DISUSUN OLEH :
Kelompok I
KELAS C
Pengeringan zat padat adalah pemisahan sejumlah kecil air atau zat cair lain
dari bahan padat, sehingga mengurangi kandungan sisa zat cair di dalam zat
padat tersebut sampai suatu nilai terendah yang dapat diterima. Tujuan
praktikum ini yaitu menentukan kadar air suatu bahan baik dalam persen massa
maupun rasio massa, menentukan XC, XE, NC percobaan dan NC teoritis,
menentukan kelembaban udara didasarkan dry bulb dan wet bulb, serta
mempelajari pengaruh variabel pengeringan terhadap laju pengeringan pada
periode pengeringan konstan. Metodologi percobaan ini yaitu dengan mengambil
sebanyak 50 gram sampel pasir yang telah diberi air secukupnya untuk
ditentukan kadar air mula-mulanya. Sampel pasir + tray dimasukan kedalam tray
drier pada setting suhu udara pengering dan laju udara bervariasi. Massa pasi,
suhu bola basah dan suhu bola kering diukur setiap 10 menit selama satu jam.
Kadar air dalam sampel pasir mula-mula yaitu sebesar 12,06%. Kelembaban
udara yang didapat dengan menggunakan psychrometer chart pada setting laju
alir udara 2 m/s serta pada setting laju alir 6 m/s secara berturut-turut yaitu
sebesar 50% dan 47%. Nc percobaan pada setting laju alir udara 2 (yaitu sebesar
0,0198927094 kg air/m2 jam) lebih kecil dibandingkan Nc percobaan pada setting
laju alir udara 6 (yaitu sebesar 0,095329859 kg air/m2 jam) (suhu udara
pengering konstan). Nc percobaan jauh berbeda dengan Nc teoritis, kesalahan ini
terjadi karena keridakakuratan praktikan dalam mengukur suhu bola basah, suhu
bola kering dan massa pasir + tray selama percobaan.
.
Kata kunci: Humidity, Laju pengeringan, Pengeringan, dan Suhu.
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu alat pengering yang ada adalah tray drier yang beroperasi secara
batch, dimana bahan yang dikeringkan berada di suatu tempat tertentu (di tray)
sedang gas (biasanya digunakan udara) mengalir secara terus menerus melalui
bahan yang dikeringkan dan menguapkan airnya. Operasi secara batch ini di
industri merupakan proses yang relatif mahal dan hanya sesuai untuk beberapa
bahan tertentu. Tetapi untuk skala laboratorium alat ini sangat bermanfaat untuk
mempelajari pengetahuan fundamental tentang pengeringan seperti misalnya
mekanika fluida, kimia permukaan, struktur padatan, perpindahan massa dan
panas yang kesemuanya itu sangat berpengaruh pada proses pengeringan (Tim
Penyusun, 2017).
1.2.1 Kelembaban
Pada proses pengeringan biasanya cairan yang diuapkan adalah air dan gas
yang digunakan adalah udara. Kelembaban untuk sistem udara-uap air dibedakan
menjadi dua yaitu:
𝑊𝐴 𝑘𝑔 𝑎𝑖𝑟
a. Kelembaban absolute massa : 𝑌 = …………....(1)
𝑊𝐵 𝑘𝑔 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝑛𝐴 𝑚𝑜𝑙 𝑎𝑖𝑟
b. Kelembaban absolute molar : 𝑌 = ………….....(2)
𝑛𝐵 𝑚𝑜𝑙 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
Yang mana :
𝑡𝑔 = suhu udara (°F)
𝑡𝑤 = suhu bola basah (°F)
𝜆𝑤 = entalpi penguapan air pada 𝑡𝑤
𝑌𝑤′ = kelembaban jenuh udara pada 𝑡𝑤
𝑃𝐻 𝑂 𝑘𝑔 𝑎𝑖𝑟
𝑌𝑤′ = 0,622 (760− 2𝑃 ) 𝑘𝑔 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎................................................ (4)
𝐻2 𝑂
Yang mana 𝑃𝐻2 𝑂 = tekanan uap jenuh air pada suhu 𝑡𝑤 dapat didekati
dengan persamaan Antoine sebagai berikut :
3816,44
ln 𝑃𝐻2 𝑂 = 18.3036 − ................................................. (5)
𝑇−46,13
Yang mana :
𝐿𝑠 = berat padatan kering (kg)
A = luas padatan (m)
X = kadar air bahan (kg air/kg padatan kering)
t = waktu (menit)
C B
Kg air
Jam m2 A
D
X*
E X = Kg air / kg padatan kering
Gambar 1.1 Kurva Hubungan Kadar Air Padatan dengan Kecepatan Pengeringan
Perhatikan Gambar 1.1, pada permulaan operasi, biasanya temperatur
padatan lebih rendah dibanding temperatur kesetimbangan, sehingga kecepatan
pengeringan akan naik dengan kenaikan temperatur bahan. Periode ini (AB)
disebut periode penyesuaian awal dan biasanya sangat pendek dibanding
keseluruhan operasi.
