Oleh:
Arief Budiman, S.Ked.
Pembimbing:
1
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Long Case ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 26 Maret s.d 30 April 2018
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
STATUS PASIEN
1. Identifikasi Pasien
Nama : AM
Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Plaju
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Suku Bangsa : Indonesia
Tanggal pemeriksaan : 6 April 2018
Keluhan Utama :
Mata merah di kedua mata pasien
4
- Riwayat pemakaian obat-obatan sebelumnya (-)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Nadi 85 x/menit
Suhu 36,70 C
b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
6/6 6/6
Visus
Tekanan P= N+0 P=N+0
intraocular
KBM Ortoforia
GBM
5
Jernih Jernih
Kornea FT (-) FT (-)
Shield Ulcer (-) Shield Ulcer (-)
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, refleks cahaya Bulat, sentral, refleks cahaya
Pupil (+), diameter 3 mm
(+), diameter 3 mm
Refleks
RFOD (+) RFOS (+)
Fundus
Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
Papil
merah, c/d 0,3 dan a/v 2:3 merah, c/d 0,3 dan a/v 2:3
Makula Refleks Fovea (+) Refleks Fovea (+)
Retina Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik
4. Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Banding
Konjungtivitis vernal
Konjungtivitis bakterialis
Konjungtivitis folikularis
6. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis Vernal Tipe Limbal ODS
7. Tatalaksana
1. Informed consent
2. KIE
Menjelaskan kondisi yang terjadi pada pasien dan tindakan apa yang
akan dokter lakukan serta tujuan tindakan tersebut
6
Anjurkan kompres dingin mata pasien
Menghindari daerah yang cuacanya panas yang dapat menimbulkan
reaksi alergi
Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari
tangan, karena dapat memperberat iritasi pada mata.
3. Farmakologi
Cromolyn Sodium EDMD 1 tetes/ 6 jam ODS
Naphozoline Hidrocloride EDMD 1 tetes/ 4 jam ODS
8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:15
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai
padamucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum
bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra
sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem
lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat
sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang
mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat
4
secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola
mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut
nyeri yang relatif sedikit.16
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma.
Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada
tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi
mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 14
5
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma
di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan.
Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar
bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar
lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi
tarsus atas.15
2.2.2 Epidemiologi
Insidensi konjungtivitis vernalis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5%
dari pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua
6
pasien yang diperiksa di klinik mata Mediterania. Konjuntivitis vernal
biasanya terjadi pada anak-anak sebelum usia 10 tahun.1
Salah satu jurnal melaporkan onset terjadi penyakit ini paling dini
pada usia 5 bulan. Penyakit ini umumnya sembuh setelah pubertas, biasanya
sekitar 4-10 tahun seleah onset. Konjungtivitis vernal lebih sering
menyerang laki-laki, dengan rasio laki-laki dan perempuan bervariasi antara
4 : 1 sampai 2 : 1 terutama pada usia di bawah 20 tahun, setelah usia itu
rasio laki-laki dan perempuan hampir sama. Pewarnaan dengan hasil positif
untuk reseptor estrogen dan progesteron di konjungtiva dari pasien
konjungtivitis vernal, predileksi laki-laki, dan sembuh setelah pubertas
menunjukkan bahwa faktor hormonal berpengaruh dalam perkembangan
penyakit ini.1
2.2.3 Etiopatogenesis
Konjungivitis vernalis merupakan penyakit alergi pada mata, namun
etiologi dan patogenesis pasti penyakit ini masih belum jelas.2
Imunopatogenesis penyakit ini berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe I dan tipe IV yang menyebabkan perubahan struktur pada
konjungtiva.2,6 Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi
difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi
jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak
terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan
deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu
kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi
yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement
like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang
mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai
keratitis serta erosi epitel kornea.6
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat
vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang
berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan
7
menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus.
