Anda di halaman 1dari 9

Riska Oktafiani

240210150060

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Respirasi buah-buahan dapat diukur dengan berbagai macam cara
diantaranya dengan mengukur CO2 yang diproduksi (Muchtadi, Tien R., dan
Sugiyono, 1999). Pola respirasi buah-buahan ada yang menunjukkan kenaikan
secara tiba-tiba selama percobaan (klimaterik) 1dan ada juga yang menunjukkan
penurunan secara lambat selama percobaan (non klimaterik) (Tranggono dan
Sutardi, 1989).
Untuk buah klimaterik, pada awal terjadinya kenaikan klimaterik maka
aktivitas respirasi pada tingkat minimum yang biasa disebut fase pra-klimaterik,
periode berikutnya yang mengikuti kenaikan klimaterik disebut fase klimaterik
atau senesensi, yaitu tahap penurunan respirasi (Tranggono dan Sutardi, 1989).
Untuk mengukur laju respirasi buah-buahan tersebut, pertama-tama kami
merangkai alat seperti terlihat di bawah ini :
I.
Aerator

0,5 kg

Ca(OH)2 NaOH 0,1 N Buah segar NaOH 0,1 N NaOH 0,1 N


Gambar 1. Alat uji respirasi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
Prinsip kerja alat diatas adalah penggunaan larutan alkali untuk mengikat
gas CO2 yang diproduksi oleh buah-buahan. Selanjutnya jumlah CO2 tersebut
dihitung jumlahnya dengan cara titrasi menggunkan asam. Udara yang dialirkan
sebelum melewati contoh terlebih dahulu dilewatkan pada larutan Ca(OH)2 jenuh,
kemudian NaOH 0,1 N untuk mengikat gas CO2 yang terkandung dalam udara.
Setelah melewati buah-buahan, gas CO2 yang diproduksi akan diikat oleh NaOH
0,1 N. Untuk mengetahui jumlah CO2 yang diikat oleh NaOH maka larutan NaOH
dalam tabung/toples 3 dan 4 dicampur, kemudian diambil sebanyak 25 ml dan
dilakukan titrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N dengan penambahan indikator
phenolftalein (PP) 1 % sebanyak 3 tetes. Titrasi dilakukan sampai warna merah
PP hilang. Laju respirasi buah-buahan dihitung dengan rumus :
Riska Oktafiani
240210150060

(𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝑙 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ)


Laju respirasi = 𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝑙 𝑥 𝐵𝑀 𝐶𝑂2 𝑥4
𝑘𝑔 𝑏𝑢𝑎ℎ
(mg CO2/kg buah/jam)

ml blanko : jumlah volume HCl yang digunakan pada saat titrasi


blanko
ml contoh : jumlah volume HCl yang digunakan pada saat titrasi
contoh
N HCl : Normalitas HCl
BM CO2 : berat molekul CO2 yaitu 44
Volume blanko yang digunakan dalam perhitungan harus lebih besar dari
volume contoh agar hasil perhitungan yang didapat tidak negatif. Pengamatan
dilakukan selama 5 hari dan dibuat grafik tentang laju respirasinya. Selain itu
dilakukan juga pengamatan organoleptik seperti warna, aroma dan tekstur dari
sampel yang digunakan.
Larutan Ca(OH)2 berfungsi untuk mengikat udara yang mengandung CO2
dan gas-gas lainnya, namun tidak dapat untuk mengikat oksigen (O2). Reaksi yang
terjadi adalah
Ca(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O.
Fungsi larutan NaOH adalah untuk mengikat karbondioksida pada udara yang
dihasilkan aerator dengan reaksi
2NaOH + CO2 Na2CO3 + H2O.
Pada waktu masih di pohon, sayuran dan buah-buahan melangsungkan
proses kehidupannya dengan cara melakukan pernafasan atau respirasi, yaitu
proses biologis dimana oksigen diserap untuk digunakan pada proses pembakaran
(oksidasi) yang menghasilkan energi dengan diikuti oleh sisa pembakaran berupa
karbon dioksida dan air (De Man, 1990). Reaksi yang terjadi saat respirasi
berlangsung, yaitu :

