Anda di halaman 1dari 15

PEMBUATAN MEDIUM, ISOLASI DAN IDENTIFIKASI

Oleh :
Nama : Fadhila Meilasari
NIM : B1A015051
Kelompok :1
Rombongan : II
Asisten : Rindy Anindita Laksmi

LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI JAMUR MIKROSKOPIS

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungi merupakan organisme bersifat heterotrof, dinding sel spora


mengandung kitin, tidak berplastid, tidak berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof.
fungi umumnya memiliki hifa yang berdinding yang dapat berinti banyak
(multinukleat) atau berinti tunggal (mononukleat) dan memperoleh nutrisi dengan
cara absorpsi. Fungi dikelompokan berdasarkan penampakan menjadi tiga macam,
yaitu kapang (mold), khamir (yeast), dan cendawan (mushrooms) (Gandjar et al.,
1999). Fungi merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler. Hidup secara
heterotrof, parasit dan simbiosis (Pane & Delvian, 2015).
Fungi ada yang bersifat parasit dan ada pula bersifat saprofit. Parasit apabila
dalam memenuhi kebutuhan makanannya dengan mengambil dari benda hidup yang
ditumpanginya. Bersifat saprofit apabila memperoleh makanan dari benda mati dan
tidak merugikan benda itu sendiri. Fungi mensintesis protein dengan mengambil
sumber karbon, karbohidrat, nitrogen dari bahan organik atau anorganik, dan mineral
dari substratnya, beberapa jamur mikroskopis ada juga yang tidak dapat mensintesis
sendiri, sehingga harus mendapatkan dari substrat (Masniawati et al., 2013).
Medium pertumbuhan merupakan suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-
zat makanan atau nutrisi yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Nutrisi media berupa molekul-molekul kecil yang disusun untuk
menyusun komponen sel, media digunakan untuk memelihara hasil isolasi
mikroorganisme menjadi kultur murni. Medium yang umum digunakan oleh kapang
atau jamur mikroskopis diantaranya Sabouraud Glucose Agar (SGA) atau Malt
Extract Agar (MEA), Corn Meal Agar (CMA), Potato Dextrose Agar (PDA), Potato
Carrot Agar (PCA) dan Oat Meal Agar (OAA) (Gandjar et al., 2006).

B. Tujuan

Tujuan acara praktikum pembuatan medium, isolasi dan identifikasi jamur


mikroskopis yaitu:
1. Mengetahui dan melakukan pembuatan medium biakan jamur
2. Melakukan tahapan isolasi jamur
3. Melakukan identifikasi jamur hasil isolasi
II. TINJAUAN PUSTAKA

