Anda di halaman 1dari 8

29.

Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal


Oleh: Marjohan M.Pd

Saya sempat membaca tulisan Molly McManus yang berjudul “why do rich kids do
better than poor kids in school?” beberapa kali. Lantas saya teringat dengan kerabat saya
yang hidup dalam sikulus kemiskinan yang tinggal di pinggir Batang Anai (Sungai Anai) di
Lubuk Alung. Juga kenalan saya hidup di bawah garis kemiskinan, dalam rumah kayu kecil
yang lebih tepat disebut sebuah gubuk kecil dengan anggota keluarga yang cukup banyak.
Kerabat saya di pinggir Batang Anai di Lubuk Alung hidup dengat budget satu atau
dua dollar perhari. Mereka hidup sebagai buruh tani, mengumpulkan batu dan pasir untuk
dijual buat orang kota.
Di rumah kami, di kampung tersebut, tidak ada majalah, surat kabar dan buku-buku
cerita buat dibaca. Listrik saja baru dapat diakses beberapa tahun lalu. Saya beruntung bisa
pindah, dibawa orangtua, ke Payakumbuh, sehingga dapat memperoleh kesempatan
pendidikan yang lebih baik baik dibanding saudara-saudara saya di kampung. Sementara
saudara saya yang berprofesi sebagai buruh tani dan juga anak-anak mereka selalu punya
masalah dengan pendidikan, sering tinggal kelas hingga drop out dari sekolah. Akhirnya
anak-anak mereka kembali menjadi buruh tani mengikuti profesi orang tua mereka dan juga
hidup dalam garis kemiskinan. Apa yang dikatakan Molly McManus yaitu “mengapa anak-
anak keluarga kaya prestasinya lebih baik dari anak miskin” terulang lagi.
Fenomena seperti ini bisa saja terjadi di daerah lain di tanah air ini. Conny Semiawan
dalam St. Sularto (2010: 55-56) melaporkan hasil risetnya di empat daerah yang beragam di
Papua, yaitu: Merauke, Saruni, Nabire dan Jayapura. Masing-masing daerah
mewakilidaerah pantai, pedalaman dan pegunungan, perkampungan dan daerah kota,
dengan keragaman sifat, sikap dan kemampuan peserta didik yang berbeda- beda.
Temuan penelitian yang dipaparkan adalah tentang kondisi keterdidikan anak Papua
yang memperlihatkan keadaan yang memprihatinkan. Mereka ternyata mengalami
keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif,
motorik halus dan motorik kasar.
Perkembangan hidup anak ketika berusia dini sangat berpengaruh pada kesiapan
mereka untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan formal. Dapat dipastikan bahwa
sebagian besar dari anak Papua tidak akan siap untuk di bangku sekolah dasar dimana
kurikulum nasional deiberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Sampai
kapan pun anak-anak Papua akan mengalami hambatan dalam belajar jika tidak ada
intervensi dari pemerintah/ stake holder pendidikan untuk menaikan angka perkembangan
hidup nasional. Juga intervensi untuk mengembangkan kepribadian sosial, kemajuan
bahasa, sikap adaptif, motorik halus, dan motorik kasar dari anak-anak Papua.
Dibalik itu saya jadi teringat dengan kenalan saya yang hidup dalam lilitan
kemiskinan, mungkin pendapatan ekonominya per-hari adalah sekitar 2 dollar. Sebagai
buruh kecil- tukang tambal ban- rezekinya tidak menentu. Kalau lagi mujur maka banyak
anak ank remaja yang bocor atau kempes ban sepeda motornya maka dibawa begkel
tambal ban dan ia akan kebanjiran pekerjaan/ kebanjiran rezeki. Sehingga ia bisa membawa
uang yang agak berlebih buat membeli lauk pauk buat keluarga.
Kenalan saya yang miskin ini memiliki 5 orang anak yang sudah agak besar.
Pendidikan mereka sebelumnya juga susah paya untuk ditamatkan, karena selalu
bermasalah dengan guru dan matapelajaran. Ada yang sering tinggal dan juga ada yang
dropout dari bangku SMP. Sementara itu mereka memiliki rumah kayu yang berukuran kecil,
hanya ada satu ruangan buat berkumpul dan tidak ada ruang atau kamar untuk masing-
masing anggota keluarga.
