Anda di halaman 1dari 32

Telaah Ilmiah

RUPTUR KANDUNG KEMIH

Oleh

Revana Pramudita, S.Ked 04084821719167

Yuventius Odie, S.Ked 04084821719219

Pembimbing

dr. Marta Hendry, Sp.U, MARS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Ruptur Kandung Kemih

Oleh:
Revana Pramudita, S.Ked 04084821719167

Yuventius Odie, S.Ked 04084821719219

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode

Palembang, 6 Februari 2018

dr. Marta Hendry, Sp.U, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Ruptur Kandung Kemih” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada atas bimbingannya


sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam


penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2
2. 1. Anatomi dan Fisiologi Kandung Kemih ..........................................2
2.1.1. Anatomi Kandung Kemih ...............................................
2.1.2. Fisiologi Kandung Kemih ...............................................
2. 2. Ruptur Kandung Kemih ............................................................. . 6
2. 2. 1. Etiologi ........................................................................... 6
2. 2. 2. Epidemiologi ............................................................... 6
2. 2. 3. Klasifikasi..................................................................... 6
2. 2. 4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis ............................... 9
2. 2. 5. Pemeriksaan Penunjang .............................................. 11
2. 2. 6. Tatalaksana ................................................................... 11
2. 2. 7. Prognosis dan Komplikasi .......................................... 13
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................................... 16

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Kandung kemih atau dikenal dengan buli atau vesika urinaria merupakan
organ berongga yang memiliki fungsi yaitu menampung sementara urin dan
mengeluarkan urin ketika kandung kemih sudah mencapai kapasitas maksimumnya
(Purnomo, 2011). Ruptur kandung kemih adalah robekan pada kandung kemih
yang penyebabnya adalah trauma akibat benda tumpul atau penetrasi pada bagian
bawah abdomen atau pelvis (Purnomo, 2011) (Machtens, 2000) (Kerkar,2018).

Angka kejadian trauma pada kandung kemih pada beberapa klinik urologi
kurang lebih 2 persen dari seluruh trauma pada sistem urogenitalia (Purnomo,
2011). Sebesar lebih dari 95 persen ruptur kandung kemih terjadi akibat trauma
tumpul (Armenakas, 2016). Diantara 60-90 persen pasien dengan cedera kandung
kemih disebabkan oleh trauma tumpul seperti fraktur pelvis, dan 44 persen pasien
dengan cedera kandung kemih setidaknya karena cedera intra-abdominal
(Summerton, 2015). Selain itu, trauma kandung kemih dapat terjadi akibat trauma
iatrogenik dan spontan (Purnomo, 2011).

Kematian dengan ruptur kandung kemih mendekati 20 persen. Hal ini dapat
terjadi bila timbul komplikasi seperti uroascites pada ruptur intraperitoneal, infeksi
termasuk sepsis, hematuria persisten (Armenakas, 2016). Oleh karena itu, ruptur
kandung kemih menjadi salah satu kedaruratan di bidang urologi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kandung Kemih

2.1.1. Anatomi Kandung Kemih

Kandung kemih terletak di dalam ruang subperitoneal dan terdiri


dari corpus (corpus vesicae), apex (apex vesicae), dan fundus inferior
(fundus vesicae). Di Fundus, ostium uretra internum dan dua ostium
ureteris membentuk trigonum vesika. Kandung kemih atau buli atau
vesika urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling beranyaman, yakni (1) terletak paling dalam adalah
otot longitudinal, (2) di tengah merupakan otot sirkuler, dan (3) paling
luar merupakan otot longitudinal. Mukosa kandung kemih terdiri atas sel
transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan
uretra posterior. Mukosa kandung kemih adalah epitel transisional dan
dihubungkan secara longgar ke dinding kandung kemih oleh lamina
propria yang berfungsi sebagai lapisan jaringan ikat. Submukosa
kandung kemih atau lamina propria memiliki banyak mikrovaskularisasi
dan terdapat otot detrusor. Kandung kemih dikelilingi oleh jaringan
adiposa paravesikal dan distabilisasi oleh beberapa ligamentum. Di
apeks, ligamentum umbilicale medianum berhubungan dengan
umbilicus (Paulsen, 2010) (Purnomo, 2011) (Gill, 2016).
Secara anatomis, kandung kemih terdiri atas 3 permukaan, yaitu
(1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum
dilapisi oleh peritoneum parietalis, (2) dua permukaan inferiolateral, dan
(3) permukaan posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris
(daerah terlemah) dinding kandung kemih. Terdapat lapisan jaringan ikat
lemak yang menutupi sebagian besar anterior dan lateral kandung kemih
di ruang retropubik (Paulsen, 2010) (Purnomo, 2011) (Gill,2016).