Kondisi ini mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita
keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya pterigium
pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang dengan
cepat akan mengalami degenerasi. Sekresi mukus yang kental dan melekat
pada penderita keratokonjungtivitis vernalis, menurut Neumann dan Krantz,
mengandung banyak mukopolisakarida serta asam hyaluronat. Dalam hal ini
memungkinkan timbulnya tarikan sel epitel kornea dan gesekan dari papil
tarsal pada kornea akan mengakibatkan kerusakan kornea yang meluas ke
tepi. Kerusakan kornea diduga juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang
yang berasal dari konjungtiva. infiltrat radang konjungtiva pada
konjungtivitis vernal ini terdiri dari eosinofil, limfosit, sel plasma, dan
monosit. Kerusakan kornea dapat menjadi difus, pembentukan ulkus, dan
perubahan degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon. Pembentukan
ulkus epitelial non-infeksi yang berbentuk oval atau perisai dapat terjadi
yang mendasari timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun
superior. Lebih jauh, kurvatura kornea juga akan memperlihatkan perubahan
disertai astigmatisme miopik dan pada tahap lanjut dapat terjadi keratokonus
serta keratoglobus.6
8
sel mast, antihistamin, vasokonstriktor, penghambat siklooksigenase dan
kortikosteroid pada penyakit yang berat.12
Pasien dengan konjungtivitis vernal mempunyai 49% riwayat
keluarga yang menderita penyakit atopik, dan mempunyai riwayat medis
dengan kondisi atopik lainnya seperti asma (26,7%), rinitis (20%) dan
eksema (9,7%). Pada penelitian terbaru, terdapat mekanisme patogenesis
non-IgE-dependent yang lebih kompleks. Hal ini didukung dengan
seringnya hasil negatif pada tes kulit dan RAST pada pasien konjungtivitis
vernal, juga adanya beberapa pasien yang tidak mempunyai riwayat atopi
pada pribadi maupun pada riwayat keluarga. Pada suatu penelitian tantangan
seperti penelitian imunohistokimia dan mediator didapatkan mekanisme th2-
driven dan sebuah definisi, sama seperti asma, bahwa konjungtivitis vernal
adalah sebuah penyakit inflamasi alergi dari konjungtiva dengan sel mast,
eosinofil, dan limfosit.
Pengertian ini didukung dengan penemuah bahwa klon t-sel yang
berasal dari jaringan konjungtivitis vernal sebagian besar terdapat tipe th2
dan bahwa di daerah cd4 dari biopsi konjungtivitis vernal terdapat
peningkatan in situ dalam sinyal hibridisasi untuk il-5 yang berkaitan
dengan peningkatan level il-5, bukan il-2, dalam air mata, yang
menunjukkan aktivitas Th2 lebih banyak daripada Th1. Ini memungkinkan
bahwa patogenesis konjungtivitis vernal ditandai dengan adanya perubahan
limfosit Th2, sedangkan respon IgE yang berlebihan terhadap alergen umum
tidak konsisten dan mungkin merupakan kejadian sekunder. Limfosit Th2
bertanggung jawab baik untuk hiperproduksi dari IgE (IL-4) dan untuk
diferensiasi dan aktivasi sel mas (IL-3) dan eosinofil (IL-5). Sel mas dan
basofil menyebabkan reaksi langsung (melalui pelepasan histamin) dan
infiltrasi sel-sel radang (limfosit dan eosinofil). Infiltrasi sel-sel ini
(ditambah dengan overekspresi dari molekul adhesi) menghasilkan
pelepasan mediator sel beracun lainnya (seperti proten kationik eosinofil,
EDN/EPX) dengan kerusakan epitel kornea. Beberapa sel inflamasi dan sel
epitel ini dapat menyebabkan proliferasi fibroblas dan produksi kolagen
yang mengarahkan ke manifestasi klinis konjungtiva.
