Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PEMBAHASAN

Selain itu pasien ini mengeluhkan batuk sejak 1 minggu SMRS dan
semakin memberat 5 hari terakhir. Batuk dirasakan hilang timbul dan disertai
adanya dahak berwarna putih, namun pasien mengaku sulit untuk mengeluarkan
dahaknya tersebut. Pasien terkadang juga mengeluhkan sesak nafas yang hilang
timbul. Keluhan batuk dan sesak napas paa pasien ini dicurigai sebagai gangguan
pada sistem respirasi. Ditambah dengan hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya
peninkatan suara dasar vesikular dan ronki basah kasar pada kedua lapang paru.
Serta hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya infiltrat disertai air
bronchogram di suprahilus bilateral yang sugestif pneumonia. Meskipun hasil
pemeriksaan darah rutin pada pasien ini tidak menunjukkan adanya peningkatan
leukosit yang mendukung infeksi pneumonia hal ini mungkin dikarenakan kondisi
immunocompromised akibat HIV. Dari anamnesis tidak didapatkan adanya
riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya oleh karena itu pasien ii didiagnosis
dengan Community Acquire Pneumonia (CAP). Terapi yang diberikan pada
pasien ini meliputi : (1) Oksigenasi dengan nasal kanul bila pasien sesak. Pada
pasien pneumonia didapatkan shunt intrapulmoner yang menyebabkan
menurunnya PaO2 dan SaO2. Pemberian oksigen ini bertujuan untuk
meningkatkan fraksi inspirasi. FIO2 tinggi akan meningkatkan tekanan parsial
oksigen di alveolus (PAO2), sehiggga gradien oksigen pada membran alveolus
meningkat pula, hal ini berdampak membaiknya hipoksemia, dan berkurangnya
sesak nafas. (2) Antibiotik empiris spektrum luas harus segera diberikan pada
pasien ini sambil menunggu hasil kultur mikroba dan resistensi antibiotik. Pada
pasien ini diberikan Cefoperazone (sefalosporin generasi III) Sulbactam (beta-
lactamase inhibitor). Alasan pemilihan antibiotik ini disesuaikan dengan pola
sensitivitas kuman di RSDM. Menurut IDSA untuk terapi CAP pada pasien
dengan komorbid dalam hal ini imunoompromise (HIV) dapat diberikan antibiotik
golongan fluoroquinolon respirasi atau kombinasi beta lactam dan makrolid. (3)
Juga diberikan N acetylsistein 3x200 mg sebagai mukolitik.
Pneumocistis Pneumonia merupakan koinfeksi pulmoner yang sering
ditemukan pada penderita HIV dan jarang terjadi pada penderita HIV dengan
CD4+ lebih dari 200 sel/mm2 . Gejala da tanda klinis pada PCP ini tidak spesifik,
mirip dengan pneumonia bakterialis. Pada anamnesis yang mengarah ke PCP
didapatkan sesak, demam dan batuk yang tidak produktif. Pemeriksaan fisik
biasanya didapatkan takipneu dan takikardianamun tidak didapatkan ronk pada
auskultasi. Foto toraks menunjukkan adanya infiltral difus bilateral. Diagnosis
ditegakkan berasarkan pemeriksaan mikroskopis berasal dari sputum,
Bronchoalveolar lavage (BAL), dan jaringan paru. Diagnosis definitif ditegakkan
jika dari hasil pemeriksaan mikroskops dari sampel tersebut ditemukn adanya
kista pneumocictitiis jiruveci. Profilaksis PCP diberikan jika CD$+ < 200
sel/mm2 atau limfosit total < 14% dengan kandidiasis oral atau demam yang
tidak jelas penyebabnya berlangsung lebih dari 2 minggu. Regimen yang
diberikan adalah kotrimoksazole 2x480 mg atau dapsone 1x100 mg. Pada pasien
ini memnuhi kriteria untuk diberikan profilaksis dimana didapatkan nilai limfosit
sebesar 13.10%.