C6H12O6 + 6O2  6CO2 + 6H2O + energi (panas dan ATP)


Hasil sampingan dari respirasi ini adalah CO2, uap air dan panas. Faktor-
faktor yang mempengaruhi respirasi dibedakan atas dua, yaitu faktor internal
seperti tingkat perkembangan organ, komposisi kimia jaringan, ukuran produk,
adanya pelapisan alami pada permukaan kulit, dan jenis jaringan. Sedangkan
Riska Oktafiani
240210150060

faktor eksternal seperti suhu, penggunaan etilen, ketersediaan oksigen dan karbon
dioksida, adanya luka pada buah (De Man, 1990).
Prosedur pertama yang dilakukan yaitu tempatkann buah-buahan dalam
botol besar sebanyak 0,5 kg, sedangkan untuk blanko tidak diisi buah. Setelah itu,
celupkan aerator selama 1 jam, semua wadah harus benar-benar ditutup
menggunakan malam. Setelah itu, lakukan titrasi pada larutan NaOH 0,1 N, HCl
0,1 N, dan indikator PP 1 % sebanyak 3 tetes, lakukan titrasi sampai warna ungu
dari fenolftalein hilang menjadi pink muda. Setelah itu, tentukan laju respirasinya.
Lakukan pengamatan respirasi selama 4 hari dengan interval waktu yang sama
yaitu setiap 24 jam sekali. Buat grafik antara laju respirasi 4 hari dan bedakan
grafik antara buah klimaterik dan non-klimaterik. Lakukan pengamatan
organoleptik dan berat per harinya.
4.1 Pola Respirasi pada Buah Klimaterik
Jenis buah ini dipanen dalam keadaan matang hijau dan menjadi matang
penuh setelah dipanen. Jenis buah ini umumnya memiliki kadar pati tinggi yang
kemudian diubah menjadi gula, demikian pula warna dan cita rasa buah yang baru
terbentuk setelah panen. Buah klimakterik memiliki pola respirasi klimaterik,
yaitu pola respirasi yang meningkat tajam pada awal pematangan dan kemudian
menurun kembali setelah pematangan buah selesai.
Jumlah gas karbon dioksida yang diproduksi dalam buah klimaterik akan
terus menurun, kemudian mendekati pelayuan (senescene) tiba-tiba produksi gas
karbon dioksida meningkat, dan selanjutnya menurun lagi. Berdasarkan pola
produksi gas karbondioksida nya, jenis buah ini dipanen dalam keadaan matang
hijau dan menjadi matang penuh setelah dipanen.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pola Respirasi ( Klimaterik )
Hari Warna Aroma Tekstur V Laju Gambar
HCl Respirasi
(mgCO2/kg
/jam)
0 Hijau Khas Padat 34,9 47,08
kekuningan pisang ml

1 Hijau Khas Padat 30 ml 68,64


kekuningan pisang
Riska Oktafiani
240210150060

2 Hijau Khas Sedikit 33,4 53,68 -


Kekuningan pisang lembek ml
matang
3 Kuning Khas Lembek 34,3 49,72 -
pisang ml
menyengat
4 Kuning Khas Lembek 33 ml 55,44 -
lebih cerah pisang
menyengat
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Laju respirasi tujuannya agar mengetahui berapa banyak CO2 yang
dikeluarkan buah per jam. Untuk mengetahui besar laju respirasi buah klimaterik
dari hari ke-0 hingga hari ke-4 yaitu sebagai berikut
Diketahui : V blanko = 45,6 ml
N HCl = 0,1 N
BM CO2 = 44
Perhitungan :