Setelah temperatur kesetimbangan tercapai, maka periode kecepatan
pengeringan tetap dimulai (BC). Pada peride ini akan terjadi penguapan cairan
dari permukaan padatan, kcepatan penguapan di permukaan tersebut masih bisa
oleh difusi maupun efek kapiler air dari dalam padatan ke permukaan padatan.
Dengan demikian permukaan padatan akan tetap basah.
Setelah mencapai kadar air kritis Xc, kecepatan difusi air dari dalam
padatan tidak bisa mengimbangi kecepatan penguapan di permukaan padatan.
Dengan demikian akan terjadi tempat-tempat kering (dry spot). Ini akan
mengurangi kecepatan menurun yang pertama(CD).
Pada period DE kecepatan pengeringan ditentukan oleh kecepatan difusi
dari dalam padatan ke permukaan padatan. Ini akan terus berlangsung sampai
tercapai kadar air kesetimbangan X* (Tim Penyusun, 2017).
3.1 Hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada setting laju alir
udara 2 m/s, Tg = 49 oC dan Tw = 41 oC
C B
A
D
X*
E X = Kg air / kg padatan kering
1.4
1.2 B
1
E
0.8
0.6
0.4
0.2
0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
A 8.5
kadar air (∆X)
Gambar 3.2 Kurva hubungan laju pengeringan terhadap kadar air pada setting
laju alir udara 2 m/s, Tg = 49 oC dan Tw = 41 oC
Kurva karakteristik hasil percobaan pada setting laju alir udara 2 m/s, Tg =
49 oC dan Tw = 41 oC didapatkan NC pada percobaan pada selang 10 menit yaitu
sebesar 0,0198927094 kgair/m2 jam (dapat dilihat pada Lampiran B), Sedangkan
Nc teoritis yang diperoleh yaitu sebesar 0.6125 kg air/m2 jam. Nilai Nc percobaan
jauh berbeda dengan Nc teoritis, kesalahan ini terjadi karena ketidak akuratan
praktikan dalam mengukur massa pasir + tray selama percobaan serta kurangnya
efisiensi kerja alat yang digunakan seperti perubahan laju alir udara yang tidak
konstan. Kelembaban udara yang didapat dengan menggunakan psychrometer
chart yaitu sebesar 50%.
3.2 Hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada setting laju alir
udara 6 m/s, Tg = 50 oC dan Tw = 42 oC
20
15
E
10
A
0
8.4 8.9 9.4 9.9 10.4 10.9 11.4
Gambar 3.3 Kurva hubungan laju pengeringan terhadap kadar air pada setting
laju alir udara 6 m/s, Tg = 50 oC dan Tw = 42 oC
Pada Gambar 3.3, Periode pertama, pada titik AB merupakan periode
penyesuaian awal. Pada periode ini, laju pengeringan naik secara perlahan seiring
dengan waktu. Pada periode kedua, yakni pada titik BC merupakan periode laju
pengeringan konstan dimana suhu permukaan padatan basah sama dengan suhu
bola basah ud ara pengering. Pada periode ini, semua panas yang dipindahkan dari
udara pengering digunakan untuk menguapakan air sampai pada suatu kadar air
tertentu (titik kritis).
Pada periode ketiga, yakni pada titik CD merupakan periode laju
pengeringan menurun pertama. Secara teori pada periode ini, titik kritis telah
tercapai sehingga laju pengeringan tidak bisa diimbangi difusi air dari dalam
padatan kepermukaan padatan, sehingga pada permukaan padatan pasir terbentuk
tempat-tempat kering (dry spot) yang makin lama makin luas. Akibatnya luas
muka pengeringan akan menurun dan menyebabkan laju pengeringan menurun.
Pada peride keempat yakni pada titik DE merupakan periode laju pengeringan
menurun kedua. Pada periode ini, laju pengeringan hanya ditentukan oleh laju
difusi air dalam padatan kepermukaan padatan.