Jika lagi panas terik atau suhu lagi tinggi, mereka memilih duduk di halaman di
bawah pokok pohon yang rindang. Kadang tempat itu juga berfungsi sebagai area keluarga-
living room terbuka.
Lilitan kemiskinan membuat anak-anak mereka tumbuh kurang berkualitas, mudah
emosional, sensitif sekali dan mudah cekcok oleh hal-hal sepele. Anak- anak mereka yang
sudah dewasa menikah, dan lagi-lagi juga dengan pasangan yang serupa karakternya.
Jadinya mereka tumbuh lagi dalam rumah kecil yang layak disebut pondok dengan gaya
hidup yang juga sama. Mereka tetap miskin dengan pengalaman dan juga miskin dengan
ilmu pengetahuan, terlebih juga miskin dengan keuangan. Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh
Molly McManus bertemu lagi yaitu “ mengapa anak-anak keluarga kaya lebih berprestasi/
beruntung dibandingkan anak-anak keluarga miskin”. Ya mereka cenderung mengulang
kemiskinan orangtua mereka.
Molly mcManus lebih lanjut menjelaskan tentang why do rich kids do better than poor
kids in school. Mengapa anak-anak keluarga kaya berprestasi lebih baik daripada anak-anak
orang miskin di sekolah. Penyebabnya adalah adanya “gap atau celah. Gap ini terbentuk
sejak berumur 3 tahun yaitu terlihat dari kualitas bahasa (jumlah kosakata). Kosakata anak-
anak keluarga kaya sedikit lebih banyak dari anak keluarga miskin.
Molly McManus menambahkan bahwa ada sebuah studi yang dilakukan 30 tahun
yang lalu dan ditemukan memang ada perbedaan (gap) antara anak-anak dari keluarga
yang rendah income-nya dengan keluarga yang bagus posisi ekonominya. Perbedaan
terlihat pada kualitas bahasa, persisnya bertukar bahasa antara anak dan orangtua. Dimana
bahasa anak keluarga kaya lebih intensif berkomunikasi dengan orangtuanya.
Akhirnya saya mengunjungi rumah kenalan saya yang hidup dililit kemiskinan dan
mencari tahu tentang kualitas kehidupan dan juga kualitas pendidikan anak-anak mereka
yang sering bermasalah di sekolah. Pendidikan mereka tertinggal dan penyebabnya antara
lain:
- Kondisi rumah mereka yang kecil hingga kesulitan menampung anggota keluarga,
tidak ada ruang atau kamar sendiri buat urusan privacy anak-anaknya. Suasana
rumah yang kecil dan pengap berpotensi menimbulkan stress.
- Tidak ada budaya membaca di rumah, sehingga kualitas bahasa juga kurag
menarik. Anggota keluarga cenderung berbahasa agak kasar, menghardik-hardik
dan mudah saling melukai perasaan satu sama lain.
- Tidak ada time management yang jelas, televisi menyala dari pagi hingga malam,
suasana ruah berisik dan anak tidak mengenal tetang pola tidur.
- Tidak ada model tetang cara bertanggungjawab, anak-anak kurang dilibatkan untuk
mengurus diri: memasak, mencuci, menstrika, terutama untuk anak laki-laki.
Jadinya anak-anak tumbuh menjadi orang yang pemalas.
- Tidak ada budaya memuji, yang ada adalah banyak mencela dan juga membulying
anggota keluarga sehingga ini sering memicu pertengkaran.
- Yang ada hanya budaya menonton, memerintah dan mengancam.
Namun tidak semua keluarga yang hidup dalam kategori miskin melahirkan anak-
anak yang lemah kualitas pendidikannya. Di tempat lain, beberapa tahun yang lalu, saya
juga berkenalan dengan keluarga miskin secara ekonomi. Namun di sana terasa adanya
kehangatan dalam berkomunikasi, terjalinnya bahasa yang sopan dan santun antara
orangtua dan anak.
Walau rumah mereka sederhana, tebuat dari kayu yang sudah dimakan usia,
dindingnya reot, namun di dalam rumah ada cukup kamar untuk anggota keluarga dan
mereka privacy. Sang ayah memiliki koleksi buku-buku berkualitas dan juga koleksi majalah.
