidak diimunisasi semakin
rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena tempat jauh (13,3%)
lebih rendah dibandingkan di perdesaan (25,2%).

157
Gambar 3.13.5
Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan,
Jawa Barat 2013
Gambar 3.13.5 menunjukkan bahwa dari 91,7 persen yang pernah diimunisasi, terdapat 33,4
persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah kemerahan dan
bengkak, sedangkan keluhan demam tinggi dialami oleh 10,1 persen anak.

3.13.3 Kunjungan neonatal


Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi
kunjungan pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3).

Gambar 3.13.6
Kunjungan neonatal lengkap, Jawa Barat 2013

158
Gambar 3.13.6 menunjukkan semakin bertambah umur bayi maka semakin menurun
presentasi kunjungan neonatal. Menurut kelengkapannya terlihat Kunjungan neonatal
lengkap mencapai 42,6 persen.

Tabel 3.13.10
Persentase Riwayat kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan
menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Kunjungan neonatal
Karakteristik
KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)
Kelompok umur bulan
0- 5 bln 76,7 67,8 55,7
6-11 bln 72,5 66,3 55,5
12-23 bln 66,4 63,2 56,1
24-35 bln 66,8 61,6 54,0
36-47 bln 68,4 64,5 54,7
48-59 bln 61,1 58,3 48,3
Jenis kelamin
Laki-laki 68,8 63,9 54,1
Perempuan 66,2 62,0 53,5
Pendidikan
Tidak sekolah 44,0 37,7 27,5
Tidak tamat SD 55,5 48,2 44,3
Tamat SD 59,4 54,2 44,9
Tamat SMP 68,2 65,8 53,8
Tamat SMA 77,5 73,1 63,4
Tamat PT 83,7 79,5 75,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 67,1 57,3 48,7
Pegawai 76,6 72,4 63,0
Wiraswasta 71,9 68,3 56,3
Petani/nelayan/buruh 59,1 54,6 47,1
Lainnya 66,9 63,0 56,1
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 70,8 66,9 57,2
Perdesaan 60,1 54,3 46,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 42,8 35,9 34,9
Menengah bawah 62,0 56,3 45,7
Menengah 70,7 67,8 55,5
Menengah atas 73,4 71,1 59,5
Teratas 81,7 76,1 67,5
Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel
3.13.10.Persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari.Kunjungan neonatal
setelah bayi lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak.
Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan,
sedangkan menurut tempat tinggal persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan
kepala rumah tangga, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal pada bayi berumur
6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga,persentase
kunjungan neonatal pada bayi umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari ditemukan tertinggi

159
pada kelompok pekerjaan pegawai, KN1 yaitu 76,6 persen dan untuk sebesar KN2 72,4
persen untuk, dan untuk KN3 sebesar 63,0 persen.

Gambar 3.13.7
KN1 menurut Kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013
Persentase KN1 menurut Kabupaten/Kota disajikan pada Gambar 3.13.7 Persentase
kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 67,5 persen dengan persentase KN1 tertinggi
adalah Kota Banjar (91,4%) dan terendah Kabupaten Bandung Barat (45,7%).

Gambar 3.13.8
Kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat
bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga
kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan
kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap
menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar 3.13.8.
Gambar 3.13.8 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan riwayat kunjungan
neonatal lengkap adalah 42,6 persen dengan persentase tertinggi di Kota Cirebon (71,9%)
dan terendah Kabupaten Cianjur (22,4%).

160
Tabel 3.13.11
Persentase kunjungan neonatal dari anak
umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Kategori kunjungan neonatal


Karakteristik
Tidak pernah KN KN tidak lengkap KN lengkap
Kelompok umur bulan
0- 5 bln 15,8 38,9 45,4
6-11 bln 19,2 35,6 45,2
12-23 bln 21,7 36,1 42,2
24-35 bln 23,8 33,2 43,0
36-47 bln 20,6 35,2 44,3
48-59 bln 27,5 34,2 38,3
Jenis kelamin
Laki-laki 21,7 34,8 43,5
Perempuan 22,7 35,6 41,7
Pendidikan
Tidak sekolah 50,9 27,9 21,2
Tidak tamat SD 33,3 35,8 30,9
Tamat SD 30,1 35,7 34,2
Tamat SMP 19,4 39,5 41,1
Tamat SMA 12,9 34,5 52,6
Tamat PT 10,0 23,2 66,8
Pekerjaan
Tidak bekerja 24,5 34,6 41,0
Pegawai 13,8 33,4 52,8
Wiraswasta 18,0 36,6 45,3
Petani/nelayan/buruh 29,6 35,6 34,8
Lainnya 23,2 33,3 43,4
Klasifikasi desa/kota
Perkotaan 18,9 35,1 46,0
Perdesaan 29,4 35,4 35,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 44,6 34,0 21,4
Menengah bawah 26,2 39,5 34,3
Menengah 17,9 37,0 45,1
Menengah atas 17,0 34,0 49,1
Teratas 11,3 31,9 56,8
Tabel 3.13.11 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan
neonatal lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan
neonatal lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 29,4 persen
anak balita tidak pernah dilakukan kunjungan neonatal. Semakin tinggi tingkat pendidikan
kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase
kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga,kunjungan
neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan pegawai (52,8%) dan terendah pada
kelompok pekerjaan petani/buruh/nelayan (34,8%).
Persentase yang tidak pernah dilakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan,

161
balita yang tidak pernah dilakukan kunjungan neonatal tertinggi pada jenis pekerjaan
petani/nelayan/buruh (29,6%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (13,8%).

3.13.4 Perawatan tali pusar


Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir.
Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat,
tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau
antiseptik lainnya.
Tabel 3.13.12
Persentase cara perawatan tali pusar bayi baru lahir
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Perawatan tali pusar


Kabupaten/Kota Diberi
Tidak diberi Ramuan/obat
betadine/ Obat tabur
apa-apa tradisional
alkohol
Bogor 12,9 73,9 6,0 7,1
Sukabumi 45,0 48,2 1,7 5,1
Cianjur 12,3 75,2 0,5 12,0
Bandung 36,0 62,2 0,3 1,6
Garut 24,8 61,6 2,9 10,8
Tasikmalaya 32,7 59,1 5,5 2,6
Ciamis 46,8 50,6 1,6 1,0
Kuningan 70,3 29,7 0,0 0,0
Cirebon 64,7 32,7 2,2 0,4
Majalengka 22,1 76,5 0,9 0,4
Sumedang 55,3 43,2 0,0 1,5
Indramayu 29,8 69,6 0,1 0,4
Subang 36,4 61,7 0,0 2,0
Purwakarta 16,1 77,9 1,1 5,0
Karawang 29,5 69,8 0,0 0,7
Bekasi 26,3 73,0 0,1 0,6
Bandung Barat 27,3 70,9 0,3 1,5
Kota Bogor 21,9 75,1 2,6 0,4
Kota Sukabumi 49,8 49,1 0,0 1,0
Kota Bandung 27,3 66,1 4,9 1,6
Kota Cirebon 73,9 26,1 0,0 0,0
Kota Bekasi 19,8 79,3 0,0 0,9
Kota Depok 28,8 69,0 0,7 1,6
Kota Cimahi 37,1 61,4 0,0 1,4
Kota Tasikmalaya 27,6 65,2 0,5 6,7
Kota Banjar 49,3 46,9 0,7 3,1
Jawa Barat 30,1 64,8 1,8 3,3

162
Tabel 3.13.12 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan
menurut kabupaten/kota. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali
pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 30,1 persen, diberi
betadine/alkohol sebesar 64,8 persen, dan diberi obat tabur sebesar 1,8 persen. Persentase
cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di
Kota Cirebon (73,9%) dan terendah Kabupaten Cianjur(12,3%).

3.13.5 Pola pemberian ASI


Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai
menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal,
menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan
menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi
ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal.
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi
bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan
kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu,
menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan
merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan
(postpartum).
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa
amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk
menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan bayi baru dapat
diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai
anakberumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga
merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya.

Gambar 3.13.9
Presentasi proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.9 menunjukkan persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada
di Jawa Barat. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa proses menyusu kurang dari satu
jam (inisiasi menyusu dini) sebesar 35,7 persen.

163
Tabel 3.13.13
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Kategori proses mulai menyusu


Kabupaten/kota
<1 jam (IMD) 1-6 jam 7-23 jam 24-47 jam ≥48 jam
Bogor 25,3 37,2 4,1 16,2 17,2
Sukabumi 53,0 24,9 2,5 9,6 10,1
Cianjur 26,6 38,1 4,3 16,2 14,7
Bandung 54,6 22,1 2,6 6,5 14,2
Garut 25,0 52,3 1,1 13,3 8,3
Tasikmalaya 39,1 34,2 0,7 18,0 8,1
Ciamis 34,5 47,7 1,4 7,8 8,6
Kuningan 34,0 48,4 3,1 9,3 5,2
Cirebon 47,3 26,3 8,1 11,4 7,0
Majalengka 48,7 38,8 5,4 3,9 3,1
Sumedang 44,5 49,3 4,4 1,8 0,0
Indramayu 32,4 31,8 3,4 12,3 20,1
Subang 31,7 33,9 1,0 8,9 24,4
Purwakarta 26,2 42,6 1,4 9,0 20,8
Karawang 33,3 48,0 0,0 12,3 6,3
Bekasi 27,5 37,2 9,0 16,4 10,0
Bandung Barat 27,3 49,9 6,9 8,2 7,6
Kota Bogor 33,6 39,9 4,4 12,5 9,6
Kota Sukabumi 48,3 40,8 0,0 2,9 7,9
Kota Bandung 32,2 45,2 0,4 11,9 10,1
Kota Cirebon 29,9 36,7 4,9 13,0 15,5
Kota Bekasi 31,7 36,8 8,5 8,6 14,4
Kota Depok 42,2 37,4 3,2 6,2 11,0
Kota Cimahi 39,4 36,0 0,0 16,5 8,1
Kota Tasikmalaya 13,9 47,4 0,0 19,9 18,8
Kota Banjar 56,1 26,9 6,3 6,9 3,7
Jawa Barat 35,7 37,4 3,7 11,3 11,9

Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota
disajikan pada Tabel 3.13.13. Persentase tertinggi untuk proses mulai menyusu kurang dari
satu jam (inisisasi menyusu dini) ada di Kota Banjar (56,1%) dan terendah Kota Tasikmalaya
(13,9%).