6
Pada saat kosong kandung kemih berada di belakang simfisis
pubis dan pada saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat
dipalpasi dan diperkusi. Kandung kemih dapat menampung sekitar
500-1500 ml urin, meskipun keinginan berkemih sudah terjadi pada
volume 250-500 ml. Kandung kemih yang terisi penuh memberikan
rangsangan pada saraf aferen dan mengaktifkan pusat miksi di medula
spinalis sistem saraf parasimpatis segmen sakral S2-4. Hal ini
menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher kandung kemih,
dan relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi (Paulsen,
2010) (Purnomo, 2011).
Berikut dibawah ini merupakan gambar anatomi dari kandung
kemih:

Gambar 1. Anatomi vesika urinaria

Vaskularisasi Kandung Kemih


Pasokan darah arterial kandung kemih tiba terutama melalui
arteri iliaca internal. Cabang ini masuk ke arteri umbilikal, yang
mensuplai beberapa cabang vesica superior dan arteri vesica inferior,
yang langsung menjadi cabang ilica internal pada laki-laki atau dari

7
arteri vagina pada wanita. Pasokan arteri kandung kemih juga berasal
dari arteri obturator dan arteri gluteal inferior. Aliran balik vena kandung
kemih kaya akan jaringan pembuluh darah yang pada umumnya paralel
arteri dalam nama dan anatominya. Sebagian besar kembalinya vena dari
saluran kencing mengalir ke pembuluh darah iliaka internal (Gill, 2016).
Darah dari kandung kemih dialirkan menuju pleksus vena vesika. Vena
iliaka interna menerima darah dari pleksus vena vesika (Benninghoff,
1993).

Gambar 2. Cabang arteri iliac internal: (1) A. iliolumbalis, (2) A.sacralis mediana, (3) A. rectalis
media dari sisi kontralateral, (4) A. iliaca eksterna, (5) A. epigastrik inferior, (6) A. obturatoria,
(7) A. vesikalis superior, (8) A. vesikalis inferior, (9) A. rectalis media, (10) A. pudenda
interna, (11) A. glutealis inferior, (12) A. glutealis superior, (13) A. umbilicalis dan
ligamentum umbilicale (Benninghoff, 1993)

Inervasi Kandung Kemih (Benninghoff, 1993)


Sistem saraf somatik
Saraf pudenda daru pleksus sakral mengontrol otot spingter
striated eksternal. Serabut saraf aferen dari saraf pudenda mengukur
pengisian kandung kemih (melalui perenggangan dari urothelium) dan

8
kontraksi dari otot detrusor (melalui ketegangan dinding kandung
kemih).
Sistem saraf otonom
Lokasi neuron preganglionik parasimpatetik berada pada sakral
cord (S2-S4) dan menyusuri melalui ventral roots menuju ganglia
parasimpatetik disamping organ pelvis. Pada kandung kemih, ganglion
ganglion ini berada di otot detrusor dan di pleksus vena vesikal. Serabut
saraf preganglionik simpatetik berasal dari torakolumbal cord
(TH1-L2) dan diganti menjadi serabut postganglionik di ganglia dari
simpatetik trunk. Serabut postganglionik berjalan melalui saraf
hipogastrik menuju pelvis.

2.1.2. Fisiologi kandung kemih

Kandung kemih bagian dari saluran kemih yang berbentuk


seperti buah pir. Sebuah organ yang dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet yang terletak di belakang simfisis
pubis. Urin diproduksi oleh ginjal dan dialirkan ke kandung kemih
melalui dua saluran yang disebut ureter. Sebagian besar dinding
kandung kemih tersusun dari otot polos yang disebut muskulus
destrusor. Di dinding kandung kemih terdapat scratch reseptor yang
akan bekerja memberikan stimulus sensasi berkemih apabila volume
kandung kemih telah mencapai ± 250 cc. Kandung kemih
mengumpulkan dan menyimpan urin sampai urin siap untuk
dikeluarkan dari tubuh. Ketika kandung kemih terisi penuh oleh urin
akan memaksa dinding kandung kemih untuk berkontraksi sehingga
timbullah keinginan untuk berkemih. Kemudian urin dikeluarkan dari
kandung kemih melalui uretra (sebuah saluran kecil yang membawa
urin dari kandung kemih keluar dari tubuh). Akibatnya akan terjadi
reflek kontraksi dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama

9
terjadi relaksasi spinser internus, diikuti oleh relaksasi spinter
eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan
relaksasi spinter interus dihantarkan melalui serabut – serabut para
simpatis. Kontraksi sfinger eksternus secara volunter bertujuan untuk
mencegah atau menghentikan miksi. kontrol volunter ini hanya dapat
terjadi bila saraf – saraf yang menangani kandung kemih uretra medula
spinalis dan otak masih utuh. Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf
tersebut maka akan terjadi inkontinensia urin (kencing keluar terus –
menerus tanpa disadari) dan retensi urine (kencing tertahan).
Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako
lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar
berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna.
Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira
perbatasan ureter masuk kandung kemih. Peritoneum dapat digerakkan
membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila kandung kemih terisi
penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior berpangkal dari
umbilikalis bagian distal, vena membentuk anyaman dibawah kandung
kemih. Pembuluh limfe berjalan menuju duktus limfatilis sepanjang
arteri umbilikalis.