= 47,08 mgCO2/kg/jam
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, laju respirasi tertingi terdapat pada
hari ke-1 sebesar 68,64 mgCO2/kg/jam. Penurunan laju respirasi setelah naik
maka kembali turun di hari ke-2 sebesar 53,68 mgCO2/kg/jam, kemudian di hari
ke-3 turun kembali menjadi 49,72 mgCO2/kg/jam, kemudian naik kembali di hari
ke-4 menjadi 55,44 mgCO2/kg/jam. Seharusnya, dalam buah klimaterik terjadi
kenaikkan, kemudian turun, kemudian meningkat lagi.
4.2 Pola Respirasi pada Buah Non-Klimaterik
Buah non-klimaterik yang digunaan pengamatan ini yaitu mentimun.
mentimun merupakan buah non klimaterik yang memiliki pola respirasi yang
terus menurun setelah buah dipanen. Pengamatan menunjukkan bahwa laju
respirasi pada buah timun dari awal hingga hari kedua menurun, kemudian di hari
ketiga mengalami kenaikan pesat, dan pada hari keempat mengalami penurunan
Riska Oktafiani
240210150060

kembali, sedangkan pada buah jeruk laju respirasinya dari awal hingga hari
pertama mengalami kenaikan, lalu pada hari kedua laju respirasinya menurun, dan
pada hari ketiga hingga hari keempat laju respirasinya menaik, seperti telah
dikatakan sebelumnya bahwa laju respirasi buah klimaterik umumnya lebih tinggi
daripada buah non klimaterik, semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat
pula terjadi perombakan-perombakan yang mengarah pada kemunduran dari
produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan,
maka produk akan cepat menjadi layu. Buah yang berbeda akan memiliki laju
respirasi yang berbeda pula, yang pada umumnya tergantung pada struktur
morfologi dan tingkat perkembangan jaringan bagian tanaman tersebut, secara
umum, sel-sel muda yang tumbuh aktif cenderung mempunyai laju respirasi lebih
tinggi dibandingkan dengan yang lebih tua atau sel-sel yang lebih dewasa.
Pengamatan laju respirasi pada saat praktikum mungkin dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal, diantaranya penyimpanan buah yang tidak sesuai karena suhu ruang
yang tidak stabil sehingga mempengaruhi laju respirasi buah tersebut.
Buah non-klimaterik ditandai oleh pola respirasi yang terus menurun.
Setelah panen praktis tidak ada perubahan komposisi dan cita rasa buah. Oleh
karena itu, buah non klimakterik harus dipanen pada saat masak dan sifat masak
dari buah tersebut didapat jika buah masih menempel pada tanaman induknya
(Soesanto, 2006)
Praktikum ini dilakukan prosedur sesuai denga prinsip alat yang telah
dijelaskan sebelumnya, selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap pengujian
blanko sebagai acuan untuk menghitung pola respirasi.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pola Respirasi (Non-Klimaterik)
Laju Respirasi
Hari Warna Aroma Tekstur V HCl Gambar
(mgCO2/kg/jam)
Timun
0 Hijau Keras 43,2 ml 10,56
segar
Keras,
1 Hijau Timun tidak 45,3 ml 1,32
berlendir
Sedikit
2 Hijau Timun 43,6 ml 8,8
lembek
Sedikit
3 Hijau Timun 46,3 ml - 3,08
lembek
4 Hijau Timun Sedikit 45,3 ml 1,32
Riska Oktafiani
240210150060