Pada grafik memperlihatkan kurva karakteristik pengeringan pada setting
laju alir udara 6 m/s, Tg = 50 oC dan Tw = 42 oC. Berdasarkan Gambar 3.2 dapat
dilihat bahwa AB merupakan periode penyesuaian awal, BC merupakan periode
laju pengeringan konstan, CD merupakan periode laju pengeringan menurun I
sedangkan DE merupakan periode laju pengeringan menurun II. NC percobaan
yang di dapat yaitu sebesar 0,095329859 kg air/m2 jam, sedangkan Nc teoritis
yang diperoleh yaitu sebesar 0.4308 kg air/m2 jam. Perbandingan antara Nilai Nc
percobaan dengan Nc teoritis memiliki perbedaan, kesalahan ini disebabkan
karena ketidaktelitian dalam penimbangan sampel pasir + tray dan juga perubahan
laju alir udara yang tidak konstan. Kelembaban udara yang di dapat dengan
menggunakan psychrometer chart yaitu sebesar 47 %.
Gambar 3.2 dan 3.3 memberikan gambaran mengenai pengaruh variable
pengeringan terhadap laju pengeringan pada periode laju pengeringan konstan.
Dimana variabel pengeringan yang digunakan yaitu variasi laju alir udara
pengering, suhu bola basah dan suhu bola kering yang di set pada trayer. Semakin
tinggi laju udara maka semakin tinggi turbulensinya, sehingga akan memperbesar
koefisien perpindahan panas konvektif dan hal ini berarti memperbesar laju
perpindahan panas. Semakin banyak energi panas yang diterima padatan akan
semakin banyak air yang bisa diuapkan, sehingga semakin tinggi laju udara
pengering maka semakin tinggi pula laju pengeringannya (Tim penyusun, 2017).
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 3.1 dan 3.2, Nc
percobaan pada setting laju alir udara 2 m/s (yaitu sebesar 0,0198927094 kg
air/m2 jam) lebih kecil dibandingkan Nc percobaan pada setting laju alir udara 6
m/s (yaitu sebesar 0,095329859 kg air/m2 jam). Hasil ini membuktikan bahwa
semakin besar laju alir udara yang di set pada trayer maka semakin tinggi laju
pengeringan pada periode laju pengeringan konstannya.
Sedangkan, kurva karakteristik pengeringan belum menunjukkan kadar air
kesetimbangan, pengeringan terjadi empat periode laju pengeringan, hanya lama
periodenya berbeda–beda tergantung jenis bahan dan kondisi pemgeringan. Dalam
hal ini, semakin tinggi laju udara pengering maka semakin tinggi turbulensi nya,
sehingga akan memperbesar koefisien perpindahan panas konvektif dan hal ini
berarti memperbesar laju perpindahan panas. Semakin banyak energi panas yang
diterima padatan akan semakin banyak air yang bisa di uapkan sehingga semakin
tinggi laju pengeringan (Hardjono, 1986).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Semakin besar waktu pengeringan pada pasir, maka semakin besar kadar
air yang teruapkan. Hal ini disebabkan karena udara panas yang lewat di
atas Tray menguapkan kandungan air pada pasir. Semakin lama waktunya,
semakin banyak kandungan air yang teruapkan, sehingga semakin kecil
berat pasir yang tersisa.
2. Kadar air dalam sampel pasir mula-mula yaitu sebesar 12,06 %.
3. Kelembaban udara yang didapat dengan menggunakan psychrometer chart
pada setting laju alir udara 2 m/s, Tg = 49 oC dan Tw = 41 oC serta pada
setting laju alir udara 6 m/s, Tg = 50 oC dan Tw = 42 oC secara berturut-
turut yaitu sebesar 50 % dan 47%.
4. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin tinggi laju alir udara
pengering yang di set maka semakin tinggi pula laju pengeringannya. Nc
percobaan pada setting laju alir udara 2 m/s, Tg = 49 oC dan Tw = 41 oC
serta pada setting laju alir udara 6 m/s, Tg = 50 oC dan Tw = 42 oC secara
berurutan yaitu 0,0198927094 kg air/m2 jam dan 0,095329859 kg air/m2
jam.
5. Nc percobaan memiliki nilai yang berbeda dengan Nc teoritis, kesalahan
ini terjadi karena ketidakakuratan praktikan dalam mengukur suhu bola
basah, suhu bola kering, laju alir udara dan massa pasir + tray selama
percobaan.
4.2 Saran
1. Sebelum melakukan praktikum alat dan bahan harus dipersiapkan terlebih
dahulu
2. Pencatatan berat pasir secara periodik sebaiknya dilakukan dengan tepat
waktu karena berat pasir yang terukur perbedaannya sedikit (1-2 gram)
tiap waktunya.
3. Sebaiknya alat yang digunakan pada percobaan tersebut harus benar-benar
efisien
4. Praktikan dalam melakukan praktikum harus dengan teliti dan akurat agar
hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Geankoplis, C.J. 1998. Transport Process and Unit Operation, Third Edition.