Dan dia mengajak anak-anak mereka untuk juga cinta membaca. Sang ayah sendiri adalah
pembaca yang hebat. Uang boleh sedikit namun ilmu pengetahuan harus luas dan dalam,
karena ilmu pengetahuan yang luas akan membuat keluarga berwibawa dan dihargai
masyarakat.
Meski jumlah uang sedikit, sang ayah terbiasa menyisihkan uang buat membeli
buku-buku bekas yang berkualitas dan juga majalah bekas. Karena semua anggota
keluarga suka membaca, mereka jadi kaya wawasan dan gaya bahasa mereka juga
terpelihara dan sangat berkualitas, mereka saling menghargai dalam berkomunikasi. Anak-
anak anak juga terlatih untuk bertanggungjawab dan juga hidup mandiri, terbiasa melayani
diri dan juga melayani satu sama lain. Apa yang dikatakan oleh Molly McManus tidak
terbukti, karena anak keluarga miskin juga bisa lebih baik dari anak keluarga kaya.
Ada kisah nyata (true story) yang berjudul “True Story- Merry Riana Mimpi Sejuta
Dolar- sebuah kisah perjuangan yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-
pasan hingga bisa meraih penghasilan 1 juta dolar di usia 26 tahun, ditulis oleh Aberthiene
Endah (2012), Penerbit Gramedia- Jakarta. Buku tersebut milik perpustakaan sekolah saya,
tidak seorang pun yang tertarik membacanya. Bukan buku tersebut tidak punya kualitas,
namun karena semangat literasi kita rata-rata masih rendah. Namun secara iseng saya baca
dan akhir merasa sangat tertarik dan segera saya melahap isi buku tersebut.
Merry Riana mengatakan bahwa wajahnya cenderung menunjukan ekspresi tertawa.
Dia tumbuh sebagai anak perempuan yang lincah dan attraktif. Di sangat suka dengan hal-
hal yang berbau kesenian, dia sangat gemar menyanyi dan menari. Masa kecilnya dengan
pola hidup yang digelar orangtuanya memungkinkan dia berkembang menjadi anak
perempuan yang luwes.
Saat ada kerusuhan sara di Jakarta tahun 1998- saat juga terjadi krisis moneter,
terjadi pergesekan sosial orang yang merasa sebagai kaum pribumi merasa anti pada
keturunan etnis Tionghoa. Papa dan mamanya kemudian melakukan pembicaraan serius
dengannya untuk mendiskusikan masalah kuliahnya di luar negeri- karena kondisi Jakarta
dianggap rawan- dan dia sangat terkejut.
Dia adalah anak perempuan yang tidak pernah berpikir bahwa akan ada satu masa
di tengah masa mudanya, dia akan pergi meninggalkan keluarga atas alasan yang tidak
cukup enak. Yaitu kerusuhan. Papanya menjelaskan dan akan berjuang untuk mengatasi
biaya sehari-harinya di Singapura. Untuk biaya kuliah, mereka akan berutang pada bank
yang bekerjasama dengan institusi pendidikan yang mereka pilih. Dia mengangguk dengan
perasaan gentar.
Memang di dalam hidup kita tidak bisa banyak berharap tentang segala yang kita
dambakan bisa diraih dalam sekejap mata. Makanya kita harus melakukan perjuangan dan
berdoa, maka Allah akan menunjukan jalan selangkah demi selangkah. NTU menyediakan
pinjaman biaya pendidikan yang meliputi biaya srama, biaya kuliah, dan uang saku, yang
akan diberikan setiap enam bulan. Sementarauntuk biaya buku dan kebutuhan lainnya,
mahasiswa harus menanggung sendiri. Jumlah utang yang diberikan, jika ditotal mencapai
sekitar 300 juta rupiah atau 40 ribu dolar Singapura dalam kurs saat itu. Jadianya dia tak
perlu banyak berbelanja agar bekal uang dari orangtua tidak cepat habis.
Jadinya Merry Riana berfikir positif bahwa kepergiannya ke negeri orang tanpa
didampingi orangtuanya brangkali adalah cara Tuhan untuk mempersiapkan
kemandiriannya di sana. Dia berusaha untuk menciptakan keberanian semangat. Perasaan
bahwa dia sedang didik untuk mandiri.