Dari hasil laboratorium pada pasien ini didapatkan peningkatan nilai


SGOT dan SGPT. Didapatkan nilai SGOT 131 u/dl dan SGPT 46 u/dl. SGOT
merupakan enzim yang terutama ditemukan di hepar dan jantung, namun dapat
juga ditemukan di berbagai organ lain seperti otot, eritrosit, pankreas, ginjal dan
otak. Kerusakan organ-organ tersebut atau adanya hemolisis dapat meningkatkan
kadar SGOT dalam serum. Sedangkan SGPT merupakan enzim yang terutama
ditemukan di hepar. Peningkatan SGPT menandakan adanya kerusakan pada
hepar. Peningkatankedua enzim tersebut mengindikasikan adanya injuri pada sel
hepar. Pada pasien dengan HIV hal ini bisa terjadi karena :

1. Koinfeksi virus hepatitis C, mengingat angka kejadian koinfeksi hiv dan virus
hepatitis cukup tinggi di negara berkembang. Menurut studi di eropa barat
dan amerika serikat, di atara penderita HIV-positif ditemukan infeksi HCV
sebesar 25-30%. Pemeriksaan serologi virus hepatitis yang sudah dilakukan
pada pasien ini adalah HbsAg dengan hasil non reactive. Namun belum
dilakukan pemeriksaan serologi untuk virus hepatitis C.
2. Peningkatan enzim transaminase juga mungkin diakibatkan oleh drug induced
liver njury (hepatitis imbas obat) setelah pemberian terapi antiretroviral.
NRTI dan nNRTI dilaporkan dapat mengakibatkan berbagai variasi derajat
keparahan hepatotoksisitas mulai dari peningkaan enzim transaminase sampai
terjandinya acute hepatic failure. Mekanisme nNRTI menyebabkan hal
tersebut ialah memalui hipersensitivitas pada sel hepatosit, sedangkan NRTI
menyebabkan toksisitas direk pada mitokondrial yang mengakibatkan
terganggunya fungsi hepar (Denue et al., 2013)
3. Selain kedua hal di atas peningkatan transaminase pada AIDS juga
berhubungan dengan aktivitas HIV itu sendiri. HIV RNA dapat ditemukan
pada sel hepatosit dan sinusoid. Beberapa studi melaporkan infeksi sel
hepatosit melalui CD4+ independen. Infeksi HIV pada heatosit terjadi melalui
endositosis atau co reseptor alternatif. Hal ini dikarenakan hepatosit tidak
mengekspresikan CD4+ layaknya sel T. Hepatosit yang terinfeksi lalu
mengalami apoptosis. Proses apoptosis ini berkontribusi untuk terjadinya
fibrosis. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa terdapat korelasi positif
antara HIV viral load dengan tingginya kadar SGPT dalam darah .

Anemia adalah kelainan hematologik yang paling sering dtemukan pada


infeksi HIV. Terjadi pada 60-80% pasien stadium akhir. Anemia ini akan
menyebabkan keluhan tipikal berupa sesak, lemas dan lesu. Patofisiologi anemia
pada HIV terjadi melalui 3 mekanisme dasar: (1) Menurunnya produksi eritrosit,
(2) Meningkatnya destruksi eritrosit dan (3) Inefekif hematopoiesis. Anemia yang
terjadi dapat merupaan anemia normositik normokromik karena danya infiltrasi
sumsum tulang sehingga menyebabkan apoptosis dari sel progenitor eritroid, atau
makrositik karena defisiensi vitamin B12 akibat virus HIV menyerang di mukosa
gastrointestinal sehingga mengganggu absorbsi. Penelitian oleh owi redu
melaporkan terjadi peningkatan serum B12 pada pasien HIV dengan terapi
antiretroviral. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah eritrosit.
Trombositopenia terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi HIV dan 30%
pasiendengan AIDS. Menurunnya jumlah trombosit terjadi melalui 2 mekanisme :
(1) meningkatnya destruksi platelet yang dimediasi imun seperti yang terjadi pada
ITP. (2) menurunnya produksi plaelet karena infeksi HIV pada megakariosit di
sumsum tulang.

Anda mungkin juga menyukai