Medium biakan atau media pertumbuhan adalah suatu container (tabung


reaksi, atau cawan petri) berisi bahan yang terdiri dari campuran zat-zat makanan
(nutrisi) yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme
memanfaatkan nutrisi yang disediakan dari media berupa molekul-molekul yang
selanjutnya dirakit untuk menyusun komponen sel sehingga sel-sel tersebut dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Fungsi media pertumbuhan salah satunya
adalah untuk mengisolasi mikroorganisme menjadi kultur tunggal dan juga untuk
memanipulasi mikroorganisme yang didapatkan sesuai keinginan peneliti. Waluyo
(2007) menyatakan bahwa bahwa kultur media adalah substansi dengan kadar
tertentu dalam bentuk cair, setengah padat atau padat yang mengandung bahan alami
dan atau buatan untuk mendukung perkembangbiakan mikroorganisme.
Medium biakan dibagi menjadi beberapa macam, yaitu pembagian medium
menurut susunan atau komposisinya, medium menurut tujuan penggunaannya,
medium menurut konsistensi (kepadatan) dan medium menurut bentuknnya.
Berdasarkan susunan dan komposisinya, medium biakan dibedakan menjadi medium
alami (natural medium), medium sintetik (synthetic medium/defined medium), dan
medium semisintetik atau medium kompleks (semisynthetic medium/complex
medium). Medium alami adalah medium yang komposisi nutrisinya tidak diketahui
dengan pasti setiap waktu karena komposisinya berubah-ubah bergantung dari bahan
asalnya. Contoh medium alami adalah kentang, tauge, beras, jagung, singkong, dan
lain-lain. Medium sintetik adalah medium yang komposisi nutrisinya diketahui
dengan pasti setiap waktu sehingga cocok digunakan untuk pengulangan. Medium
sintetik biasanya dibuat dari bahan-bahan kimia dengan kemurnian tingga, contoh
medium ini adalah Agar Czapek (Czapek’s Agar). Medium semisintetik adalah
medium yang sebagian komposisi nutrisinya tidak diketahui secara pasti karena
medium ini dibuat dari campuran bahan alam dan bahan kimia yang diketahui
komposisinya secara tepat. Contoh medium semisintetik adalah Potato Dextrose
Agar (PDA) dan Tauge Ekstract Agar (TEA). Organisme heterotrof seperti jamur
umumnya mampu tumbuh pada media sintetik dengan glukosa sebagai sumber
karbon dan garam-garam ammonium sebagai sumber nitrogen (Prescott et al., 2002).
Berdasarkan kegunaan dan tujuannya, medium biakan dapat dibedakan
menjadi medium kultivasi atau medium umum, medium selektif dan medium
diferensial. Medium kultivasi atau medium umum digunakan untuk menumbuhakan
dan memelihara kultur mikroba murni. Medium ini mengandung kebutuhan pokok
untuk menunjang kehidupan mikroorganisme. Contoh medium umum adalah
medium PDA dan TEA. Medium selektif adalah medium yang digunakan untuk
menseleksi mikroba yang diinginkan. Medium ini biasanya telah dimodifikasi dari
medium umum dengan menambahkan bahan atau zat penghambat sehingga
pertumbuhan mikroorganisme terbatas pada jenis atau golongan tertentu. Contoh
medium selektif adalah medium Seluliolisis dan Martin Agar. Contoh lain adalah
medium PDA 95% + aseton 5% ditambah atau tanpa minyak esensial (essential oil
atau EO) yang diekstrak dari biji Cuminum cyminum, kemudian diinokulasi isolat
jamur Aspergilus berbagai jenis, di tengah cawan petri diletakkan cakram logam
inhibitor, lalu ditumbuhkan 7 hari dan diamati daya hambatnya, ternyata medium
mengandung EO lebih efektif menghambat jamur kelompok Aspergilus (Kedia et al.,
2014). Medium diferensial adalah medium yang dapat digunakan untuk membedakan
jenis mikroba satu dengan lainnya dari kelompok-kelompok mikroba yang memiliki
kekerabatan dekat dan karakter dengan kemiripan tinggi. Medium ini mengandung
zat-zat kimia tertentu yang dapat memunculkan ciri khas dari suatu jenis atau tipe
mikroorganisme seperti morfologi koloni (warna, bentuk, ukuran, elevasi, margin,