lembek
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Dik : V blanko = 45,6 ml
N HCl = 0,1 N
BM CO2 = 44
Perhitungan :
Untuk menghitung laju resporasi pada buah non-klimaterik seperti
mentimun yaitu sebagai berikut:
1⁄ ( Vblanko − Vsampel)x NHCl x BMCO2
Laju Respirasi = 2
massa sampel (kg)
1⁄ ( 45,6 ml − 43,2 ml)x 0,1 N x 44
Laju Respirasi hari ke − 0 = 2
0,5
= 10,56 mgCO2/kg/jam
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, terdapat hasil laju respirasi yang
hasilnya negatif, yang terdapat pada hari ke-3.. Laju resporasi di hari ke-0 yaitu
10,56 mgCO2/kg/jam, kemudian turun di hari ke-1 sebesar 1,32 mgCO2/kg/jam.
Aju respirasi di hari ke-2 mengalami kenaikkan sebesar 8,8 mgCO2/kg/jam,
kemudian turun trasdis dalam hari ke-3 sebesar -3,08 mgCO2/kg/jam, penurunan
drastis ini disebabkan volume HCl lebih besar daripada volume blanko. Setelah
hari ke-4 mulai naik kembali menjadi 1,32 mgCO2/kg/jam. Menurut literatur,
semakin lamanya buah non-klimaterik yang ditempatkan dalam wadah, maka laju
respirasinya semakin menurun. Namun tidak demikian dalam pengamatan kali ini.
Dalam prakitkum ini laju respirasinya naik, turun, naik lagi, turun lagi. Hal ini
memengaruhi tekstur mentimun itu sendiri, semakin lama laju respirasi timun,
maka semakin lunak juga teksturnya.
Berdasarkan kedua tabel antara pola respirasi klimaterik dan non-
klimaterik, volume HCl mentimun lebih besar dibandingkan volume volume HCl
pisang.
Faktor yang memengaruhi kecepatan laju respirasi yaitu: suhu, adanya
luka dalam tubuh buah, adanya etilen, hormon dalam buah, luas permukaan
buah,dan kelembaban. Pada umumya laju respirasi buah akan menjadi lebih cepat
jika suhu penyimpanan tinggi, umur panen muda, ukuran buah lebih besar,
Metode yang umum digunakan untuk menurunkan laju respirasi buah-buahan
Riska Oktafiani
240210150060

segar adalah pengontrolan suhu ruang penyimpanan, untuk setiap kenaikan suhu
penyimpanan sebesar 100C maka dapat mengakibatkan naiknya laju respirasi
sebesar 2 sampai 2,5 kali semula, tetapi, pada suhu diatas 350C laju respirasi akan
menurun. Menurut Sinha (2004), proses respirasi akan berlangsung pada suhu 5⁰C
sampai 25⁰C. Respirasi yang terjadi pada buah-buahan adalah suatu aktivitas
hidup yang merupakan reaksi enzimatis. Reaksi enzimatis ini sangat dipengaruhi
oleh suhu, sebab dengan semakin rendahnya suhu maka laju reaksi kimia akan
berkurang setengah dari biasanya. Dengan semakin menurunnya laju respirasi
maka daya tahan simpan buah pun semakin lama, oleh sebab itulah penyimpanan
buah dalam suhu rendah merupakan cara yang cocok untuk pengawetan. Akan
tetapi penyimpanan pada suhu rendah juga tidak menekan terjadinya kerusakan,
karena pada suhu rendah juga dapat terjadi kerusakan akibat buah atau sayur yang
terlalu sennsitif terhadap suhu rendah atau ang biasa disebut chilling injury.
Pengaruh pemberian luka pada pola respirasi. Besar kecilnya laju respirasi,
dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain dengan mengukur jumlah substrat
yang dipakai, O2 yang digunakan, CO2 yang dihasilkan, panas yang dikeluarkan
ataupun energi yang dihasilkan. Sampel yang kami digunakan masih sama dengan
perlakuan sebelumya. sampel secara sengaja dilukai atau diberi sayatan pada
permukaan buah atau sayuran, Luka pada buahh umumnya akan mempengaruhi
laju respirasinya karena luka tersebut akan meningkatkan sintesa etilen, dengan
demikian secara tidak langsung akan meningkatkan laju respirasi karena etilen
dapat menstimulasi reaksi enzimatis dalam buah-buahan. Hal ini sesuai dengan
literature dimana buah yang mengalami luka akan mengakibatkan tekanan pada
biosintesis etilen (wounded ethylene) dan kematangan buah semakin cepat
(Sterrett dan laties, 1993).
Gas etilen bekerja lebih efektif pada buah-buahan yang diperam
mengandung enzim oksidase karena gas berfungsi sebagai koenzim. Penggunaan
gas etilen yang efektif ditandai dengan perubahan warna kulit buah yang
berlangsung secara cepat (Suryati, 1992). Etilen selain dapat memulai klimakterik,
juga dapat mempercepat terjadinya klimakterik terutama pada buah-buahan yang
mempunyai pola respirasi klimakterik, sedangkan pada buah-buahan yang
tergolong non klimakterik, dengan penambahan etilen pada konsentrasi lebih
Riska Oktafiani
240210150060