3.13.6 Cakupan kapsul vitamin A


Kapsul vitamin A distribusi kapsul balita diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan
Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk
bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.

164
Gambar 3.13.10
Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.10 menunjukkan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan
menurut kabupaten/kota. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin
Aselama enam bulan terakhir tertinggi di Kota Banjar (97,4%) dan terendah Kabupaten
Cianjur (65,8%).

3.13.7 Pemantauan pertumbuhan


Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya
gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan
tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat
dilakukan di berbagai tempat seperti posyandu, polindes, puskesmas atau sarana pelayanan
kesehatan yang lain.
Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari
frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam
enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali.

Gambar 3.13.11
Frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir,
Jawa Barat 2013

165
Gambar 3.13.11 menunjukkan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan
dalam enam bulan terakhir. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan >4
kali sebesar 53,3% sedangkan anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam
enam bulan terakhir 24,1 persen.

Gambar 3.13.12
Frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.12 menyajikan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita >4 kali dalam enam
bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi
penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥4 kali tertinggi di
Kota Tasikmalaya (77,7%) dan terendah di Kabupaten Karawang (31,4%).

3.13.8 Sunat perempuan


Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori
umur ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang
menyarankan untuk melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak
perempuan, keduanya disajikan lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Gambar 3.13.13
Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

166
Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota
disajikan pada Gambar 3.13.13. Secara umum, persentase pernah disunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun sebesar 73,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kabupaten
Bogor (93,6%) dan terendah di Kabupaten Kuningan (33,5%).

Gambar 3.13.14
Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.13.14 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11
tahun menurutkarakteristik. Menurut pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga,
persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun bervariasi antar tingkat
pendidikan, maupun jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Persentase pernah disunat pada
anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 74,1 persen lebih tinggi daripada di
perdesaan (72,1%). Menurut kuintil indeks kepemilikan, persentase terendah pernah disunat
pada anak perempuan umur 0-11 tahun terdapat di kelompok kuintil teratas (68,6%).

167
3.14 Status Gizi
Uraian status gizi terdiri dari: (1)status gizi balita; (2)status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3)
status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5)wanita hamil risiko
tinggi (risti). Informasi lengkap status gizi disajikan secara lengkap baik menurut
kabupaten/kota maupun karakteristik di buku Jawa Barat dalam angka.

3.14.1. Status gizi anak balita


3.14.1.1. Cara penilaian status gizi anak balita
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).
Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1
kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakanalat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1
cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri,
yaituBB/U, TB/U, dan BB/TB.

Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak
balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak
balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut
ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut :

a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U :

Gizi Buruk : Zscore < -3,0


Gizi Kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Gizi Baik : Zscore ≥ -2,0

b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore <-3,0


Pendek : : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≤-2,0

c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:

Sangat kurus : Zscore < -3,0


Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
Gemuk : Zscore > 2,0

d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:

Pendek-kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
Pendek-normal : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
Pendek-gemuk : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
TB Normal-kurus : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
TB Normal-normal : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
TB Normal-gemuk : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator BB/U:

Prevalensi gizi buruk : (∑ Balita gizi buruk/∑Balita) x 100%


Prevalensi gizi kurang : (∑ Balita gizi kurang/∑Balita) x 100%
Prevalensi gizi baik : (∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100%

168
Berdasarkan indikator TB/U
Prevalensi sangat pendek : (∑ Balita sangat pendek/∑Balita) x 100%
Prevalensi pendek : (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑Balita) x 100%

Berdasarkan indikator BB/TB:

Prevalensi sangat kurus : (∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100%


Prevalensi kurus : (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi gemuk : (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%

Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Prevalensi pendek-kurus : (∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100%


Prevalensi pendek-normal : (∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi pendek-gemuk : (∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TBnormal-kurus : (∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TB normal-normal : (∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TB normal-gemuk : (∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100%

Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:

Berat Kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)
Pendek : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)
Kurus : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)

3.14.1.2. Sifat-sifat indikator status gizi

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara
umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis
ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator
BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang
menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).

Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku
hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak
dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat).
Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan
anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan
gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai
penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker).

Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis.
Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek.

3.14.1.3 Status gizi balita menurut indikator BB/U


Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat kurang (underweight) menurut kabupaten/kota.
Dapat dilihat bahwa di Jawa Barat, prevalensi berat kurang pada tahun 2013 adalah 15,7
persen, terdiri dari 4,4 persen gizi buruk dan 11,3 persen gizi kurang. Angka ini berada di
bawah prevalensi berat kurang nasional yang mencapai 19,6 persen. Dan bila dibandingkan
dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi
kurang harus diturunkan minimal sebesar 0,2 persen dalam periode tahun 2013 sampai 2015.

169
Diantara 26 kabupaten/kota yang ada di wilayah Jawa Barat, terdapat 12 kabupaten/kota
memiliki prevalensi gizi berat kurang di atas angka prevalensi Jawa Barat yaitu berkisar
antara 16,1 – 22,4 persen. Dari 12 kabupaten/kota tersebut, terdapat 3 kabupaten yang juga
memiliki prevalensi gizi kurang berat di atas angka nasional yaitu Kabupaten Indramayu 19,3
persen, Kabupaten Majalengka 20,0 persen dan Kabupaten Bandung Barat 22,4 persen.
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat 11 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi
berat kurang di bawah sasaran MDG atau sudah mencapai sasaran. Urutan ke 11
kabupaten/kota tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah, (1) Kota Tasikmalaya,
(2) Kota Banjar (3) Kota Cirebon, (4) Kab. Bandung, (5) Kab.Sumedang, (6) Kab.Bogor, (7)
Kota Bandung, (8) Kab.Bekasi, (9) Kab.Kuningan, (10) Kota Depok, (11) Kota Bogor, dan (12)
Kota Cimahi.

Gambar 3.14.1.
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Kabupaten/Kota,
Jawa Barat 2013

3.14.1.4. Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U

Gambar 3.14.2. menyajikan prevalensi kependekan (stunting) menurut kabupaten/kota dan


provinsi. Di Jawa Barat, prevalensi kependekan tahun 2013 adalah 35,3 persen terdiri dari
16,9 persen sangat pendek dan 18,4 persen pendek.

Prevalensi kependekan di atas prevalensi Jawa Barat terdapat di 14 kabupaten/kota, dengan


urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu (1) Kab.Bandung Barat, (2)
Kab.Cirebon, (3) Kab.Kuningan), (4) Kota Sukabumi, (5) Kab.Tasikmalaya, (6) Kab.Cianjur,
(7) Kab.Ciamis, (8) Kab.Sumedang, (9) Kab.Bandung, (10) Kab.Subang, (11) Kota Banjar,
(12) Kab.Garut, (13) Kab.Sukabumi dan (14) Kab.Indramayu.Dari 14 kabupaten/kota tersebut
selain Kab.Sukabumi dan Kab.Indramayu juga memiliki prevalensi kependekan di atas
prevalensi nasional.

Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensikependekansebesar 30 – 39


persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas atau sama dengan 40 persen. Sebanyak 9
kabupaten/kota termasuk kategori tinggi dan 10 kabupaten/kota kategori prevalensi sangat
tinggi. Kabupaten/kota yang termasuk kategori prevalensi kependekan tinggi adalah (1) Kota
Banjar, (2) Kab. Garut, (3) Kab. Sukabumi, (4) Kab. Indramayu, (5) Kab. Karawang, (6) Kab.
Purwakarta, (7) Kota Bandung, (8) Kota Tasikmalaya dan (9) Kab. Bekasi. Kabupaten/kota

170
yang termasuk kategori prevalensi kependekan sangat tinggi adalah (1) Kab. Bandung Barat,
(2) Kab.Cirebon, (3) Kab.Kuningan, (4) Kota Sukabumi, (5) Kab.Tasikmalaya, (6) Kab.Cianjur,
(7) Kab.Ciamis, (8) Kab.Sumedang, (9) Kab.Bandung, (10) Kab.Subang.

Gambar 3.14.2.
Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

3.14.1.5. Status gizi anak balita menurut indikator BB/TB

Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kekurusan menurut kabupaten/kota.Salah satu


indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah
keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi sangat kurus di
Provinsi Jawa Barat masih cukup tinggi yaitu 5,0 persen. Demikian pula halnya dengan
prevalensi kurus sebesar 5,9 persen.