permukaan). Contoh medium diferensial adalah Agar Sukrosa Kentang dan medium
yang berisi ion besi. Ion besi berfungsi dalam produksi pigmen kuning pada medium
yang merupakan indicator untuk membedakan kelompok Aspergilus (terutama A.
flavus dan A. parasiticus) (Tortora et al., 2010).
Berdasarkan konsistensi atau fisiknya, medium biakan dapat dibedakan
menjadi medium padat, medium semipadat, dan medium cair. Medium padat
merupakan medium yang mengandung agar atau konsentrasi agarnya sekitar 15 ml
per 100 ml bahan atau 15%. Medium semipadat adalah medium dengan agar 0,3-0,4
ml per 100 ml bahan atau konsentrasi agarnya 0,3-0,4%. Medium cair adalah
medium yang tidak mengandung agar dalam komposisi bahan penyusunnya. Bentuk
fisik medium biasanya dibuat berdasarkan keperluannya, seperti media semipadat
biasanya digunakan untuk menumbukan kelompok mikroorganisme fakultatif
anaerobik atau mikroaerofilik, akan tetapi kelompok fakultatif anaerob ini akan tetap
hidup pada media padat tanpa teknik khusus yang dibutuhkan untuk menumbuhkan
mikroba anaerobik obligat (Tortora et al., 2010).
Berdasarkan bentuknya, medium biakan dapat dibedakan menjadi bentuk
tegak, miring, dan cawan. Medium tegak merupakan medium yang terdapat pada
tabung rekasi yang ditegakkan dengan volume bahan sekitar 6-8 ml. Medium tegak
umumnya digunakan untuk mengamati motilitas mikroba. Medium miring
merupakan medium pada tabung reaksi yang dimiringkan dengan volume total bahan
sekitar 3-5 ml. Medium miring sering digunakan untuk peremajaan stok mikroba.
Medium cawan adalah medium biakan pada cawan petri dengan total volume bahan
sekitar 8-10 ml. Medium cawan digunakan untuk kultivasi mikroba. Berdasarkan
pembuatannya atau berdasarkan steril atau tidaknya bahan untuk pembuatan media,
medium tegak dan medium miring adalah medium yang bahannya tidak steril, karena
medium ini baru disterilisasi setelah medium jadi atau siap digunakan, sedangkan
medium cawan adalah medium yang bahan penyusunnya steril karena medium ini
bahan-bahan penyusunnya disterilisasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke
dalam cawan (Tortora et al., 2010).
Sterilisasi yaitu proses atau kegiatan membebaskan suatu bahan atau benda dar
semua bentuk kehidupan. Menurut Dwijoseputro (1998), sterilisasi dapat dibagi
menjadi tiga cara yaitu:
1. Sterilisasi dengan cara fisik, sterilisasi ini dibagi menjadi 3 cara, yaitu:
a. Pemanasan
Cara ini dibagi menjadi panas kering (oven), pemijaran (nyala api Bunsen),
fiksasi (melewatkan kaca di atas nyala api Bunsen), panas basah
(pasteurisasi, dan panas basah berulang), dan panas basan bertekanan
(dengan autoklaf).
b. Radiasi/Penyinaran
Mikroorganisme dapat dibunuh dengan penyinaran menggunakan sinar
ultraviolet λ220-290 nm (radiasi paling efektif adalah ±253,7 nm).
2. Sterilisasi dengan cara kimia
Senyawa atau zat kimia yang dapat digunakan untuk sterilisasi dapat
berwujud gas maupun cair, namun senywa cair lebih sering digunakan untuk
sterilisasi disbanding senyawa gas. Senyawa berwujud gas yang dapat digunakan
untuk sterilisasi adalah ozon, formaldehyde, dan gas ethylene oxide. Senyawa
kimia berwujud cair yang dapat digunakan untuk sterilisasi adalag detergen,
iodium, alkohol, peroksida fenol, formalin, lisol, sabun, AgNO3, dan HgCl.
Sterilisasi secara kimia sering disebut sebagai desinfeksi. Daya kerja desinfektan
sendiri dipengaruhi oleh konsentrasi, waktu dan suhu (Dwijoseputro, 1998).
3. Sterilisasi dengan cara mekanik
Sterilisasi secara mekanik dapat dilakukan melalui filtrasi/penyaringan yang
dilakukan dengan melewatkan larutan pada saringan berukuran mikron (0,22 µm
dan 0,45 µm). Alat yang digunakan adalah milipore. Sterilisasi mekanik
biasanya digunakan untuk bahan cair yang tidak tahan panas seperti enzim
(Dwijoseputro, 1998).