9
Tidak hanya histamin yang merupakan mediator utama dalam reaksi
alergi dengan mekanisme umur hipersensitivitas tipe I (seperti alergi
tahunan atau konjungtivitis musiman) yang terlibat dalam konjungtivitis
vernal, tetapi pada tahan awal reaksi alergi (antihistamin efektif pada
kondisi ini) terdapat mediator lain yaitu mediator eosinodilik dan zat yang
berasal dari metabolisme asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrin).1,12
2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi peradangan yang terjadi, konjungtivitis vernal
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Bentuk Palpebra
Pada tipe palpebral ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior,
terdapat pertumbuhan papil yang besar atau cobble stone yang diliputi
secret yang mukoid. Konjungtiva inferior hiperemi dan edema dengan
kelainan kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik,
papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan
permukaan uang rata dan dengan kapiler di tengahnya.2
2. Bentuk Limbal
Hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatine. Dengan trantas dot yang merupakan degenerasi
epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,
terbentuknya panus dengan sedikit eosinophil.2
10
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gambaran konjungtivitis vernal adalah sebagai berikut:9,10,11
a. Gatal
Pasien pada umumnya mengeluh tentang gatal yang sangat. Keluhan
gatal ini menurun pada musim dingin.
b. Ptosis
Terjadi ptosis bilateral, kadang-kadang yang satu lebih ringan
dibandingkan yang lain. Ptosis terjadi karena infiltrasi cairan ke dalam
sel-sel konjungtiva palpebra dan infiltrasi sel-sel limfosit plasma,
eosinofil, juga adanya degenarasi hyalin pada stroma konjungtiva.
c. Kotoran mata
Keluhan gatal umumnya disertai dengan kotoran mata yang berserat-
serat dan konsistensinya elastis.
d. Kelainan pada palpebra
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior. Konjungtiva tarsalis
pucat, putih keabu-abuan disertai papil-papil yang besar (papil raksasa).
Inilah yang disebut “cobble stone appearance”. Susunan papil ini rapat
dari samping tampak menonjol. Seringkali dikacaukan dengan trakoma.
Di permukaannya kadang-kadang seperti ada lapisan susu, terdiri dari
sekret yang mukoid. Papil ini permukaannya rata dengan kapiler di
tengahnya. Kadang-kadang konjungtiva palpebra menjadi hiperemi,
bila terkena infeksi sekunder.
e. Horner Trantas dots
Gambaran seperti renda pada limbus, dimana konjungtiva bulbi
menebal, berwarna putih susu, kemerah-merahan, seperti lilin.
Merupakan penumpukan eosinofil dan merupakan hal yang
patognomosis pada konjungtivitis vernal yang berlangsung selama fase
aktif.
f. Kelainan di kornea
Dapat berupa pungtat epithelial keratopati. Keratitis epithelial difus
khas ini sering dijumpai. Kadang-kadang didapatkan ulkus kornea yang
berbentuk bulat lonjong vertikal pada superfisial sentral atau para
11
sentral, yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatrik yang
ringan. Kadang juga didapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh
permukaan kornea, sering berupa mikropanus, namun panus besar
jarang dijumpai. Penyakit ini mungkin juga disertai keratokonus.
Kelainan di kornea ini tidak membutuhkan pengobatan khusus, karena
tidak tidak satu pun lesi kornea ini berespon baik terhadap terapi
standar.
12
Ukuran Lesi Penonjolan besar Penonjolan besar Penonjolan kecil
Tipe sekresi Bergetah, bertali, Kotoran air Mukoid atau
seperti susu berbusa atau purulen
“frothy” pada
stadium lanjut
Pulasan Eosinophil Kerokan epitel Kerokan tidak
karakteristik dan dari konjungtiva karakteristik
konstan pada dan kornea (Koch-weeks,
sekresi memperlihatkan morax axenfeld,
eksfoliasi, mikrokokus,
proliferasi, inklusi kataralis
seluler stafilokus,
pneumokokus)
Penyulit atau Infiltrasi kornea Kornea : Panus, Ulkus kornea
sekuela (tipe limbal) kekeruhan
Palpebra : kornea, Xerosis
Pseudoptosis kornea
(tipe tarsal) Konjuntiva :
Simblefaron
Palpebra :
ektopion atau
entropion trikiasis
Sumber: Joshua Z. Diagnostic Examination of the Eyes. Philadelphia. Second Edition.
2000.
13
2.2.8 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis konjungtivitis dilakukan berdasarkan gejala klinis
Gatal yang menetap disertai gejala fotofobia
Berair dan rasa menggajal pada mata
Pada mata di temukan papil besar dengan permukaan rata pada
konjungtiva tarsal, secret gelatin yang berisi eosinophil atau granula
eosinophil
Ditemukan keratitis pada kornea
Neovaskularisasi dan tukak indolen.
Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi
terhadap tepung sari rumput-rumputan.
14
2. Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat
membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan trantas dot yang
merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinophil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya pannus , dengan sedikit eosinophil.
2.2.9 Tatalaksana
Seperti halnya semua penyakit alergi lainnya, terapi konjungtivitis
vernalis bertujuan untuk mengidentifikasi alergen dan bahkan mungkin
mengeliminasi atau menghindarinya. Untuk itu, anamnesis yang teliti baik
pada pasien maupun orang tua akan dapat membantu menggambarkan
aktivitas dan lingkungan mana yang harus dihindari. Dengan demikian,
penatalaksanaan pada pasien ini akan terbagi dalam tiga bentuk yang saling
menunjang untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Ketiga bentuk
pelaksanaan tersebut meliputi : (1) Tindakan umum; (2) Terapi medikasi;
(3) Pembedahan.
15
2.2.9.1. KIE dan Non-Farmakologis (Tindakan Umum)
Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang
membantu mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi hasil
anamnesis tersebut diatas. Beberapa tindakan tersebut antara lain :
- Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter.
- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga
membawa serbuk sari.
- Menggunakan kacamata berpenutup total untuk mengurangi
kontak dengan allergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak
dihindari karena dapat membantu resistensi alergen.
- Kompres dingin di daerah mata.
- Pengganti air mata (artificial). Selain bermanfaat untuk cuci mata
juga berfungsi protektif karena membantu menghalau alergen.
- Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga
disebut klimatoterapi. Cara ini memang kurang praktis,
mengingat tingginya biaya yang dibutuhkan, tetapi efektivitasnya
yang cukup dramatis patut diperhitungkan sebagai alternatif bila
keadaan memungkinkan.
- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan
atau jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang
pembebasan mekanis dari mediator-mediator sel mast.
16
mengenai aktivitas penyakit. Eksudat ini pada gilirannya akan
memainkan peran penting dalam timbulnya gejala.
Untuk menghilangkan sekresi mukus, dapat digunakan irigasi
saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10% - 20% tetes mata.
Dosis yang diberikan tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya
gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada
larutan 20%. Larutan alkaline seperti sodium karbonat monohidrat
dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun
tidak efektif sepenuhnya.
Satu-satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk
pengobatan konjungtivitis vernalis ini adalah kortikosteroid, baik
topical maupun sistemik. Namun, untuk pemakaian dalam dosis besar
harus diperhitungkan kemungkinan timbulnya resiko yang tidak
diharapkan.
Untuk konjungtivitis vernal yang berat, bias diberikan steroid
topical prednisolone fosfat 1%, 6- 8 kali sehari selama satu minggu.
Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai dosis terendah
yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Pada kasus yang lebih parah,
bias juga digunakan steroid sistemik seperti prednisolon asetet,
prednisolone fosfat atau deksametason fosfat 2-3 tablet 4 kali sehari
selama 1-2 minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam kaitan dengan
pemakaian preparat steroid adalah gnakan dosis serendah mungkin
dan sesingkat mungkin.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik dapat
dipertimbangkan sebagai plihan lain karena kemampuannya untuk
mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi
dengan vasokonstriktor, dapat memberikan kontrol yang memadai
pada kasus yang ringan, atau memerlukan adanya reduksi dosis.