Terdapat di 14 kabupaten/kota dimana prevalensi kurus diatas prevalensi Jawa Barat secara
umum, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: (1) Kota Bandung,
(2) Kab.Karawang, (3) Kab.Tasikmalaya, (4) Kab.Cirebon, (5) Kab.Garut, (6) Kota Bekasi, (7)
Kab.Subang, (8) Kota Cirebon, (9) Kab.Bandung Barat, (10) Kab.Bekasi, (11) Kab.Ciamis,
(12) Kab.Sukabumi, (13) Kota Banjar dan (14) Kab. Bandung.

Pada tahun 2013 prevalensi kegemukan di Provinsi Jawa Barat sebesar 11,8 persen.
Terdapat 10 kabupaten/kota yang memiliki masalah kegemukan di atas angka umum Jawa
Barat dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu (1) Kab.Bandung Barat, (2)
Kab.Cirebon, (3) Kab.Bekasi, (4) Kota Depok, (5) Kota Bandung, (6) Kab.Karawang, (7)
Kab.Bandung, (8) Kab.Garut, (9) Kab.Indramayu dan (10) Kab.Sukabumi.
Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi
BB/TB Kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥ 15,0 persen. Pada
tahun 2013, secara umum di Provinsi Jawa Barat prevalensi BB/TB kurus pada balita masih
10,1 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kekurusan di Jawa Barat merupakan
masalah kesehatan yang serius. Diantara 26 kabupaten/kota, terdapat 14 kabupaten/kota
yang masuk kategori serius dan 6 kabupaten/kota termasuk kategori kekurusan kritis, yaitu
Kota Bekasi, Kab. Garut, Kab. Cirebon, Kab. Tasikmalaya, Kab.Karawang dan Kota Bandung.

171
Gambar 3.14.3.
Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/Kota, Jawa Barat 2013

3.14.1.6. Prevalensi Status Gizi Anak Balita 2013

Gambar 3.14.4 menyajikan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk 4,4 persen dan gizi kurang 11,3 persen.
Prevalensi sangat pendek 12,6 persen dan pendek 21,2 persen. Prevalensi sangat kurus 2,6
persen dan kurus 6,5 persen. Prevalensi gemuk di Jawa Barat mencapai 7,5 persen.

Gambar 3.14.4.
Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita,
Jawa Barat 2013

3.14.1.7. Status gizi anak balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB
Gambar 3.14.5. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan indikator TB/U
danBB/TB secara umum di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan Riskesdas 2013 terlihat
bahwaprevalensi anakbalita terbanyak adalah normal-normal (31,4%), kemudian pendek-
normal (21,2%), normal-kurus (18,4%), normal-gemuk (16,9%), pendek-gemuk (6,7%) dan
pendek-kurus (5,4%).

172
Gambar 3.14.5.
Prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB,Jawa Barat 2013

3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun

Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12
tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok
umur ini didasarkan pada hasilpengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB)ang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh
menurut umur (IMT/U).

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi
ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore
ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut:

Klasifikasi indikator TB/U:

Sangat pendek :Zscore< -3,


Pendek :Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
Normal :Zscore≥ -2,0

Klasifikasi indikator IMT/U:

Sangat kurus :Zscore< -3,0


Kurus :Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
Normal :Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0
Gemuk : Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0
Obesitas : Zscore> 2,0

3.14.2.1. Status gizi anak umur 5 – 12 tahun


Gambar 3.14.6.menunjukkan bahwa secara umum prevalensi pendek pada anak umur 5-12
tahun adalah 29,6 persen (11,4% sangat pendek dan 18,2% pendek). Prevalensi pendek
terendah di Kota Depok(11,6%) dan tertinggi di Kab.Sukabumi (46,6%).

173
Gambar 3.14.6.
Prevalensi anak pendek umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013
Sebanyak 9 kabupaten dengan prevalensi di atas prevalensi Jawa Barat yaitu Kab. Bogor,
Kab. Sumedang, Kab. Subang, Kab. Bandung Barat, Kab. Bandung, Kab. Cianjur, Kab.
Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Sukabumi.
Gambar 3.14.7.menunjukkan bahwa secara umum prevalensi kurus (menurut IMT/U) di Jawa
Barat pada anak umur 5-12 tahun adalah 9,1 persen, terdiri dari 3,1 persen sangat kurus dan
6,0 persen kurus. Prevalensi kurus paling rendah di Kota Tasikmalaya (5,7%)dan paling tinggi
di Kab.Indramayu (14,0%) Sebanyak 17 kabupaten/kota dengan prevalensi kurus diatas
angka Jawa Barat yaitu Kabupaten Subang, Kota Sukabumi, Karawang, Kota Banjar,
Kab.Purwakarta, Kab.Bekasi, Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kab.Tasikmalaya, Kab.Sumedang, Kab.Cirebon, Kab.Ciamis, Kab.Kuningan, Kab.Garut dan
Kab.Indramayu.

Gambar 3.14.7.
Prevalensi kurus(IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Secara umum masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun di Jawa Barat masih tinggi yaitu
18,6 persen, terdiri dari gemuk 10,7 persen dan sangat gemuk (obesitas) 7,9 persen.
Prevalensi gemuk terendah di Kab.Cianjur (10,6%) dan tertinggi di Kab. Garut (27,3%).
Sebanyak10 kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas angka Jawa Barat yaitu

174
Kab.Karawang, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kab.Indramayu, Kota Depok, Kab.Subang,
Kab.Bekasi, Kab.Cirebon, Kota Cirebon dan Kab.Garut.

Gambar 3.14.8.
Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 – 12 tahun
Menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

3.14.2.2.Status gizi remaja umur 13 -15 tahun

Sama halnya dengan anak 5-12 tahun, untuk kelompok 13-15 tahun penilaian status gizi
berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 3.14.9. menyajikan prevalensi pendek pada remaja
umur 13-15 tahun. Secara umum, prevalensi pendek pada remaja adalah 33,8 persen (12,6%
sangat pendek dan 21,2% pendek). Prevalensi terendah di Kota Bekasi (12,5%) dan tertinggi
Kabupaten Sukabumi (53,5%). Sebanyak 12 kabupaten/kota memiliki prevalensi pendek di
atas angka Jawa Barat yaitu Kab.Ciamis, Kab.Kuningan, Kab.Sumedang, Kab.Bogor, Kota
Bandung, Kab.Bandung, Kab.Cianjur, Kab.Tasikmalaya, Kab. Bandung Barat, Kab.Cirebon,
Kab.Garut dan Kab.Sukabumi.

Gambar 3.14.9.
Prevalensi pendek remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.14.10 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 9,1
persen terdiri dari 2,6 persen sangat kurus dan 6,5 persen kurus. Prevalensi kurus terlihat
paling rendah Kota Sukabumi (4,1%) dan paling tinggi di Kota Bekasi (13,9%).Sebanyak 12
kabupaten/kota dengan prevalensi anak kurus (IMT/U) diatas angka prevalensi Jawa Barat
yaitu Kab.Garut, Kota Bandung, Kab.Majalengka, Kota Cirebon, Kab.Purwakarta,

175
Kab.Cirebon, Kab.Indramayu, Kab.Karawang, Kab.Subang, Kota Depok, Kota Bekasi dan
Kab.Bekasi.

Gambar 3.14.10.
Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun
Menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Jawa Barat sebesar 9.7 persen, terdiri
dari 7,5 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 12
kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas prevalensi Jawa Barat, yaitu Kab.Bekasi,
Kab.Subang, Kota Cimahi, Kab.Sumedang, Kab.Majalengka, Kota Bogor, Kab.Garut,
Kab.Ciamis, Kab.Tasikmalaya, Kota Depok, Kota Cirebon, dan Kota Bekasi.Kabupaten
dengan prevalensi gemuk terendah adalah di Kab. Indramayu (4,5%) dan prevalensi tertinggi
di Kota Bekasi (20,2%).

Gambar 3.14.11.
Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

176
3.14.2.3 Status gizi remaja umur 16 – 18 tahun
Gambar 3.14.12 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara umum prevalensi
pendek di Jawa Barat adalah 29,7 persen (7,1% sangat pendek dan 22,6% pendek).
Sebanyak 12 kabupaten/kota dengan prevalensi pendek diatas prevalensi Jawa Barat, yaitu
Kab.Sumedang, Kota Sukabumi, Kab.Ciamis, Kab.Kuningan, Kota Banjar, Kab.Subang,
Kab.Garut, Kab.Bogor, Kab.Cirebon, Kab.Bandung Barat, Kab.Sukabumi, dan
Kab.Tasikmalaya. Kabupaten dengan prevalensi pendek terendah adalah di Kab. Indramayu
(17,6%) dan prevalensi tertinggi di Kab.Tasikmalaya (48,7%).

Gambar 3.14.12.
Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.14.13 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara umum
sebesar 9,1persen (1,4% sangat kurus dan 7,7% kurus). Sebanyak 12 kabupaten/kota
dengan prevalensi kurus diatas angka prevalensi Jawa Barat, yaitu Kab.Sumedang,
Kab.Bogor, Kab.Subang, Kab.Karawang, Kota Bekasi, Kab. Cirebon, Kab.Kuningan, Kota
Banjar, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kab.Indramayu dan Kota Cirebon. Kabupaten dengan
prevalensi kurus terendah adalah di Kab. Tasikmalaya (3,3%) dan prevalensi tertinggi di Kota
Cirebon (18,7%).