tinggi akan menyebabkan perubahan pola respirasinya. Buah-buahan non


klimakterik akan mengalami klimakterik setelah ditambahkan etilen dalam jumlah
yang besar, disamping itu, pada buah-buahan non klimakterik apabila
ditambahkan etilen beberapa kali akan terjadi klimakterik yang berulang-ulang.
Menurut Utama dan Nyoman (2014) etilen adalah hormon tanaman alami
yang penting pengaruhnya terhadap pelayuan dan pemasakan dari buah
klimakterik, ada beberapa karakteristik etilen yang perlu dipertimbangkan apabila
menguji pengaruhnya terhadap penampilan produk pascapanen buah dan sayur
segar
Penambahan karbit pada penyimpanan buah dapat mempercepat proses
pematangan buah karena karbit dapat merangsang pembentukan etilen pada buah.
Penyimpanan buah dengan karbit, asetilen dibebaskan dari karbit melalui reaksi
dengan air yang dihasilkan pada transpirasi buah. Reaksi yang terjadi adalah :
CaC2 + H2O  C2H2 + CaO
Reaksi di atas bersifat eksothernik dan panas yang dihasilkan dapat mempercepat
proses pematangan buah. Karbit memiliki bau khas yang menyengat, tetapi mudah
hilang setelah diberi perlakuan aerasi.
Riska Oktafiani
240210150060

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010 .Perubahan Kimia Buah Klimaterik dan Buah Non Klimaterik
Selama Penyimpana. Terdapat pada: http://siwi.blog.uns.ac.id. Diakses
pada tanggal 14 Oktober 2015
De Man, J.M. 1990. Kimia Makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Penerbit
ITB. Bandung
Kader, A. A. 1992. Postharvest Biology and Technology of Horticultural Crops.
University of California. Davies
Lakitan, Benyamin. 1993. Dasar – Dasar Fosiologi Tumbuhan. Rajawali Pers,
Jakarta.
Loveless A.R.1987. Prinsip-prinsip Fisiologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik.
Gramedia, Jakarta.
Muchtadi, Tien R., dan Sugiyono. 1999. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Opara, L.U., 2007. Bruise Suceptibilities of Gala Apples as Afffected by Orchard
Management Practices and Harvest Date. Postharvest Biology and
Technology, 43: 47-54.
Santoso, Bambang B. 2011. Fisiologi dan Biokimia pada Komoditi Hortikultura
Panenan. Terdapat pada : http://fp.unram.ac.id/data/2011/02/BAB-3-
Fisiologi-a.pdf (diakses pada tanggal 15 Oktober 2015).
Sinha, R.K. 2004. Modern Plant Physiology. Alpha Science International
:Pangbourne.
Soesanto, Lukas. 2006. Penyakit Pascapanen Sebuah Pengantar. Kanisius :
Yogyakarta.
Starrett, D. A. dan G. G. Laties. 1993. Ethylene and Wound-induced Gene
Expression in Preclimacteric Phase. CRC Press: United States.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan
dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Utama, I Made S., dan Nyoman S. Antara. 2014. Pasca Panen Tanaman Tropika
Buah Dan Sayur. Terdapat pada : http://seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-
content/uploads/2014/02/MK-Pasca-Panen-Buah-Sayuran.pdf (diakses
pada tanggal 15 Oktober 2015).

Anda mungkin juga menyukai