Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

World Health Organitation (WHO) pada tahun 2010 penyakit

Tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat karena

jumlah penderita yang terus bertambah seiring dengan munculnya epidemi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immune Deficiency

Syindrome (AIDS) di dunia. Laporan Tuberkulosis (TBC) dunia, masih

menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia

setelah India dan Cina. Pada Global Report WHO 2010, didapat data TB

Indonesia, Total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus,

dimana 169213 adalah kasus TB baru dengan Basil Tahan Asam (BTA)

positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB Extra

Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan

ulang diluar kasus kambuh. Sementara itu, untuk keberhasilan pengobatan

dari tahun 2003 sampai tahun 2008 (dalam %), tahun 2003 (87%), tahun

2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 menunjukkan hasil 91% (Kholifatul

Ma’arif Zainul Firdaus, 2012)

Menurut Depkes RI (2009) Penderita TBC terbanyak di jumpai pada

usia produktif, antara 15-54 tahun yaitu sekitar 75% penderita. Hal ini akan

menurunkan sumber daya manusia yang produktif sehingga pendapatan

1
2

keluarga akan menurun, jika hal ini dibiarkan maka kesejahteraan keluarga

juga akan ikut terganggu dan akan menambah jumlah keluarga miskin di

Indonesia. Masalah kemiskinan akan mengurangi kemampuan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan terhadap gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan

yang sehat, sehingga keadaan tersebut menyebabkan resiko untuk terjadinya

mata rantai penyakit. Agar tidak terjadi penularan penyakit TB paru pada

anggota keluarga yang lain maka di lakukan upaya pelibatan keluarga melalui

kegiatan PMO/Pengawas Minum Obat (Kholifatul Ma’arif Zainul Firdaus,

2012).

Menurut Depkes RI (2007) Hal ini dilakukan agar penderita terjamin

kesembuhannya dan tercegah dari kekebalan obat atau resisitensi. Pemilihan PMO

harus disesuaikan dengan keadaan tempat tinggal penderita. Tenaga PMO bisa

berasal dari petugas kesehatan, keluarga dan tokoh masyarakat. Sebelum

pengobatan dimulai PMO yang ditunjuk oleh petugas kesehatan dan penderita,

harus diberi pelatihan singkat tentang perlunya Pengawas Menelan Obat setiap

hari, agar mereka mengetahui gejala-gejala TB dan mengetahui cara mengatasi

bila ada efek samping. Selain bertugas sebagai pengawas, PMO juga membantu

dalam pengambilan obat bagi penderita dan menepati jadwal kunjungan berobat

(Kholifatul Ma’arif Zainul Firdaus, 2012).

Dalam laporan tahunan P2P Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2017 angka

prevalensi jumlah penyakit paru 23.774 orang, sedangkan di Kota Tasikmalaya

Jumlah penderita TB paru Tahun 2017 dengan BTA Positif 516 orang, BTA

Negatif Rontgen positif 727 orang. Pada tahun 2017 penderita TB Paru di

Puskesmas Kahuripan Kota Tasikmalaya sebanyak 15 penderita dengan rincian :


3

penderita TBC Paru dengan BTA Positif sebanyak 22 orang penderita, dengan

BTA Negatif dan Rontgen positif sebanyak 11 orang. Dari 33 penderita tersebut

yang dinyatakan sembuh 27 orang. Pengobatan lengkap sebanyak 4 orang, drop

out sebanyak 1 orang, dan penderita meninggal sebanyak 1 orang. Dari data

tersebut ketidakberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas

Kahuripan masih cukup tinggi. Faktor-faktor ini yang mempengaruhi

ketidakberhasilan (Profil Puskesmas Kahuripan, 2017).

Faktor-faktor tersebut di atas, peranan Pengawas Menelan Obat diduga

mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap keberhasilan pengobatan TB paru,

karena PMO menentukan apakah obat yang sudah dianjurkan diminum atau tidak

oleh penderita TB paru, sehingga menentukan pula sembuh atau tidaknya

penderita TB paru, maka peranan Pengawas Menelan obat (PMO) perlu dilakukan

penelitian terhadap keberhasilan pengobatan penderita TB paru.