Gambar 3.14.13.
Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

177
Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun di Jawa Barat sebanyak 7,6 persen yang
terdiri dari 6,2 persen gemuk dan 1,4 persenobesitas. Kabupaten/kota dengan prevalensi
gemuk tertinggi adalah Kota Depok (20,8%) dan terendah Kab.Sukabumi (3,5%). Sebanyak
12 kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk di atas angka prevalensi Jawa Barat yaitu
Kab.Subang, Kab.Majalengka, Kota Sukabumi, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota
Tasikmalaya, Kab.Kuningan, Kab.Purwakarta, Kab.Cianjur, Kota Bekasi, Kab.Bekasi, dan
Kota Depok.

Gambar 3.14.14.
Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Menurut karakteristik (Tabel 3.14.1), prevalensi kekurusan (sangat kurus) pada remaja umur
16-18 tahun lebih banyak pada anak laki-laki (2,3%) daripada anak perempuan (0,5%).
Sedangkan untuk prevalensi kegemukan (obese) antara anak laki-laki (1,2%) hampir sama
dengan anak perempuan (1,5%).
Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga, prevalensi kekurusan semakin tinggi juga (pada
yang tidak sekolah 0,0% dan pada yang berpendidikan D1-D3/PT 2,6%). Demikian juga
dengan prevalensi kegemukan semakin tinggi pendidikan kepala keluarga semakin tinggi juga
prevalensi kegemukan (pada yang tidak sekolah 1,4% dan pada yang berpendidikan D1-
D3/PT 3,7%).
Prevalensi kekurusan remaja umur 16-18 tahun menurut pekerjaan kepala keluarga tidak
menunjukkan pola yang jelas. Prevalensi kegemukan terendah terdapat pada remaja dengan
kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan lainnya (0,7%), sedangkan prevalensi
kegemukan tertinggi pada remaja dengan kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan
(2,5%).
Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi kekurusan dan kegemukan, perkotaan cenderung
lebih tinggi dibanding pedesaan untuk prevalensi kekurusan perkotaan (1,6%) dan pedesaan
(0,9%) sedangkan prevalensi kegemukan perkotaan (1,6%) dan pedesaan (0,9%).
Sedangkan berdasarkan indeks kepemilikan prevalensi kekurusan tidak menunjukkan pola
yang jelas, tetapi untuk kegemukan semakin tinggi kuintil prevalensi kegemukan semakin
tinggi (kuintil terbawah 0,5% dan kuintil teratas 2,8%).

178
Tabel 3.14.1
Prevalensi status gizi (IMT/U) anak umur 16 – 18 tahun menurut karakteristik responden,
Jawa Barat 2013
Statusg gizi menurut IMT/U
Sangat Kurus Normal Gemuk Obese
Karakteristik
kurus
(%) (%) (%) (%) (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 2,3 11,9 79,4 5,1 1,2
Perempuan 0,5 3,5 87,2 7,3 1,5
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 0,0 11,4 83,7 3,5 1,4
Tidak tamat SD 1,0 8,3 82,9 6,2 1,6
Tamat SD 1,4 7,6 84,4 5,6 1,0
Tamat SLTP 1,2 6,7 84,2 6,8 1,2
Tamat SLTA 1,5 8,0 82,4 6,6 1,4
Tamat D1-D3/PT 2,6 6,2 77,9 9,6 3,7
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,7 5,9 84,5 6,3 2,5
Pegawai 1,6 6,9 80,6 9,2 1,8
Wiraswasta 2,0 7,9 83,0 5,6 1,6
Petani/nelayan/buruh 1,0 8,7 84,1 5,3 0,9
Lainnya 2,9 2,6 86,5 7,3 0,7
Tempat tinggal
Perkotaan 1,6 7,8 82,4 6,6 1,6
Pedesaan 0,9 7,4 85,4 5,4 0,9
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 1,5 7,3 85,4 5,3 0,5
Menengah bawah 1,0 7,0 85,0 5,9 1,1
Menengah 1,2 8,1 84,2 5,3 1,1
Menengah atas 1,9 7,5 83,3 6,2 1,2
Teratas 1,3 8,3 79,5 8,2 2,8

3.14.3. Status Gizi Dewasa


Status gizi dewasa adalah penilaian status gizi penduduk diatas 18 tahun yang dinilai dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = Berat badan (Kg) ÷ Tinggi badan(m)²

Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi pendudukdewasa adalah sebagai
berikut:
Kategori kurus IMT < 18,5
Kategori normal IMT >=18,5 - <24,9
Kategori BB lebih IMT >=25,0 - <27,0
Kategori obese IMT >=27,0

3.14.3.1.Status gizi dewasa menurut indeks masa tubuh (IMT)


Tabel 3.14.2. menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa menurut status IMT di masing
masing kabupaten/kota. Secara provinsi dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di
atas 18 tahun adalah 11 persen kurus, 62,1 persen normal, 11,7 persen BB lebih dan 15,2
persen obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk
kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah Kota Bekasi (23,4%), Kota
Depok (21%) dan Kota Bogor (20,1%).

179
Gambar 3.14.15
Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.14.16
Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) yang mengalami obesitas di
kabupaten/kota,Jawa Barat 2013

Gambar 3.14.15. menunjukkan prevalensi status gizi dewasa (>18 tahun) yang mengalami
obesitas menurut kabupaten/kota. Prevalensi obesitas pada responden dewasa (>18 tahun)
untuk angka provinsi (15,2%) lebih tinggi dari angka nasional (14,8%). Hampir 50 persen
kabupaten/kota (12 kabupaten/kota) di provinsi Jawa Barat angka obesitasnya diatas angka
provinsi (15,2%) dan angka nasional (14,8%) yaitu Kab. Bogor, Kab. Bandung, Kab.
Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Subang, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota
Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi dan Kota Banjar. Tertinggi di Kota Bekasi (23,4%) dan
terendah Kab. Garut (9,6%).

180
Tabel 3.14.2
Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut IMT dan karakteristik
Jawa Barat 2013

Status gizi menurut IMT Status gizi menurut IMT perempuan


laki-laki
Karakteristik Kurus Normal BB Obese Kurus Normal BB Obese
Lebih Lebih
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Kelompok Umur
19 22.8 69.9 3.9 3.4 24.5 66.0 4.0 5.5
20 – 24 17.7 71.9 5.5 5.0 16.5 67.0 7.0 9.4
25 – 29 12.7 71.5 8.1 7.7 8.9 64.2 11.2 15.7
30 – 34 9.5 69.4 10.9 10.2 5.8 57.7 14.5 22.0
35 – 39 7.8 68.1 12.1 12.0 4.9 53.0 16.2 25.9
40 – 44 7.2 66.7 13.2 13.0 4.6 50.9 16.9 27.5
45 – 49 7.6 66.1 13.1 13.2 5.7 50.0 16.7 27.6
50 – 54 8.9 66.4 12.0 12.6 8.1 52.2 15.0 24.7
55 – 59 11.5 65.4 11.7 11.3 10.8 54.8 13.1 21.3
60 – 64 14.6 66.9 9.2 9.4 14.7 55.5 12.4 17.4
65 + 26.6 62.7 6.3 4.4 25.4 56.3 7.9 10.4
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 21.9 67.5 5.9 4.7 20.6 58.3 9.6 11.5
Tidak tamat SD 16.1 70.9 7.3 5.7 12.5 56.9 12.4 18.2
Tamat SD 12.6 72.2 8.3 6.9 8.8 55.9 14.0 21.3
Tamat SLTP 11.7 69.9 9.9 8.6 7.9 56.9 13.4 21.8
Tamat SLTA 10.7 65.2 11.6 12.5 9.4 58.0 12.5 20.1
Tamat D1-D3/PT 5.4 57.5 17.0 20.1 7.4 57.9 13.4 21.2
Pekerjaan
Tidak bekerja 19.1 65.9 7.4 7.5 10.5 55.5 13.2 20.8
Sekolah 8.1 61.8 14.2 15.9 8.6 59.3 12.6 19.5
Pegawai 8.8 64.7 12.9 13.6 5.8 52.0 14.8 27.5
Wiraswasta 13.2 73.9 7.5 5.4 11.7 62.4 11.8 14.2
Petani/nelayan/buruh 11.3 65.0 11.0 12.6 9.9 56.2 13.0 20.9
Lainnya 19.1 65.9 7.4 7.5 10.5 55.5 13.2 20.8
Tempat Tinggal
Perkotaan 11.4 64.1 11.9 12.7 8.7 54.1 13.8 23.4
Pedesaan 12.8 72.6 8.1 6.5 11.5 60.0 12.1 16.4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 16.2 74.7 5.5 3.6 16.4 63.6 9.6 10.4
Menengah bawah 14.6 73.4 6.9 5.1 12.3 59.9 11.3 16.4
Menengah 12.8 70.5 9.1 7.6 10.0 57.3 13.3 19.4
Menengah atas 11.2 64.9 12.1 11.9 7.9 53.4 14.6 24.0
Teratas 7.4 60.8 14.5 17.3 6.2 53.7 14.5 25.6

Tabel 3.14.2 menyajikan hasil tabulasi silang antara status gizi penduduk dewasa menurut
IMT dengan beberapa variabel karakteristik.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi kurus, baik pada laki-laki maupun
perempuan cenderung lebih tinggi pada kelompok umur muda (19 tahun) dan kelompok umur
tua (65 tahun keatas). Prevalensi obesitas cenderung mulai meningkat sampai umur 50
tahun, dankemudian prevalensinya semakin rendah pada setiap kelompok umur.
Prevalensi obesitas lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan,sebaliknya
prevalensi kurus cenderung lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan.Prevalensi
obesitas cenderung lebih tinggi pada kelompok penduduk dewasa yang berpendidikan lebih
tinggi, sedangkan prevalensi obesitas berdasarkan pekerjaan menunjukkan pola yang tidak
jelas. Semakin tinggi kuintil Indeks Kepemilikan rumah tangga cenderung semakin tinggi pula
prevalensiobesitas.

