Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS KELOLAAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GAGAL JANTUNG


KONGESTIF/CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
DI RUANG BOUGENVILE RSUD BANYUMAS

Tugas Mandiri
Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Ivo Fridina
16/406334/KU/19340

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GAGAL JANTUNG


KONGESTIF/CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
DI RUANG BOUGENVILE RSUD BANYUMAS

Tugas Mandiri
Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Ivo Fridina
16/406334/KU/19340

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. KONSEP GAGAL JANTUNG KONGESTIF/CONGESTIVE HEART FAILURE
(CHF)
A. Pengertian Congestive Heart Failure (CHF)
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat
(Perki, 2015). Gagal jantung (heart failure) atau sering juga disebut Gagal Jantung
Kongestif adalah kumpulan sindroma klinis yang kompleks yang diakibatkan oleh
gangguan struktur ataupun fungsi dan menyebabkan gangguan pengisian ventrikel
atau pemompaan jantung (Djausal & Oktavany, 2006). Gagal jantung kongestif
ditandai dengan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat guna
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer & Bare, 2002).
B. Klasifikasi Congestive Heart Failure (CHF)
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA secara lebih
detail dijelaskan pada tabel 1 (Dickstein et al., 2008):
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung
C. Tanda dan Gejala Congestive Heart Failure (CHF)
Tanda dan gejala Congestive Heart Failure (CHF) secara lebih jelas
dideskripaikan pada tabel 2 dan 3 (Perki, 2015).
Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung

Tabel 3. Manifestasi Klinis Gagal Jantung

D. Komplikasi Congestive Heart Failure (CHF)


Komplikasi gagal jantung kongestif menurut Smeltzer & Bare (2002), antara
lain:
1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam
atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan
digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan
dosis ditinggikan.
4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden
cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.
E. Etiologi Congestive Heart Failure (CHF)
Menurut Smeltzer & Bare (2002); Mariyono & Santoso (2007), CHF dapat terjadi
akibat beberapa faktor dibawah ini:
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
karena menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial
dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban
kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak jelas,
hipertrofil otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan akibatnya
akan terjadi gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat
mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.
6. Faktor sistemik, terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme,
hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan
suplai oksigen ke jantung. Asidosis dan abnormalitas elektrolit dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati & Nuraini (2010), faktor risiko CHF
yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain: faktor keturunan (seseorang yang
memiliki riwayat keluarga mengalami CHF lebih berisiko 50% mengalami CHF),
jenis kelamin (seseorang berjenis kelamin perempuan lebih berisiko mengalami
CHF), dan usia (usia dewasa tua lebih berisiko mengalamiCHF). Sedangkan faktor
risiko CHF yang dapat dimodifikasi, antara lain: pola makan, kebiasaan merokok,
riwayat obesitas, riwayat DM, riwayat hipertensi, dan kurangnya aktivitas fisik.
F. Patofisiologi Congestive Heart Failure (CHF)
Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga dan dengan
basisnya di atas dan puncaknya di bawah. Apexnya (puncak) miring ke sebelah
bawah kiri. Berat jantung kira-kira 300 gram. Agar jantung dapat berfungsi sebagai
pompa yang efisien, otot-otot jantung di bagian atas dan bawah akan berkrontraksi
secara bergantian. Laju denyut jantung atau kerja pompa ini dikendalikan secara
alami oleh suatu pengatur irama (pace maker) yang di sebut nodus sinoarterial.
Nodus sinoarterial ini terletak di dalam dinding serambi kanan. Sebuah impuls listrik
yang ditransmisikan dari nodus sinoarterial ke kedua serambi membuat keduanya
berkontraksi secara serentak. Arus listrik ini selanjutnya di teruskan ke
dindingdinding bilik, yang pada gilirannya membuat bilik-bilik berkontraksi secara
serentak. Periode kontraksi ini disebut sistol. Selanjutnya periode ini diikuti dengan
sebuah periode relaksasi pendek kira-kira 0.4 detik yang disebut diastole, sebelum
impuls berikutnya datang. Nodus sinoarterial menghasilkan antara 60-72 impuls
seperti ini setiap menit ketika jantung sedang santai. Produksi impuls-impuls ini juga
dikendalikan oleh satu bagian sistim syaraf yang disebut sistim syaraf otonom, yang
bekerja di luar keinginan kita. Sistim listrik built-up inilah yang menghasilkan
kontraksikontraksi otot jantung berirama yang disebut denyut jantung (Syaifuddin,
2006).
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu gangguan
mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan
yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi perikard,
jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme ventrikel,
disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan abnormalitas otot
jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM, gagal
ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit
sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal) (Rachma, 2014).
Menurut Soeparman (2001) beban pengisian (preload) dan beban tekanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan
adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung
meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga
kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat
mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer
dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam
ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali
curah jantung.
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung
tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rang, 2003).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir
ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan. Gagal jantung kanan
dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan
sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri.
Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir
diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam
kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi
akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan
inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan
pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan
hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan
hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik
yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites
(Osama, 2002).
Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung
dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada
respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke
jaringan. Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan
stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi.
Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya
dalam kegagalan jantung (Figueroa & Peters, 2006).
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh
jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan
afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa
darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga
dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolik
ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan
fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan
proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk
relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena struktural (contoh: hypertropi ventrikel
kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga
pengisian ventrikel (preload).
Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung
normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark
myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini
dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang infark
dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal
yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik (calcium-
channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah. Variabel terakhir dari
komponen stroke volume adalah afterload. Afterload biasanya dilihat dengan
pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama ketiga komponen ini
saling mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi
penurunan cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus berubah untuk
menjaga kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart
rate harus ditingkatkan untuk menjaga cardiac output (Figueroa dan Peters, 2006).
Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan
cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan
ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula,
yang mana kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin vasopressin, dan
rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat
dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari
peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin
angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui mekanisme
intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada kadar
sodium pada macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi sodium
dan cairan (Tsutsui et al., 2007).