Melihat dari kejadian di atas menunjukan bahwa penderita TB paru

masih ada yang mengalami kegagalan dalam pengobatan. Salah satu yang

menyebabkan ketidak teraturan berkunjung dalam berobat adalah kurangnya

pengawasan dari keluarga atau orang yang tinggal dalam satu rumah.

Berdasarkan survei pendahuluan yang di lakukan oleh peneliti di Puskesmas

Kahuripan Kota Tasikmalaya penderita TB paru yang tidak memiliki pengawas

minum obat dikarenakan keluarga sibuk dengan pekerjaannya sendiri dan

menganggap pasien sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dengan demikian

penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang Gambaran Peran Keluarga

dalam Pengawasan Minum Obat (PMO) dengan Kepatuhan Kunjungan

Berobat pada Pasien Tuberculosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Kahuripan


4

Tasikmalaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang peneliti, maka dapat merumuskan,

Bagaimana Gambaran Peran Keluarga dalam Pengawasan Minum Obat (PMO)

pada pasien Tuberculosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Kahuripan

Tasikmalaya.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menjelaskan bagaimana gambaran peran keluaruga dalam

Pengawasan Minum Obat (PMO) pada pasien Tuberculosis Paru (TB

Paru) di Puskesmas Kahuripan Tasikmalaya.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam mengawasi

penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

b. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam memberikan

dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur.

c. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam memotivasi

penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu – waktu (Pagi,

Sewaktu, Pagi) yang telah ditentukan.


5

d. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam memberikan

penyuluhan pada anggota keluarga penderita tuberculosis yang

mempunyai gejala – gejala tersangka TB untuk segera memeriksa

kepada petugas kesehatan terdekat .

e. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam membantu atau

mendampingi penderita dalam pengambilan Obat Anti TB (OAT)

dipelayanan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Kesehatan

Sebagai masukan dalam mengetahui bagaimana peran keluarga

dalam Pengawasan Minum Obat (PMO) pada pasien dengan TB Paru.

2. Bagi Penderita

Dapat dijadikan sebagai literatur atau gambaran mengenai

pentingnya peran pengawas minum obat.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Mengembangkan ilmu keperawatan dan dapat dijadikan sebagai

bahan kajian untuk kegiatan penelitian selanjutnya serta sebagai bahan di

perpustakaan.

4. Bagi Peneliti

Menambah ilmu pengetahuan mengenai antara peran Pengawas

Minum Obat (PMO) pada pasien dengan TB Paru.


6

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang hampir sama dengan yang dilakukan oleh peneliti :

1. Juwita Resty Hapsari N (2010) dengan penelitian berjudul “Hubungan

Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Keteraturan Berobat

Pasien TB Paru Strategi DOTS di Dr. RSUD Moewardi Surakarta”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang memiliki kinerja PMO

baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar

dibandingkan pasien yang memiliki kinerja PMO buruk, dan secara

statistik hubungan tersebut signifikan (OR=5,23, p=0,0003).

2. Asra Septia, Siti Rahmalia dan Febriana Sabrian (2011) dengan

penelitian berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan

Minum Obat pada Penderita TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah

Arifin Achmad”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada

penderita TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.

3. Budiman, Novie E. Mauliku, Dewi Anggraeni (2012) dengan penelitian

berjudul “Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Minum

Obat Pasien TB Paru pada Fase Intensif di Rumah Sakit Umum Cibabat

Cimahi”. Hasil penelitian terdapat dua faktor terbentuk yaitu faktor

karakteristik responden (predisposisi) yang terdiri dari umur,

pendidikan, penghasilan dan pengetahuan dan faktor pendorong

(reinforcing) yaitu sikap.

Anda mungkin juga menyukai