Pemilihan metode sterilisasi didasarkan pada efisiensi, sifat bahan yang
disterilisasi, toksisitas atau bahaya, kemudahan pelaksanaan, keuntungan, biaya, dan
pengaruh terhadap objek yang disterilisasi. Efisiensi diperlukan karena setiap
mikroorganisme memiliki siklus hidup yang berbeda sehingga proses sterilisasi alat
dan bahan harus secepat dan sesegera mungkin dilakukan agar kondisi inokulum
mikroba tidak berubah dari kondisi yang diharapkan. Sifat bahan yang disterilisasi
juga perlu diperhatikan karena berkaitan dengan metode sterilisasi yang akan
dipakai, penggunaan metode yang salah dapa merusak objek atau objek tidak steril.
Toksisitas harus diperhatikan juga karena dapat membahayakan peneliti atau
mikroba yang sedang atau akan ditumbuhkan. Kemudahan, keuntungan dan biaya
juga harus diperhatikan karena penelitian biasanya dibatasi waktu, sering mengalami
kegagalan dan butuh pengulangan untuk hasil yang optimal sehingga diusakan
memangkas biaya sesedkit mungkin apalagi hanya untuk proses sterilisasi saja.
Pengaruh terhadap objek berkaitan dengan metode yang harus dipilih untuk
mensterilkan objek. Contoh jika ingin mensterilisasi permukaan akar tanaman yang
mengandung mikoriza sebaiknya digunakan sterilisasi kimiawi menggunakan
desinfektan alcohol, hydrogen peroksida dan etanol. Alkohol berfungsi sebagai
larutan yang membasahi jaringan tanaman. Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan
larutan yang berfungsi untuk mengoksidasi permukaan akar serta membunuh jamur
maupun bakteri yang ada. Selanjutnya digunakan lagi etanol dan air steril untuk
menhilangkan sisa-sisa larutan yang ada pada permukaan akar. Hidrogen peroksida
dan ethanol merupakan larutan yang paling umum digunakan dalam sterilisasi
permukaan. Selain penggunaan hidrogen peroksida, terdapat beberapa larutan yang
lain yakni Sodium Hyporchloride (Hakim et al., 2014).
Isolasi merupakan hal yang mutlak dilakukan sebagai langkah awal dalam
bekerja di laboratorium mikrobiologi. Teknik-teknik isolasi semakin tahun semakin
berkembang dan beragam. Secara umum isolasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
isolasi umum dan isolasi khusus. Isolasi umum merupakan isolasi yang dilakukan
untuk menumbuhkan jamur secara umum, sedangkan isolasi khusus adalah isolasi
yang dilakukan untuk jamur-jamur tertentu yang lambat pertumbuhannya. Isolasi
umum dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti metode perangkap, metode
pengenceran, metode semai dan metode tanam langsung. Isolasi khusus dapat
dilakukan dengan metode pancing. Metode pancing dilakukan dengan menggunakan
umpan beberapa bahan pangan sebagai rangsangan kimia berupa nutrisi yang
dibutuhkan jamur untuk pertumbuhannya, misalnya untuk menumbuhkan jamur
Rhizoctonia dibutuhkan umpan berupa buah terong, mentimun, alpukat atau apel
(Dwijoseputro, 1998).
Identifikasi merupakan usaha untuk mengetahui identitas suatu
mikroorganisme. Prinsipnya adalah upaya mencocokkan suatu jenis makhluk hidup
dengan kategori tertentu yang telah diklasifikasikan dan diberi nama secara ilmiah
oleh para ahli. Identifikasi jamur artinya mencocokan jenis jamur hasil isolasi dan
pemurnian yang belum diketahui ke dalam takson tertentu. Identifikasi
membutuhkan sarana identifikasi diantaranya seperti kunci identifikasi (kunci
dikotomis), pertelaan, atau buku-buku identifikasi (Handajani et al., 2006).
III. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah cawan petri, tabung
reaksi, hotplate and stirer, beaker glass, erlenmeyer, timbangan, jarum ose, bor
gabus, mikroskop, dan buku identifikasi.
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah aquades, kentang, agar,
dextrose, chloramphenicol, sampel (roti berjamur, tanah kuburan, tanah tanaman
kakao, jagung berjamur, terung, labu siam, dan kayu lapuk).