181
3.14.3.2. Status gizi dewasa menurut indikator lingkar perut (LP)
Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang erat kaitannya dengan beberapa
penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP datas 90 cm atau perempuan dengan
LP di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitassentral (WHO Asia-Pasifik, 2005).Prevalensi
obesitas sentral untuk angka provinsi Jawa Barat (26,4%) lebih rendah dari angka nasional
(26,6%).

Gambar 3.14.16. menunjukkan prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur ≥ 15


tahunberdasarkan kabupaten/kota. Prevalensi obesitas sentral di provinsi Jawa Barat (26,4%)
hampir sama dengan angka nasional (26,6%). Sebanyak 15kabupaten/kotadi provinsi Jawa
Barat memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi nasional dan provinsi,
yaitu Kab. Bandung, Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, Kab. Indramayu, Kab. Purwakarta,
Kab. Karawang, Kab. Bekasi, Kota bogor, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota
Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Tertinggi di Kota Bekasi (38%) dan
Kab. Cirebon (15,2%).

Gambar 3.14.17
Prevalensi obesitas sentral pada penduduk umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota Jawa Barat 2013

3.14.4. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada Wanita Umur 15 -49 tahun (WUS)
dan Wanita Hamil

Gambar 3.14.17dan Gambar 3.14.18 disajikan gambaran masalah gizi pada wanita
usiasubur (WUS)15-49 tahun dan wanita hamil berdasarkan indikator Lingkar Lengan
Atas (LiLA). Hasil pengukuran LiLA disajikan menurut kabupaten/kota dan karakteristik.Untuk
menggambarkan adanya risiko kurang enegi kronis (KEK)dalam kaitannya dengan kesehatan
reproduksi pada WUS digunakan ambang batasnilai rerata LiLA<23,5 cm.

Prevalensi risiko KEK wanita tidak hamil provinsi Jawa Barat lebih rendah (19,9%) dibanding
angka nasional (20,8%). Terdapat 11 kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK pada
wanita tidak hamil di atas angka nasional dan angka provinsi yaitu kota Sukabumi, Kabupaten
Subang, Kota Bekasi, Kab. Bogor, Kab. Ciamis, Kab. Cianjur, Kab. Indramayu, Kab.
Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kota Bandung, Kab. Sukabumi.

182
Gambar 3.14.18
Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Gambar 3.14.19
Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15 - 49 tahun menurut kabupaten/kota,
Jawa Barat 2013

Prevalensi risiko KEK berdasarkan tabulasi silang antara prevalensi risiko KEKdengan
karakteristik dapat dilihat pada Gambar 3.14.19 adalah:
a. Berdasarkan kelompok umur prevalensi resiko KEK pada wanita hamil dan tidak
hamil menunjukkan pola yang tidak jelas. Pada wanita hamil dan tidak hamil
prevalensi tertinggi pada kelompok umur 15-19 tahun, pada wanita hamil (34,6%) dan
wanita tidak hamil (43,9%).
b. Pada pendidikan prevalensi risiko KEK pada wanita hamil menunjukkan pola yang
tidak jelas, prevalensi tertinggi pada responden dengan tingkatpendidikan terendah
(tidak tamat SD sebesar 36,5%).

183
c. Menurut pekerjaan responden, prevalensi risiko KEK wanita hamil tertinggi pada
responden yang bekerja sebagai wiraswasta (25,3%), dan pada wanita tidak hamil
tertinggi pada responden yang bekerja sebagai pegawai (22,2%).
d. Secara provinsi, prevalensi risiko KEK pada wanita hamil perkotaan dan perdesaan
sama (21,6%), sementara wanita tidak hamil di perdesaan lebih tinggi (21,5%)
dibandingkan perkotaan (19,2%).
e. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan rumah tangga, menunjukkan prevalensi risiko
KEK wanita hamil dan wanita tidak hamil tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan
teratas, pada wanita hamil (28,6%) dan wanita tidak hamil (23,7%).

Gambar 3.14.20
Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis (KEK), menurut umur,
Jawa Barat 2013

3.14.5. Wanita hamil berisiko tinggi


Data Gambar 3.14.20. menunjukkan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi. Prevalensi wanita
hamil berisiko tinggi provinsi Jawa Barat (35,4%) lebih tinggi dari angka nasional (31,3%).
Terdapat 14 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dengan prevalensi wanita hamil berisiko
tinggi diatas prevalensi provinsi dan nasional, yaitu Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur,
Kab. Bandung, Kab. Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, Kab.
Indramayu, Kab. Subang, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar.
Prevalensi wanita hamil risiko tinggi terbanyak di Kab. Tasikmalaya (61,9%), dan terendah di
Kota Cirebon (9,7%).

184
Gambar 3.14.21
Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

3.14.6. TES CEPAT IODIUM DALAM GARAM

Informasi tentang konsumsi garam beriodium pada Riskesdas 2013 Blok I no.10 yaitu dari
hasil tes cepat sampel garam rumah tangga (RT) di seluruh 12.000 blok sensus (BS) yang
mencakup seluruh kabupaten/kota. Metode tes cepat yang dilakukan oleh petugas
pengumpul data dengan menggunakan larutan tes cepat yaitu meneteskan larutan tersebut
pada sampel garam yang digunakan di RT. Rumah tangga dinyatakan
mempunyai/mengkonsumsi ‘garam mengandung cukup iodium (30 ppm KIO3)’ bila hasil tes
cepat garam berwarna biru/ungu tua; mempunyai ‘garam mengandung tidak cukup iodium (<
30 ppm)’ bila hasil tes cepat berwarna biru/ungu muda; dan dinyatakan mempunyai ‘garam
tidak mengandung iodium’ bila hasil tes cepat tidak berwarna.

Hasil ini masih belum mencapai target Universal Salt Iodization (USI) atau “garam beriodium
untuk semua” yaitu minimal 90 rumah-tangga menggunakan garam mengandung cukup
iodium.

Tabel 3.14.29. menunjukkan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium
di kabupaten/kota provinsi Jawa Barat, kriteria konsumsi garam beriodium yaitu cukup,
kurang dan tidak ada. Persentase terbanyak adalah rumah tangga dengan konsumsi garam
beriodiumnya cukup (68,6%), kemudian rumah tangga dengan kosumsi garam beriodiumnya
kurang (20,5%) dan terendah adalah rumah tangga yang tidak ada garam beriodium (10,9%).

Pada rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodiumnya cukup, tertinggi di Kab.
Bandung (91,3%), dan terendah Kab. Sukabumi (38,3%). Untuk rumah tangga yang
mengkonsumsi garam beriodiumnya kurang, tertinggi di Kota Sukabumi (53,4%), dan
terendah Kota Bogor (5,8%). Sedangkan rumah tangga yang tidak ada garam beriodiumnya,
tertinggi di Kab. Cianjur (25,1%), dan terendah Kota Depok (1,1%).

185
Tabel 3.14.3
Persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium menurut
hasil tes cepat dan kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Iodium garam dikonsumsi


Kabupaten/kota
Cukup Kurang Tidak ada
Bogor 62.1 20.5 17.4
Sukabumi 38.3 48.7 13.0
Cianjur 43.6 31.3 25.1
Bandung 73.9 19.3 6.9
Garut 81.9 14.6 3.5
Tasikmalaya 56.2 24.1 19.6
Ciamis 61.4 28.2 10.4
Kuningan 90.6 7.3 2.0
Cirebon 81.6 10.7 7.7
Majalengka 65.5 21.4 13.1
Sumedang 81.1 16.7 2.2
Indramayu 74.6 17.2 8.2
Subang 66.8 22.6 10.7
Purwakarta 57.8 23.8 18.4
Karawang 64.0 15.6 20.4
Bekasi 55.6 28.3 16.2
Bandung Barat 74.6 12.5 12.9
Kota Bogor 85.3 5.8 8.9
Kota Sukabumi 42.8 53.4 3.9
Kota Bandung 91.3 8.6 0.1
Kota Cirebon 57.5 36.1 6.4
Kota Bekasi 77.9 18.2 3.9
Kota Depok 90.6 8.3 1.1
Kota Cimahi 85.9 12.7 1.4
Kota Tasikmalaya 65.4 29.3 5.4
Kota Banjar 78.3 18.0 3.7
Jawa Barat 68.6 20.5 10.9

Rumah tangga yang cukup mengkonsumsi garam beriodium, menurut pendidikan kepala
keluarga semakin tinggi pendidikan semakin tinggi persentase konsumsi garam beriodium
cukupnya. Perkotaan lebih tinggi mengkonsumsi cukup garam beriodium (75,8%),
dibandingkan perdesaan (55,3%). Berdasarkan pekerjaan pegawai lebih tinggi
mengkonsumsi cukup garam beriodium (79,4%), dan terendah petani/nelayan/buruh (60,9%).
Untuk kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi kuintil semakin tinggi persentase konsumsi
garam beriodium cukupnya.