2.2. Ruptur Kandung Kemih

2.2.3. Etiologi

Ruptur buli bisa disebabkan baik oleh trauma tajam maupun


trauma tumpul. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah
akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia
endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi
terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti
pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli(13). Robeknya buli-buli

10
karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis
merobek dindingnya.
Kecenderungan buli untuk mengalami ruptur tergantung dari
seberapa besar buli mengalami distensi(14). Dalam keadaan penuh terisi
urine, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar
berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada
daerah fundus dan menyebabkan ekstravasai urine ke rongga
intraperitoneum . Anak anak lebih cenderung untuk mengalami ruptur
buli sebagai akibat lokasi buli yang berada di luar cavum pelvis
menjelang anak mencapai usia pubertas
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli
iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transuretral (TUR
Buli-buli) atau pada litotripsi(8). Demikian pula partus kasep atau
tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik
pada buli-buli.
Ruptura buli-buli dapat pula terjadi secara spontan; hal ini
biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding
buli-buli. Tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi infravesikal
kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang
menyebabkan kelemahan dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa
terjadi ruptura buli-buli spontanea.

Gambar 2. Ruptura buli-buli. A. Intraperitoneal robeknya buli-buli pada derah fundus,


menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum, B. Ekstraperitoneal akibat fraktura
tulang pelvis. Dikutip dari Basuki B Purnomo(7)

11
Secara garis besar, hal hal yang sering mengakibatkan ruptur
buli antara lain adalah :
 Ruptur buli sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas, terutama
kecelakaan kendaraan bermotor. Sebagai akibat dari benturan
langsung pada saat kecelakaan atau secara tidak langsung akibat
terkena setir mobil atau sabuk pengaman.
 Cedera deselerasi dari buli yang biasanya terjadi akibat jatuh dari
ketinggian.
 Cedera tumpul akibat perkelahian, perut bagian bawah menerima
pukulan dan tendangan yang mengakibatkan ruptur buli.
Biasanya juga disertai dengan fraktur pelvis. Kurang lebih 10 %
dari pasien yang mengalami fraktur pelvis disertai dengan ruptur
buli. Kecenderungan buli untuk mengalami ruptur berbanding
lurus dengan derajat distensi buli pada saat mengalami trauma
 Cedera luka tusuk akibat tembakan pistol atau tusukkan pisau di
area suprapubik. Sering dijumpai dengan adanya cedera organ
abdomen atau organ pelvis lainnya. Insiden trauma buli yang
disertai dengan cedera ileum mencapai 83 %. Insiden trauma buli
yang disertai dengan cedera kolon mencapai 33% dan yang
disertai dengan cedera vaskular mencapai 82% (dengan angka
mortalitas mencapai 63%)
 Trauma obstetri, sering terjadi pada partus macet atau kelahiran
dengan ekstraksi forceps. Tekanan terus menerus dari kepala
janin pada daerah pubis ibu akan mengarah pada kejadian
nekrosis buli. Laserasi langsung pada buli ibu dilaporkan terjadi
pada 0,3% persalinan dengan metode cesar. Riwayat persalinan
cesar sebelumnya juga menjadi salah satu faktor resiko.

12
 Trauma ginekologi, pasca vaginal atau abdominal histerektomi.
Kesulitan membedakan bagian buli dan fascia pada pelvis akan
menyebabkan trauma buli
 Ruptur buli pada saat melakukan biiopsi buli, cystolitholapaxy,
transurethral resection of the prostate (TURP), atau transurethral
resection of a bladder tumor (TURBT). Insiden terjadinya ruptur
buli pada saat biopsi berdasarkan penelitian terdahulu kurang
lebih mencapai 36 %
Trauma buli idiopatik, terjadi pada pasien alkoholik yang
meminum alkohol dalam jumlah besar. Pembedahan buli sebelumnya
merupakan salah satu faktor resiko. Pada beberapa penelitian, ruptur
buli dilaporkan terjadi pada intraperitoneal. Terjadinya trauma jenis ini
bisa sebagai akibat overdistensi yang kemudian mengalami trauma
eksternal yang sederhana.

Gambar 3. Mekanisme ruptur buli buli. Benturan langsung pada buli buli yang penuh
mengakibatkan peningkatan tekanan intravesicae. Dikutip dari smith(6)

13
2.2.2. Epidemiologi

Frekuensi rupture kandung kemih bervariasi sesuai berdasarkan


mekanisme terjadinya injuri, yaitu:
 Trauma eksternal (82%)
 Iatrogenik (14%)
 Intoksikasi (2,9%)
 Spontaneus (<1%)
Sekitar 60%-85% injuri kandung kemih disebabkan karena
trauma tumpul, sedangkan trauma penetrasi sekitar 15%-40%.
Mekanisme paling sering dari trauma tumpul adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor (87%). Mekanisme yg paling sering terjadi akibat
trauma penetrasi adalah luka tembak (85%). Sekitar 10-25% pasien
dengan fraktur pelvis memiliki trauma uretral, sedangkan 10%-29%
pasien dengan trauma uretral posterior berhubungan dengan rupture
kandung kemih.
Frekuensi ruptur kanding kemih ekstraperitoneal sekitar
50%-71% dari seluruh ruptur kandung kemih, sedangkan 25%-43%
adalah intraperitoneal, dan 7%-14% adalah kombinasi keduanya.
Insiden ruptur intraperitoneal secara signifikan lebih tinggi pada
anak-anak.