Prantice Hall.
Hardjono, Ir. 1989. Operasi Teknik Kimia II. Edisi pertama. Yogyakarta: Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
Mc.Cabe, W.L, Smith, JC, Harriot, P. 1999. Operasi teknik Kimia. Ed. 4. Jilid 1
Jakarta: Erlangga.
Tim Penyusun. 2017. Penuntun Praktikum Operasi Teknik Kimia II. Pekanbaru:
Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Treybal, Robert E. 1984. Mass Transfer Operations. Third Edition.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
Perhitungan penentuan laju pengeringan tray 1 berdasarkan data percobaan
pada setting laju alir udara 2 m/s, Tg = 49 0C dan Tw = 40 0C pada 10 menit
pertama sebagai berikut:
Berat pasir basah (Wb) = 0,4 kg
Berat tray (Wt) = 0,06542 kg
Berat pasir kering (Wc) = 0,04397 kg
Panjang tray (p) = 0,274 m
Lebar tray (l) = 0,182 m
Ketebalan pasir (∆x) = 0,005 m
Luas tray (A) = 0,04987 m2
𝑊𝑏 −𝑊𝑐
Kadar air mula-mula = 𝑤𝑏−𝑤𝑡 x 100 %
(0,4−0,04397)𝑘𝑔
=(0,4−0,06542) 𝑘𝑔x 100%
= 12,06 %
Pasir basah = (massa pasir + tray) - WT
=(0,74574 – 0,34574) kg
= 0,4 kg
Pasir kering (Ls) = (100% - % air mula-mula) x Wm
= (100% - 12,06%) x 0,4 kg
= 0,3518 kg
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Kadar air X =
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
(0,4−0,3518)𝑘𝑔
= 0,3518 𝑘𝑔
= 0,1371
Untuk Δt = 10 menit = 0,166667 jam, maka :
ΔX = 8,097111667 air/kg padatan kering – 7,968842393 kgair/kg padatan
kering
= -0,1282693 kg air/kg padatan kering
Maka Laju pengeringan (N) :
−Ls Δx
N= A Δt
−(0,043976) (−0,1282693 )
N= = 0,705 kg air/m2 jam
(0,0481)(0,166667)
Adapun perhitungan untuk Nc teoritis pada setting laju alir udara 2 m/s, Tg = 49
0
C dan Tw = 41 0C sebagai berikut :
Diketahui:
V1 = 2 m/s
Tg = 490C
Tw = 410C
Tg+Tw 49+41
Tf= = = 45 0C
2 2
∆x = 0,005 m (ketebalan pasir)
P = 0,274 m
L = 0,18 m
k = 0,02538 W/mK (App A.3-3 Geankoplis)
ρ = 1,2047kg/m3 (App A.3-3 Geankoplis)
Cp = 1,0064 kJ/kg K (App A.3-3 Geankoplis)
λw = 2592100 J/kg (App A.2-9 Geankoplis)
2
A = 0,0481 m
A1 = 0,056 m2 ( luas penampang drier di ujung)
2
A2 = 0,104 m ( luas penampang drier di tengah)
µ = 0,0000181kg/ms (App A.3-3 Geankoplis)
Npr = 0,7 (App A.3-3 Geankoplis)
Kp = 2.05 W/m0C
NC percobaan rata-rata = 0,0198927094 kg air/m2jam
Maka kecepatan udara di dalam drier (V2):
A1.V1 = A2.V2
(0,056) (2) = (0,104) (V2)
V2 = 1,057692308 m/s
ρ.V.L
Nre = (Geankoplis, Hal.248)
µ
kg 1,07 m
1,2047 3 x x 0,182 m
m s
= kg
0,0000181
ms
= 12113,35691 aliran laminar (Nre< 300.000)
Karena aliran laminar, maka persamaan yang digunakan :
NNu = 0,664 (Nre)0,5 (Npr)1/3 (Geankoplis, Hal.248)
= 0,664 (12113,35691)0,5 (0,7)1/3
= 64,89600813
q1 = h. A. ∆T
= (9,049783991 W/m2oC) (0,0481 m2) (490C – 410C)
= 3,475117053 W
1 1
U= 1 ∆x = 1 0,1282693 m = 8,854345183 W/m2K
+ +
h kp 9,049783991 W/m2 K 2.05 W/m K
q2 = U. A. ∆T
= (8,854345183 W/m2K) (0,0481 m2) (490C – 410C)
= 3,40006855 W
q total = q1+ q2
= (3,475117053 + 3,40006855) W
= 6,875185603 W
𝑞 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 6,875185603 W
m= = = 2,65 × 10-6 kg air/s
λw 2592100j/kg air