Untuk rumah tangga yang kurang mengkonsumsi garam beriodium, menurut pendidikan
kepala keluarga semakin tinggi pendidikan semakin rendah persentase rumah tangga yang
kurang mengkonsumsi garam beriodium. Perkotaan lebih rendah (16,1%), dibandingkan
perdesaan (28,7%). Berdasarkan pekerjaan petani/nelayan/buruh lebih tinggi (24,9%), dan
terendah pegawai (14,6%). Untuk kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi kuintil semakin
rendah rumah tangga yang kurang mengkonsumsi garam beriodium.

Untuk rumah tangga yang tidak ada garam beriodium, menurut pendidikan kepala keluarga
semakin tinggi pendidikan semakin rendah persentase rumah tangga yang tidak ada garam
beriodium. Perkotaan lebih rendah (8,1%), dibandingkan perdesaan (16%). Berdasarkan
pekerjaan petani/nelayan/buruh lebih tinggi (14,2%), dan terendah pegawai (5,9%). Untuk
kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi kuintil semakin rendah rumah tangga yang tidak ada
garam beriodium.

186
Tabel 3.14.4
Kandungan iodium garam rumah tangga hasil tes cepat menurut karakteristik,
Jawa Barat 2013

Iodium garam dikonsumsi


Karakteristik
Cukup Kurang Tidak ada
Tipe daerah
Perkotaan 75,8 16,1 8,1
Perdesaan 55,3 28,7 16,0
Pendidikan
Tidak sekolah 52,2 29,3 18,6
Tidak Tamat SD 57,1 26,2 16,7
Tamat SD 64,0 23,3 12,7
Tamat SLTP 72,8 18,3 8,9
Tamat SLTA 79,6 14,4 6,0
Tamat D1-D3/PT 84,5 11,9 3,7
Pekerjaan
Tidak berkerja 68,0 21,1 11,0
Pegawai 79,4 14,6 5,9
Wiraswasta 74,0 17,8 8,2
Petani/nelayan/buruh 60,9 24,9 14,2
Lainnya 72,3 14,9 12,8
Kuintil Indeks kepemilikan
Terbawah 46,4 33,3 20,3
Menengah bawah 59,6 25,3 15,1
Menengah 71,2 19,0 9,7
Menengah atas 74,9 16,9 8,2
Teratas 78,5 15,3 6,3

187
3.15 KESEHATAN INDERA
Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama
manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik.
Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh
telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman),
informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui
permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan
audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi
indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam
penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran).
Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan
pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat
ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih
mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh
organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga
dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan
pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan.
Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang
serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi
dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia
(PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
(PERHATI) juga melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera
setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional
berbasis komunitas.

3.15.1. KESEHATAN MATA


Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013
meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa
pin-hole) pada responden umur 6 tahun keatasserta pemeriksaan segmen anterior mata
terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan
mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa
dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan
dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah
(tumbling E) disesuaikandengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang
sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam
penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat
bekerja sama dengan tim enumerator.
Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata
terbaik <3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai
visus pada mata terbaik <6/60-3/60 atau mencakup severe low vision bilateral dan buta
unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea,
dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua
responden tanpa batasan umur.
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi
dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau
20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat
Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata
dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (surveyor) yang bervariasi dalam
menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi
tersebut cenderung kurang valid.

188
3.15.1.1. Prevalensi Kebutaan
Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6
meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18,
dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban
untuk kategori visus, yaitu:
1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)
2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)
3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)
4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)
5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m
6. TIDAK DIPERIKSA

Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6),
kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low
vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60
sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden
berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa
visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami
kelumpuhan total.

Gambar 3.15.1. menunjukkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu


penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai kelompok umur, tetapi
menurun kembali pada kelompok responden lanjut usia (65 tahun keatas). Responden
perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak.
Gambar 3.15.2. menunjukkan makin tinggi pendidikan responden, maka makin tinggi pula
proporsi responden yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Proporsi
pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga kali lebih banyak dibanding
kelompok petani/nelayan/buruh.
Gambar 3.15.3.dan Gambar 3.15.4. menunjukkan makin tinggi kuintil indeks kepemilikan
responden, maka makin tinggi pula proporsi responden yang memiliki kaca mata atau lensa
kontak untuk melihat jauh. Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak
di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan.

Gambar 3.15.1. sampai dengan Gambar 3.15.4. juga menunjukkan kecenderungan


prevalensi penderita severe low vision dan kebutaan yang meningkat pesat pada kelompok
umur 45 tahun keatas, rata-rata peningkatan sekitar tiga kali lipat setiap 10 tahunnya.
Prevalensi severe low vision cenderung lebih tinggi pada penduduk perdesaan. Prevalensi
severe low vision dan kebutaan cenderung menurun pada kelompok penduduk dengan
tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

189
Gambar 3.15.1.
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
kelompok umur, Jawa Barat 2013

Gambar 3.15.2
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
pendidikan, Jawa Barat 2013

190
Gambar 3.15.3
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
kuintil indeks kepemilikan, Jawa Barat 2013

Gambar 3.15.4
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
tempat tinggal, Jawa Barat 2013

191
Gambar 3.15.5.menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada responden 6 tahun keatas
sebesar 0,3 persen (provinsi), dan 0,4 persen (nasional). Terdapat 4 provinsi yang prevalensi
kebutaannya di atas angka provinsi dan nasional yaitu Kab. Sukabumi, Kab. Majalengka,
Kab. Indramayu dan Kota Banjar. Prevalensi kebutaan terendah terdapat di 4
Kabupaten/Kota yaitu Kab. Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bekasi dan Kota Cimahi (0,1%) dan
tertinggi di 3 kabupaten/kota yaitu Kab. Sukabumi, Kab.Majalengka dan Kab.Indramayu
(0,6%). Tabel 3.15.4 menunjukkan prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, severe low vision
dan kebutaan. Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi lebih tinggi (4,8%) dibandingkan
dengan severe low vision (0,8%) dan kebutaan (0,3%).

Gambar 3.15.5.
Prevalensi kebutaan pada responden ≥ 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

192
Tabel 3.15.1
Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, low Vision dan kebutaan pada responden ≥6 tahun
keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Pakai kacamata/ Severe low


Kabupaten/kota Kebutaan
lensa kontak vision
Bogor 4,4 0,4 0,1
Sukabumi 2,1 2,0 0,6
Cianjur 4,2 1,0 0,4
Bandung 4,3 0,6 0,2
Garut 1,4 0,5 0,2
Tasikmalaya 2,4 0,4 0,3
Ciamis 3,2 1,6 0,3
Kuningan 2,5 1,4 0,3
Cirebon 2,1 1,0 0,4
Majalengka 3,4 1,2 0,6
Sumedang 7,4 1,1 0,3
Indramayu 1,9 1,4 0,6
Subang 4,1 0,9 0,4
Purwakarta 4,0 0,7 0,2
Karawang 1,9 0,8 0,3
Bekasi 5,1 0,4 0,3
Bandung Barat 4,7 0,7 0,3
Kota Bogor 5,2 0,4 0,2
Kota Sukabumi 6,9 0,4 0,1
Kota Bandung 11,5 1,8 0,2
Kota Cirebon 8,8 1,3 0,4
Kota Bekasi 6,6 0,2 0,1
Kota Depok 12,4 0,4 0,4
Kota Cimahi 10,2 0,1 0,1
Kota Tasikmalaya 7,9 0,4 0,2
Kota Banjar 4,8 0,4 0,5
Jawa Barat 4,8 0,8 0,3

3.15.1.2. Kelainan Permukaan Mata dan Lensa


Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium
dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh
surveyor adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan
penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua
responden.
Tabel 3.15.2. menunjukkan prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut
karakteristik. Berdasarkan kelompok umur prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea
meningkat seiring dengan pertambahan umur responden. Pada jenis kelamin prevalensi
pterygium dan kekeruhan kornea lebih tinggi pada responden laki-laki daripada perempuan.
Untuk prevalensi pterygium daerah perdesaan (7,4%) lebih tinggi dibanding daerah perkotaan
(5,4%), sedangkan kekeruhan kornea daerah perdesaan (5,3%) lebih tinggi dibanding daerah
perkotaan (4,6%). Berdasarkan pendidikan semakin tinggi pendidikan prevalensi pterygium
semakin rendah demikian juga dengan kekeruhan kornea. Pada status pekerjaan prevalensi
pterygium dan kekeruhan kornea menunjukkan pola yang tidak jelas. Sedangkan status
kesejahteraan semakin tinggi tingkat kesejahteraan prevalensi pterygium dan kekeruhan
kornea semakin rendah.