B. Metode

1. Pembuatan Medium Biakan Jamur (PDA)

Kentang sebanyak 200 gram disiapkan. Kemudian dibersihkan dan


dipotong dadu. Kentang kemudian direbus dengan 500 ml akuades hingga
lunak. Ekstrak kentang kemudian disaring. Ditambahkan agar 15 gram
dipanaskan dan dihomogenkan dengan 500 ml akuades. Ditambahkan
dekstrosa 20 gram dan ekstrak kentang tetap dipanaskan lalu dihomogenkan.
Dituang dalam labu Erlenmeyer, ditutup wrapper dan di sterilisasi dengan
autoklaf 121oC 2 atm selama 15 menit.
2. Isolasi Jamur
a. Metode Semai
Sampel tanah disiapkan. Dimasukkan ke dalam cawan yang berisi
PDA+Chloramphenicol. Diinkubasi 4x24 jam suhu ruang.
b. Metode Tanam Langsung
Sampel biji jagung/roti berjamur disiapkan. Dimasukkan ke dalam
cawan yang berisi PDA+Chloramphenicol. Diinkubasi 4x24 jam suhu
ruang.
c. Metode Pancing
Sampel terong/labu siam disiapkan. Sampel dilubangi dengan bor
gabus, kemudian dimasukkan tanah dan di sumbat dengan kapas lembab.
Dilakukan wrapper, kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan ditandai
dengan label. Diinkubasi 4x24 jam suhu ruang.
3. Peremajaan
Isolat jamur disiapkan. Isolat diambil 1 plug dan ditanam pada mediaum baru
(PDA), posisi miselium menempel pada agar. Diinkubasi suhu ruang 5 x 24 jam
4. Identifikasi
Isolat hasil isolasi disiapkan. Diambil dengan cara menempelkan miselium
jamur mengunakan isolasi. Diamati dibawah mikroskop dan dibandingkan
menggunakan buku pustaka
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4.1 Pengamatan Identifikasi Jamur Mikroskopis Rombongan II

Kelompok 1 2 3 4
Hijau Hijau,
Warna Koloni Putih Putih
keabuan putih
Warna Sebalik Hijau,
Abu-abu Putih Coklat
Koloni putih
Karakter Tepi Koloni Rata Ireguler Bergerigi Rata
Makroskopis
Tekstur Seperti
Kasar Halus Halus
Permukaan kapas
Pola
Konsentris Konsentris Konsentris Konsentris
persebaran

Bentuk Spora Lonjong Bulat Globuse Globuse

Warna Spora Hyalin Abu-abu Putih Hyalin


Karakter
Mikroskopis Hifa Hifa Hifa Hifa Hifa
(septat/aseptat) aseptat Septet aseptat septat
Ada tidaknya
Ada Ada Ada Tidak ada
Sporangiofor
Phytium Trichoder Rhizopus Cladospor
Spesies Jamur
sp. ma sp. sp. ium sp.
Berdasarkan tabel 4.1 telah dilakukan oleh kelompok 1 Rombongan II proses
isolasi sekaligus identifikasi jamur yang diambil dari kayu lapuk. Jamur yang berasal
dari kayu lapuk diisolasi menggunakan metode tanam langsung. Hasil isolasi dan
identifikasi kelompok 1 mendapatkan jamur Phytium sp. yang memiliki ciri- ciri
makromorfologi berupa tekstur permukaan kasar, warna koloni hijau keabuan, warna
sebalik koloni abu-abu, tepi koloni rata dan pola penyebaran konsentris. Ciri
mikromorfologi yang diamati adalah ada sporangiofor, hifanya aspetat, bentuk spora
lonjong, dan warna spora hyalin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pracaya (1996)
Phytium sp. berwarna keabu-abuan, struktur tubuhnya ada yang multiseluler atau
uniseluler, tubuhnya terdiri atas benang-benang yang bersekat atau ada yang unisel,
berukuran kecil, berfilamen, oospora memiliki diameter 17 – 19 mikrometer, hifa
tidak bersekat dan umumnya memiliki lebar 4 – 6 mikrometer. Sporangia panjangnya
bervariasi dari 50 – 1000 um dan umumnya memiliki cabang banyak (multi).
Memiliki sporangium yang berbentuk bulat atau lonjong, memiliki miselium yang
kasar, lebarnya kadang-kadang sampai 7 mikrometer. Selain membentuk sporangium
biasa, (berbentuk bulat atau lonjong), jamur juga membentuk sporangium yang
bentuknya tidak teratur seperti batang atau bercabang-cabang yang dipisahkan dari
ujung hifa. Bagian ini sering disebut presporangium dan ukurannya dapat mencapai
800 x 20 mikrometer.