Sebagai mahasiswa NTU, sebuah kondisi baru menyambutnya degan satu pilihan
saja: bertahan eksis sebagai mahasiswi dalam balutan kemiskinan. Dia bercerita bagaimana
menghadapi masa transisi yang cukup mencekam. Sebuah transisi yang mengantarkan dia
dengan kehidupan baru di mana pikiran dan keberanian sangat berpengaruh dalam
kelanjutan hidupnya.
Dia dan tidak pernah berdiskusi dengan orang-orang yang pernah melewatkan studi
di Singapura, setidaknya untuk menanyakan biaya hidup rata-rata, harga makanan rata-rata,
dan sebagainya. Ada konsep lihat saja nanti di antara keberanian yang dia hidupkan.
Akhirnya dia sampai di NTU. Seperti apa NTU itu ? Teramat sangat indah mengingatkannya
pada kampus Universitas Indonesia. Tetapi jauh lebih rimbun. Di kampus NTU dia mulai
merasakan detik-detik yang penting. Dia memesan nasi goreng. Tanpa tambahan apa-apa.
Nasi goreng polos. Habis makan, dia mulai mengambil dompet dan untuk pertama kalinya
dia mengegrakan jemarinya pada lembaran uang dolar Singapura. Pemilik kantin langsung
memberitahukan harganya padanya.
“Dua dolar,” di tahun 1998 kurs menjadi sepuluh ribu rupiah per dolar. Dua puluh ribu
harus dia keluarkan untuk sepiring nasi goreng tanpa imbuhan apapun. Hanya nasi, sedikit
bumbu dan kecap. Rasanya ia ingin mengatakan tak jadi mmbeli. Dia berpikir apakah bisa
makan dengan sepuluh ribu saja sekali makan. Bagaimana bila dia makan dengan sayuran,
dan lauk daging, buah dan minumannya ? Otaknya langsung disinggahi kalkulator dan dia
merasakan hidup mendadak jadi rumi sekali.
Saat memasuki kamar dia merasa berdebar. Kamar asrama ternyata tidak secantik
saat dia lihat dari sisi luar. Sama seperti kamar-kamar kos mahasiswa di Indonesia. Ruang
dalam kamar jauh dari dugaanya, ternyata kondisinya sangat sederhana. Di dalam kamar
berukuran 3 m x 4m itu hanya ada sebuah dipan kayu dengan kasur tanpa seprai, sebuah
meja tulis sederhana dan lemari kecil.
Hari itu dia dan sejumlah teman Indonesia yang memerlukan pinjaman dana untuk
kuliah akan diantar oleh senior ke sebuah bank pemerintah yang bekerja sama dengan
NTU. Mereka akan diberi pinjaman 300 juta rupiah dalam kurs dolar Singapura. Biaya sewa
asrama dan uang saku diberikan setiap enam bulan, sebesar 1.500 dolar.
Dia langsung berhitung dengan sangat cepat. Uang 1.500 dolar dibagi enam,
menjadi 250 dolar perbulan. Sewa asrama asrama 180 dolar perbulan. Sisa 70 dolar. Biaya
buku, fotokopi dan lain lain sekitar 30 sampai 50 dolar. Sisa sekitar 40 dolar. Wah dia
terpana, berarti uang saku yang ada hanya 10 dolar seminggu. Itu yang bisa digunakannya
buat hidup selama 7 hari, dan dia menjadi benar-banar lemah.
Ya itulah eksistensinya, mahasiswa yang harus bertahan hidup dengan uang 10
dolar Singapura seminggu, di mana harga sepiring nasi goreng polos tak kurang dari 2
dolar. Sementara dia harus makan tiga kali dalam sehari, selama tujuh hari. Fikirannya
mendadak begitu ruwet memikirkan perhitungan itu. Dan dia membangun semangat dengan
mati-matian.