Bahkan pemberian antihistamin dapat menangguhkan pemberian
kortikosteroid topical. Satu hal yang tidak disukai dari pemakaian
antihistamin adalah efek samping yang menimbulkan kantuk. Pada
anak-anak, hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
17
Emedastine adalah antihistamin paling poten yang tersedia di
pasaran dengan kemampuan mencegah sekresi sitokin. Sementara
olopatadine merupakan antihistamin yang berfungsi sebagai inhibitor
degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% terbukti bermanfaat karena
kemampuannya sebaga pengganti steroid bila pasien sudah dapat
dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan
akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai
stabilisator sel masi, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang
dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat
pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen
spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal
kalsium pada membrane sel serta menghambat pelepasan histamine
dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi.
Lodoksamid 0,1% bermanfaat mengurangi infiltrat radang
terutama eosinofil dalam konjungtiva. Levokabastin tetes mata
merupakan suatu antihistamin yang spesifik terhadap konjungtivitis
vernalis, dimana symptom konjungtivitis vernalis hilang dalam 14
hari.
2.2.9.3. Pembedahan
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi, dan diatermi pada papil
raksasa (giant papil) konjungtiva tarsal kini sudah ditinggalkan
mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif karena
dalam waktu dekat akan tumbuh lagi. Apabila segala bentuk
pengobatan telah dicoba dan tidak memuaskan, maka metode dengan
tandur alih membrane mukosa pada kasus konjungtivitis vernalis tipe
palpebra yang parah perlu dipertimbangkan. Akhirnya, perlu
dipetekankan bahwa konjungtivitis vernalis biasanya berlangsung
selama 4-6 tahun dan bisa sembuh sendiri apabila anak sudah dewasa.
18
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi tersering yang terjadi pada konjungtivitis vernal adalah
komplikasi pada korna karena adanya gesekan terus menerus giant papilae
pada kornea sehingga dapat menyebabkan terjadinya
1. Ulkus Kornea
2. Keratoconus
2.2.11 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
19
BAB III
ANALISIS KASUS
20
Horner-Trantas dot adalah gambaran seperti renda pada limbus, dimana
konjungtiva bulbi menebal, berwarna putih susu, kemerah-merahan, seperti lilin,
yang timbul akibat penumpukan dari eosinofil dan merupakan hal yang
patognomosis pada konjungtivitis vernal yang berlangsung selama fase aktif.
Gejala klinis pada pasien konjungtivitis vernal menurut American
Academy Of Ophthalmology, yaitu gatal pada mata, fotofobia, blefarospasme,
penglihatan kabur dan mata berair. Keluhan tersebut sama dengan yang terjadi
pada pasien ini dimana mata pasien gatal terutama saat berada diluar rumah
(cuaca panas) dan mata berair.
Tatalaksana pada konjungtivitis vernal mencakup tindakan-tindakan
konsultatif yang membantu mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi
hasil anamnesis, dapat dilakukan tindakan seperti, pemakaian mesin pendingin
ruangan berfilter, menghindari daerah yang cuacanya panas yang dapat
menimbulkan reaksi alergi, menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan
tangan atau jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan
mekanis dari mediator-mediator sel mast. Menurut American Academy Of
Ophthalmology prinsip penatalaksanaan pada konjungtivitis vernal tergantung
pada tingkat keparahan gejalanya. Terapi awal pasien dengan konjungtivitis
vernal adalah dengan memberikan obat tetes mata kombinasi topikal mast-cell
stabilizer dan antihistamin topikal. Pada gejala yang berat dapat diberikan obat
topikal kortikosteroid atau topikal immunodulator seperti cyclosporin atau
takrolimus. Pada pasien ini telah diberikan obat topikal mast-cell stabilizer berupa
Cromolyn Sodium yang diindikasikan sebagai obat untuk mengurangi reaksi
inflamasi pada pasien serta untuk menghambat pecahnya sel mast yang dapat
mengakibatkan beberapa manifestasi klinis salah satunya mata merah.
Naphozoline Hidrocloride merupakan antihistamin topikal yang diberikan untuk
meredakan mata gatal pada pasien.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
23