Gambar 4.1 Hasil Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)

Media PDA (Potato Dextrose Agar) adalah media yang paling umum
digunakan dalam menumbuhkan jamur. Proses pembuatan media dilakukan di dalam
laboratorium dengan komposisi bahan yaitu kentang 200 gram, agar powder 15 gram
dan dextrose 20 gram (Nirwana, 2012). Media PDA memiliki karakteristik khusus
yaitu memiliki konsistensi padat (solid), secara visual memiliki warna kuning tipis
dan bersifat selektif dalam menumbuhkan jamur (Winda, 2009).

Gambar 4.2 Hasil Isolasi Tanam Langsung Kelompok 1 Rombongan II


Menggunakan Sampel Kayu Lapuk

Berdasarkan Gambar 4.2 isolasi yang digunakan oleh kelompok 1 rombongan


II pada sampel kayu lapuk yaitu menggunakan metode tanam langsung. Metode ini
digunakan pada sampel jamur yang ditemukan pada kayu yang sudah lapuk, ranting
maupun pada serasah daun serta jamur makroskopis. Metode yang dilakukan yaitu
sampel jamur yang sudah dipotong kecil sebelum dibiakkan dilakukan sterilisasi
permukaan dengan memasukkannya ke dalam larutan alkohol 70% selama 1 menit,
kemudian dibilas dengan akuades steril ± 5 detik dengan tiga kali ulangan, setelah itu
dikeringkan dengan tissue steril ± 1 menit, selanjutnya ditanam ke medium PDA.
Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama ± 3-4 hari sampai terlihat adanya
pertumbuhan miselium jamur. Biakan yang tumbuh selanjutnya dimurnikan pada
medium PDA yang baru (Arif et al., 2008). Hasil yang didapat dari sampel kayu
lapuk jamur yang tumbuh berwarna keabu – abuan dengan pola penyebaran yang
konsentris.

Gambar 4.3 Hasil Pemurnian Jamur Dari Sampel Kayu Lapuk

Berdasarkan Gambar 4.3 hasil pemurnian yang telah dilakukan dan


diinkubasi selam 4 x 24 jam jamur yang tumbuh berwarna hijau keabuan dengan
pola penyebaran konsetris. Jamur yang telah tumbuh setelah pemurnian kemudian
akan di gunakan untuk identifikasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Suriawiria,
2005) pemurnian merupakan cara untuk memisahkan atau memindahkan mikroba
tertentu dari lingkungannya, sehingga diperoleh kultur murni atau biakan murni yang
selanjutnya digunakan untuk identifikasi.

Gambar 4.4 Pengamatan Makromorfologi Dari Sampel Kayu Lapuk


Berdasarkan Gambar 4.4 pengamatan makromorfologi yang dapat diamati
antara lain berupa tekstur permukaan kasar, warna koloni hijau keabuan, warna
sebalik koloni abu-abu, tepi koloni rata dan pola penyebaran konsentris. Pengamatan
yang didapat sesuai dengan pernyataan Pracaya (1996) Phytium sp. memiliki pola
koloni bervariasi, contohnya konsentris atau membentuk lingkaran.
a

b
c

Gambar 4.5 Pengamatan Mikromorfologi Dari Sampel Kayu Lapuk


Keterangan:

a. Sporangiofor
b. Spora bentuk lonjong
c. Hifa Aseptat

Berdasarkan Gambar 4.5 pengamatan mikromorfologi yang dapat diamati antara lain
memiliki sporangiofor, hifanya aspetat, bentuk spora lonjong, dan warna spora
hyalin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi et al. (2016) Jamur Phytium sp.
mempunyai miselium kasar, membentuk sporangium berbentuk bulat atau lonjong
dan tidak teratur seperti batang atau bercabang-cabang. Oospora memiliki dinding
yang agak tebal dan halus. Pada medium PDA Phytium sp. membentuk banyak
klamidospora bulat. Phytium sp. adalah jamur yang bersifat saprofit atau parasit,
dapat menjadi patogen apabila menyerang buah, akar, dan batang. Memiliki hifa
hialin, tidak bersepta, hifa utama berukuran 5-7 µm, lebarnya mencapai 10 µm.
Produksi miselium aerial pada jamur Phytium sp. tergantung dengan medium yang
digunakan. Bentuk umum miselium Pythium berubah dari pola normal lurus ke pola
abnormal seperti bergelombang, dan bagian internal menjadi bagian-bagian kecil,
hancur dan hilang (Halo et al., 2018).
Klasifikasi Phytium sp. menurut Semangun (1996) yaitu:
Kingdom : Fungi
Divisio : Protophyta
Class : Schizomycetes
Order : Hypocreales
Familia : Hypocreaceae
Genus : Phytium
Species : Phytium sp.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Pembuatan medium biakan jamur satu resep menggunakan komposisi ekstrak
kentang 200 gr, akuades 1000 ml, dextrose 20 gr dan bahan pemadat atau
agar 15 gr.
2. Isolasi jamur mikroskopis dapat dilakukan dengan isolasi khusus yang terdiri
atas pancing, dan isolasi umum yang terdiri atas semai, pengenceran,
perangkap, dan tanam langsung
3. Identifikasi jamur hasil isolasi didapatkan spesies Phytium sp.

B. Saran

Sebagai acuan untuk acara praktikum selanjutnya, sebaiknya penggunaan


metode isolasi lebih diperhitungkan kembali supaya hasil laboratorium dapat lebih
maksimal.
DAFTAR REFERENSI

Dwijoseputro. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.


Gandjar, I.1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta : UI Press.
Hakim, S.S., Budi, S.W., dan Turjaman, M. 2014. Strerilisasi permukaan untuk
mengisolasi fungi endofit akar pada meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.)
di hutan penelitian Dramaga. Jurnal Silvikultur Tropika, 5 (1): 49-53.
Halo, B. A., Al-Yahyai, R.A & Al-Sadi, A.M. 2018. Aspergillus terreus Inhibits
Growth and Induces Morphological Abnormalities in Pythium
aphanidermatum and Suppresses Pythium-Induced Damping-Off of Cucumber.
Frontiers in Microbiology, 9(2):1-12.
Handajani, Noorsoesanti, & Ratna S. 2006. Identifikasi Jamur dan Deteksatif
Latoksin terhadap Petis Udang Komersial. Biodiversitas, 7 (3): 212-215.

Kedia, A., Prakash, B., Mishra, P.K., and Dubey, N.K. 2014. Antifungal and
antiaflatoxigenic properties of Cuminum cyminum (L.) seed essential oil and
its efficacy as a preservative in stored commodities. International Journal of
Food Microbiology, 168: 1-7.

Masniawati, A., Kuswinanti, T., Gobel, R.B., & Risnawaty, R., 2013. Identifikasi
Cendawan Terbawa Pada Benih Padi Lokal Aromatik Pulu Mandoti, Pulu
Pinjan, dan Pare Lambau Asal Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Manasir. 1 (1): 51-59.
Pane, D.P & Delvian, D.E. 2015. Keberadaan Fungi Selulolitik Pada Tanah Bekas
Erupsi Gunung Sinambung di Kabupaten Karo. Medan: USU.

Pracaya. 1996. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Pratiwi, N.W., Juliantari, E., Napsiyah, L.K. 2016. Identifikasi Jamur Penyebab
Penyakit Pascapanen pada Beberapa Komoditas Bahan Pangan. Jurnal Riau
Biologia 1(14): 86-94.

Semangun, H. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Suriawiria, Unus. 2005. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: Penerbit


Angkasa.
Tortora, G.J., Funke, B.R., and Case, C.L. 2010. Microbiologi: An Introducing 10th
Edition. New York: Pearson.
Waluyo, Lud.2007. Mikrobiologi Umum. Malang : UMM Press.

Winda, 2009. Analisis Mikrobiologi dalam Laboraorium. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Anda mungkin juga menyukai