Merry Riana membeli buku. Harga buku itu membuatnya terperanjat. Bagi
kebanyakan mahasiswa lain tu tidak mahal. Tapi untuknya, itu cukup untuk menguras isi
dompet. Seberapa kuat dana yang dia bawa dari Indonesia, hanya cukup untuk membeli
buku-buku awal kuliah. Sebelum berangkat ke Singapura dia memang telah membuatkan
akun email untuk mamanya agar mereka bisa berkirim kabar dengan gratis. Jika
mengandalkan telepon itu akan sangat menyedot biaya.
Dulu saat di Jakarta bila lapar dia sering merebus sendiri mi instant sekedar iseng
ingin mengganjal perut setelah makan. Tetapi tak pernah dia rasakan getaran sedramatis
seperti hari itu. Betapa berartinya kini mi instan itu bagi hidupnya.
Berjuang hemat, dia mengatasi rasa takutnya dan membangun keberanian dengan
paksa. Jatah uang saku sepuluh dolar ya sepuluh dolar. Dia tidak perlu berpura-pura dan itu
bukan di Jakarta. Dia sendiri menghadapi kenyataan hidup yang konkret. Hal pertama yang
dibangunnya adalah menciptakan sebanyak-banyaknya pikiran positif.
Uang sebanyak sepuluh dolar seminggu adalah jumlah yang membuat siapa pun di
Singapura akan bergidik jika itu diharuskan cukup untuk bertahan hidup seminggu. Masa
bertahan di tahun pertama kuliah merupakan embrio keberanian luar biasa yang akan
melontarkan dia pada semangat-semangat berikutnya. Saat itu dia belum terpikirkan untuk
melakukan hal apa pun guna mendapatkan tambahan uang, seperti kerja paruh waktu. Dia
putuskan untuk bertahan dengan strategi bisa menahan lapar sebisa mungkin. Itu saja
sudah cukup bagus.
Masalah selanjutnya adalah kecermatannya mengatur strategi untuk
mengoperasikan uang 10 dollar. Pada akhir pekan dia ke ATM, mengambil 10 dolar.
Kemudian membeli roti tawar besar yang akan menjadi bekalnya ke kampus setiap siang.
Satu bilah roti tawar cukup untuk beberapa hari. Setiap pagi dia merebus mi instant untuk
sarapan. Kadang dia bahkan tidak sarapan jika mi instan habis. Tidak ada makanan camilan
sampai jam makan siang tiba.
Dengan bekal roti tawar, dia tak perlu mengeluarkan uang untuk jajan di kantin. Apa
yang dia atur itu sangat mudah mengatakannya, tetapi sulit merealisasikannya. Kuliah teknik
dan praktikum adalah aktivitas yang menyedot energi. Pada pukul sepuluh dan sebelas dia
sudah didera kelaparan hebat. Mi instan rebus ternyata tak cukup kuat memberi energi
sampai menjelang siang.
Siang hari masalah lain muncul. Teman-teman kuliahnya biasanya akan melakukan
diskusi tentang pelajaran di kantin, sambil makan siang. Tentu saja dia ingin mengikuti ajang
diskusi itu karena penting bagi wawasannya. Mana kala temannya membeli makanan dan
bersantap sementara dia tidak. Pandangan mata teman terlihat menyelidik ke arahnya.
Beberapa kali dia mengatakan tidak lapar, tetapi akhirnya perutnya berbunyi.
Jadinya dia mengatur, dua atau tiga kali seminggu dia makan siang di kantin
sekolah. Itupun dengan memilih kedai yang paling murah- 1 dolar. Dengan uang sejumlah
itu dia bisa mendapatkan nasi dan 2 jenis sayuran. Biasanya dia memilih sayur tauge dan
sayur tahu. Yang menguntungkan di kedai itu juga disediakan sepanci besar kuah kari,
gratis. Dia paling bersemangat menyendok kuah kari atau kaldu, mana tahu bisa
mendapatkan potongan daging. Namun betapa langkanya dia menemukan sepotong daging
saat itu.
Dia sempat syok, dan hampir setiap malam dia duduk di depan jendela dan
menahan tangis. Dia mengusahakan bisa mengerjakan tugas kuliah sambl menahan perut
yang yang kurang kenyang dan perasaan sedih yang dalam. Di asrama ada mahasiswa
India yang hampir setiap hari aku kepergok olehnya sedang merebus mi.