2.2.3. Klasifikasi

Secara klinis cedera buli – buli dibedakan menjadi kontusio


buli – buli, cedera buli – buli ekstra peritoneal dan cedera intra
peritoneal.
 Pada kontusio buli – buli hanya terdapat memar pada dindingnya,
mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak
didapatkan ekstravasasi urine ke luar buli – buli. Pada pasien yang

14
mengalami kontusio buli – buli didapatkan kondisi klinis sebagai
berikut
 Pasien mengalami gross hematuri setelah terpapar
trauma dengan hasil pemeriksaan imaging yang normal.
 Pasien mengalami gross hematuri setelah aktivitas fisik
yang berlebihan (lari jarak jauh, fitness berlebihan).
Buli – buli dapat terlihat normal atau teardrop shape pada
sistografi. Kontusio buli – buli cenderung tidak berbahaya dan
merupakan manifestasi paling umum yang terjadi sebagai efek
dari trauma tumpul. Pada umumnya kontusio buli – buli self
limitting, dan tidak membutuhkan terapi yang spesifik, cukup
dengan beristirahat yang cukup untuk beberapa waktu sampai
hematuri membaik dengan sendirinya. Hematuri yang persisten
atau nyeri perut bagian bawah yang terus menerus perlu
dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut.
 Cedera buli – buli intra peritoneal (insidensi 50 % - 71 %)
biasanya terjadi pada saat buli – buli dalam kedaan terisi penuh
kemudian mendapatkan trauma dari luar. Tekanan dari trauma itu
diteruskan ke bagian terlemah buli – buli yaitu fundus yang
dilingkupi oleh peritoneum. Trauma ini menyebabkan robeknya
fundus buli – buli sehingga urine mengalir ke rongga peritoneal.
Saat buli – buli terisi penuh oleh urin, serat serat otot buli buli akan
meregang di seluruh bagian buli – buli yang mengakibatkan
dinding buli – buli akan relatif lebih tipis. Sehingga
mengakibatkan kemampuan dinding buli buli untuk menahan
tekanan akan menurun dan mengakibatkan buli buli menjadi lebih
rentan untuk mengalami ruptur akibat tekanan(15).
Sebagai akibat dari proses tersebut, urin akan sangat mungkin
untuk tumpah ke dalam cavum abdomen. Ruptur buli intra
peritoneal bisa tidak terdiagnosa dalam hitungan hari bahkan
minggu. Abnormalitas elektrolit (hiperkalemi, hipernatremi,

15
uremia, asidosis dan lain lain) akan muncul sebagai akibat dari
reabsorbsi urin yang terdapat dalam cavum peritoneal. Pasien bisa
datang dengan manifestasi klinis anuria, dan baru akan
terdiagnosa ketika didapatkan urinary ascites saat dilakukan
paracentesis.
 Cedera ekstra peritoneal (insidensi 25% - 43%)(16) terjadi akibat
tertusuk oleh fragmen tulang pelvis yang mengalami fraktur.
Fragmen ini akan mencederai dinding buli – buli sebelah
inferiolateral dan terjadi ekstravasasi urine ke rongga
ekstraperitoneal. 89% - 100% ruptur buli ekstra peritoneal disertai
dengan fraktur pelvis. Ruptur ini sering terkait dengan fraktur
arkus pubis anterior. Cedera yang hebat pada pelvis akan
mengakibatkan kerusakan pada ligamen puboprostatika yang akan
mengakibatkan trauma pada permukaan buli buli. Derajat trauma
buli – buli berhubungan dengan tingkat keberatan fraktur.
Dari pemeriksaan sistografi ditemukan ekstravasasi kontras di
sekitar basis buli – buli yang mengelilingi sampai spatium
perivesikal. Buli buli akan terlihat dalam pola flame-shape,
starburst, atau featherlike patterns juga sering ditemui.
Dengan cedera yang lebih kompleks, material kontras akan lebih
menyebar ke bagian penis, perineum bahkan hingga pada dinding
abdomen anterior. Ekstravasasi akan mencapai scrotum apabila
fascia superior dari diafragma urogenital atau diafragma
urogenital itu sendiri mengalami disrupsi.
 cedera buli-buli intraperitoneal bersamaan cedera
ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak mendapatkan perawatan
dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian
karena peritonitis atau sepsis.

