A. Uji Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk
menimbulkan kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh
yang peka. Uji toksisitas digunakan untuk mempelajari pengaruh suatu bahan kimia
toksik atau bahan pencemar terhadap organisme tertentu. Dalam toksikologi dan uji
tokisitas sering digunakan istilah-istilah berikut:
a. suhu berkisar antara 25-27°C dengan amplitudo harian kurang dari 5°C
b. derajat keasaman (pH) sebaiknya antara 6,0-7,5 atau setidak-tidaknya antara 5,0-
9,0
c. kandungan oksigen (O2) telarut antara 4,0-8,0 ppm atau setidak-tidaknya tidak
kurang dari 3 ppm
d. kandungan karbon dioksida (CO2) bebas antara 3,0-15,0 ppm atau setidaktidaknya
kurang dari 50,0 ppm
e. kandungan ammonia, nitrit atau nitrat tidak lebih dari 10,0 ppm
f. kandungan HCO3 antara 60,0-70,0 ppm
g. volume air sekitar satu liter per 0,8 g berat ikan.
Alat yang diperlukan dalam uji toksisitas antara lain bejana uji, aerator, dan
berbagai alat pendukung lainnya. Bejana uji yang baik yaitu yang terbuat dari bahan
gelas.
2. Organisme Uji
Dalam uji toksisitas dapat digunakan berbagai jenis organisme, misalnya anggota
kelompok crustacea, mollusca atau pisces (ikan); walaupun demikian, terdapat jenis-
jenis organisme uji yang direkomendasikan sejumlah besar referensi digunakan dalam
uji toksisitas baku, misalnya: Daphnia magna, Daphnia pulex, Chironomus plumosus,
Carrassius auratus, Cyprinus carpio dan
a. Pemeliharaan (holding)
1) Hewan uji dipindahkan dari lingkungan asal (misalnya kolam) ke air
pemeliharaan yang ditempatkan dalam laboratorium.
2) Lama pemeliharaan sejak diperoleh dari daerah asal kemudian diangkut ke
tempat pemeliharaan lebih kurang 14 hari.
3) Hewan uji diberi pakan satu kali per hari.
4) Hewan uji yang mati atau abnormal segera dibuang (Anonymous 1975).
b. Aklimasi (acclimation)
1) Hewan uji diadaptasikan dengan keadaan fisik laboratorium (lingkungan
pengujian) dengan cara berangsur-angsur dipindahkan dari 100% air
pemeliharaan ke 100% air uji.
2) Aklimasi dianjurkan selama minimal 10 hari. Apabila dalam waktu 48 jam lebih
dari 3% populasi hewan uji mati, maka populasi hewan uji dianggap tidak
memenuhi syarat untuk pengujian.
3) Dua hari sebelum diperlakukan, hewan uji tidak diberi pakan.
1) Masing-masing bejana uji diisi dengan 10 liter air jika hewan uji yang
digunakan sebanyak 10 ekor ikan dengan panjang 4-6 cm atau 1 liter air
untuk tiap 0,96 gram berat ikan.
2) Ke dalam tiap-tiap bejana uji yang telah diisi air dimasukkan 10 ekor hewan
uji.
3) Ke dalam masing-masing bejana uji dimasukkan bahan pencemar
dengan beberapa variasi konsentrasi.
4) Dilakukan pengamatan pola aktivitas hewan uji setiap 24 jam, mulai dari
0 jam sampai dengan 96 jam.
5) Penentuan LC50-96 jam dilakukan dengan pendekatan analisis regresi linier
sederhana atau dengan cara mengekstrapolasi titik ordinat 50% (sumbu Y)
ke garis regresi linier yang digambar di atas kertas grafik kemudian ditarik
garis tegak lurus absis (sumbu X).
Dalam uji toksisitas sebaiknya dilakukan aerasi pada setiap bejana uji, walaupun
sebagai pembanding dapat juga dilakukan pengujian tanpa pemberian aerasi.
Pemberian aerasi bertujuan agar diperoleh hasil yang lebih akurat karena efek yang
terjadi betul-betul disebabkan oleh bahan uji (senyawa kimia, air limbah, dan lain-lain),
bukan karena kekurangan oksiaen selama masa pengujian.
10,0
8,7
7,5
6,5
5,6
4,2
3,7
3,2
2,8
2,4
2,1
1,8
1,55
1,35
1,15
1,0
Catatan: angka-angka dalam kolom-kolom tabel di atas dapat dikalikan atau dibagi
dengan angka basis 10, misalnya 10 -3, 10-2, 10-1, 102, 103, dan seterusnya.
Umumnya penggunaan konsentrasi pada kolom-kolom 2, 3 dan 4 sudah
memadai untuk suatu pengujian pestisida. Guna memperoleh data yang
lebih akurat dapat digunakan angka-angka pada kolom 5.
C. Tolokukur subletal
Dalam uji toksisitas disamping tolokukur kematian atau letalitas, jugs sering
digunakan tolokukur subletal. Menurut Mitrovic (1972) beberapa tolokukur subletal
tersebut antara lain:
1. perubahan sifat biologik penting seperti laju pertumbuhan, cars makan, pematangan
(maturation) sel kelamin, kemampuan fertilisasi, perkembangan telur, kelulus
hidupan (survival rate) anak ikan, dan lain-lain.
Pada banyak uji toksisitas dan kajian tentang pencemaran air sering ditemukan
terjadinya perubahan sitologik berupa terjadinya degenerasi (perubahan struktur) dan
kematian sel. Fase-fase degenerasi dan kematian sel yang sering terlihat pada organ
atau jaringan tubuh organisme yang telah terpapar
2. Degenerasi lemak (fatty degeneration). Fase kedua degenerasi sel ini merupakan
akibat lebih lanjut dari pembengkakan sel dan sering disebut sebagai infiltrasi
lemak. Akibat adanya penimbunan intraseluler, sitoplasma tampak bervakuola
dengan mekanisme sangat mirip dengan yang terjadi pada perubahan hidropik
tetapi vakuola tersebut berisi lemak.
Gambar berikut menunjukkan kronologi kematian sel atau necrosis yang dapat terlihat
dengan jelas pada terjadinya perubahan pada inti sel (nukleus):