“Hei, bukankah makanan itu tidak sehat kalau dimakan setiap hari ? Kamu tidak takut
sakit ?” Tanyanya dengan wajah menyiratkan keseriusan.
“ Aku suka sekali mi instan”, Jawab Merry Riana singkat dan tersenyum lagi.
Perasaannya benar-benar getir saat mengucapkannya.
Acara makan bekal roti tawar di kampus pun bukannya tanpa beban. Nyaris tak ada
satu pun mahasiswa yang membawa bekal, apalagi hanya dua lembar roti tawar ke kampus.
Maka dia akan melahap roti di...toilet, ya di toilet. Acap kali pintu toilet digedor orang yang
merasa curiga kenapa pintu toilet terkunci begitu lama tapi tak terdengar suara. Jika sudah
begitu, dia menekan tombol flush untuk memberi sinyal bahwa masih ada orang di dalam.
Dia juga tidak membeli air minum untuk menghemat uang. Bagaimana dia melepas
rasa dahaga ? Ya dari air keran. Biasanya mahasiswa memanfaatkan tap water untuk
mencuci muka atau sekedr mencuci tangan, tetapi bagi Marry buat minum- melepas
dahaga. Ya tap water itulah yang menjadi andalannya untuk minum. Dia menampung airnya
ke dalam botol air mineral kosong yang dia bawa.
Begitulah perjuangannya untuk bertahan mendapatkan tenaga dari makanan dengan
cara mengirit habis-habisan. Ada juga strategi unik menghemat uang sengaja mengikuti
jadwal kegiatan beberapa organisasi. Misalnya ada perkumpulan keagamaan, setiap kali
ada acara kumpul-kumpul, mereka akan menutup kegiatan dengan makan bersama yang
disediakan gratis.
Beberapa perjuangan hidup, manusia tidak akan mengetahui kekuatan maksimalnya,
sampai ia berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan. Jika hari ini
dia ditanya, kepada siapa dia harus berterimakasih atas sukses yang dia raih. Tentu
terimakasih patut ditujukan pada Allah- Tuhan yang telah memberikan dia kesulitan luar
biasa di usianya yang masih sangat belia. Ujian yang sulit melahirkan kekuatan ajaib yang
tidak terduga.
Perut Marry sudah terbiasa dengan asupan gizi yang datang dari mi instan rebus di
pagi hari, dua lembar roti tawar di siang hari, jika beruntung bisa numpang makan di acara-
acara berbagai organisasi, dan itupun juga jarang. Sesekali dia makan di kantin kampus dan
merasakan nikmatnya hidangan mewah berupa nasi, oseng tauge dan sepotong tahu.
Seharga 1 dolar.
Begitulah dia membangun rasa syukur atas kebertahanannya melewati hari hari
super irit- super hemat. Tak jarang sejumlah teman asrama melakukan janji beramai-ramai
hangout (nongkrong) ke Orchad. Sekadar mengopi atau berbelanja. Tak jarang pergi makan
siang ke kafe di luar kampus karena bosan dengan makanan di kantin. Godaan semacam
itu harus ia tahan mati-matian.
Buku tersebut sangat menginspirasi saya dan tentu juga menginspirasi banyak orang
lainnya. Saya merasa beruntung bisa menamtkan buku tersebut. Akhirnya Merry Riana
melakukan kerja sambilan. Ia sangat gigih dan seorang pemberani untuk berjuangan
mengatasi kesulitan hidupnya. Kerjanya adalah menyebarkan brosur buat orang yang lalu
lalang, itupun dengan upah yang kecil, namun jumlahnya cukup signifikan untuk mengatasi
kesulitan. Tidak mencari pekerjaan lainnya, hingga akhirnya ia bisa bekerja di perusahaan
yang berhubungan dengan servis di bidang keuangan. Juga buku ini membuktikan bahwa
anak yang miskin bisa lebih berhasil dibanding anak dari keluarga kaya.

Catatan: Alberthiene Endah (2012). Merry Riana True Story. Jakarta: Gramedia
St. Sularto, Ed (2010). Guru-Guru Keluhuran, Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga
Zaman, Jakarta: Kompas
Molly mcManus lebih lanjut menjelaskan tentang why do rich kids do better than poor kids in
school (https://newrepublic.com).

Anda mungkin juga menyukai