16
2.2.4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Presentasi klinis cedera buli mungkin dikaburkan oleh adanya


fraktur pelvis, cedera viseral, dan atau vaskular. Tanda cardinal cedera
buli adalah adanya gross haematuria, ditemukan pada 82-95% pasien.
Adanya cedera buli kuat berhubungan dengan kombinasi fraktur pelvis
dan adanya gross haematuria. Kombinasi klasik dari fraktur pelvis dan
adanya gross haematuria merupakan indikasi absolut untuk
pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Sekitar 5-15% pasien dengan
ruptur buli hanya ditemukan microhaematuria. Pada kasus adanya gross
haematuria tanpa fraktur pelvis, microhaematurie dengan fraktur pelvis
dan hanya microhaematuria, maka keputusan untuk pemeriksaan
penunjang harus berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis serta sisi
dengan trauma maksimal.
Tanda dan gejala lain adalah abdominal tenderness (hingga
97%), retensi urin, jejas pada regio suprapubis, dan distensi abdomen
(dalam kasus asites karena urin). Ekstravasasi urin dapat menyebabkan
pembengkakan di perineum, skrotum (melalui kanalis inguinalis), dan
paha, sepanjang dinding depan abdomen dimana ada ruang potensial
antara fasia transversalis dan peritoneum parietal.
Pada kasus ruptur intraperitoneal, reabsorpsi ureum dan
kreatinin melalui kavum abdomen meningkatkan kadar ureum dan
kreatinin tersebut. Pada trauma tembus abdomen, luka masuk dan keluar
pada abdomen bawah, perineum, atau pantat harus dicurigai adanya
cedera buli.
Cedera buli yang berat dapat disertai dengan avulsi jaringan
lunak dinding abdomen bawah dan atau perineum, seperti juga
hilangnya jaringan buli karena trauma atau infeksi. Perlu diperhatikan,
dalam kasus retensio urin dan atau hematuria, harus dicurigai cedera
uretra, dan uretrografi retrograd harus dilakukan untuk melihat keadaan

17
uretra sebelum dilakukan manipulasi terhadap uretra (mis: pemasangan
kateter untuk sistografi).
Manifestasi klinis dari ruptur buli-buli relatif tidak spesifik.
Secara garis besar ada trias simptoms yang sering muncul :
 Gross hematuri
 Nyeri suprapubik
 Kesulitan atau ketidak mampuan miksi
Gambaran manifestasi klinis yang lain bergantung pada
etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cidera
(intra/ekstraperitoneal), adanya organ lain yang mngalami cedera, serta
penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan
tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tampak tanda
sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika.
Kebanyakan pasien dengan ruptur buli mengeluhkan
terjadinya nyeri suprapubik atau nyeri abdomen, meskipun masih
banyak yang bisa buang air kecil. Bagaimanapun juga kemampuan
untuk bisa miksi tidak lantas menyingkirkan diagnosa ruptur buli.
Hematuria sering mengikuti terjadinya ruptur buli. Lebih dari
98 % ruptur buli diikuti dengan gross hematuri dan 10% ruptur buli
terjadi dengan hematuri mikroskopis, 10% pasien dengan ruptur buli
mengalami urinalisis yang normal.
Pemeriksaan fisik abdomen bisa ditemukan distensi abdomen,
rebound tenderness. Tidak adanya bising usus dan tanda tanda iritasi
peritoneal mengindikasikan kemungkinan terjadinya ruptur buli buli
intraperitoneal. Pemeriksaan rektal toucher perlu dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan terjadinya cedera rektum, dan pada pria
perlu dilakukan untuk mengevaluasi posisi prostat. Apabila prostat
mengalami “high riding” atau sedikit elevasi, kecurigaan mengarah
pada cedera urethra proksimal yang disertai disrupsi buli buli.

18
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Sistografi (konvensional atau CT Scan)
Sistografi retrograd merupakan prosedur standard dalam evaluasi
diagnosis trauma buli. Sistografi diterima sebagai pemeriksaan
radiologis yang paling akurat dalam mendiagnosis ruptur buli. Gambar
saat pengisian buli cukup dan post miksi diambil, sistografi mempunyai
akurasi 85-100%. Diagnosis ruptur buli biasanya dibuat dengan
sistografi saat kontras yang diberikan tampak berada di luar buli.
Sistografi, baik konvensional dan CT Scan dilakukan saat ada gross
haematuria dan fraktur pelvis. Sistografi dapat dipakai pada kasus
cedera buli non iatrogenik dan pada kasus IBT saat operasi. Meskipun
sistografi konvensional dan CT Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifitas 90-95% dan 100%, sistografi dengan CT Scan mempunyai
keuntungan lebih dalam mendiagnosis cedera lain atau penyebab nyeri
intraabdomen. Sistografi konvensional dan CT Scan harus dilakukan
dengan pengisian material zat kontras secara retrograd yang perlahan,
minimum 350 mL.
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan
memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara
gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat
beberapa foto, yaitu
(1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi
anterior-posterior (AP),
(2) pada posisi oblik, dan
(3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.
Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi
kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya
robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela
usus berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang
kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu)
terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.

