Anda di halaman 1dari 25

SPTL IMUNOLOGI

1. ALERGI MAKANAN 2
2. ARTRITIS REUMATOID JUVENIL 6
3. PURPURA HENOCH-SCHONLEIN 10
4. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) 13
5. SINDROM STEVENS-JOHNSON 18
6. INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK 22

1
1. ALERGI MAKANAN

1. Batasan
Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi imunologik
yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe hipersensitivitas
menurut Gell dan Comb’s.

2. Etiologi
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:
 Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-29%.
Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan HLA-
BB cenderung mendapat alergi.
 Faktor Imaturitas usus
-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen kedalam tubuh
-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
alergen
-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina
propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
 Pajanan alergen
-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi
-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama
mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis
atopik 6 bulan berikutnya.
-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan setempat
-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan

3. Patofisiologi
Makan→ pajanan alergen→gangguan integritas mukosa usus→absorpsi molekul
alergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul >18.000 dalton,
tahan panas, tahan enzim proteolitik)→ pada orang yang sensitif→reaksi alergi yang
muncul dapat berupa saatu atau lebih reaksi.
Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat
Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu:
1. reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
2. reaksi hipersensitivitas tipe II
3. reaksi hipersensitivitas tipe III
4. reaksi hipersensitivitas tipe IV

2
4.Manifestasi klinik
Bervariasi berdasarkan target organ:
o Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring,
sembab tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung,
mencret, perdarahan usus, protein- losing enteropathy.
o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk
kronik berulang
o Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopik
o Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan
-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food
dependent exercise induced anaphylaxis gejala anafilaksis timbul
setelah makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.
5. Prognosis
o Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan
o Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ sasaran
akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika dan asma
o Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih baik
40% mengalami grow-out
o Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk
menetap.

1. Komplikasi
o Failure to thrive
o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

2. Diagnosis
Dasar diagnosis
o Diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang dibuktikan
dengan eleminasi dan provokasi makanan
o Makanan tersangka dieleminasi selama 2-3 minggu→jika gejala
hilang atau berkurang, dilakukan provokasi makanan yang dicurigai:
-jika makanan berupa cairan/makanan lunak dapat diberikan bersama
dengan cairan juice (air jeruk) atau disembunyikan dalam bubur
-jika anak usia > 6 tahun, maka bahan makanan dihaluskan jadi
bubur→ masukkan dalam kapsul (dosis kecil 50 mg, dinaikkan tiap-
tiap 30 menit, jika tidak ada gejala setelah dosis 8 gram berarti
makanan tersebut bukan alergen penyebab. Provokasi tidak dilakukan
jika gejala yang timbul anafilaksis dan edema laring.

3
o Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:
-uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal
(intra dermal test), dan uji tusuk (prick test)
-darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
-hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi
-pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi saja
Langkah diagnosis
 Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik
 Eliminasi dan provokasi makanan yang dicurigai

Indikasi rawat:
Gejala berat seperti edema laring, reaksi gastrointestinal yang berat dan
anafilaksis.

8. Penatalaksanaan
 Menghentikan makanan penyebab dan memberikan makanan pengganti. Pada
bayi/anak yang masih mendapat ASI, ibunya jangan mengkonsumsi makanan
yang alergenik.
 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria,
diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)
- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral, dipakai
hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1 mg/kgBB 4
kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema , mula-
mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan dosis 0,01
cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2 kali selang 15
menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara
sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin,
salbutamol)  SP asma bronkial.
- Anafilaksis :
 Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000,
dosis 0,01 cc/kgBB/kali IM
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau
trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
 Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD
dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor

4
 Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu).
 Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi
hodrokortison 7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
 Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi  jika perlu
dirawat di ICU.
9. Tindak lanjut
 Menghindari makanan penyebab
 Pada anak yang mendapat alergi makanan sebaiknya dicobakan lagi, karena
kemungkinan mengalami grow out dengan bertambahnya usia.

5
2. ARTRITIS REUMATOID JUVENIL

1. Batasan
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik
yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

2. Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan
dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan
faktor imunogenetik.

3. Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks
imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia) 
pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T
supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)  akan
memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal


Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan proliferasi sel
sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel sinovia  mengisi rongga sendi,
tahap awal predominan sel PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel
plasma  produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).

Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas sistem komplemen


 terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi reaksi inflamasi. Aktivitas sistem
imun selular  aktivitas mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi
inflamasi  disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan respon
imun selular  karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan tulang
rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh
produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun
selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai macam
sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang akan
mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini akan
menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.

6
4. Bentuk Klinis
 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku.
 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai
sendi besar) terutama didaerah tungkai.
 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal atau
ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih  muncul artritis. Biasanya disertai
kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).

5. Komplikasi
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis
 Komplikasi akibat pengobatan steroid
 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis sekunder
 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.

6. Prognosis
 70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai
uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid
dan faktor reumatoid positif.
 Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal
akibat amilodosis serta infeksi.

7. Diagnosis
Dasar Diagnosis
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat eritem. Secara
klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi gerakan
sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil
yang lebih menonjol adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.
Dipakai kriteria diagnosis menurut American Rheumatis Association (ARA),yaitu
 Usia penderita kurang dari 16 tahun
 Artritis pada satu sendi atau lebih
 Lama sakit lebih dari 6 minggu
 Tipe onset penyakit :
- Poliartritis (> 4 sendi)
- Oligoartritis (< 4 sendi)
- Sistemik
 Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.

7
Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam
reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal,
nodul reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
antibodi antinuklear(ANA), faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer
komplemen C3 dan C4.
Langkah Diagnosis : - Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ
semata-mata berdasarkan klinis.
- Pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan
diagnosis.
- Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis.
Indikasi rawat : Semua dirawat, untuk mengontrol gejala dan menelusuri
manifestasi ekstra artikuler.

8. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk
mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
 Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
- Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis,
diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis
menghilang.
- AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya
hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu
yang tidak responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :
 Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.
 Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
 Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari  untuk mengontrol nyeri atau
demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan
pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.
 Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs)
 hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt),
Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7
mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis,
jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan  obat dihentikan

8
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain
diteruskan selama pemakaian garam emas. Preparat yang diapaki Gold
sodium thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan
kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika
remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama
dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu
setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun
remisi. Preparat oral garam emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2
mg/kgBB/hari (maksimal 9 mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 3 bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan
dapat sampai beberapa tahun remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan,
sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan.
Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama
makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis
diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan
beberapa tahun.
 Kortikosteroid : jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan untuk
pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit sistemik
yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika
keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan
pelan-pelan, kemudian stop.
 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8
minggu pemberian, dapat dinaikan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama
pengobatan adekuat 6 bulan.
 Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan
klorambusil.
1. Tindak lanjut
 Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe
oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi
klorokuin.
 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas, memperbaiki
pergerakan sendi.
Indikasi pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi.

9
3. PURPURA HENOCH-SCHONLEIN

1. Batasan
Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik
yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.

2. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas,
obat-obatan, makanan dan imunisasi.

3. Patofisiologi
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan jalur
alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal,
sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan
perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis leukositoklatik.

4. Bentuk Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam makuloeritematosa,
berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit
bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun
berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang,
tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

5. Komplikasi
 Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
 Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.

10
6. Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50%
kasus dapat rekuren. Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

7. Diagnosis
Diagnosis Dasar :
Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong
dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau
perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.

Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak
spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat,
kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang mengandung
IgA mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah. Biopsi lesi
kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding pembuluh
darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri
komplikasi.

Indikasi Rawat
Semua penderita dirawat
Tujuan perawatan : mengatasi gejala klinis, mengevaluasi dan menanggulangi
keterlibatan organ/sistem.

8. Penatalaksanaan
Suportif dan simptomatis. Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti
asetaminofen. Kortikosteroid diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat,
perdarahan saluran cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal
progresif (sindroma nefrotik, kerukan glomerulus), edema jaringan lunak yang
hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) siklosfosfamid 100-200 mg selama
30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan  terapi selasai minimal dalam 6 bulan.
Untuk pencegahan terjadinya nefritis dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis
1-2 mg/kgBB/hari selama 7 hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3
minggu. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP. Jika akut abdomen  konsul
bedah.

11
9. Tindak Lanjut
 Jika manifestasi hanya berupa purpura dan artritis, dapat pulang setelah gejala
klinis teratasi dan dan evaluasi klinis selesai
 Keterlibatan organ lain yang biasanya akan menyususl 4-6 minggu. Ditindak
lanjuti sesuai temuan.
 Setelah pulang dievaluasi urinalisis secara berkala selama 2 tahun sejak onset
penyakit, selain untuk memantau rekurensi juga memantau keterlibatan organ.

12
4. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

1. Batasan
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai
satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.

2. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling
berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika
salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara klinis.

3. Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi antivasi komplemen, terjadi
reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

4. Bentuk Klinis
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel dengan
squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping
hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbaita,
frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).

- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak,


kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selapaut mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.

13
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial.
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada
retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots),
papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

5. Komplikasi
 Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun,
juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.
 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

6. Prognosis
 Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10
tahun sebesar 90%.
 Penyebab kematian  akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia auto imun
 infeksi.

7. Diagnosis
Dasar Diagnosis :
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak
dianut adalah menurut American Rheumathism Association (ARA). Diagnosis
LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4
kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu
butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari :
 Eritema malar (Butterfly rash)
 Lupus discoid

14
 Fotosensitivitas
 Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
 Artritis nonerosif
 Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
 Ensefalopati, konfulsi, psikosis
 Pleuritis atau perikarditis
 sitopenia
 Imunoserlogi positif : antibodi antidouble starnded DNA, antibodi
 Antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu)
 antibodi Antinuklear positif.

Langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi
manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ARA.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
 Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)
 Sel LE
 antibodi Antinuklear (ANA)
 Anti ds DNA (anti DNA natif)
 Autoantibodi lain (anti SM, RF, anti fosfolid, antihiston, dll)
 Titer komplemen C3, C4 dan CH5O
 Titer IgM, IgG dan IgA
 Krioglobulin
 Masa pembekuan
 Uji coombs
 Elekroforesis protein
 Kreatin dan ureum darah
 Protein urine (total protein dalam 24 jam)
 Biakan kuman, terutama dalam urine
 Foto rontgen dada.
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA dan identifikasi luasnya
manifestasi klinis.
4. Telusuri komplikasi.
Indikasi rawat
Semua dirawat untuk menelusuri keterlibatan organ dan komplikasi.

8. Penatalaksanaan
 Profilaksis mencegah keadaan yang dapat menginduksi gejala lupus seperti
menghindari pemakaian obat tertentu, sinar matahari, kelelahan dll. Mencegah
infeksi dan mempertahankan fungsi organ tubuh secara optimal.

15
 Penatalaksanaan infeksi
 Salisilat  untuk artralgia dan mialgia dosis 75-90 mg/kgBB/hari. (kontra
indikasi trombositopeina dan gangguan hemostasis).
 Antimalaria : untuk membantu penyapihan kortikosteroid untuk pengobatan
dermatitis lupus. Dipakai hidroksilorokuin dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari dalam
1-2 dosis selama 2 bulan kemudian diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari.
Karena efektoksis pada mata maka harus dikonsul oftalmologik tiap 4-6 bulan.
 Kortikosteroid : perapat yang dipakai adalah prednisolon atau prednison :
- Dosis rendah : Kortikosteroid < 0,5 mg/kgBB/hari (untuk mengatasi gejala
klinis seperti demam, dermatitis,enteritis, efusi pleura dll)
- Dosis tinggi : Kortikosteroid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari : dosis inisial
dipertahankan 6-8 minggu berikan untuk mengatasi krisis lupus, gejala
neurologis susunan syaraf pusat, anemia hemolitik akut dan beberapa bentuk
nefritis tertentu
- Pada nefritis, dosis yang diberikan berdasarkan gambaran PA
 Nefritis mesangial : hanya diberi terapi simptomik
 Nefritis dengan kelainan glomerulus fokal : prednison dosis rendah 0,5
mg/kgBB/hari
 Untuk kelainan difus : dosis 1 mg/kgBB/hari
 Untuk membranosa : dosis tinggi disertai simptomatik dan siklofosfamid 1
mg/kgBB/hari.
- Penyapihan : jika klinis membaik dan laboratorium dalam batas normal,
dimulai penyapihan bertahap (C3, C4 dan titer anti ds DNA, atau konversi
negatif sel LE dan titer ANA). Patokan untuk penyapihan sebagai berikut :
 < 10 mg/hari : turunkan 0,5-1 mg tiap 2-4 minggu
 10-20 mg/hari : turunkan 1-2,5 mg setiap minggu
 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5 mg setiap minggu

Jika saat penyapihan gejala kambuh lagi, dosis dinaikan dengan 25-50%
terapi saat itu dalam dosis terbagi yang di pertahankan bebarapa lama sebelu
diputuskan untuk meneruskan penyapihan atau menaikan dosis kembali.
Umumnya dengan dosis > 30 mg/hari masih diberikan dosis terbagi 2-3 kali
sehari. Jika gejala telah terkontrol dengan dosis tunggal, dapat dicoba
pemberian obat selang sehari.
- Terapi bolus :
Terapi bolus (pulse therapy)diberikan pada keadaan darurat atau krisis lupus
dengan manifestasi akut, pada kasus tak terkontrol dan pada lupus nefritis
proliferatif difus. Preparat : metil prednisolon 10-30 mg/kgBB/kali i.v.1-3 hari
- Diet
Setiap pengobatan kortikosteroid selalu disertai diet rendah garam, rendah
gula, tidak mengandung gas, dengan restriksi cairan serta suplemen kalsium
dan kalium.

16
 Imunosupresan/sitostatika :
Diberikan jika terdapat ganguan neurologik susunan syaraf pusat, nefritis tipe
proliferasi difus dan membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus yang
resisten terhadap pemberian kortikosteroid. Dipakai : azatioprin oral : 1-2
mg/kgBB/hari atau siklofosfamid oral 1-2 mg/kgBB/hari dan untuk terapi bolus
500-750 mg/m2 iv setiap bulan, sampai 3 tahun.

9. Tindak Lanjut
Ikuti perkembangan klinis secara cermat. Secara khusus ikuti keterlibatan ginjal.
Ikuti perkembangan marker imunoserologi.
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat
pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.

Indikasi pulang :
Jika keterlibatan organ telah terkontrol, serta infeksi sekunder telah teratasi.
Follow up penderita dengan berobat jalan secara berkala selama bertahun-tahun
untuk mengikuti aktifitas penyakit.

17
5. SINDROM STEVENS-JOHNSON

1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang
ditandai makula eritema yang cepat meluas. Biasanya berbentuk target lesion dan
kelainan pada lebih dari satu mukosa (mulut, konjungtiva, dan anogenital). Sering
ditandai gejala konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.

2. Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema
multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang
sering disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson


Infeksi
Virus : Herpes simplex, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
Jamur : Koksidioidomikosis, Histoplasma
Bakteri : Streptokokus, Staphylococcus, Haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonela
Parasit : Malaria
Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasiklin,
Digitalis, Kontraseptif
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

3. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus dapat
ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam
sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah
kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat

18
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik
akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

4. Manifestasi Klinis
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral .
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dpat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris berupa
lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul
perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata
sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke
seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit
mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh
tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.

b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel,
bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di
mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau
keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat
dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare,
melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada
penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi
seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis,
poliartritis atau septikemia.

19
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap kelainan yang
sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor
penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan
faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan

diantaranya adalah :
Pemeriksaan darah tepi (leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED). Leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian
eosinofil.
1. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
2. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan gambaran
klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan histopatologik untuk
membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran
nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah
epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh
darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan
endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan
imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru
yang berumur kurang dari 24 jam.

7. Diagnosis banding
1. Nekrolisis epidermal toksik (NET)
Pada NET kelainan kulit yang utama adalah epidermis terlepas dari dasarnya
(epidermolisis) yang menyeluruh. Tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas.
Selain itu terbentuk eritema, vesikel, bula, erosi dan purpura seperti SSJ.
Kelainan pada mata dan sekitar orifisium tidak selalu menyertai. Perbedaan
lain ialah keadaan umumnya lebih buruk.
2. Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula numular
di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis tetapi selaput lendir
jarang dikenai.

20
8. Penatalaksanaan
o Rawat di PICU
o Hentikan faktor penyebab
o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi
seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari dalam dua dosis, netromisin 4-6
mg/kgBB/hari.
o Topikal : - kulit : kompres NaCl 0,9%
- mulut : kumur-kumur antiseptik
- mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
o Infus/transfusi. Bila terdapat vesikel dan bula yang luas → infus darrow glukosa.
Bila terdapat purpura → bila perlu transfusi darah
o Konsultasi dengan bagian lain sesuai kebutuhan /keadaan penderita (Mata, THT)

9. Prognosis
Pada kasus yang tidak berat prognosanya baik dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan
pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%.
Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan
oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

21
6. INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK

1. Batasan
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem
imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

2. Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus.
Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala klinis
yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini
dapat bereaksi silang.

3. Patogenesis
HIV  masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan sel
makrofag  terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui efek
sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.

Efek sitopatik langsung :


- Lisis & kematian sel TCD4 Yg terjadi karena proses replikasi virus dlm sel TCD4
- Penimbunan DNA virus yang teridak terintegrasi ke genom host
- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel
- Hambatan maturasi sel precursor TCD4 di dalam timus sehingga sel tersebut
berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4 perifer menurun

Efek sitopatik tidak langsung :


- Pembentukan sel sinsitia
- Apoptosis sel T reaktif
- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi sel
prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer berkurang

Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat juga
terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV atau
produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik yang
tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.

22
Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual
- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena
- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak steril

4. Bentuk klinis
Bervariasi sesuai tahapan penyakit :
- anak yang lahir dari ibu pengidap HIV
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

5. Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak
diagnosis AIDS ditegakkan.

6. Komplikasi
- Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis
(LIP), gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan
endokrinologi, gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi
hematologis dan keganasan.
- Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa,
jamur dan infeksi pneumonitis karnii.

7. Diagnosis

Dasar diagnosis
- anamnesa adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penuruan kekebalan
- adanya antibodi IgG spesifik HIV

Langkah diagnosis
- Skrining ibu hamil untuk HIV
- Memantau bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV positif
- Memantau bayi yang telah dikenal terinfeksi HIV
- Diagnosis ditegakkan jika ditemukan antibodi HIV dalam serum penderita
- Pada bayi baru lahir, jika antibodi HIV positif tanpa gejala, harus
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3 bulan sampai bayi berumur 15 bulan

23
karena mungkin antibodi HIV diperoleh adri ibu secara pasif selama
dalam kandungan.
- Diagnosis infeksi HIV pada bayi; adanya antibodi spesifik Ig A HIV,
menemukan DNA HIV (dengan PCR), antigen P24 HIV pada darah bayi
- Pemeriksaan darah tepi : anemia, lekositopenia, limfopenia dan
trombositopenia
- Limfosit CD4 menurun, CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun
- Fungsi sel T menurun  respon proliferatif sel T terhadap antigen atau
mikrogen menurun, adanya anergi
- Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun
terdapat hipergamaglobunemia, respon antibodi spesifik terhadap antigen
baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus dan hepatitis B
menurun.

Indikasi rawat
Penderita HIV atau AIDS dengan infeksi berat dan keganasan untuk
mengatasi infeksi atau gejala simtomatos difteri, tetanus, dan hepatitis B
menurun.

8. Penatalaksanaan
- memperbaiki kondisi penderita untuk mencegah infeksi opotunistik,
mengobati infeksi yang terjadi dan mencegah penularan infeksi HIV dari
penderita kepada tenaga kesehatan, lingkungan dan teman-temannya.
- Pada penderita asimtomatik, dijelaskan bahwa penyakitnya dapat menulari
orang sekitarnya, dapat berkembang menjadi berat dan juka penderita
wanita dijelaskan bahwa jika hamil kemungkinan besar anaknya akan
menderita HIV juga.
- Belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit AIDS. Vaksin untuk
pencegahan juga belum

- Upaya pengelolaan terhadap pasien AIDS :


- suportif : gizi cukup, hidup sehat, mencegah terjadi infeksi
- menanggulangi infeksi oportunistik, infeksi lain dan keganasan
- menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus sekarang dipakai
golongan dideoksinukleotid, yaitu azidotimidin (AZT) dapat
menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus sehingga
tidak terjadi transkripsi DNA HIV. Dosis AZT: anak 3 bulan-12 tahun:
o oral : 90-180 mg/m2/kali tiap-tiap 6 jam (max 200 mg)
o IV : kontinyu IVFD 0,5-1,8 mg/kg BB/jam
Intermiten 10 mg/kg BB/m2/kali tiap 6 jam

24
- mengatasi dampak psikososial
- penyuluhan pada keluarga tentang penularan HIV, perjalanan
penyakitnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan secara medis

9. Tindakan lanjut
- Observasi keaadaan umum penderita, klinis dan laboratorium
- Observasi munculnya komplikasi

Pencegahan :
- Menghindari tingkah lakuseksual yang menyimpang pada anak remaja
- Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
- Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
- Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi
tertular HIV tidak dijadikan donor.

25

Anda mungkin juga menyukai