193
Tabel 3.15.2
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur menurut
karakteristik, Jawa Barat 2013
Morbiditas permukaan mata
Karakteristik
Pterygium Kekeruhan kornea
Kelompok umur (tahun)
0-4 0,7 0,8
5-14 0,8 0,9
15-24 1,4 1,3
25-34 3,6 2,2
35-44 7,7 4,5
45-54 12,7 9,5
55-64 19,1 16,3
65-74 28,3 28,3
75+ 32,3 35,3
Jenis kelamin
Laki-laki 6,2 5,0
Perempuan 5,9 4,7
Tipe daerah
Perkotaan 5,4 4,6
Perdesaan 7,4 5,3
Pendidikan
Tidak sekolah 9,9 9,1
Tidak tamat SD 6,4 5,4
Tamat SD 9,5 7,3
Tamat SMP 4,0 3,1
Tamat SMA 4,0 3,1
Tamat PT 3,6 3,6
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 5,8 5,1
Pegawai 3,8 3,3
Wiraswasta 8,2 6,2
Petani/nelayan/buruh 12,1 8,9
Lainnya 9,0 5,6
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 9,5 7,2
Menengah bawah 7,6 6,1
Menengah 5,5 4,9
Menengah atas 4,6 3,8
Teratas 3,7 2,8

Gambar 3.15.6. menunjukkan prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea berdasarkan


kabupaten/kota. Angka provinsi untuk pterygium 6 persen dengan kabupaten/kota tertinggi
Kab. Garut (13,5%) dan terendah Kota Bogor (1,4%). Sedangkan angka provinsi kekeruhan
kornea (4,9%) dengan kabupaten/kota tertinggi Kota Tasikmalaya (10,9%) dan terendah Kota
Bogor dan Kota Bandung (1,6%).

194
Gambar 3.15.6.
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Tabel 3.15.3. menunjukkan prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani
operasi katarak. Berdasarkan kelompok umur prevalensi katarak meningkat seiring dengan
meningkatnya umur. Prevalensi katarak berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih tinggi
(1,6%) dari laki-laki (1,4%). Prevalensi katarak berdasarkan daerah perdesaan lebih tinggi
(1,8%) dibanding perkotaan (1,4%). Sedangkan berdasarkan pendidikan dan status
pekerjaan prevalensi katarak menunjukkan pola yang tidak jelas. Untuk tingkat kesejahteraan,
semakin tinggi tingkat kesejahteraan semakin rendah prevalensi kataraknya.

195
Tabel 3.15.3
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden
semua umur menurut karakteristik, Jawa Barat2013

Alasan belum operasi


Karakteristik Katarak Tidak tahu Tidak mampu Takut
kalau katarak membiayai operasi
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 13,6 8,2 22,5
25-34 0,3 50,2 22,4 2,7
35-44 0,8 59,7 10,6 6,8
45-54 2,8 63,3 15,5 5,1
55-64 6,6 55,7 11,9 7,0
65-74 12,6 55,0 13,1 8,2
75+ 18,3 48,1 10,0 7,7
Jenis kelamin
Laki-laki 1,4 56,1 12,1 7,2
Perempuan 1,6 54,8 13,4 7,0
Tipe daerah
Perkotaan 1,4 54,7 10,5 8,9
Perdesaan 1,8 56,4 16,2 4,4
Pendidikan
Tidak sekolah 3,5 61,0 13,1 3,7
Tidak tamat SD 1,8 58,8 10,0 3,9
Tamat SD 2,6 53,2 15,8 8,9
Tamat SMP 0,6 54,0 2,7 7,6
Tamat SMA 0,6 47,8 10,8 8,5
Tamat D1-D3/PT 0,9 63,9 1,8 11,7
Pekerjaan
Tidak bekerja 1,9 51,2 13,8 7,4
Pegawai 0,5 58,4 1,4 7,6
Wiraswasta 1,8 60,9 7,1 12,7
Petani/nelayan/buruh 2,6 60,1 15,1 4,2
Lainnya 1,5 66,1 2,4 8,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 2,5 57,7 12,5 4,2
Menengah bawah 2,3 54,7 16,3 4,8
Menengah 1,5 60,0 13,3 7,7
Menengah atas 1,0 48,6 11,8 13,8
Teratas 0,6 50,4 3,6 12,5

Gambar 3.15.7. menunjukkan prevalensi katarak berdasarkan kabupaten/kota di provinsi


Jawa Barat. Prevalensi katarak secara provinsi, angka prevalensinya lebih rendah (1,5%)
dibandingkan dengan angka nasional (1,8%). Terdapat 6 Kabupaten/Kota yang prevalensi
kataraknya di atas angka provinsi dan nasional, yaitu Kota Cirebon, Kab. Bandung Barat,
Kab. Bandung, Kab. Subang, Kab. Purwakarta dan Kabupaten Kuningan. Prevalensi katarak
tertinggi di Kabupaten Kuningan (5,2%) dan terendah Kabupaten Bogor (0,4%).

Tabel 3.15.4. menunjukkan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak, alasan
tersebut adalah tidak tahu kalau katarak, tidak mampu membiayai dan takut operasi. Dari
ketiga alasan tersebut paling banyak adalah tidak tahu kalau katarak (55,4%) kemudian diikuti
tidak mampu membiayai (12,8%) dan takut operasi (7,1%). Untuk alasan tidak tahu kalau
katarak terbanyak di Kabupaten Subang (77,9%). Untuk alasan tidak mampu membiayai
terbanyak di Kabupaten Bogor (27%), sedangkan alasan takut operasi terbanyak di Kota
Depok (36,9%).

196
Gambar 3.15.7.
Prevalensi katarak pada responden semua umur
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Tabel 3.15.4
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden
semua umur menurut kabupaten/kota, Jawa Barat2013

Alasan belum operasi


Kabupaten/kota Katarak Tidak tahu kalau Tidak mampu Takut
katarak membiayai Operasi
Bogor 0,4 46,2 27,0 2,5
Sukabumi 1,7 63,9 14,3 2,5
Cianjur 1,2 65,4 13,0 0,0
Bandung 3,2 66,7 7,4 8,0
Garut 1,1 41,4 3,2 4,0
Tasikmalaya 1,5 32,3 18,5 1,8
Ciamis 1,0 67,1 7,0 0,0
Kuningan 5,2 49,9 21,4 13,6
Cirebon 1,1 28,2 7,1 24,2
Majalengka 1,6 45,1 20,2 0,0
Sumedang 1,5 32,5 21,6 2,5
Indramayu 1,3 65,0 8,5 8,3
Subang 3,3 77,9 5,7 1,0
Purwakarta 4,2 68,3 15,9 5,9
Karawang 1,4 30,9 21,9 18,5
Bekasi 0,7 31,3 24,6 4,9
Bandung Barat 2,9 78,7 10,0 0,7
Kota Bogor 0,9 6,5 11,1 7,9
Kota Sukabumi 0,7 45,5 0,0 12,3
Kota Bandung 0,7 26,4 4,7 10,2
Kota Cirebon 2,8 77,0 6,7 6,6
Kota Bekasi 1,6 62,7 12,0 10,2
Kota Depok 0,6 18,3 13,3 36,9
Kota Cimahi 0,4 32,3 23,7 5,5
Kota Tasikmalaya 1,0 61,5 7,9 0,0
Kota Banjar 1,2 41,6 9,5 5,0
Jawa Barat 1,5 55,4 12,8 7,1

197
3.15.2. KESEHATAN TELINGA
Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga,
kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta
adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk
fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna
wicara.
Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes
yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan
untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan,
sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi.

3.15.2.1 Prevalensi Ketulian


Pada survey ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut:

Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya.


Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan
satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya.
Jika responden dapatmengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” 
pendengaran NORMAL.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan
satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta
mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor
responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu
kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta
mengulanginya dan jika responden dapatmengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor
responden adalah “3  gangguan pendengaran sedang.
Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “4”  ketulian.

Menurut tabel 3.15.5 berdasarkan karakteristik, prevalensi gangguan pendengaran menurut


kelompok umur, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur responden. Bila
dilihat dari jenis kelamin perempuan lebih tinggi (2,7%) dari laki-laki (2,3%). Berdasarkan
daerah perdesaan lebih tinggi (2,9%) lebih tinggi dari perkotaan (2,3%). Berdasarkan
pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin rendah prevalensi gangguan pendengaran.
Sedangkan berdasarkan pekerjaan prevalensi gangguan pendengaran tidak menunjukkan
pola yang jelas. Prevalensi gangguan pendengaran berdasarkan tingkat kesejahteraan
menunjukkan semakin tinggi kuintil semakin rendah prevalensi gangguan pendengaran.

Prevalensi ketulian menurut karakteristik berdasarkan umur tidak menunjukkan pola yang
jelas, ketulian paling banyak pada umur 65-74 tahun (0,3%). Sedangkan berdasarkan jenis
kelamin, tipe daerah dan tingkat kesejahteraan tidak ada perbedaan (0,1%). Berdasarkan
pendidikan semakin tinggi pendidikan semakin tidak mengalami ketulian. Prevalensi
gangguan pendengaran berdasarkan status pekerjaan menunjukkan pola yang tidak jelas,
paling banyak pada yang tidak bekerja dan wiraswasta (0,9%).