Gambar 1. Perbandingan Jantung


G. Mekanisme Kompensasi Congestive Heart Failure (CHF)
1. Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi
peningkatan volume ventrivuler end diastolic. Bila terjadi peningkatan
pengisian diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung,
lebih optimal pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan
tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank
Starling mencocokkan output dari dua ventrikel (Boron dan Boulpaep, 2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung kardiak
output. Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang
sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end
diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif
ketika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami
peregangan yang berlebihan (Boron dan Boulpaep, 2005). Hal penting yang
menentukan kosumsi energy otot jantung adalah ketegangan dari dinding
ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding
pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah.
Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan
dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi
jantung (Loscalzo et al., 2008).
2. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik.
Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon
kompensasi menurun cardiac output dan pathogenesis gagal jantung. Baik
cardiac sympathetic tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin)
meningkat selama tahap akhir dari hamper semua bentuk gagal jantung.
Stimulasi lansung irama jantung dan kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan
vascular tone, sistem saraf simpatetik membantu memelihara perfusi berbagai
organ, terutama otak dan jantung (Loscalzo et al., 2008). Aspek negatif dari
peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan peningkatan tahanan
sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam memompa. Stimulasi
simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran darah ke kulit,
otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi
jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan
stres berlebihan dari jantung (Rang, 2003).
3. Mekanisme Renin-AngiotensinAldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output
dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan
filtrasi glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran
darah ke ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan
meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II
berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi
aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi
natrium dengan meningkatkan retensi air (Tsutsui et al., 2007). Selain itu
angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan
karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi sitokin,
adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;
mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo et al., 2008).
4. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP),
brain natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP
dihasilkan dari sel atrial sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan
atrial, memproduksi natriuresis cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan
kalium dalam jumlah sedang dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon
tekanan pengisian ventrikel sedangkan fungsi CNP masih belum jelas.
5. Hipertrofi otot jantung dan remodeling
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu
mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi
ventrikel memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang
penting bagi morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling
dapat menyebabkan perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber)
dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu
pertama Concentric hypertrophy, terjadi penebalan dinding pembuluh darah,
disebabkan oleh hipertensi.dan kedua Eccentric hypertrophy, terjadi
peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh dilated cardiomyopathy
(Shigeyama et al., 2005).
H. Pemeriksaan Diagnostik Congestive Heart Failure (CHF)
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Adapun pemeriksaan diagnostik
yang dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami CHF (Perki, 2015),
antara lain:
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis
gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
2. Foto Thoraks
Foto thoraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal
jantung akut dan kronik.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin,
laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan
hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan
gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai
terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI
(Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
4. Peptida Natriuretik
Terdapat bukti-bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma
peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau
memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko
mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum
pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil .
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk.Kadar peptidanatriuretik meningkat sebagai
respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak
langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
5. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan
kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
6. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan
tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau
disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal
>45-50%).
Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart failure
with preserved ejection fraction) Ekokardiografi mempunyai peran penting
dalam mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus
memenuhi tiga kriteria:
a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi
ejeksi > 45 - 50%).
c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik).
Algoritma diagnosis gagal jantung secara lebih jelas dideskripsikan pada
gambar 2.
Gambar 2. Algoritma diagnostik gagal jantung
I. Penatalaksanaan Congestive Heart Failure (CHF)
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk penatalaksanaan CHF
(Perki, 2015), terdiri dari:
1. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung.
2. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
3. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter.
4. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5-2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.
5. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
6. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan >6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.
7. Latihan fisik.
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah.
Terapi farmakologi yang dapat dilakukan untuk penatalaksanaan CHF (Rachma,
2015), terdiri dari:
1. Diuretik.
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
resistensi.
2. Vasodilator Drugs
a. Nitrate (isosorbide)
b. Hydralazine (terutama apabila ditambah dengan regimen digoxin dan terapi
diuretic).
c. Ace inhibitors (captopril, enalapril): obat ini bekerja dengan menghambat
conversi angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 melalui angiotensinconverting
enzyme (ACE).
d. ACE2 reseptor blocker (losartan): obat ini mengeblok reseptor A2,
menyebabkan vasodilatasi dan menghambat proliferasi dari sel otot. Obat
ini biasanya digunakan pada pasien yang intolerance terhadap ACE
inhibitor, akibat efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu batuk.
3. Inotropic Drugs
4. Beta blockers
Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki fungsi ventrikel kiri, gejala,
dan functional class, serta memperpanjang survival dari pasien CHF.beta
blocker juga memiliki peranan dalam memodifikasi cytokine (interleukin-10,
tumor necrosis alpha (TNF-alpha) dan soluble TNF reseptor (sTNF-R-1 dan R2)
pada pasien dengan kardiomiopati.
Indikasi pemakaian beta blocker:
a. Pasien yang tergolong dalam klas II dan III , klasifikasi NYHA.
b. Hindari terapi ini pada pasien dengan NYHA klas I atau IV.
c. Sebelum menambahkan beta blocker, pastikan bahwa pasien stabil dan
dalam terapi standard gagal jantung.
d. Mulai pemakaian terapi betablocker dengan memakai dosis rendah
(carvedilol 3.125 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 12.5 mg PO qd;
bisoprolol, 1.25 mg PO qd)
e. Tingkatkan dosis dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu (carvedilol, 25-
50 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 200 mg PO qd; bisoprolol, 10 mg PO
qd).
Kontraindikasi pemakaian beta blocker terapi pada CHF:
a. Peningkatan berat badan
b. Peningkatan dosis diuretik
c. Kebutuhan untuk diuretik intravena ataupun obat inotropik
d. Didapatkan keadaan yang kian memburuk dari CHF
e. Bronchial asma atau emphysema
f. Bradycardi
g. Hipotensi
h. Blok jantung derajat pertama dan ketiga
5. Aldosterone antagonisSpironolactone sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
dengan gagal jantung berat dan tidak ada kecurigaan adanya renal insufficiency
atau hiperkalemia.
6. Antiarrhythmic Therapy
7. Anticoagulant Therapy (untuk mengurangi resiko terjadinya emboli pada pasien
dengan atrial fibrilasi, tapi tidak diindikasikan pada pasien yang aktif dan tidak
punya riwayat emboli).
Terapi farmakologi yang dapat dilakukan untuk penatalaksanaan CHF (Rachma,
2015), terdiri dari:
1. Coronary Reperfusion, terutama pada akut gagal jantung berulang dihubungkan
dengan edema pulmonary.
2. Valvular Heart Disease.
3. Reduction ventriculoplasty meliputi eksisi pada bagian dari otot ventrikel kiri
yang diskinetik. Hal ini biasanya dilakukan pada gagal jantung klas akhir.
4. Transmyocardial laser revascularizatione).
5. Prosedur operasi perbaikan fungsi jantung: intra-aortic balloon pump,
permanent implantable balloon pump, atau total artificial heart.
6. Transplantasi Jantung (terapi paling efektif pada keadaan gagal jantung berat).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCU


Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus Congestive Heart Failure (CHF)
adalah:
1. Penurunan Curah Jantung
2. Ketidakefektifan Pola Napas
3. Nyeri Akut
4. Intoleransi Aktivitas
5. Kelebihan Volume Cairan
DAFTAR PUSTAKA

Boron, W.F. & Boulpaep, E.L. 2005. Medical Physiology: A Cellular and Molecular
Approach (Updated ed.). Saunders.

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Edition. USA: Elsevier Mosby.

Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. 2008. ESC Guidelines for The Diagnosis
and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure. Eur Heart J, 29; 2388–2442.

Djausal, A.N & Oktafany. 2016. Gagal Jantung Kongestif. Medula Unila, 5(1);10-14.

Figueroa, M.S. & Peters, J.I. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology,
Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir Care, 51(4);403– 412.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.

Loscalzo, J., Fauci, A.S., Braunwald, E., Dennis, L.K., Hauser, S.L., Longo, D.L. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine(17 ed.). McGrawHill Medical.

Mariyono,H.H & Santoso, A. 2007. Gagal Jantung. Jurnal Penyakit Dalam, 8(3);85-94.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.

Nurhayati, E & Nuraini, I. 2010. Gambaran Faktor Resiko pada Pasien Penyakit Gagal
Jantung Kongestif di Ruang X.A Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Kesehatan
Kartika, 15; 40-52.
Osama, G.M.D. 2002. Topic Review–Heart Failure. Albany Medical Review.

Perki. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perki.

Rachma, L.N. 2014. Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestif. El-Hayah, 4(2):81-
90.

Rang, H.P. 2003. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. p. 127. ISBN 0-443-
07145-4.

Shigeyama, J., Yasumura, Y., Sakamoto, A., et al. 2005. Increased Gene Expression of
Collagen Types I and III is Inhibited by Beta-Receptor Blockade in Patients With
Dilated Cardiomyopathy.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol.1. Jakarta : EGC.
Soeparman. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 11. Ed 3. Jakarta : FKUI.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan edisi 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Tsutsui H., Matsushima, S., Kinugawa, S., et al. 2007. Angiotensin II Type 1 Receptor
Blocker Attenuates Myocardial Remodeling and Preserves Diastolic Function in
Diabetic. Res, 30(5); 439–49.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai