B. DIAGNOSA
1. Klinis Demam Tifoid
Apabila ditemukan gejala klinis:
Panas lebih dari 7 hari
Gangguan GIT: typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi, diare
Hepatomegali
Tidak di temukan penyebab lain dari panas
2. Demam Tifoid
Apabila ditemukan gejala klinis seperti ad 1 + Salmonella Typhi (+) pada biakan darah, urine atau
feses dan atau pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag > 1/160 atau meningkat lebih dari 4 ka
li dalam interval 1 minggu. Gejala klinis lain kesadaran menurun, bau nafas tidak sedap, splenome
gali, meteorismus, bradikardi relatif, kesadaran berubah. Laboratorium: leukopenia, trombositopen
ia, aneosinofilia, anemia, limfositosis relatif. Gejala klinik dan laboratorium di atas dapat menyoko
ng diagnosis.
3. Demam Tifoid Berat
Demam Tifoid + keadaan:
lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas, hepatomegali (&
splenomegali), leukopeni < 2000/ul, aneosinofilia, SGOT/SGPT meningkat.
4. Ensefalopati tifoid
Demam tifoid atau demam tifoid klinis disertai satu atau lebih gejala:
kejang
kesadaran menurun: soporous sampai koma
kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
C. PENGELOLAAN
1. Perawatan
Isolasi
Tirah baring sampai 7 hari bebas panas lalu mobilisasi secara bertahap
2. Diet
Bebas serat tidak merangsang
Tidak menimbulkan gas
Mudah dicerna
Tidak dalam jumlah banyak
Bila perlu makan personde atau IVFD
Bubur saring sampai tujuh hari bebas panas, bubur biasa 3 hari, kemudian makan
biasa
3. Medikamentosa
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 g/hari, sampai 7 hari bebas panas, minimal 10 hari.
Obat pengganti apabila panas tidak turun dalam 5 hari dengan pengobatan kloramfenikol*:
ampicillin 200 mg/hari dalam 4 dosis, atau
trimetoprim-sulfametoxazol 10mg/kgBB/hari (TMP) dan 50 mg/kgbb/hari (SMX) dalam 2 dosis (alergi
penisilin), atau
cefixime 15- 20 mg/ kgbb/hari selama 14 hari.
*Apabila lekosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol, ata
u cefiksim dengan dosis seperti diatas.
Bila panas tidak turun dalam 5 hari è pertimbangkan: komplikasi, fokal infeksi lain, resisten, dosis tidak optimal,
diagnosis tidak tepat à pengobatan disesuaikan.
Pada ensepalopati tifoid diberikan juga dexametason dengan dosis awal 3 mg/kgBB satu kali,
dilanjutkan 1 mg/kg BB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lalu distop tanpa tapering
off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit à cairan disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan, LP bila tidak terdapat indikasi kontra, koreksi asam basa (bila perlu).
Bila terdapat peritonitis atau perdarahan saluran cerna: pasien dipuasakan, pasang pipa
nasogastrik, nutrisi parenteral, transfusi darah (atas indikasi), foto abdomen 3 posisi,
antibiotik sefalosporin generasi III parenteral. Bila terjadi perforasi usus: konsultasi dengan
bagian Bedah untuk tindakan laparatomi.
Pengobatan penunjang :
Beri cairan iv bila: dehidrasi, KU lemah, tidak dpt makan peroral, atau timbul syok
Terapi Demam Tifoid dengan syok sesuai dengan standar penatalaksanaan berdasarkan penyebab
syok . (syok hipovolemik atau syok sepsis).
Transfusi darah bila Hb <6gr% atau bila terdapat gejala perdarahan yang jelas.
9. Tindak lanjut
Pengamatan :
Rutin : Pada waktu penderita MRS selain pemeriksaan klinis dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, g
all kultur, kultur urine, kultur feses dan serologis (widal). Apabila pada pemeriksaan gall kultur (-), peme
riksaan diulang seminggu kemudian.
Atas indikasi:
Foto toraks bila ada ada kecurigaan bronkopneumonia
LP bila ditemukan ensefalopati tifoid atau tanda-tanda rangsangan meningeal bila tidak ada
kontra indikasi
Foto abdomen 3 posisi bila ada tanda perforasi usus.
Pemeriksaan elektrolit, gambaran darah tepi, urinalisa, sdan kimia darah (fungsi ginjal) bila
dicurigai HUS
EKG bila dicurigai miokarditis
Tes fungsi hati dan serologi hepatitis virus bila dicurigai ada Hepatitis Tifoid.
Saat penderita dipulangkan dilakukan pemeriksaan kultur empedu feses dan atau urine,
kemudian diulangi lagi 1 minggu kemudian. Apabila 2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu
Salmonella (-), berarti penderita sembuh dan tidak merupakan carrier.
Bila pemeriksaan biakan empedu feses (+) 2 kali berturut-turut, gejala (-) à carrier
asimtomatik à tidak usah diterapi
Bila biakan empedu feses (+) ≥ 1 tahun: carrier kronik à lakukan pemeriksaan USG kandung
empedu:
Bila tidak terdapat kolelitiasis atau disfungsi kandung empedu à beri amoksisilin 40
mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral + probenesid 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 6
minggu
Bila terdapat kolelitiasis atau disfungsi kandung empedu à beri ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6
dosis IV selama 7-10 hari, dilanjutkan dengan kolesistektomi, kemudian diberikan amoksisilin 40 mg/k
gBB/hari dalam 3 dosis oral selama 30 hari.
Serologis Meningitis
Widal (+), titer O Ag > 1/160 a Ampicillin 400 mg/kgBB/hari dlm 4 dosis
tau kenaikan titer
4 kali dalam 1 minggu Perdarahan usus
Foto abdomen, perdarahan progresif à transfu
si à bagian bedah
Dehidrasi + asid
osis IVFD
Pemeriksaan penyokong
Bronko pneumo
Laboratorium PP 55.000 IU/kgBB/hari
nia
Darah tepi
Leukopenia
Limfositosis Renjatan
Aneosinofilia
Sumsum tulang makrofag Tifoid encepalop
(+) semua sistem menurun ati Dexametason 3 mg/kgBB/kali dilanjutkan
1 mg/kgBB/6 jam sampai 48 jam atau 8 kali
Demama tifoid g pemberian
gn kesadaran
Pe â kesadaran
2. DEMAM BERDARAH DENGUE / DBD
A. Batasan
Penyakit infeksi disebabkan oleh virus dengue ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai ma
nifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian
B. Etiologi
Virus dengue yang terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe ini
dapat ditemukan di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotype yang paling banyak ditemukan di I
ndonesia dan berhubungan dengan manifestasi yang berat (Setiati TE, dkk. 2006)
C. Patogenesis
Aktifasi komplemen, agregasi trombosit, kerusakan sel endotel à kebocoran kapiler, ektravasasi plasma
, hemokonsentrasi, renjatan, efusi cairan, ensefalopati, hipoksia jaringan. Vasculopati + trombopati + k
oagulopati + trombositopenia à perdarahan, ensefalopati.
D. Bentuk Klinis
Berdasarkan kepastian diagnosis:
Tersangka demam dengue (TDD)
Tersangka demam berdarah (TDBD)
Demam dengue (DD)
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasar derajat penyakit
Derajat I,II,III,IV. Derajat III dan IV à DSS
E. Perjalanan Penyakit
Terdiri dari 3 fase (guideline WHO 2009):
Fase demam (febrile): demam tinggi mendadak 2-7 hari disertai flushing, nyeri otot
sendi dan sakit kepala
Fase kritis: demam turun, biasanya hari ke 4-5 (range 3-7 hari) , selama 24-48 jam.
Fase penyembuhan (recovery): terjadi reabsorbsi cairan yang keluar dari
ekstravaskular, setelah fase kritis (48-72 jam), ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu
makan membaik, keluhan nyeri perut berkurang, timbul rash, bila pada fase syok
mendapat terapi cairan berlebih dapat terjadi edem paru.
F. Komplikasi
Perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru, DIC, efusi pleura
F. Prognosis
Angka kematian kasus di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka kematian DSS d
i RS 5-10%. Kematian meningkat bila disertai komplikasi. DBD yang akan berlanjut
menjadi syok atau penderita dengan komplikasi sulit diramalkan, sehingga harus hati-
hati dalam melakukan penyuluhan.
G. Diagnosis
Dasar diagnosis
Pada fase demam gejala klinis DBD ataupun DD tidak khas,
menyerupai gejala klinis infeksi lain seperti: demam tinggi mendadak, nyeri
kepala, nyeri di belakang bola mata, nyeri diberbagai bagian tubuh, anoreksia,
malaise, ruam, facial flushing, obstipasi, nyeri epigastrium, mual dan muntah.
Beberapa penderita dapat ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi faring,
konjungtiva dan dapat juga ditemukan manifestasi perdarahan seperti ptekie,
mimisan dan gusi berdarah. Seringkali ditemukan pembesaran hepar. Adanya test
torniquet yang positif meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue.
Pada fase kritis (hari ke 4-5 sakit) demam turun, sering
ditemukan manifestasi perdarahan seperti ptekie, ekimosis, epistasksis, gusi
berdarah. Purpura seringkali terjadi pada tempat bekas suntikan/ pengambilan
darah. Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan perdarahan gastrointestinal.
Pada penderita DBD ditemukan adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan
adanya peningkatan Ht. Leukopenia dan trombositopenia terjadi sebelum
kebocoran plasma. Pada fase ini dapat terjadi ascites dan efusi pleura tergantung
derajat kebocoran plasmanya. Pada fase ini penderita tanpa adanya kebocoran
plasma (DD) akan mengalami perbaikan namun pada DBD dapat memburuk
bahkan mengalami syok. Terdapat gejala khas kegagalan sirkulasi: kulit menjadi
dingin, lembab, sianosis sirkumoral, dan frekuensi nadi yang cepat. Penderita
dapat menjadi letargis, gelisah, dan kemudian memasuki fase syok. Pada
pemeriksan fisik juga dapat ditemukan nadi yang cepat dan lemah, penyempitan
tekanan nadi (<20 mmHg) atau hipotensi dengan kaki tangan dingin.
Fase penyembuhan: Keadaan umum semakin membaik, nafsu makan membaik,
gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik stabil. Beberapa penderita timbul
ruam yang terkadang gatal, bradikardia dan perubahan elektrokardiografi dapat
ditemukan pada fase ini. Kadar hematokrit stabil dan dapat lebih rendah akibat efek
hemodilusi reabsorbsi cairan. (WHO 1997; WHO 2009; Sumarmo S, dkk, 2008; Gubler DJ,
1998)
Berdasarkan “kriteria WHO (1997)” dengan indikator demam 2-7 hari. Tendensi perd
arahan, hepatomegali, renjatan, bukti kebocoran plasma dan trombositopenia.
Diagnosis kerja:
TDD: demam akut 2-7 hari ditambah 2 lebih manifestasi sakit
kepala, sakit belakang bola mata, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan dan leukopeni tidak terbukti
adanya kebocoran plasma dan tidak terbukti diagnosis klinis lain
TDBD: demam + manifestasi perdarahan paling sedikit test
tourniquet (+)
DSS: DBD derajat III dan IV (lihat keterangan di bawah)
Diagnosis akhir:
DD: demam + 2 atau lebih manifestasi: sakit kepala, sakit belakang bola mata, mialgia, atr
algia, ruam, perdarahan; tetapi tidak terbukti adanya plasma leakage.
Pemeriksaan NS1:
NS1 merupakan glikoprotein non struktural 1 dari virus dengue. NS1 dapat terdeteksi
pada darah mulai awal demam sampai hari ke 5. (WHO. Update on the Principles and Use of
Rapid Tests in Dengue. 2009)
DBD : demam + manifestasi perdarahan serta plasma leakage (hematokrit meningkat paling sedikit 20%
diatas rata-rata untuk umur/kelamin/ populasi atau penurunan hematokrit paling kurang 20% s
etelah terapi cairan adikuat, effusi pleura, ascites, atau hipolbuminemia), dan trombositopenia (
<100.000/mm3);
Derajat I : demam + gejala non-spesifik + uji bendung (+)
Derajat II : derajat I + perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lainnya
Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lembut, takikardia, tekanan nadi ≤ 20 mmHg atau h
ipotensi, sianosis sirkum oral, kulit lembab dan dingin, dan anak gelisah.
Derajat IV : renjatan berat, nadi tak teraba, tekanan darah tidak terukur.
Langkah diagnosis
Pemeriksaan klinis: panas, manifestasi perdarahan, tanda efusi, hepatomegali, tanda
kegagalan sirkulasi.
Pemeriksaan laboratorium: uji torniquet, hematokrit dan hitung trombosit secara berkala serta
pemeriksaan serologi, pemeriksaan LPB, albumin darah, CT, BT, PT, PTT, gambaran darah tepi pada
kecurigaan DIC.
Pemeriksaan penunjang: foto thorak pada dispneu untuk menelusuri penyebab lain disamping
efusi pleura, USG bila ada, dapat dipakai untuk memeriksa efusi pleura minimal
Indikasi rawat
Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari atau lebih dianjurkan untuk dirawat.
Tersangka demam berdarah derajat I disertai hiperpireksia atau tidak mau makan atau muntah-muntah atau
kejang-kejang atau Ht cenderung meningkat dan trombosit cenderung turun atau <100.000 harus dirawat.
Penderita demam berdarah derajat I pada follow up berikutnya ditemukan status mental berubah, nadi menjadi
cepat dan kecil, kaki tangan dingin, tekanan darah menurun, oligouria harus dirawat.
Seluruh derajat II, III, IV
H. Penatalaksanaan
Sesuai dengan bagan penatalaksanaan (bagan 1,2,3,4)
Perhitungan pemberian cairan intravena maintenance dapat dihitung dengan rumus Holliday-Segar (W
HO 2009)
4 mL/kg/jam untuk 10 kg pertama
+ 2 mL/kg/jam 10 kg berikutnya
+ 1 mL/kg/jam untuk setiap kg berat badan berikutnya.
Untuk penderita overweight perhitungan cairan maintenance berdasarkan berat badan ideal.
Tatalaksana komplikasi:
Overload cairan:
Tanda-tanda awal:
Distress nafas, sesak
Nafas cepat, retraksi, wheezing
Efusi pleura yang luas, peningkatan JVP
Tanda-tanda lanjut:
Edem paru (batuk dengan sputum berwarna merah, krepitasi, sianosis)
Syok ireversibel
Pemeriksaan penunjang:
Ro thorax, EKG, AGD
Tatalaksana:
O2 segera
Mengurangi atau menghentikan pemberiaqn cairan IV
Bila penderita sudah melewati fase kritis (> 24-48 jam setelah demam turun)
hentikan/ kurangi cairan , monitor secara ketat, berikan furosemide 0,1-0,5
mg/kgBB/dosis bila perlu
Bila penderita masih pada fase kritis, kurangi pemberian cairan, hindari
pemakaian diuretik
Penderita yang masih mengalami syok pada kadar HT normal atau rendah
dengan tanda-tanda overload cairan mungkin mengalami perdarahan. Berikan
transfusi whole blood secara hati-hati.
I. Tindak Lanjut
Pengamatan rutin
DSS : tensi/nadi diperiksa setiap 15-20 menit sampai keadaan stabil, Ht, trombosit setiap 3-6
jam sampai keadaan menetap.
Derajat I dan II : pemeriksaan Ht dan trombosit minimal 6-12 jam.
Pada semua DSS pada saat masuk rumah sakit harus diperiksa juga CT dan BT. Bila CT
cenderung memanjang lakukan juga pemeriksaan gambaran darah tepi.
Pemeriksaan khusus: EKG bila gagal jantung, foto thorax bila pleural efusi dan edema paru.
USG bila curiga efusi pleura minimal.
BT, CT, PT, PTT, dan gambaran darah tepi bila curiga DIC.
Penderita yang berobat jalan diperiksa Hb, Ht, trombosit dan dimonitor gejala klinis seperti
muntah, nyeri perut, manifestasi perdarahan; intake cairan,urin output (minimal BAK satu kali
dalam waktu 6 jam), setiap hari.
Penderita yang dirawat, tampung urine 24 jam, bila kurang dari 1 ml/kgBB/jam periksa ureum
dan kretinin.
Elektrolit darahAGD bila keadaan umum tidak membaik.
Pelaporan pada dinas kesehatan Tk II setempat melalui kurir, telepon atau surat secara
mingguan.
Rawat inap
Lab
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopeni >100.000/ml
Monitor tanda vital tiap 1-4 jam sampai melewati fase kritis
/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
TATALAKSANA KASUS DSS ATAU DBD
DERAJAT III DAN IV
Tanda vital
Tanda perdarahan 3. Koreksi asidosis
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit Evaluasi 1 jam
B. DIAGNOSA
B.1. HEPATITIS
Apabila pada anamnese dan pemeriksaan didapatkan:
Demam, sakit kepala
Anoreksia, mual ,muntah
Ikterus , BAK warna teh tua
Hepatomegali
Urine: bilirubin (+)
Darah: LFT abnormal, bilirubin total meningkat
a. Hepatitis A
Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan serologis didapatkan IgM
Anti HAV (+), HBsAg (-) dan IgM anti HBc (-)
b. Hepatitis B
Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan serologis didapatkan IgM An
ti HAV(-), HBsAg (+), IgM anti HBc (+)
d. Fulminan Hepatitis
Bila ditemukan gejala-gejala sebagai berikut:
Demam tinggi
Kesadaran menurun sampai koma
Manifestasi perdarahan
Hipertensi portal dan asites
Adanya asam amino dalam urine
Pemeriksaan PA:
Necrosis submassive sel hepar
Infiltrasi sel mononukleus dominan
Acute yellow atrofi
Medikamentosa
Hepatoprotektor
Roboransia
Pada cholestasis karena hepatitis B pemberian prednison tidak dianjurkan lagi tetapi pada cholestasis karena
hepatitis A masih dapat digunakan prednison dengan dosis 30 mg pada hari-hari pertama dan diturunkan secara
bertahap paling lama sampai 3 minggu. Pada fulminan hepatitis pemberian protein dibatasi 0-1/2 gram perhari,
antibiotika (Neomisin) untuk sterilisasi usus, kortikosteroid dosis tinggi, laksansia/enema.
Pengamatan
Jika selama waktu ikterus penderita masih panas harus dicari factor penyebab lainya
Pemeriksaan laboratorium:
- Urine: bilirubin dilakukan 2 kali seminggu sampai hasil (-) 2 kali berturut –turut
- Darah: pemeriksaan LFT dilakukan
Pada saat MRS
Secara berkala sampai 2 minggu sampai hasil normal
Apabila pemeriksaan bilirubin urine hasilnya 2 kali (-)
berturut-turut
Setelah lima hari pemberian kortikosteroid pada penderitya
cholestasis
Setiap bulan selama 6 bulan setelah penderita dipulangkan
Pemeriksaan serologis dilakukan
Setelah 2 minggu perawatan , klinis dan laboratories tidak ada kemajuan
Terdapat hepatomegali tanpa gejala klinis yang jelas
Sebelum dilakukan PA, dilakukan USG bila dengan USG tidak
jelas penyebabnya, perlu dilakukan PA.
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan pemeriksaan LFT normal, dengan anj
uran kontrol ke poliklinik. Dinasehatkan untuk istirahat dan tidak bekerja selama:
- 3 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (-)
- 6 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (+)
- 6 bulan, bila ikterus lebih dari 2 minggu
4. DIFTERI
A. PETUNJUK DIAGNOSA
1. Klinis
Demam tidak terlalu tinggi
Sakit menelan
Suara serak
Sesak nafas
Lesu, pucat dan lemah
Adanya pseudomembran : membran putih kelabu, mudah berdarah bila tersentuh,
sukar diangkat pada tonsil, faring, laring à patognomonis
Bull neck
Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut:
Derajat I:
- Anak tenang
- Dispneu ringan
- Sridor inspirator
- Retraksi suprasternal
Derajat II:
- Anak gelisah
- Dispneu hebat
- Stridor masih hebat
- Retraksi suprasternal dan epigastrium
- Sianosis belum tampak
Derajat III:
- Anak sangat gelisah
- Dispneu makin hebat
- Stridor makin hebat
- Retraksi suprasternal dan epigastrium serta interkostal
- Sianosis
Derajat IV:
- Letargi
- Kesadaran menurun
- Pernafasan melemah
- Sianosis
2. Laboratorium
Bila sediaan apus dan biakan tenggorok ditemukan Corynebacterium diptheria
B. DIAGNOSA
Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat pseudomembran yang melekat
erat pada tonsil, faring dan atau mukosa hidung.
Laboratorium : Isolasi C.diphtheria dari spesimen
C. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan
Isolasi penderita diruang khusus. Tirah baring 2-4 minggu pada penderita dengan komplikasi miok
arditis , sampai miokarditis hilang. Diet makanan lunak yang mudah di cerna, tinggi kalori dan pro
tein. Bila diperlukan dapat diberikan infus dengan cairan yang sesuai dan pemberian oksigen.
2. Medikamentosa
ADS :
Tipe Difteria Dosis ADS (IU)
Difteria Hidung 20.000
Difteria tonsil 40.000
Difteria faring 40.000
Difteria laring 40.000
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-120.000
Terlambat berobat (>72 jam)
lokasi di mana saja 80.000-120.000
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dibagian THT bila terdapat obstruksi jalan nafas derajat II atau lebih
4. Pengamatan
Pengamatan terhadap komplikasi miokarditis:
Pemeriksaan EKG dilakukan pada waktu penderita dirawat selanjutnya tergantung keadaan atau seminggu
sekali.
Bila ada tanda-tanda heart blok, diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kgBB/ hari selama 10 hari.
Bila pada pemeriksaan usap tenggorok Corinebacterium (-) maka pemeriksaan diulangi lagi besoknya 2 hari
berturut-turut.
5. Pengobatan kontak
Pengobatan anak yang kontak berdasarkan hasil biakan dan tes Schick :
Kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi : Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster dengan toksoid difteria
Kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan karier : penisilin 100 mg/kg BB/hari atau
eritromisin 40 mg/kgbb/hari selama 1 minggu.
Kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : ADS 20.000 IU + penisilin 100 mg/kg BB/hari
atau eritromisin 40 mg/kgbb/hari.
Kultur (-)/Shick test (+) : toksoid difteria (imunisasi aktif).
D. PENCEGAHAN
Imunisasi dilakukan 4-6 minggu setelah pengobatan kortikosteroid di stop.
5. SEPSIS
1. Batasan
Sepsis: sindrom respon sistemik (Systemic inflammatory response syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaa
n klinis / terbukti)
SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan minimal 2 keadaan berik
ut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal): suhu ≥38,5oC atau <36oC, takikardi
atau bradikardi, takipneu, dan lekositosis, lekopenia atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10)
Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1 organ: kardiovaskular atau sindrom distress pernapa
san akut) atau minimal 2 disfungsi organ lainnya.
Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau disfungsi kardiovaskular
2. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat disebabkan oleh mik
roorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganism
e atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
3. Bentuk Klinis
Tersangka sepsis: panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardi, takipneu, kesadaran
menurun, oliguria.
Sepsis: tersangka sepsis + (lekositosis/lekopenia, trombositopenia, granulosit toksik, hitung
jenis bergeser kekiri, CRP (+), LED meningkat). Hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Syok septik: sepsis + tanda-tanda syok (tekanan darah¯, tekanan nadi¯, nadi lembut, kulit
kemerahan)
Kegagalan organ multipel: fase terminal penyakit ditandai dengan kegagalan berbagai organ/
sistem: ginjal, hati, traktus respiratorius, jantung dan otak
4. Komplikasi
Syok septik, kegagalan organ multiple
5. Patogenesis
Infeksi
Aktivasi Aktivasi
Aktivasi PMN, pelepasan PAF,
koagulasi & kalikrein,kinin produ
k asan arachidonat dan
fibrinolisis substansi toksik lai
n
penglepasan
C3a, histamin
Disfungsi
Organ multipel
Syo
k
Kegagalan
organ multipel
6. Prognosis
Tanpa komplikasi, dengan pemberian antibiotik adekuat prognosis cukup baik
Prognosis jelek bila disertai dengan komplikasi. Hasil perawatan sangat tergantung dari upaya
mengenal Sepsis secara dini, dan menanganinya secara adekuat.
7. Diagnosis
Dasar diagnosis:
Klinis :
Panas disertai menggigil atau hipotermi
Tampak toksik/ confusion
Takikardi atau bradikardi, takipneu
Flushing pada kulit/ruam kulit berupa petikie, ekimosis, pustular
Kadang-kadang disertai kejang-kejang, ileus, menurunnya volume urine, inadequate peripheral circulation
Laboratorium:
Lekositosis/lekopenia, netropenia, trombositopenia, toksik granulosit (+)
Hitung jenis bergeser kekiri, LED -, CRP (+)
Biakan darah/ urine/ LCS dapat (+) atau (-)
Langkah diagnosis:
Pertimbangan klinis:
Panas disertai menggigil atau hipotermi
Tanda-tanda disfungsi organ: takikardi atau bradikardi, takipneu, ruam kulit, gangguan kesadaran, gangguan
sirkulasi, dsb
Laboratorium
Kadar Hb, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi
Hitung jumlah lekosit
Hitung jenis lekosit
LED, CRP, toksik granulosit, CT, CT
Biakan darah, urine, atau LCS
8. Penatalaksanaan
Pertahankan keseimbangan cairan, bila perlu beri cairan intravena
Sambil menunggu hasil biakan + uji resistensi berikan :
Sefalosporin generasi III secara IV (ceftriaxon 100 mg/kgBB/hari atau sefotaksim 200 mg/kgBB/hari d
alam 3 dosis atau ceftazidim 150 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis). Bila tidak memungkinkan: Ampisilin 2
00 mg/kgBB/hari + Gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari IV.
Bila perbaikan (-) dalam 48 jam atau memburuk dalam 24 jam I: AB diganti dengan sefalosporin gener
asi IV, atau gol. Karbapenem, atau quinolon pada anak >14 tahun, atau vancomycin bila curiga MRSA.
Jika tidak memungkinkan: sefalosporin generasi III + gentamisin
Selanjutnya sesuaikan antibiotika dengan biakan kuman +u ji resistensi dan klinis.
Bila disertai dengan syok:
Sesuai standart penatalaksanaan di Unit Perawatan Intensif.
9. Tindak Lanjut
Pengamatan:
Pemeriksaan klinis: tanda vital, monitor diuresis
Pemeriksaan darah rutin, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, fungsi hati, fungsi ginjal dilakukan
secara serial. Pada penderita dengan syok lakukan analisa gas darah secara serial.
Bila anemia diberikan darah segar, gangguan fungsi ginjal lakukan dialisa, DIC berikan suspensi trombosit dan
FFP 10 cc/kgBB
Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila klinik & laboratorium telah baik, jadwal pemberian antibiotika telah selesai dan
penyakit lain telah teratasi.
6. MALARIA
A. BATASAN
Adalah penyakit yang bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmo
dium, ditandai dengan panas, anemia dan splenomegali.
B. ETIOLOGI
Terdapat 4 spesies dari genus Plasmodium yang menyerang manusia :
a. P. vivax : malaria tertiana/malaria vivax
b. P. falciparum : malaria tropika/malaria falciparum
c. P. malariae : malaria malariae
d. P. ovale : malaria ovale
D. MASA INKUBASI
P. falciparum : 9-14 hari (12 hari)
P. vivax : 12-17 hari (15 hari)
P. ovale : 16-18 hari (17 hari)
P. malariae : 18-40 hari (28 hari)
E. PATOGENESIS
1. Demam : timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah → antigen → sel-sel makrofag
, monosit atau limfosit → sitokin (TNF) → aliran darah hipotalamus → demam. Proses s
kizogoni pada keempat plasmodium (berbeda-beda) :
P. falciparum : 36-48 jam (demam dapat terjadi setiap hari)
P. vivax/ovale : 48 jam (demam selang satu hari)
P. malariae : 72 jam (demam selang 2 hari)
2. Anemia : terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi
P. falciparum : seluruh stadium sel darah (anemia akut/kronis)
P. vivax : sel darah merah muda (anemia kronis)
P. malariae : sel darah merah tua (anemia kronis)
3. Splenomegali : limpa (organ RES) → plasmodium dihancurkanoleh sel-sel makrofag dan
limfosit → penambahan sel-sel radang → limpa membesar.
4. Malaria berat : pada P. falciparum : eritrosit yang terinfeksi → proses sekuestrasi : tersebar
nya eritrosit yang berparasit ke pembuluh kapiler jaringan tubuh → obstruksi pembuluh d
arah kapiler → iskemia jaringan. Mekanisme ini bila disertai dengan pembentukan ‘rosett
e’ (bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya) dan
proses imunologik → gangguan fungsi pada jaringan tertentu.
F. BENTUK KLINIS
Berdasarkan gambaran klinis:
Malaria tanpa komplikasi.
Malaria berat
Malaria cerebral
Berdasarkan pola demam
Malaria tertiana : panas timbul dengan interval 48 jam
Malaria aquartana: panas timbul dengan interval 72 jam
Malaria tropica : panas timbul tidak khas dapat terus menerus
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Keluhan utama : demam, menggigil, berkeringat, dapat disertai sakit kepala, mual, mu
ntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal
- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria
- Riwayat tinggal di daerah endemik malaria
- Riwayat sakit malaria
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
- Riwayat mendapat transfusi darah
- Gejala klinis pada anak dapat tidak jelas
2. Pemeriksaan fisik
- Demam (perabaan atau pengukuran dengan termometer)
- Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan
- Splenomegali
- Hepatomegali
3. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan dengan mikroskop : sediaan darah tepi tebal dan tipis, untuk
menentukan :
a. ada tidaknya parasit malaria
b. spesies dan stadium plasmodium
c. kepadatan parasit : semi kuantitatif dan kuantitatif
Pada penderita tersangka malaria berat :
a. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap
6 jam sampai 3 hari berturut-turut
b. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak
ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
c. Bila pada pemeriksaan darah tebal ditemukan parasit malaria, maka
pemeriksaan diulang pada hari ke 4, 7, 14, 21, dan 28.
- Tes diagnostik lain : deteksi antigen parasit malaria imunokromatografi, dalam
bentuk dipstik.
Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat :
1) Kimia darah : gula darah, serum bilirubin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, albumin, globulin, ureum,
kreatinin, elektrolit, AGD (atas indikasi)
2) EKG
3) Foto thoraks
4) Analisa LCS
5) Biakan darah dan uji serologi, urinalisis
G. DIAGNOSIS BANDING
Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai berat :
1. Malaria ringan: demam tifoid, demam dengue, ISPA, leptospirosis ringan, infeksi
virus akut lainnya.
2. Malaria berat: meningitis/ensefalitis, tifoid ensefalopati, hepatitis, leptospirosis berat,
glomerulonefritis akut atau kronis, sepsis, DBD/DSS
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meliputi :
1. Pemberian obat anti malaria :
- oral, untuk malaria tanpa komplikasi
- parenteral, untuk penderita malaria berat atau yang tidak dapat minum obat
2. Pengobatan suportif
- malaria tanpa komplikasi : simptomatik terhadap demam
- malaria berat: perawatan umum, pemberian cairan dan pengobatan
simptomatik: anti konvulsan
3. Pengobatan terhadap komplikasi organ pada malaria berat
- tindakan dialisis atau pemasangan ventilator
2. Kinin sulfat 30 mg/kgbb/hari peroral dibagi 3 dosis selama 7 hari. Dosis untuk bayi adalah 10
mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian selama 7 hari. Kemasan tablet kina yang beredar di
Indonesia: 200mg kina fosfat atau kina sulfat. Ditambah dengan Tetrasiklin oral 5 mg/kgbb/kali, 4
kali sehari selama 7 hari (maks 4x250 mg/hari).
3. Kombinasi sulfadoksin 500 mg dan pirimetamin 25 mg, dengan dosis pirimetamin 1-1,5
mg/kgbb/hari atau sulfadoksin 20-30 mg/kgbb/hari pada anak usia > 6 bulan, diberikan peroral
dosis tunggal, diberikan dua hari berturut-turut.
Plasmodium vivax/ovale :
Diberikan
Klorokuin : 25mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3 hari
Primakuin : 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari
Bila resisten terhadap klorokuin :
ACT seperti pada malaria falsifarum + Primakuin: 0,25 mg/kgBB/hari (14 hari) atau
Kina 30mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari + primakuin 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari
Pilihan pertama:
Kina HCl 25% per infus,1 ampul mengandung 500mg kina HCL
dalam 2ml. Dosis 10 mg/kgBB (bila umur < 2 bulan: 6-8 mg/kgBB) diencerkan
dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10 ml/kgBB diberikan selama 4
jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat
Bila sudah sadar/dapat minum obat: dilanjutkan dengan kina sulfat
per oral : 30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis (total dosis 7 hari dihitung sejak
pemberian kina per infus yang pertama) dan primakuin 0,75 mg/kgBB dosis tuinggal
Obat alternatif :
Derivat artemisin parenteral : Artesunat atau Artemeter
cara pemberian artesunat :
Campur 60mg serbuk kering asam artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat yang tersdia pad
a masing-masing kemasan, encerkan dengan 3-5ml larutan dextros 5%. Dosis: 2,4 mg/kgbb i
v/im satu kali sehari (selama7 hari). Bila penderita sudah dapat minum dilanjutkan dengan A
CT seperti pada malaria tanpa komplikasi.
Sediaan artesunat tidak boleh disimpan setelah diencerkan.
Pengobatan komplikasi :
malaria serebral : penatalaksanaan sesuai dengan malaria berat, pencegahan infeksi
sekunder, aspirasi pneumonia, tidak boleh menggunakan obat-obat seperti:
kortikosterioid, anti edema serebral (urea, manitol), dekstran, dll
anemia berat : transfusi darah PRC bila Hb < 7gr% atau jika Hb ≥ 7gr% tetapi terdapat
tanda-tanda gangguan oksigenasi.
hipoglikemia : bolus glukosa 40% iv : 2-4 ml/kgBB
syok hipovolemia : RL 10-20 ml/kgBB secepatnya sampai nadi teraba
gagal ginjal akut : anuria : furosemide 1 mg/kgBB/kali
perdarahan dan gangguan pembekuan darah : vitamin K injeksi 10 mg iv
J. TINDAK LANJUT
Pengamatan :
- Selama pemberian obat anti malaria waspada terhadap efek saming obat sebagai berikut:
1. pirimetamin tidak boleh diberikan pada:
ibu hamil
bayi< 1 tahun
penderita G6PD
2. kombinasi artesunat-amodiakuin:
mual, muntah, sakit kepala.
3. Kina injeksi
Kina tidak bolehdiberikan bolus iv cepat karena dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah mendadak,
blokade jantung, vibrilasi ventrikel disusul kemtian.
Pada penderita dengan gagal ginjal loading dose tidak diberikan dn dosis maintenance diturunkan setengah
Hati-hati hipoglikemi
4. klorokuin
pusing, vertigo, pandangan kabur, mual, muntah, sakit perut, dan pruritus.
5. Sulfadoksin:
timbul bercak kulit kemerahan disertai rasa gatal, dan sindroma steven jhonson. 1
K. INDIKASI PULANG
Keadaan umum baik dan komplikasi teratasi
7. OMFALITIS
A. BATASAN
Merupakan bentuk infeksi pada tali pusar yang terjadi pada periode neonatal. Omfalitis muncul secara
khusus sebagai suatu selulitis superficial yang mengenai dinding perut dan mungkin progresif menjadi
faciitis, mionekrosis atau penyakit sistemik.
B. ETIOLOGI
Umumnya disebabkan oleh bakteri. Yang paling umum, yaitu staphylococcus aureus, streptococcus, es
cherichia coli, klebsiela pneumonia dan termasuk juga bakteri anerobik.
C. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis bayi dengan omfalitis muncul pada dua minggu pertama kehidupan dengan tanda-tanda d
an gejala infeksi, seperti selulitis disekitar umbilicus (kemerahan, hangat, udem dan nyeri), bau busuk
kadang adanya pus disekitar umbilicus.
D. DIAGNOSIS
Ditegakkan dari:
Gambaran klinis pada tali pusar berupa kemerahan, hangat, udem, nyeri dan bau busuk kadang ada pu
s disekitar umbilicus.
E. PENATALAKSANAAN
Terapi lokal: Bersihkan umbilikus dengan alkohol 70% dan betadine.
Terapi sistemik: Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
Gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis.
Lama pemberian 3-5 hari dilanjutkan antibiotik oral amoksisilin 30-50mg/kgbb dibagi 3 dosis selama 7
hari dan bisa lebih bila ada tanda-tanda sepsis, dan dosis obat disesuaikan dengan dosis sepsis.
Apusan pus untuk pewarnaan gram, kultur dan resistensi.
F. PENCEGAHAN
Perawatan pada tali pusar setelah melahirkan dengan menggunakan betadine, bacitrasin atau silver sulf
adiazine.
8. LARINGITIS AKUT
BATASAN
Adalah infeksi akut pada laring non difteri sehingga terjadi reaksi radang yang da
pat menimbulkan gejala-gejala sumbatan jalan nafas bagian atas.
B. ETIOLOGI
Dapat disebabkan oleh virus dan bakteri
Infeksi bakteri oleh :streptokokus hemolitikus, pneumokokus, hemopilus
Influenza dan stafilokokus.
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi akut à reaksi radang à edema laring à gejala-gejala sumbatan jalan nafas at
as.
D. GAMBARAN KLINIS
Panas
Afonia (pada keadaan berat)
Pada edema yang berat dapat terjadi: dispneu, stridor inspiratoar, retraksi supra sternal dan
infrasternal dan sianosis.
Secara klinis laringitis akut sering melibatkan infeksi jalan nafas atas yang lain: epiglottis, tr
akea, dan bronkus (laringitis akut, epiglotitis dan laringotrakeobronkitis)
E. GAMBARAN LABORATORIUM
Darah rutin : leukositosis
Bakteriologis: ditemukan kuman penyebab
G. PENGOBATAN
1. Medikamentosa
Pada usia anak> 6 tahun diberikan
- PP 50.000 IU/hari 3-4 dosis
- Gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari/2dosis
- Dexametason 0,5-1 mg/kgBB/hari/3 dosis
2. Operasi
Dilakukan trakeostomi apabila sudah terjadi edema laring yang hebat sehingga mengganggu jal
an nafas (dilakukan dibagian THT)
3. Pemberian cairan
Pemberian cairan perinfus sesuai dengan kebutuhan pada keadaan edema laring yang hebat seh
ingga intake tidak dapat peroral.
9. RUBELLA
Batasan
Rubella adalah penyakit infeksi virus akut pada anak yang umurnnya hanya memberikan
gejala sistemik ringan, disertai ruam yang hampir serupa dengan ruam pada campak
(rubeola) dan disertsi pembesaran kelenjar getah bening di daerah oksipital, retroaurikuler, dan servikalis posteri
or.
Etiologi
Rubella disebabkan oleh virus RNA rantai tunggal yang tergolong dalam genus Rubivirus
dan dalam famili togaviridae.
Patogenesis
Mekanisme penularan melalui droplet dari sekret nasofaring penderita. Saat tubuh terpapar virus rubellaà virus
melekat dan menginvasi sel-sel epitel saluran pernafasan atas melalui proses endositosis à menyebar ke system l
imfatik regional secara hematogen dan bereplikasi di jaringan limfoid nasofaring dan saluran pernafasan atas à v
iremia à menyebar ke organ-organ lain, termasuk persendian hingga kapiler kulit. Proses infeksi berlangsung sel
ama 11-14 hari, dengan masa penularan sejak 5 hari sebelum hingga 6 hari sesudah timbulnya ruam. Konsentras
i virus tertinggi ditemukan pada secret nasofaring. Virus dapat bertahan dalam sel limfosit dan monosit hingga 4
minggu setelah infeksi pertama.
Epidemiologi
AS dan Kanada insidensi rendah : 4/100.000 à telah diterapkan penggunaan vaksinasi
rubella secara luas. Di negara berkembang angka cakupan vaksinasi rubella masih rendah, diperkirakan kejadian
rubella masih cukup tinggi.
Manifestasi Klinis
Gejala Prodromal: timbul l-5 hari sebelum erupsi kulit dan segera menghilang setelah erupsi kulit
timbul, gejala prodromal rubella meliputi : Demam ringan (jarang >38,4 oC), anoreksia, malaise, sakit
kepala, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, rhinitis, dan batuk
Erupsi : biasanya muncul dari daerah retroaurikular atau wajah dan meluas ke seluruh tubuh dalam 24
jam, berupa eksantema yang hampir serupa dengan campak. Eksantema yang paling sering ditemui berupa
ruam makulopapular konfluens dengan gambaran morbilifurm dan dapat menimbulkan rasa gatal yang
ringan. Hari kedua eksantema berangsur menghilang, berawal dari muka kemudian tubuh dan terakhir
anggota gerak tanpa meninggalkan hiperpigmentasi pada kulit.
Tanda paling khas : ditemukannya pembesaran kelenjar limfe di daerah retroaurikuler, servikal
posterior dan occipital. Limfadenopati ini mulai tampak jelas 24 jam sebelum mam muncul dan dapat
menetap hingga > 1 minggu.
Pada 20% kasus dapat timbul suatu enantema berupa macula atau ptekia pada palatum molle yang
dapat melebar hingga seluruh permukaan palatum, yang dikenal sebagai Forscheimer spot.
Diagnosis banding:
Penyakit virus: campak, roseola infantum dan mononucleosis infeksiosa
Penyakit bakteri: demam skarlatina dan meningokoksemia
Erupsi obat
Diagnosis:
1. Anamnesis yang cermat mengenai perjalanan penyakit serta kontak dengan pendrita yang sama.
2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hematologic: leucopenia, limfositosis relative dan trombositopenia ringan
b. Imunoserologis: peningkatan titer antibody 4x pada hemaglutation inhibition test (HAR) atau
ditemukannya antibody IgM spesifik untuk rubella dengan indeks ≥ 1
Penatalaksanaan
Self limiting
Simptomatis: antihistamin, antipiretik
Pencegahan
Imunitas aktif à Vaksin virus hidup RA 27/3, memberikan kekebalan hidup
Imunitas pasif: pemberian serum immunoglobulin (GIS) dengan dosis 0,55 ml/kgBB dalam 7-8 hari
pasca pemajanan.
10. RABIES
A. DEFINISI
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang disebabkab oleh firus rabies yang
dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia (Soemargo sastrowarjito)
Masa tunas:
Lamanya masa tunas pada manusia bergantung kepada jumlah virus yang masuk dan besarnya luka. GI
lROY mengatakan 1-3 bulan, KOPROWKI menyatakan 10 hari-12 bulan.
B. DASAR DIAGNOSA
1. Gejala klinis
a. Gejala pendahuluan
Demam, malaise umum, enek dan nyeri di tenggorokan selama beberapa hari, d
an penderita merasa nyeri , rasa panas disertai kesemutan pada tempat luka. Ke
mudian disusul dengan gejala ansietas dan reaksi yang berlebih terhadap rangsa
ng sensoris. Selanjutnya tonus otot-otot dan aktifitas simpatis meninggi dengan
gejala hiperhidrosis,
b. Gejala stadium eksitasi
Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal adalah hidrofobi, aerofobi, fo
tofobia, takut suara keras. Pada stadium ini dapat terjadi henti nafas, sianosis, ta
kikardi. Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang kadang maniakal diselin
gi dengan saat-saat responsif. Gejala stadium eksitasi ini dapat terus tampak sa
mpai penderita meninggal, sebelum kematian otot-otot justru melemas sehingga
terjadi parese flaksid otot.
2. Laboratorium
a. Isolasi virus rabies dari saliva, cairan cerebrospinalis, urine dari hewan atau penderita rabies yan
g masih hidup
b. Setelah hewan atau penderita rabies mati, diagnosa dapat dibuat berdasarkan:
- Pemeriksaan mikroskopis dari cerebellum atau cerebrum dijumpai negri
bodies
- Pemeriksaan dengan cara FAT dari jaringan otak, kelenjar ludah, preparat sentuh kornea yan
g dibekukan dengan CO2 padat.
C. PENGOBATAN
a. Bila belum ada gejala
1. Pengobatan lokal ada dua cara
- Mencuci luka gigitan dengan sabun atau detergen , kemudian luka dibersihkan lagi denga
n alkohol 40-70 % atau larutan yang mengandung quartenary ammonium, kalau perlu d
iberikan ATS atau antibiotika.
- Luka dibersihkan dengan savlon alkohol, ditutup kain kemudian diberikan anestesi sete
mpat secara infiltrasi. Obat yang dipakai: xylocain 2% atau lidokain 2% tanpa adrenali
n. Setelah rasa sakit hilang disekitar luka maka dikerjakan explorasi dengan sayatan sil
ang pada luka dengan H2O2 3%
2. Pengobatan khusus: memberikan vaksinasi terapi profilaksis dengan vaksin rabies, dilakukan
apabila Hewan yang menggigit mati
- Hewan berhasil ditangkap dan diawasi kemudian mati, pada pemeriksaan laboratorium dit
emukan negri bodies.
- Hewan berhasil ditangkap, dan diawasi dan kemudian mati, pada pemeriksaan laboratoriu
m tidak ditemukan negri bodies, tetapi pada anamnese sebelum dan waktu menggigit g
ejalanya tersangka rabies.
Bila pada 5 hari kemudian ternyata hasil laboratorium negatif, maka vaksina
si dapat dihentikan. Bila tersangka rabies selain vaksinasi profilaksis diberik
an juga booster dan serum anti rabies dengan dosis 40 IU per kgBB pada ha
ri ke-0
b. Bila sudah ada gejala
1. Bila luka sembuh tetap dilakukan pengobatan lokal
2. Pemberian VAR atau SAR tak ada gunanya lagi, pengobatan hanya simtomatis
3. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi penderitaan penderita:
- Pasien harus dirawat di rumah sakit
- Penderita dirawat diruang isolasi
- Pemberian IVFD
Cara pemberian vaksin anti rabies (VAR) bersama dengan serum anti rabies (SAR)
1. Vaksin jaringan otak kera:
Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak ( umur 3 tahun)
Pemberian : subkutan
Sebanyak : 14 kali
Booster : hari 10,20,90 setelah suntikan terakhir vaksin anti rabies 2
cc
2. Vaksin duck embrio
Dosis : 2 cc
Pemberian : subkutan
Sebanyak : 14 kali
Booster : 1 bulan setelah suntikan terakhir vaksin anti rabies 2 cc
3. Vaksin suckling mouse embrio
Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak ( umur 5 tahun)
Pemberian : subkutan
Sebanyak : 7 kali
Boster : hari 11,15, dan hari 25,35 90 setelah suntikan pertama
dengan dosis 0,25 cc dewasa dan 0,1 cc anak-anak
4. Vaksin H.D.C
Dosis : 1 cc
Pemberian : subkutan
Sebanyak : 6 kali (hari ke 0,3,7,14,30,90)
Untuk kasus kasus yang menerima Pasteur treatment, maka perlu diperhatikan ketentuan dibawah ini:
Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam waktu 3 bulan setelah vaksinasi
digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka tidak perlu di vaksin lagi
Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalm waktu 3-6 bulan setelah
vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka perlu diberi 2 kali suntikan rabies
dengan jarak 1 minggu sebanyak 2 cc subkutan disekitar pusat
Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam waktu lebih dari 6 bulan setelah
vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang positif rabies maka pasien tadi dianggap pasien baru
CARA PEMAKAIAN ANTI RABIES
BERSAMA DENGAN SERUM ANTI RABIES
1. Jaringan otak kera 14 kali suntikan @ Hari 10,20, dan 90 anak anak 3
2 cc dewasa(sc) setelah suntikan t tahun
1 cc anak anak terakhir VAR 2 cc
sc
b. Gila: hewan
margasatwa,
hewan yang
tak mungkin
diobservasi
(lari/dibunuh)
3. Jilatan mukosa, luka-luka yang berat Tersangka gila atau bet Segera diberi serum + vaksi
(luka-luka yang banyak, dalam, di da
ul-betul gila, hewan mar n anti rabies dan apabila 5 h
erah muka, kepala, jari atau leher).
Kontak langsung gasatwa, hewan yang ta ari di dalam observasi hewa
k dapat diobservasi (lari n yang bersangkutan masih
/dibunuh) sehat maka pengobatan perl
u dihentikan
1. Jaringan otak kera 14x suntikan @ 3x suntikan i.c Anak anak 3 tahun
2 cc dewasa (sc) 0,1-0,2 cc
1cc anak-anak interval 5-7 hari
3. sucking mouse brain 7x suntikan @ 0,25 cc dewasa hari ke-11&15 i.c anak-anak 3 tahun
2 cc dewasa (sc) 0,1 cc anak anak setelah suntikan pertama
1 cc anak anak 0,25 cc pada dewasa,
0,1 cc pada anak-anak
A. BATASAN
Infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat diantara ton
sil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilipharingitis ak
ut 5-7 hari sebelumnya
B. ETIOLOGI
Streptokokus beta hemolitikus group A ,stafilicocus, kuman anaerob
C. PETUNJUK DIAGNOSA
1. Gejala klinis
Biasanya didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya, berupa demam,da
pat mencapai 40,50C, nyeri tenggorokan, mialgia, malaise, sukar menelan (tanda khas berupa
air liur yang menetes keluar), trismus (karena spasme pada m. pterygodeus internus), tidak ma
u makan dan bicara, spasme pada otot otot homolateral(torticolis)
2. Pemeriksaan Fisik
Mukosa mulut merah dan sembab, tonsil meradang, uvula terdorong ke arah yang berlawanan,
perabaan digital: fluktuasi di puncah anterior tonsil yang terkena
3. Laboratorium
- Darah rutin : leukositosis
- Kultur : Streptokokus beta hemolitikus group A,
Stafilokokus
D. DIAGNOSA BANDING
Peritonsilitis
Lues primer atau tersier
Tumor
Aneurisma a. carotis interna
E. KOMPLIKASI
Sepsis, trombosis, abses parafaringeal,mediastinitis, osteomilitis sela tursika, oedema laring, obstruk
si laring, tromboflebitis vena leher, angina ludovici
F. PENATALAKSANAAN
Istirahat, diet BB, kompres hangat
Insisi dan drainage
Kumur PK 1/10.000
Antibiotika: - Penisilin G prokain 50.000 IU/kgBB/hari atau
- Ampicillin 100 mg/kgBB /hari atau
- Eritromisin 50 mg/kg BB/hari selama 5-12 hari
Tindak lanjut: bila ada riwayat tonsillitis kronis: tonsilektomi (rekurensi 10% bila
ada riwayat tonsilitis kronis)
12. VARISELA
A. Batasan
Varisela adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus varicella zoster yang ditandai den
gan adanya ruam yang gatal (stadium vesikular) dengan berbagai macam stadium lesi dal
am satu waktu tertentu.
B. Etiologi
Virus varicella zoster termasuk dalam famili Herpesviridae.
C. Patogenesa
Infeksi virus primer (kontak langsung atau droplet) à konjungtiva dan atau mukosa traktus respiratorius bag
ian atas à replikasi di nodus limfatikus regional à viremia pertama (4-6 hari setelah infeksi) à replikasi di ha
ti, limfa dan organ lain à viremia kedua (10-12 hari setelah infeksi) à infeksi kulit dan muncul ruam vesikul
ar (14 hari setelah infeksi); immunocompromised: manifestasi lebih berat à laten
Reaktivasi à herpes zoster
D. Bentuk klinis:
Varisela progresif: varisela + keterlibatan organ visera, koagulopati, perdarahan hebat, nyeri abdomen hebat,
vesikel hemoragik (pada remaja, dewasa, anak immunocompromised, wanita hamil dan bayi baru lahir).
Varisela neonatal: infeksi intrauterine, lahir 1 minggu sebelum atau setelah onset varisela pada ibu
Sindrom varisela kongenital: retardasi pertumbuhan intrauterin, mikrosefal, atrofi kortex, hipoplasia ekstremitas
bawah, mikroftalmia, katarak, korioretinitis, jaringan parut pada kulit.
E. Komplikasi:
Infeksi sekunder (umumnya staphylococcus atau streptococcus), manifestasi SSP:
meningitis aseptik, serebritis, ensefalitis, ataxia serebelar akut post infeksius, ITP, otitis media, nefritis, mi
okarditis, arthritis.
F. Prognosis
Tanpa komplikasi : baik
Angka mortalitas: anak sehat usia 1-14 tahun: 2/100.000 kasus
Anak immunocompromised : lebih tinggi
Ataxia serebelar akut post infeksius: 1/4000 kasus
Herpes zoster: 15%, ensefalitis 1,7/100.000 kasus (mortalitas 5-20%)
G. Diagnosis
Dasar diagnosis:
Adanya riwayat kontak dengan penderita varisela.
Gambaran klinis dimulai dengan demam ringan, dalam 24 jam pertama diikuti
oleh sakit kepala à ruam yang gatal.
Pemeriksaan fisik :
Ditemukan ruam: makula à papul à vesikel à pustul à 3-5 hari: krusta. Ruam pertama kali
ditemukan di kepala dan dada à seluruh tubuh(distribusi sentral). Pada satu waktu tertentu dapat
ditemukan berbagai macam stadium lesi.
Laboratorium: tidak ada yang spesifik, kecuali biakan virus
Langkah diagnosis:
Anamnesis : perkembangan efloresensi serta manifestasi umum
Pemeriksaan fisik : ruam yang spesifik (bentuk dan jumlah efloresensi)
Tetapkan kemungkinan saat terjadinya infeksi pada varisela kongenital
Pastikan apakah terdapat komplikasi atau tidak
H. Penatalaksanaan
Simptomatis: kompres dingin atau anti histamin oral dan calamine lotion dapat diberikan
untuk mengatasi gatal.
Bila lesi masih vesikular: bedak agar tidak mudah pecah + antipruritus sepseri mentol 0,25-
0,5%.
Asetaminofen untuk atasi demam atau nyeri radikuler (tidak boleh diberi salisilat à risiko
sindrom Reye ↑)
Suportif: mandi tiap hari, kuku dijaga tetap pendek dan bersih serta tidak menggaruk lesi
untuk mencegah infeksi sekunder
Medikamentosa:
asiklovir 80 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis peroral selama 5 hari
Indikasi:
Anak > 12 thn, penyakit kulit atau paru kronis, terapi salisilat jangka panjang,
diberikan pada anak remaja (untuk mengurangi komplikasi)
Anak sehat < 12 tahun jika ditemukan dalam 24 jam pertama timbulnya ruam.
Pasien immunocompromised diberikan asiklovir 1500 mg/LPT(m2)/hari dalam 3 dosis IV
selama 7-10 hari. Bila terdapat gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 10 mg/kgBB/kali,
tiga kali sehari
Varisela neonatal: asiklovir 750 mg/LPT (m2)/hari
I. Tindak lanjut
Anak dengan varisela tanpa komplikasi boleh kembali sekolah setelah hari ke 6 timbulnya ruam (jika selur
uh lesi telah menjadi krusta).
13. SELULITIS
A. Batasan
Adalah infeksi akut kulit dan jaringan ikat longgar / jaringan subkutan yang ditandai dengan adanya daerah
yang bengkak, kemerahan, hangat dan nyeri yang terlokalisir.
B. Etiologi
Faktor predisposisi: trauma, operasi, atau lesi kulit lainnya (fisura, laserasi, edema dll)
Penyebab tersering: Staphylococcus aureus, streptococcus grup A beta hemolitikus, H. Influenza tipe b
(anak <5 th)
Selulitis ekstremitas: S. Aureus, S. Pyogenes
Selulitis periorbital: S. Aureus, pneumococcus, Streptococcus grup A
Selulitis buccal, fasial: H. influenza
Infeksi luka post operasi (dada, abdomen, bokong), selulitis perianal: Streptococcus grup A
Immunocompromised, diabetes mellitus: Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophilia, gol.
Enterobacteriaceae lain, jamur
SN relaps: E. Coli
C. Patogenesis:
Faktor predisposisi à organisme pada kulit masuk ke dermis à multiplikasi à selulitis
D. Bentuk klinis
Berdasarkan lokasi: selulitis fasial, buccal, periorbital, perianal, ekstremitas
E. Komplikasi
Abses subkutan, osteomielitis, artritis septik, tromboflebitis, sepsis, fasciitis nekrotikans, limfangitis, glome
rulonefritis
F. Prognosis
Prognosis baik, kasus neglected: mortalitas 5%
G. Diagnosis
Dasar diagnosis
Manifestasi klinis: daerah yang edema, eritem, hangat dan nyeri, batas lateral tidak tegas, penekanan: pittin
g ± gejala sistemik
Langkah diagnosis
Tegakkan diagnosis berdasarkan manifestasi klinis
Perkirakan etiologi berdasarkan usia, manifestasi klinis, lokasi, status imun, penyakit penyerta
Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan komplikasi yang ada, abses à aspirasi daerah inflamasi
à pewarnaan gram dan kultur + resistensi kuman, hitung lekosit.
Indikasi rawat
Selulitis + komplikasi
Selulitis + gejala konstitusional (demam, limfadenopati, lekosit > 15.000/uL)
H. Penatalaksanaan
Kompres hangat daerah lesi
Lesi: ekstremitas bawah à Imobilisasi dan elevasi
Antibiotika (empiris)
Tanpa gejala konstitusional: antibiotika oral: dikloksasilin / sefaleksin / sefuroksim asetil /
eritromisin / klindamisin minimal 10 hari. Jika perbaikan (-) dalam 24-48 jam à antibiotika
intravena
Dengan gejala konstitutional: Antibiotika IV (empiris): kombinasi ampisilin + gentamisin,
atau sefalosporin generasi III (Cefotaxim atau ceftriaxon) sampai gejala konstitusional (-) &
selulitis membaik (3-5 hari) à ganti AB oral, lama terapi 7-14 hari
Selanjutnya sesuai hasil pewarnaan gram dan biakan dan klinis
Bila lesi supuratif à insisi dan drainase
Bila nekrosis à debridemant
I. Tindak lanjut
Pengamatan: monitor komplikasi dan respons terapi
14. OSTEOMIELITIS AKUT
A. Batasan
Adalah infeksi piogenik pada tulang
B. Etiologi
Semua usia: S. aureus; neonatus: S. aureus, streptococcus grup B, basil enteric gram negative,
streptococcus grup A; > 6 thn: S. aureus, streptococcus, P. aeruginosa. Lain-lain: mycobacterium atipik, candida,
infeksi virus
C. Patogenesis
Infeksi (hematogen, atau sekunder akibat: trauma penetrasi, pembedahan, infeksi daerah yang berdekatan) à
deposit bakteri pada metafise à migrasi fagosità produksi eksudat inflamasi: kortex metafise à kanalis Volk
mann & system Harves à rongga subperiosteum à elevasi periosteum à tekanan di bawah periosteum ↑ à su
plai darah <, iskemi à nekrosis à sekuestrum, involukrum à osteomielitis kronis
D. Bentuk Klinis
Berdasarkan pola penyebaran
Osteomyelitis hematogen akut (tersering)
Osteomyelitis akibat invasi lokal dari fokus infeksi yang berdekatan
Osteomyelitis akibat inokulasi langsung pada tulang (trauma atau pembedahan)
E. Komplikasi
Rekurensi, kontraktur, akselerasi pertumbuhan kurang, kerusakan lempeng pertumbuhan, fraktur pada tulan
g yang terkena
F. Prognosis
Tatalaksana adekuat dan tepat à rekurensi 5-10%
Rekurensi à osteomielitis kronik
G. Diagnosis
Dasar diagnosis
Tanda-tanda radang local: edema, eritema yang terlokalisir, hangat, nyeri tekan + pemeriksaan pencitraan yang
positif: radiografi, CT scan
Etiologi: biakan darah atau aspirat pus yang positif
Langkah diagnosis
Identifikasi tanda-tanda radang lokal:
Evaluasi manifestasi sistemik: demam, lekositosis,
Lakukan pemeriksaan pencitraan, deskripsikan bentuk kerusakan (sekuester, involukrum, pus, osteomielitis
kronis):
Konsultasi dengan bagian bedah orthopedi untuk mempertimbangkan tindakan bedah (abses local dan debris
intramedular dan sekuester)
Anamnesis:
Tersering mengenai tulang panjang: femur, tibia, and humerus
Umumnya terdapat demam, nyeri tulang, bengkak, kemerahan, dan gerakan yang terbatas pada bagian tubuh
yang terkena
Neonatus dan bayi kecil: tidak dapat menopang tubuh, gerakan ekstremitas asimetris
Pemeriksaan fisis
Pembengkakan fokal yang nyeri, edema, eritema, hangat.
Gerakan sendi tulang yang terlibat terbatas.
Neonatus: pseudoparalisis atau nyeri pergerakan
Lakukan pemeriksaan penunjang:
Foto Rö polos. Hasil: saat awal hanya pembengkakan jar. lunak, atau muscle plane displacement dari metafise
yang berdekatan; lanjut (>10 hari): perubahan struktur tulang (osteopenia, lesi litik, elevasi periosteal)
CT scan bila melibatkan tulang dengan struktur anatomis yang kompleks seperti pelvis, sternum, kalkaneus.
Hasil: destruksi korteks, abses atau gas ekstra osseus, sekuester tulang
Biakan darah, biakan + pewarnaan gram aspirat tulang atau sendi
Lab: lekositosis, shift to the left, bisa trombositosis, LED meningkat, CRP (+)
H. Penatalaksanaan:
Antibiotika IV (empiris) sambil menunggu hasil biakan
Bayi & anak < 5 thn: Cefuroxim 200-300 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis IV
> 5thn: Cefazolin 100-150 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis IV
Pada pasien dengan penyakit sickle cell: tambahkan cefotaxim atau ceftriaxon
Jika alergi terhadap gol beta-lactam : clindamycin 30-40 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis IV
Pada pasien immunocompromised: kombinasi vancomycin dan ceftazidim
à bila tidak memungkinkan gunakan kombinasi ampisilin dan gentamisin IV
Jika kemajuan klinis tidak memuaskan AB disesuaikan dengan hasil biakan. Jika biakan (-), klinis tid
ak perbaikan : pikirkan MRSA sebagai penyebab & berikan AB yang sesuai yang tersedia (vancomy
cin), lakukan biopsi.
Lama terapi: 4-6 minggu
Osteomielitis kronis: AB dilanjutkan sampai beberapa bulan sampai terdapat perbaikan klinis dan rad
iologis .
Tindakan operasi sesuai pertimbangan ahli bedah ortopedi
Bila harus berbaring lama dengan ekstremitas fleksi à setelah 2-3 hari, nyeri < : mulai latihan range of motion
(ROM) pasif diteruskan sampai aktivitas normal kembali.
I. Tindak lanjut
Pemeriksaan darah rutin, LED dan CRP diulang setiap 1 minggu sekali
Monitor efek samping obat: SGOT, SGPT, supresi sumsum tulang, ureum, kreatinin
Pemeriksaan radiologis diulang setelah 4 minggu terapi
Syarat penghentian AB: (1) resolusi gejala klinis dan radiologis, (2) LED normal
Pengamatan jangka panjang: ROM sendi dan panjang tulang
15. TAENIASIS
A. Batasan : Adalah infeksi oleh cacing pita dewasa.
B. Etiologi
Tersering: Taenia saginata (sapi), Taenia solium (babi). Umumnya hanya 1 cacing pita dewasa ada pada us
us. Dapat disebabkan juga oleh:
C. Patogenesis
Ingesti daging mentah/tidak matang yang mengandung larva / sisteserkus à usus halus: sistiserkus à cacing
pita dewasa (2 bulan): scolex menempel di dinding usus halus à parasit menambah segmen-segmen baru à
segmen terminal matur dan gravid (T. saginata 10-12 mg, T. solium 5-12 mg) à 50.000 telur/hari, dapat ber
tahan hidup sampai 25 tahun
F. Prognosis
Angka kesembuhan dengan praziquantel >95%
G. Diagnosis
Dasar diagnosis
Ditemukannya proglottid pada feses atau pada daerah perianal, atau pengamatan mikroskopis proglottid ata
u telur cacing pita pada feses.
Langkah diagnosis
Manifestasi klinis: asimtomatis, atau keluhan ringan-sedang: nausea, diare, nyeri abdomen, pruritus ani, lemah,
tidak nafsu makan, sakit kepala, iritabel.
Lakukan pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan tinja 3 kali berturut-turut: telur, proglottid
Darah rutin: eosinofilia (5-45%)
Konsultasi bedah bila terdapat acute surgical abdomen, apendisitis, obstruksi saluran empedu atau pankreas
H. Penatalaksanaan
Antihelmintik
Praziquantel 5-10 mg/kgBB peroral 1 kali (obat pilihan utama) à tidak tersedia di pasaran bebas/apotik di
Indonesia (hubungi bagian Parasitologi FKUI Jakarta),
Alternatif:
Niclosamide (yomesan) 50 mg/kgBB peroral 1 kali untuk anak, dewasa 2 gram.
Mebendazol atau albendazol 2x100 mg peroral 3 hari berturut-turut
Tindakan bedah sesuai komplikasi
I. Tindak lanjut
Pemantauan keberhasilan terapi: pemeriksaan tinja 3 hari berturut-turut setelah pemberian obat (cari scolex,
proglottid, telur cacing pita), kemudian 3 bulan kemudian
Pencegahan: menghindari kontak erat dengan tikus, kera dan babi
16. DEMAM SCARLATINA
A. Batasan
Suatu infeksi saluran nafas atas dengan rash khas yang disebabkan infeksi eksotoksin pirogen yang diproduk
si oleh Streptokokus grup A pada individu yang tidak mempunyai antibodi antitoksin.
B. Bentuk Klinis
Rash timbul 24-48 jam setelah gejala infeksi saluran nafas atas. Mulai timbul sekitar leher ke badan dan ekst
remitas → rash difus → papular, erupsi eritematous → warna merah terang pada kulit dan memutih pada pe
nekanan, terutama pada lipatan siku, aksila, dan paha. Kulit seperti kulit angsa dan teraba kasar. Setelah 3-4
hari → rash menghilang diikuti deskuamasi. Faring hiperemis. Lidah : coated tongue, papil bengkak, setelah
kulit deskuamasi → papil memerah prominen seperti strawberry tongue.
C. Dasar Diagnosis
Kultur dari swab tenggorok → ditemukan Streptokokus grup A.
D. Diagnosis Banding
Morbili
Roseola
Penyakit Kawasaki
Erupsi obat
E. Komplikasi
Demam rematik, Glomerulonefritis akut.
F. Penatalaksanaan
Penisilin V 30-60 mg /kgbb/hari per oral dibagi 2-4 x/hari, atau Eritromisin 20-40 mg/kgbb/hari terbagi 2-4x
/hari, selama 10 hari, atau dosis tunggal Benzatin Penisilin G 600.000iu (BB < 30kg) atau 1.200.000iu (BB
> 30kg) i.m.
G. Prognosis
Bila cepat diobati → baik.
17. MENINGOKOKSEMIA
A. Batasan
Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis dengan gambaran penyakit :
Bakteriemia tanpa sepsis
Meningokoksemia (sepsis) tanpa meningitis
Meningitis dengan atau tanpa meningokoksemia
B. Manifestasi Klinis
Bentuk klinis meningokoksemia :
1. Meningokoksemia Akut
Diawali faringitis, demam, mialgia, lemas, muntah, diare, dan atau sakit kepala. Rash makulopapular timbul
sebelum gejala berat terjadi → septik syok ditandai dengan hipotensi, DIC, asidosis, perdarahan adrenal, g
agal ginjal, gagal jantung dan koma. Petekie dan purpura dapat menonjol (purpura berat), dapat disertai ata
u tanpa meningitis.Tersering → meningitis dengan meningokoksemia : sakit kepala, fotofobia, letargi, munt
ah, kaku kuduk dan gejala rangsang meningeal yang lain, kejang dan gejala neurologik fokal lebih sedikit d
ibanding meningitis lainnya.
2. Meningokoksemia Kronis
Demam, tampak tidak toksik, artralgia, sakit kepala dan rash mirip infeksi gonokokus. Lama penyakit 6-8
minggu.
C. Dasar Diagnosis
Kultur darah, LCS, atau cairan sinovial → Neisseria meningitidis.
Kultur atau pengecatan gram dari petekia atau lesi papular → Neisseria meningitidis.
D. Diagnosis banding
1. Sepsis
2. Meningitis lainnya
3. Rocky Mountain Spotted Fever
4. Ehrlichiosis atau epidemic tifus
5. Endokarditis bakterialis
6. Autoimun vaskulitis, serum sickness, SHU, ITP, erupsi obat
7. Infeksi echovirus, coxsackie virus
8. Vaskulitis lainnya
9. Eksantem virus
10. Penyakit kawasaki
E. Penatalaksanaan
Penisilin G 250.000-400.000iu/kgbb/hari dibagi 4-6x/hari atau Cefotaxime 200mg/kgbb/hari atau Ceftriax
one 100 mg/kgbb/hari atau Kloramfenikol 75-100 mg/kgbb/hari dibagi 4x/hari, lama pemberian 5-7 hari.
Meningokoksemia dengan meningitis → lihat SP Meningitis.
F. Komplikasi
Berat : vaskulitis, DIC, hipotensi.
Kulit : pembentukan parut.
Syaraf : tuli, empiema, subdural efusi, abses otak, ataxia, kejang, buta, obstruktif hidrosefalus
Perdarahan adrenal, endoftalmitis, artritis, dan vaskulitis kutaneus (eritema nodusum), endokarditis, perikarditis,
miokarditis, pneumonia, abses paru, peritonitis.
G. Pencegahan
Profilaksis → segera pada keluarga serumah, sekolah, dan orang yang kontak dengan sekret penderita s
elama 7 hari sebelum serangan penyakit :
Anak-anak : Rifampisin 10mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari), maks.600 mg
Bayi < 1 bulan : Rifampisin 5mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari)
Anak <12 tahun : Ceftriakson 125 mg dosis tunggal i.m.
Anak > 12 tahun : Ceftriakson 250 mg dosis tunggal i.m.
Usia ≥ 18 tahun : Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal
18. PAROTITIS EPIDEMIKA (MUMPS)
A. Batasan
Penyakit virus akut dan menular yang ditandai oleh pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis.
B. Etiologi
Virus parotitis, merupakan kelompok Paramyxo virus, suatu virus RNA tunggal yang terbungkus dalam selu
bung protein dan lemak yang memiliki zat hemaglutinasi neuroaminidase dan hemolisisn, rusak pada peman
asan sampai 560 C selama 20 menit.
C. Patogenesis
Terdapat 2 teori :
1. Virus masuk melalui mulut ke dalam duktus Stensen kelenjar parotis dan terjadi multiplikasi pertama pa
da kelenjar ini → viremia umum → testis, ovarium, pankreas, tiroid, ginjal, jantung, dan otak.
2. Replikasi primer dalam epitel permukaan saluran nafas → viremia umum dan lokalisasi serentak dalam
kelenjar saliva da alat tubuh lainnya.
D. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 14-24 hari. Stadium prodromal → perasaan lesu, mialgia pada leher, sakit kepala, nafsu
makan turun. Ditemukan pembesaran satu atau kedua kelenjar ludah lainnya → bengkak dan rasa sakit diser
tai demam subfebris atau normal. Dapat ditemukan pembengkakan kelenjar submandibular dengan dua pola
yaitu : berbentuk lonjong yang meluas ke arah depan dan bawah mulai dari sudut tulang rahang bawah dan b
entuk setengah lonjong meluas secara langsung ke arah bawah.
E. Komplikasi
Orkitis, Epididimitis, Meningoensefalitis, Ooforitis, Pankreatitis, Nefritis, Tiroiditis, Miokarditis, Mast
itis, ketulian, komplikasi okuler dan artritis.
F. Diagnosis
Adanya suatu epidemi, gejala klinis, leukopenia dengan limfositosis relatif, peningkatan kadar amilase
serum, isolasi virus, pemeriksaan serologis atas antibodi V dengan kenaikan titer 4 kali.
G. Diagnosis banding
Parotitis karena sebab lain ; infeksi virus Koksaki A dan koriomeningitis limfositik
Parotitis supuratif
Kalkulus saliva
Osteomielitis pada ramus mandibula
Pembesaran kelenjar limfe di bagian proksimal kelenjar parotis biasanya disertai konjungtivitis.
H. Pengobatan
Simtomatis, istirahat baring disesuaikan dengan kebutuhan pasien, makanan disesuaikan dengan kema
mpuan mengunyah. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) diberi
kan subkutan pada anak lebih dari 15 bulan
19. FILARIASIS
A. Batasan
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda dari famili filariodea
B. Etiologi
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, Onchocerca volvulus, Mansonella.
C. Patogenesis
Cacing dewasa hidup dalam cairan dan saluran limfe serta mengembara dalam jaringan ikat bawah kuli
t dan rongga tubuh. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang akan masuk ke dalam pembuluh darah/li
mfe, kemudian masuk ke dalam peredaran darah sampai ke darah tepi dan akan terisap oleh nyamuk.
Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria masuk melalui probosis dan seterusnya kelambung nyamuk dan aka
n berubah menjadi larva setelah mikrofilaria melepaskan sarungnya, kemudian larva menembus dinding lam
bung nyamuk dan masuk keperedaran darah nyamuk, akhirnya larva akan mencapai daerah toraks nyamuk.
Dalam toraks nyamuk larva akan berkembang dari larva 1 menjadi larva 3 (larva infektif), sebagian dari larv
a 3 menuju keabdomen dan sebagian lagi menuju ke probocis dn dikeluarkan oleh nyamuk betina bila meng
hisap darah.
Larva yang masuk kedalam tubuh nyamuk tidak 100% akan menjadi/mencapai stadium infektif. Pertu
mbuhan dan perkembangan larva sangat dipengaruhi oleh suhu dan keadaan tubuh nyamuk itu sendiri.
D. Manifestasi Klinis
Massa inkubasi yaitu mulai dari masuknya larva infektif ke dalam kulit sampai pertama kali timbulnya mikr
ofilaria di dalam darah tepi, lamanya bervariasi, antara 5 – 15 bulan.
Manifestasi awal adalah nyeri hebat, pembengkakan, kemerahan sepanjang saluran limfe dan funikulitis dan
gan atau tanpa orchitis atau hidrokel, kadang-kadang disertai manifestasi Tropical Pulmonary Eosinophilia.
Gejala tersebut hilang bila penderita beristirahat total, tetapi cenderung utnuk kambuh kembali bila melakuk
an aktivitas.
Gejala filariasis dapat dibagi dalam 2 golongan:
1. Akibat infeksi (akut):
Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis, orchitis, epididymitis.
2. Akibat bendungan (Kronik):
Elefantiasis, Chiluria
E. Komplikasi
Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis, Orchitis, epididymitis, elefantiasis, chiluria.
F. Diagnosis
- Ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah tepi dengan tetesan tebal
- Tes provokasi Dietil Carbamazine (DEC)
Mikrofilaria yang bersifat nokturnal dapat ditemukan dalam darah tepi yang diambil pada waktu siang hari
, dengan pemberian DEC 2 mg/kgbb dan darah diambil 45-50 menit setelah pemberian obat.
- Menghitung mikrofilaria
Mikrofilaria dihitung dengan mengambil 0,25 ml darah yang diencerkan dengan asetat 3% sampai menjadi
0,5 cc dan dilihat dibawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick Refler counting Cell.
G. Diagnosis Banding
- Limfangitis filariasis harus dibedakan dengan limfangitis bakterial, dimana kedua
gejala tersebut hampir sama.
- Hernia
- Granuloma Inguinale
- Limfoma malignum
- Malaria dan infeksi bakteri lainnya
- Leprosi
- Skabies
H. Penatalaksanaan
a. Makrofilaria
- Preparat antimon, dosisnya 8 ml (larutan 5%) diberikan secara intravena, selang
sehari dosis dinaikkan 4 ml sampai tercapai dosis 28 ml dengan dosis total 360 ml.
- Arsenic 100 m intramuscuker/hari diberikan sebanyak 4 kali pemberian.
b. Mikrofilaria
- DEC (Diethyl Carbamazine Citrate, Hetrazan)
Cara kerja obat ini diduga mempermudah fagositosis mikrofilaria oleh makrofag
di RES. Dosis yang diberikan adalah 6 mg/kg.bb/hari diberikan 3 kali.
- Furapyrimidone
Mempunyai efek yang sama dengan DC dalam hal mikrofilarisidal. Dosis yang
dianjurkan: untuk B. Malayi 15 – 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari. Untuk W.
Bancrofti 20 mg/kgbb/hri selama 7 hari.
- Ivermictin
Sangat paten terhadap O. Volvulus dan Loa-loa. Dosis yang diberikan 150
mcg/kgbb dosis tunggal untuk O.Volvulus, 200 mcg/kgbb dosis tunggal untuk
loa-loa.
Etiologi:
1. Bakteri:
- Fusobacterium necroforum
- Prevotella intermedia
- Streptococcus α hemoliticus
- Actinomyces spp
- Escherecia coli
- Staphylococcus alfa hemoliticus
- Bacteroides spp
- Peptostreptococcus
2. Virus:
- Measles
- Human Immunodeficiency Virus (HIV)
- Human Cytomegalo Virus (HCV)
Predisposisi
Anak umur 2-7 tahun dengan trias malnutrisi, ‘debilitating disease’, dan ‘oral hygiene’ yang jelek
Faktor Risiko
1. Kemiskinan
2. Malnutrisi kronis
3. Sanitasi lingkungan yang buruk
4. Suplai air bersih yang tidak memadai
5. Peningkatan eksposur terhadap infeksi virus dan bakteri, misal mengalami
necrotizing ulcerative gingivitis
Patogenesis
INFECTION
(eg Measles, Herpesviridae)
STRESS
Fever
Neutropenia Anorexia
T-Cell Immunosuppression Nutrient Needs ↑
Complement Consumption Tissue Catabolism ↑
Hypercortisolemia
Th 1 à Th 2 Shift
POOR ORAL
STRESS
HYGIENE
Specific Microorganisms
eg Fusobacterium Necrophorum,
Prevotella Intermedia
NOMA
Gejala Klinis:
Demam, pembengkakan di area oronasal berserta pus à terjadi krusta à flare-up
infeksi à jaringan granulasi à nekrosis, diskolorisasi (jaringan biru kehitaman) à lokalisasi jaringan nekrosis à le
si mengering, proliferasi jaringan epitel pada tepi lesi à lesi seperti sembuh, tanda infeksi aktif negatif à terlepas
nya jaringan lunak yang menutupi lesi à terbentuk fistel orokutaneus à nekrosi lengkap à tulang terekspos(+).
Komplikasi:
1. Terjadi ankylosing dan hilangnya sebagian jaringan rahang, mulut dan pipi.
2. Impairment dalam berbicara dan mengunyah.
3. Gangguan fisik dan psikologis pada tumbuh kembang anak.
4. Komplikasi sistemik berupa toksemia, dehidrasi dan bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian.
Prognosis:
Morbiditas dan mortalitas tinggi.
Terapi:
1. Koreksi dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan kondisi malnutrisinya.
2. Pengobatan penyakit yang mendahului/mendasari (seperti malaria atau measles)
3. Pemberian antibiotika yang sesuai dengan kultur, resistensi dan sensitivitas.
(Sebelum hasil kultur didapatkan, pemberian penisilin dan metronidazol cukup efektif).
4. Perawatan luka dengan antiseptik.
5. Pembersihan jaringan nekrotik dengan pembedahan.
21. ABSES RETROFARINGEAL
BATASAN:
Abses retrofaringeal adalah infeksi yang terjadi pada rongga retrofaring, disebabkan kuman gram positif dan gra
m negatif.
PATOFISIOLOGI:
Rongga retrofaringeal adalah suatu rongga yang terletak di belakang faring yang dibatasi oleh: fascia buccofarin
geal di bagian anterior, fascia prevertebral di bagian posterior dan di sebelah lateral terdapat carotid sheath, rong
ga ini meluas di bagian atas dasar tengkorak dan di bagian bawah dengan mediastinum.
ETIOLOGI:
INSIDENS
Angka kejadian abses retrofaringeal meningkat 4,5 kali lipat pada anak-anak di bawah usia 12 tahun. Kemungki
nan menyebabkan kematian mencapai 50% pada penderita meski telah mendapat terapi antibiotika. Secara kesel
uruhan angka kematian berkisar antara 1 – 2,5%.
EPIDEMIOLOGI
Pria > wanita (mencapai 53-55%). Kulit berwarna > kulit putih.
Anak-anak > orang dewasa (terbanyak pada rentang usia di bawah 6 tahun).
MANIFESTASI KLINIS:
Pada anak-anak usia > 1 tahun: dijumpai gejala nyeri tenggorokan, demam,
pembengkakan daerah leher, batuk dan odynophagia (rasa nyeri akibat pembengkakan
di daerah orofaring).
Pada anak usia < 1 tahun: dijumpai gejala demam, pembengkakan leher,
intake oral yang menurun, rhinorrhea, letargi dan batuk.
Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak dijumpai: adenopati cervical,
retropharyngeal bulge, demam, stridor, tortikolis, pembengkakan leher, agitasi, massa
pada leher, letargi, distres pernafasan.
LABORATORIUM:
Dilakukan pemeriksaan darah rutin (dijumpai leukositosis), kultur darah, kultur pus, dan CRP.
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Foto rontgent lateral leher: tampak gambaran pelebaran jaringan lunak
retrofaring (setinggi C2 pelebaran mencapai 7 mm dan setinggi C6 pelebaran
mencapai 14 mm), bila terjadi pelebaran space paravertebral maka akan tampak
gambaran air fluid level, adanya gas dalam jaringan atau benda asing.
CT Scan leher: dengan menggunakan kontras maka akan tampak lesi hipodens
pada area retrofaring yang dikelilingi gambaran cincin pada bagian pinggirnya. CT
scan berguna untuk melihat kasus-kasus abses retrofaringeal yang tidak terdeteksi
oleh foto rontgent leher, sebagai panduan sebelum diadakannya tindakan operatif,
serta berguna untuk membedakan kasus abses retrofaring atau limfadenopati
retrofaring pada anak kecil.
Foto rontgent dada: dilakukan bila terjadi komplikasi pneumonia aspirasi atau
mediastinitis.
PENATALAKSANAAN:
KOMPLIKASI:
Obstruksi jalan napas, mediastinitis, dislokasi atlantooccipital, abses epidural, sepsis, Acute Respiratory Di
stress Sdyndrome (ARDS), erosi dari vertebra servikal II dan III, defisit nervi kraniales (IX-XII), trombosi
s septik dari vena jugularis, atau perdarahan sekunder akibat dari erosi pada arteri carotid, penekanan pada
arteri carotid dan vena jugularis interna, kelumpuhan syaraf wajah, kematian.
PROGNOSIS
Umumnya baik bila terdeteksi lebih dini, tatalaksana cepat dan komplikasi
belum terjadi.
Kematian dapat mencapai 40-50% bila telah terjadi komplikasi yang berat.
22. MORBILI
1. BATASAN
Morbili adalah penyakit virus akut yang disebabkan virus morbili yang ditandai oleh panas diikuti dengan k
eluarnya ruam yang kemudian menghitam pada akhir perjalanan penyakit.
2. ETIOLOGI
Virus morbili termasuk dalam famili Paramyxovirus.
3. PATOGENESIS
Infeksi virus melalui droplet pada udara napas ® sel epitel traktus respiratorius ® replikasi 3 hari ® pembul
uh darah ® viremia pertama ® jaringan (limfoid pada tonsil, paru, nodul limfoid TGI, limpa, dll) à beberap
a hari kemudian ® viremia kedua (dengan jumlah virus lebih besar ® gejala klinis menjadi lebih berat + ek
santema kulit (10-14 hari setelah infeksi).
4. BENTUK KLINIS
5. Stadium inkubasi : tanpa gejala (10 - 12 hari)
6. Stadium prodromal : panas nonspesifik disertai batuk-batuk, coryza, konjungtivitis, fotofobia,
anoreksia, malaise.
7. Stadium erupsi: ruam makulopapuler pada seluruh tubuh yang dimulai di belakang telinga
8. Staidum konvalesen: ruam lebih jarang dan menjadi hiperpigmentasi disertai keadaan umum yang
membaik.
9. KOMPLIKASI
Pneumonia, gastroenteritis, otitis media, mastoiditis, ensefalitis, gangguan gizi
10. PROGNOSIS
Tanpa komplikasi : baik
11. DIAGNOSIS
Dasar diagnosis:
Gambaran klinis: dimulai dengan panas yang tinggi, terus menerus disertai batuk, coryza, konjungtivitis, ke
mudian keluar ruam yang menyebar ke seluruh tubuh.
Pemeriksaan fisik:
12. Ditemukan ruam makulopapular mulai dari belakang telinga menyebar ke leher, dada dan seluruh
tubuh
13. Koplik’s spot ditemukan 24 jam sebelum timbul ruam dan menghilang pad hari ketiga timbulnya rash
(spesifik untuk morbili)
Laboratorium:
14. Darah rutin : lekopenia
15. Sputum, sekresi nasal, sedimen urine : multinucleated giant cells
16. HI & CF (+) 1 - 3 hari setelah timbul ruam
Langkah diagnosis:
17. Anamnesis : perjalanan penyakit yang khas
18. Pemeriksaan fisik : ruam yang spesifik
ditemukan koplik’s spot
19. Laboratorium rutin, sputum, sekret nasal, HI dan CF test
Indikasi rawat:
20. Morbili dengan komplikasi
21. Morbili dengan: intake tidak masuk, muntah-muntah, KEP
22. PENATALAKSANAAN
23. Simptomatis : antipiretika, sedatif, antitusif
24. Suportif : perbaiki KU, cairan parenteral bila intake tidak masuk
25. Vitamin A: Usia < 1 tahun: 100.000 IU hari ke-1, 2 dan 14
Usia ≥ 1 tahun: 200.000 IU hari ke-1, 2 dan 14
26. Antibiotika : diberikan bila disertai infeksi sekunder
27. Steroid : bila disertai ensefalitis
Indikasi pulang :
29. bila KU baik
30. semua komplikasi telah teratasi
23. OKULAR KONGENITAL TOKSOPLASMOSIS
5.1.1.1.1.1.1. DEFINISI
Infeksi yang disebabkan oleh Toksoplasma Gondii yang terjadi melalui transplasental pada ibu hamil yang teri
nfeksi pada trimester III kehamilan
2.2.2.2.2.2.2. ETIOLOGI
Toksoplasma Gondii, bersifat Obligat intraseluler
2.2.2.2.2.2.3. INSIDEN
Kongenital Toksoplasmosis terjadi sebanyak 59 % pada bayi yang ibunya terinfeksi pada TSM III kehami
lan, dengan gejala subklinis 89,9 % dan pada mata (Chorioretinis) 10,2 %
2.2.2.2.2.2.4. PATOGENESIS
Ibu hamil terinfeksi melalui cara tertelan makanan yang terkontaminasi ookista T. Gondii à GI Tract à ber
ubah bentuk menjadi takizoid dan bermutliplikasi à sel yang terinfeksi ruptur à menyebar melalui sistem li
mfogen dan hematogen à merangsang Th1 untuk memproduksi sitokin, IL 12, interferon gamma, dan TNF
α. Dua minggu setelah terinfeksi akan timbul antibodi imunoglobulin dari toksoplasma gondii (dan dapat
dideteksi)
5. GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis tergantung dari sistem imun penderita, biasanya ada gejala konstitusional berupa demam
, malaise
Kongenital toksoplasmosis : pada neonatus adanya hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial,
Ocular toksoplasmosis : merupakan suatu reaksi akut akibat hipersensitivitas yang patogenesisnya tidak di
ketahui secara pasti. Keterlibatan okular ini berdasarkan pemeriksaan oftalmologi dimana ditemukannya le
si pasa retina
6. DIAGNOSIS
Dengan pemeriksaan serologi IgM dan IgG (ELISA)
Aviditas IgG : untuk melihat infeksi 12-16 minggu yang lalu
Ophtalmologi : untuk melihat lesi berupa fokus yang berwarna abu-abu keputihan akibat nekrosis dari retina, v
askulitis, perdarahan serta uveitis
7. PENATALAKSANAAN
Pirimetamin : Initial dose : 2 mg/kg/hari selama 5 hari
Selanjutnya (mulai hari ke-6) 1 mg/kg/hari, diberikan selama 6 bulan
Sulfadiazine : Initial Dose 100 mg/kg/hari selama 5 hari
Selanjutnya (mulai hari ke 6) 50 mg/kg/hari, diberikan selama 6 bulan
Asam Folat : 5 mg/kg/hari selang hari diberikan selama pemberian pirimetamin dan sulfadiazin
Clindamisin : 8-20 mg/kg/hari diberikan selama 6 bulan
Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kg/hari initial dose diberikan pada hari ke 6 (penurunan dosis pirimetamin dan sulfadi
azin), diberikan dosis penuh selama 1 minggu, kemudian di Tappering off dalam 1 bulan
8. FOLLOW UP
Awal : Pemeriksaan sistem hematologi (10 darah besar)
Fungsi ginjal dan fungsi hati (Ureum, Kreatinin, SGOT, SGPT)
1 minggu I : Darah rutin
Mata à subdivisi mata
Tekanan Darah
Setiap 2 minggu : darah rutin
Setiap bulan : Mata à Subdivisi mata
Setiap bulan : serologi igG toksiplasmosis