198
Tabel 3.15.5
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia ≥ 5 tahun sesuai tes
konversasi menurut karakteristik, Jawa Barat 2013

Karakteristik Gangguan Pendengaran Ketulian


Kelompok umur (tahun)
5-14 0,8 0,0
15-24 0,8 0,1
25-34 1,1 0,0
35-44 1,1 0,0
45-54 2,0 0,1
55-64 5,6 0,1
65-74 18,0 0,3
75+ 38,6 1,1
Jenis kelamin
Laki-laki 2,3 0,1
Perempuan 2,7 0,1
Tipe daerah
Perkotaan 2,3 0,1
Perdesaan 2,9 0,1
Pendidikan
Tidak sekolah 5,7 0,2
Tidak tamat SD 3,5 0,1
Tamat SD 3,0 0,1
Tamat SMP 1,2 0,0
Tamat SMA 1,1 0,0
Tamat PT 0,9 0,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 2,3 0,9
Pegawai 0,3 0,5
Wiraswasta 0,9 0,9
Petani/nelayan/buruh 2,3 1,1
Lainnya 1,6 0,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 4,6 0,1
Menengah bawah 3,1 0,1
Menengah 2,2 0,1
Menengah atas 1,7 0,1
Teratas 1,3 0,1

Gambar 3.15.8. menunjukkan prevalensi ketulian berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi


Jawa Barat. Prevalensi ketulian secara provinsi, angka prevalensinya lebih tinggi (0,1%)
dibandingkan dengan angka nasional (0,09%). Terdapat 2 kabupaten/kota yang prevalensi
ketuliannya di atas angka Provinsi dan nasional, yaitu Kab. Ciamis dan Kab. Kuningan.
Prevalensi ketulian tertinggi di Kab. Ciamis dan Kab.Kuningan (0,2%). Terendah terdapat 9
Kabupaten/Kota yaitu Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Subang, Kab. Karawang, Kab.
Bandung Barat, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Cimahi (0%).

199
Gambar 3.15.8.
Prevalensi ketulian responden usia ≥ 5 tahun
menurut kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

Gambar 3.15.9 menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian berdasarkan


kabupaten/kota, prevalensi gangguan pendengaran lebih tinggi (2,5%) dari prevalensi
ketulian (0,1%).

Gambar 3.15.9.
Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat 2013

200
3.15.2.2. Morbiditas Telinga
Morbiditas telinga yang dilihat pada Riskesdas 2013 yaitu serumen, sekret di liang telinga dan
abses fistel retroaurikular.

Tabel 3.15.6
Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia≥2 tahun menurut
karakteristik Jawa Barat2013

Sekret di Liang Abses fistel


Provinsi Serumen
telinga retroaurikular
Kelompok Umur (Tahun)
2-4 17,1 3,4 0,1
5-14 18,2 4,1 0,1
15-24 11,6 3,0 0,2
25-34 12,5 3,0 0,2
35-44 14,6 2,5 0,1
45-54 17,6 2,6 0,1
55-64 21,0 2,4 0,3
65-74 29,3 2,9 0,8
75+ 35,4 4,7 0,9
Jenis Kelamin
Laki-laki 17,3 3,1 0,2
Perempuan 14,9 3,1 0,1
Tipe daerah
Perkotaan 16,0 3,6 0,2
Perdesaan 16,3 2,1 0,1
Pendidikan
Tidak sekolah 20,6 3,2 0,4
Tidak tamat SD 20,4 3,6 0,2
Tamat SD 17,5 2,9 0,2
Tamat SMP 13,9 3,1 0,1
Tamat SMA 11,1 2,8 0,1
Tamat PT 7,1 2,0 0,1
Status
Tidak bekerja 15,1 3,0 0,2
Pegawai 10,2 2,5 0,1
Wiraswasta 15,0 2,3 0,2
Petani/nelayan/buruh 20,7 3,3 0,3
Lainnya 14,1 2,8 0,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 20,3 3,2 0,3
Menengah bawah 18,6 4,0 0,2
Menengah 17,0 3,0 0,2
Menengah atas 15,2 3,2 0,1
Teratas 10,6 2,2 0,1

Menurut Tabel 3.15..6 berdasarkan karakteristik, prevalensi serumen menurut kelompok


umur, menunjukkan pola yang tidak jelas dan yang paling banyak pada kelompok umur 75+
tahun (35,4%). Berdasarkan jenis kelamin laki-laki (17,3%) lebih banyak dibanding
perempuan (14,(%). Bila dilihat dari daerah, perdesaan dan perkotaan hampir sama.
Berdasarkan pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin rendah prevalensi serumen.
Sedangkan berdasarkan pekerjaan prevalensi serumen tidak menunjukkan pola yang jelas.
Prevalensi serumen berdasarkan tingkat kesejahteraan menunjukkan semakin tinggi kuintil
semakin rendah prevalensi serumen.
Prevalensi sekret di liang telinga menurut karakteristik berdasarkan umur tidak menunjukkan
pola yang jelas, paling banyak pada umur 75+ tahun (4,7%). Sedangkan berdasarkan jenis

201
kelamin tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tipe daerah,
perkotaan lebih tinggi (3,6%) dibandingkan dengan perdesaan (2,1%). Bila dilihat
berdasarkan pendidikan dan status pekerjaan prevalensi sekret di liang telinga tidak
menunjukkan pola yang jelas. Prevalensi sekret di liang telinga berdasarkan tingkat
kesejahteraan menunjukkan semakin tinggi kuintil semakin rendah prevalensi sekret di liang
telinga.
Prevalensi abses fistel retroaurikular menurut umur menunjukkan pola yang tidak jelas.
Berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi (0,2%) daripada perempuan (0,1%). Daerah
perkotaan lebih tinggi (0,2%) daripada perdesaan (0,1%). Berdasarkan pendidikan semakin
tinggi pendidikan prevalensi abses fistel semakin rendah, demikian juga dengan tingkat
kesejahteraan semakin tinggi kuintil semakin rendah prevalensi abses fistel retroaurikular.

Tabel 3.15.7
Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia ≥ 2 tahun menurut
kabupaten/kota, Jawa Barat2013

Abses fistel
Kabupaten/kota Serumen Sekret di liang telinga
retroaurikular
Bogor 20,8 5,0 0,2
Sukabumi 12,3 0,8 0,2
Cianjur 12,9 1,7 0,2
Bandung 27,9 13,8 0,2
Garut 15,3 2,4 0,2
Tasikmalaya 28,6 0,7 0,1
Ciamis 17,4 0,3 0,2
Kuningan 8,5 0,9 0,0
Cirebon 8,6 0,5 0,2
Majalengka 26,4 1,2 0,2
Sumedang 23,6 1,9 0,1
Indramayu 16,7 0,4 0,0
Subang 17,0 0,4 0,2
Purwakarta 31,4 2,4 0,0
Karawang 8,4 1,5 0,1
Bekasi 0,4 2,3 0,1
Bandung Barat 4,1 0,5 0,2
Kota Bogor 27,0 10,2 0,1
Kota Sukabumi 28,8 2,7 0,0
Kota Bandung 4,3 1,4 0,1
Kota Cirebon 9,4 0,9 0,1
Kota Bekasi 22,7 4,5 0,4
Kota Depok 7,4 2,8 0,3
Kota Cimahi 23,1 3,2 0,2
Kota Tasikmalaya 37,0 0,3 0,2
Kota Banjar 15,7 0,6 0,1
Jawa Barat 16,1 3,1 0,2

Tabel 3.15.17 menunjukkan prevalensi morbiditas telinga berdasarkan kabupaten/kota,


berturut-turut prevalensi morbiditas yaitu serumen (16,1%), sekret di liang telinga (3,1%) dan
abses fistel retroaurikular (0,2%).

202
Daftar Pustaka

1. Sekretariat Negara RI, UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025

2. Kementerian Kesehatan RI.,Peraturan pemerintah no.72 tahun 2012 tentang Sistem


Kesehatan Nasional

3. Badan Litbang, Kemenkes RI. 2009. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar tahun
2007. Jakarta.

4. Kementerian Kesehatan RI., 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.


Kemenkes RI, Jakarta

5. Kementerian Kesehatan RI., Permenkes no. 027 tahun 2012 tentang Penanggulangan
Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK)

6. WHO 2002. www.WHO.int/healthinfo/survey/en

7. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012
Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1—150.

8. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The
seventh report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited
2007 Nov 2). Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf.

9. Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate


hyperglycaemia. Geneva: WHO; 2006. P.9—43.

10. Kemenkes RI. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta , 2012
hal 1-73.

11. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta 1999.

12. Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

13. Pusat promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, 2009. Rumah Tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat.

14. Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-
deleted life table analysis. BMJ Open 2012;2: e000828. doi:10.1136/ bmjopen-2012-
000828.

15. World Heatlh Organization. 2012. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC)
Analysis Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic
Diseases and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps.

16. World Heatlh Organization. 2012. WHO STEPS Instrument Question-by Question
Guide (core and expanded). Surveillance and Population-based Prevention.
Department of Chronic Diseases and Health Promotion,Geneva.
www.who.int/chp/steps.

17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun
2010, Jakarta.

203
18. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah
Setempat Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.

19. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-
content/.../download.php?id=59.

20. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin,


www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56.

21. Kemenkes RI, 2011. “Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan”, Jakarta.

22. Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun
2012.

23. Rajagukguk, Omas Bulan, 2010, Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi,
Salemba Empat, Jakarta.

24. Republik Indonesia, 2002, Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, Jakarta

204
LAMPIRAN

1. SK.Menkes untuk Riskesdas 2013


2. SK Korwil III Riskesdas 2013
3. Kuesioner Rumah Tangga (RKD13.RT)
4. Kuesioner Individu (RKD13.IND)
5. Persetujuan Etik
6. Informed consent
7. Rekomendasi Penelitian
8. Estimasi Kesalahan Sampel Riskesdas 2013

205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220

Anda mungkin juga menyukai