19
Gambar 4 sistogram polos yang menunjukkan ruptur buli buli ekstraperitoneal dengan
extravasasi ke scrotum (dense flame shaped) dikutip dari campbell-wash(5)

Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus


diyakinkan dahulu bahwa tidak ada perdarahan yang keluar dari muara
uretra. Keluarnya darah dari muara uretra merupakan tanda dari cedera
uretra. Jika diduga terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas di
samping cedera pada buli-buli, sistografi dapat diperoleh melalui foto
PIV.
Di daerah yang jauh dari pusat rujukan dan tidak ada sarana
untuk melakukan sistografi dapat dicoba uji pembilasan buli-buli,
yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril ke dalam
buli-buli sebanyak ± 300 ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika
cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang
dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli. Cara ini

20
sekarang tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi atau
menyebabkan robekan yang lebih luas.
2. Sistoskopi
Sistoskopi menyediakan 2 metode untuk memastikan cedera buli
intraoperatif. Sistokopi rutin postoperatif setelah prosedur ginekologi
masih menjadi kontroversi, tapi hal tersebut dianjurkan untuk semua
prosedur dimana diduga terjadi ruptur buli. Vakili dkk melaporkan
bahwa 64.7% cedera buli saat histerektomi tidak diketahui sebelum
sistokopi, sehingga mereka menganjurkan penggunaan sistoskopi rutin
setelah histerektomi dan semua prosedur besar ginekologi.
Sistoskopi direkomendasikan setelah operasi minimal invasive
suburethral sling dengan rute retropubis untuk mendeteksi perforasi
buli (atau uretra). Selama sistoskopi, buli harus distensi dan harus
menggunakan sistoskop optik 70° atau fleksibel untuk menginspeksi
daerah dekat leher buli. Penggunaan sistoskopi rutin untuk insersi
melalui obturator masih kontroversial dimana cedera buli jarang tetapi
mungkin masih bisa terjadi. Sistoskopi setelah prosedur mesh
transvaginal disukai tapi tidak dianjurkan.
Sistoskopi dengan distensi buli cukup bisa langsung menunjukkan
laserasi dan dapat untuk mengkorelasikan lesi dengan letak trigonum
dan orifisium uretra. Diduga adanya perforasi luas bila buli tidak bisa
distensi selama sistoskopi.
3. Fase Ekskresi CT Scan atau UIV
Pengisisan buli secara pasif dengan mengklem kateter urin selama fase
ekskresi saat CT Scan atau UIV diperlukan untuk menegakkan cedera
buli. Curiga cedera buli saat ada ekstravasasi kontras selama fase
ekskresi.
4. Ultrasound
Kumpulan cairan intraperitoneal dan ekstraperitoneal dapat diduga
adanya perforasi. Ultrasound saja tidak bisa digunakan dalam diagnosis
trauma buli.

21
2.2.6. Tatalaksana

Secara umum, pengelolaan kasus ruptur buli buli mengikuti


prinsip pengelolaan trauma traktus urinarius.
Prinsip – prinsip pengelolaan trauma traktus urinarius(8) :
1. Semua benang harus yang dapat diserap. Benang berupa
“chromic catgut, vicryl” atau polyglycolic acid”
Chromic catgut yaitu untuk ureter dan yang lainnya dapat
digunakan untuk buli buli atau uretra
2. Garis jahitan harus tidak boleh teregang
3. Garis jahitan dibuat sehingga terjadi interposisi dengan omentum
untuk menghindari terjadinya fistula. Ini terutama dilakukan pada
trauma buli buli pada waktu histerektomi
4. Trauma pada ureter atau implantasi harus disangga dengan
kateter yang sesuai seperti infant feeding tube 6F melalui
orifisium ureter dan terus ke kranial sepanjang ureter
5. Pada trauma buli buli harus dilakukan kateterisasi menetap 5 – 10
hari
Lebih baik jika dilakukan kateter suprapubik dengan kateter
nomor 14 F atau 16 F dan dilakukan bladder training sebelum
dilakukan pengangkatan
6. Trauma pada ureter juga harus dilakukan kateterisasi
Daerah tempat trauma harus dilakukan pemasangan dren pasca
bedah dengan ukuran 18 F
7. Biasanya dianjurkan pemakaian antibiotika
Untuk trauma kecil, suntikan gentamisin 80 mg saat operasi
biasanya sudah cukup untuk menghindari infeksi

22
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter
dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara
ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.
Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi
laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan
cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urine ke
rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga
intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis,
kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan
laparotomi.
Pada cedera ekstraperitoneal,robekan yang sederhana
(ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 –
10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan
penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi. Namun
tanpa tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka ±
15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga
perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan ruptur
buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi,
sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter
sistostomi(17). Apalagi jika ahli ortopedi memasang plat untuk
memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus dialkukan penjahitan
buli-buli guna menghindari tejadinya pengaliran urine ke fragmen
tulang yang telah dioperasi.
Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum
melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih
adanya ekstravasasi urine. Sistografi dibuat pada hari ke-10-14 pasca
trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan
sampai 3 minggu.
Poin kunci : indikasi untuk melakukan operasi bedah segera
pada ruptur buli-buli

23
 Cedera intraperitoneal dari trauma eksterna
 Cedera tusuk atau cedera iatrogenik
 Drainase buli buli yang tidak adekuat atau terdapat bekuan darah
pada urin
 Cedera leher buli buli
 Cedera rektum atau vaginal
 Patah tulang pelvis terbuka
 Patah tulang pelvis yang membutuhkan fiksasi internal
 Pasien stabil yang menjalani laparotomi untuk alasan lain
 Fragmen tulang yang mengarah ke buli buli

Teknik Operasi
 Posisi terlentang
 Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.
 Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
 Dengan pembiusan umum.
 Insisi kulit midline ± 10 cm, lapis demi lapis dan rawat
perdarahan
 M. rektum abdominis dipisahkan pada linea alba (tengah-tengah)
 Lemak prevesikal disisihkan kearah kranial sehingga
buli-buli terlihat keseluruhannya dengan jelas.
 Periksa dengan teliti seluruh dinding buli-buli, tentukan letak,
jumlah, ukuran dan bentuk robekannya :
- Bila bentuk robekan tidak teratur, perlu dilakukan
debridement pada tepi-tepinya.
- Bila letak robekan di intraperitoneal, maka dilakukan
repair trans peritoneal
 Pasang DK 16F per urethra sebelum dilakukan penjahitan
buli-buli, dan pastikan DK masuk di dalam buli (balon kateter
jangan dikembangkan dulu, agar tidak tertusuk sewaktu menjahit

24
buli) pada kasus – kasus ruptura yang berat atau pertimbangan
lain perlu di pasang kateter sistostomi nomor 22 atau 24.
 Jahit robekan buli 2 lapis, yaitu :
- Jahit mukosa-muskulari buli dengan plain cutgut 3-0
secara jelujur biasa
- Jahit mukosa-muskularis dengan dexon 4-0, satu-satu
 Kembangkan balon kateter dengan larutan garam fisiologis ±
10cc
 Lakukan test buli-buli, untuk mengecek jahitan buli (bocor atau
tidak)
 Cuci lapangan operasi dengan larutan garam fisiologis sampai
bersih
 Pasang drain redon perivesikal (di cavum Retzii) dan fiksasi
dengan silk 1-0 di kulit
 Tutup lapangan operasi lapis demi lapis
- Dekatkan M. rektus abdominis dengan chromic 2-0
satu-satu
- Jahit lemak subkutan dengan plain cat-gut 3-0 satu-satu
- Jahit kulit dengan silk 3-0 satu-satu

Komplikasi operasi
Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan dan infeksi luka operasi.
Perawatan Pascabedah
 Lepas kateter pada hari ke 7
 Lepas drain redon setelah lepas kateter dan produksinya < 20 cc dalam 2
hari berturut-turut.
 Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi.
Semua luka tusuk atau cedera intra peritoneal yang berdampak
sebagai akibat trauma eksterna harus dilakukan tatalaksana operasi
pembedahan segera. Cedera yang demikian seringkali lebih besar dari
yang diperkirakan melalui sistografi dan jarang untuk bisa membaik

25
dengan sendirinya. Dan aliran urin yang terus menerus ke cavum
peritoneum mengakibatkan peritonitis.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa drainase menggunakan
kateter suprapubik tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan penggunaan kateter uretra saja.
Disamping itu, penatalaksanaan trauma buli buli juga
tergantung pada besar atau kecilnya trauma dan lokasi trauma :
1. Trauma minor/kebocoran yang kecil
Bila terjadi trauma tusukan jarum atau jahitan pada buli buli, misal
pada colposuspension. Maka jahitan harus dilepas, kemudian
dilakukan kateterasi suprapubik untuk beberapa hari dan dipasang
drain di daerah suprapubik.
Pengelolaan trauma buli buli dengan kateter sederhana harus
diketahui terlebih dahulu bahwa ekstravasasinya minimal, tidak ada
infeksi, dan kebocorannya kecil saja. Jika terdapat ekstravasasi dan
adanya risiko infeksi atau lobang trauma lebih dari 2 – 3 cm, maka
buli buli harus diperiksa dengan teliti, jaringan perivesikel
dikeringkan dan jika perlu buli buli dijahit.
Jika trauma buli buli meliputi lapisan serosa dan sero muskular
superfisial diperbaiki dengan jahitan satu lapis interuptus atau
jelujur dengan benang chromic catgut 3-0
Trauma kecil yang menembus mukosa buli buli ditutup dengan
jahitan dua lapis.

26
Gambar 5 penjahitan dengan jahitan interuptus benang chromic cat gut 3 – 0 melalui
lapisan muscular dan serosa dikutip dari wheelock dan krebs(18)
2. Trauma buli buli yang besar
Bila terjadi lobang besar meliputi dinding buli buli, setelah
identifikasi batas batas trauma, maka selanjutnya dijahit dengan
dua lapis benang chromic catgut 2-0 atau 3-0. Setelah
memperbaiki trauma, buli buli didekompresi dengan drainase
yang kontinus menggunakan kateter folley nomor 16 atau 18
atau kateter malecot suprapubik
Trauma pada leher buli buli sering terjadi pada prosedur
uretropeksi. Bila hal ini terjadi maka perbaikan harus segera dilakukan
untuk menghindari perluasan ke uretrovesical junction. Penutupan
atau penjahitan menggunakan dua lapisan 3-0 absorbsi lambat, untuk
mencegah suatu bentuk cerobong pada leher buli buli tersebut.(19)
Trauma buli buli yang diketahui pasca bedah mungkin
memerlukan pemeriksaan lanjut untuk membedakan luka pada ureter
Manifestasi akutnya adalah demam dan sakit yang progresif,
peritonitis reaksional.

Gambar 6. A dense flame-shaped pattern menunjukkan ekstravasasi ke pelvis akibat


ruptur buli buli. B sistogram ulangan pada pasien yang sama setelah 2 minggu drainase
menggunakan kateter. Menunjukkan buli buli yang sehat. Dikutip dari campbell wash(5)

27
Algoritma trauma tumpul pada saluran kencing bawah

Trauma tumpul saluran kencing bawah

Tidak ada bloody Trauma multiple dan/atau  Bloody discharge


discharge fraktur pelvis  Echimosis perineal/skrotal
(darah pada meatus)
 Hematom skrotum
 Retensio urin
 High riding prostat

Kateterasi

Bisa Tidak bisa Uretrogram retrogade

Sistografi dengan CT/foto ekstravasasi


Tidak ada Gross Hematuri/
polos dan pengisian
hematuria Fraktur pelvis yang
kandung kemih retrogade - +
bermakna
dengan PZ 300 cc
Observasi Hematuria mikroskopis ekstravasasi
Dan TD <90
+ - Eksplorasi buli dan
CT scan abdomen/ IVP Observasi  Sistostomi
 Selective primary
Extraperitonea Intraperitoneal realignment
l
Kateterisasi Laparotomi bila ada Repair Buli
cedera organ intra
abdomen yang lain

2.2.7. Prognosis dan Komplikasi


Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke
rongga pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan
infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan
buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat
menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga
intra-peritoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang
dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit
berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan
sembuh sebelum 2 bulan.

28
Diagnosis yang tepat dan manajemen yang terpadu terhadap
ruptur buli buli akan memberikan hasil yang baik dengan angka
morbiditas dan mortalitas minimal. Komplikasi yang serius biasanya
disebabkan oleh diagnosis yang terlambat serta kesalahan penanganan
sebagai akibat misdiagnosis, keterlambatan interpretasi klinis atau
cedera yang kompleks sebagai akibat dari trauma pelvis yang berat.
Ruptur buli buli yang tidak terdeteksi dalam jangka waktu tertentu
dapat bermanifestasi dalam bentuk asidosis, azotemia, demam dan
sepsis, output urin kecil, peritonitis, ileus, ascites urin, kesulitan
pernafasan(20).
Kesalahan dalam mengenali bagian bagian buli buli, vagina,
rektum akan berakibat pada ruptur yang berujung fistula, striktura, dan
rekonstruksi yang lebih sulit. Patah tulang pelvis yang berat dapat
mengakibatkan kerusakan neurologik baik reversibel maupun
irreversibel yang akan berpengaruh pada proses fisiologis miksi
pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA

5. Campbell. Campbell-Walsh Urology. 9 ed. Wein AJ, editor. Philadelphia:


Elsevier; 2007.
6. Tanagho EA. Smith's General Urology. 17 ed. McAninch J, editor. San
Francisco: McGrawHill; 2008.
7. Purnomo BB. Dasar Dasar Urologi. 2 ed. Malang: Sagung Seto; 2003.
8. Mendrofa C. Trauma Traktus Urinarius pada Bedah Ginekologi.
Semarang: Universitas Diponegoro; 2000.
11. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 ed. Jakarta:
EGC; 2000.
12. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 1 ed. Santoso B,
editor. Jakarta: EGC; 2001. 831 p.
13. d'souza C. Isolated Bladder Perforation Following a Blunt Injury in the
Abdomen. Jodr. 2012.
14. Friedman AA. Complete Endoscopic Management of a Retained Bullet in
the Bladder. Pubmed. 2013:143 - 7.
15. Marchand TD. Laparoscopic Repair of a Traumatik Bladder Rupture.
JSLS. 2012:155 - 9.
16. Kotkin L. Morbidity Associated with Nonoperative Management of
Extraperitoneal Bladder Injuries. J Traum. 1995;Jun:895.
17. Srinivasa R. Genitourinary trauma: a pictorial essay. Emerg Radiol.
2009;16:21-33.
18. Holleh RL. Urologic Complication. Philadelphia: JB Lippincot; 1994. 131
- 63 p.
19. Corriere J. Bladder rupture From Exernal Trauma: Diagnosis and
Management. World J Urol. 1999;17:84.
20. Husmann D. Traumatic and Reconstructive Urology. McAninch.
1996;7:261.

30
31
32

Anda mungkin juga menyukai