Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Walaupun mata mempunyai system pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita,
kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip,
mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan
pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat
mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi pengelihatan. Trauma
kimia pada mata merupakan salah satu keadaan darurat oftalmologi karena dapat menyebabkan
cedera pada mata, baik ringan, berat, bahkan sampai kehilangan pengelihatan. Trauma kimia
pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan kimia baik
yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola mata. 1

Trauma kimia biasanya ditemukan pada usia dewasa muda, laki-laki, yang bekerja pada
lingkungan industry. Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat
mengalami gangguan penglihatan akibat trauma.75% dari kelompok tersebut buta pada satu
mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang mengancam penglihatan setiap
tahunnya.Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di amerika Serikat menerima pengobatan medis
karena trauma mata pada saat bekerja.Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan
dengan pekerjaan terjadi setiap tahunnya.Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio
terkena trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat
kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan
1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Sebagian besar (84%) merupakan
trauma kimia. Bahan kimia yang dapat menyebabkan kelainan pada mata dapat dibedakan
menjadi trauma asam dan trauma basa, trauma basa biasanya didapatkan pada ammonia yang
terdapat pada pembersih rumah. Potassium hydroxide (KOH), Magnesium hydroxide, dan kapur.
Sementara itu, trauma asam paling sering dikarenakan sulfur, hydrofluoric, acetic (CH3COOH),
krom (Cr2O3), dan hidroklor (HCL). 1,2

Mekanisme cedera antara trauma asam dan trauma basa sedikit berbeda.Trauma yang
disebabkan oleh bahan basa lebih cepat merusak dan menembus kornea dibandingkan bahan

1
asam.Dampak yang ditimbulkan dari trauma kimia pada mata sangat tergantung pada tingkat pH,
kecepatan, dan jumlah bahan kimia yang mencapai mata. Walaupun demikian, setiap bahan
kimia yang masuk ke dalam mata perlu diwaspadai agar tidak meningkatkan morbiditas dan
mengganggu fungsi penglihatan dari organ ini. Trauma pada mata memerlukan penanganan yang
tepat untuk mencegah kerusakan yang lebih berat agar tidak berujung pada kebutaan. 1 2 3

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Trauma kimia mata merupakan trauma pada mata yang disebabkan substansi dengan pH
yang tinggi (basa) atau yang rendah (asam). Trauma kimia biasanya disebabkan bahan-bahan
yang tersemprot atau terpercik pada wajah.Bahan kimia dikatakan bersifat asam bila mempunyai
1,2
pH < 7 dan dikatakan bersifat basa bila mempunyai pH > 7.

2.2 Etiologi

Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk
: trauma asam dan trauma basa atau alkali. Substaansi kimia yang biasanya menyebablan trauma
pada mata dapat digolongkan menjadi 2 kelompok : 4,5,6,7

1. Alkali/basa
Bahan alkali yang biasanya menyebabkan trauma kimia adalah:
a. Amonia (NH3), zat ini banyak ditemukan pada bahan pembersih rumah tangga, zat
pendingin, dan pupuk.
b. NaOH, sering ditemukan pada pembersih pipa.
c. Potassium hydroxide (KOH), seperti caustic potash
d. Magnesium Hydroxide (Mg(OH)2) seperti pada kembang api
e. Lime(Ca(OH)2), seperti pada perekat, mortar, semen dan kapur.

2. Acid/asam

Bahan asam yang menyebabkan trauma adalah:

a. Sulfuric acid (H2SO4), contohnya aki mobil, bahan pembersih (industry).

b. Sulfurous acid (H2SO3), pada pengawet sayur dan buah.

3
c. Hydrofluoric acid (HF), efeknya sama bahayanya dengan trauma alkali. Ditemukan pada
pembersih karat, pengilat aluminium, penggosok kaca.

d. Acetic acid (CH3COOH), pada cuka.

e. Hydrochloric acid (HCl) 31-38%, zat pembersih.

2.3 Klasifikasi

Trauma kimia pada mata dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat keparahan yang
ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma.Klasifikasi ini juga bertujuan untuk
penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul serta indikasi penentuan
prognosis.Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan kornea dan keparahan iskemik
limbus. Selain itu klasifikasi ini juga untuk menilai patensi dari pembuluh darah limbus
(superfisial dan profunda). 5,6,7,8

Klasifikasi yang biasa digunakan untuk menilai gejala klinis dan prognosis adalah:

1) Klasifikasi Hughes

a) Ringan : Erosi epitel kornea, kornea sedikit kabur, tidak ada nekrosis iskemik
konjungtiva atau sclera.

b) Sedang : Opasitas kornea mengaburkan detail iris, nekrosis iskemik yang minimal di
konjungtiva dan sclera.

c) Berat : Garis pupil kabur, iskemik nekrosis konjungtiva atau sclera yang signifikan.

2) Menurut Klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam :

 Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata


 Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
 Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
 Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%

4
2.4 Patofisiologi

2.4.1 Patofisiologi Trauma Asam

Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan ataupun
penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat
destruktif seperti trauma basa. Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial
saja. Bahan asam dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma basa sehingga
kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam. 2

Trauma asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam
kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah pH, sementara anion
merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi dan koagulasi. Koagulasi protein umumnya
mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass
dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam.Sehingga trauma pada mata yang
disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh
zat kimia basa.1,2,4,5,6

Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan presipitasi
dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan terhadap bahan
asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam
yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang
seluruh epitel kornea terlepas.Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di
kornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa.Bila
bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel kornea yang
mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan
bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.
Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan asam dengan jaringan. Koagulasi
protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam.

Asam hidroflorida adalah satu pengecualian.Asam lemah ini secara cepat melewati
membran sel, seperti alkali.Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan
menghambat enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk

5
insoluble complexes.Nyeri local yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion
kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium

Gambar 1. Trauma Asam

2.4.2 Patofisiologi Trauma Basa

Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan. Pada pH
yang tinggi alkali akan mengakibatkan safonifikasi disertai dengan disosiasi asam lemak
membrane sel. Akibat safonifikasi membran sel akan mempermudah penetrasi lebih lanjut zat
alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan menghilang dan terjadi penggumpalan sel
kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat
edema kornea akan terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan
sel ini cenderung disertai dengan pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi.
Akibat membran sel basal epitel kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel
epitel yang baru terbentuk akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui
plasminogen aktivator. Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivator dilepas juga
kolagenase yang akan merusak kolagen kornea. Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan
epitel yang berkelanjutan dengan ulkus kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini
mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya

6
ulkus pada kornea mulai terbentuk 2 minggu setelah trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti
hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila
alkali sudah masuk ke dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar.

Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahanbahan basa memiliki
dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi sel membran
dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Trauma basa akan memberikan iritasi
ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata,
trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, kamera
okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa
akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan
terjadi proses safonifikasi, disertai dengan dehidrasi. 7,8,9

Gambar 2. Trauma Basa

2.5 Diagnosis

Untuk menegakan diagnosis trauma kimia pada mata, dapat melalui anamnesis dimana
dapat ditemukan gejala klinis serta riwatar terpapar bahan kimia ditambah dengan pemeriksaan
fisik dan penunjang. Namun mengingat bahwa trauma kimia adalah sebuah kegawatdaruratan
pada mata maka penejelasan diatas harus dilakukan secara singkat.

2.5.1 Gejala Klinis

Terdapat gejala klinis utama pada trauma kimia yaitu Epiphora yaitu suatu kondisi dimana
air mata keluar secara berlebihan akibat saluran air mata tidak berfungsi secara normal,

7
Blefarospasme dimana suatu keadaan yang menggambarkan kelopak mata berkedip tidak
terkendal, dan nyeri hebat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat terjadi
penurunan pengelihatan yang mendadak akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada
trauma basa, kehilangan pengelihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.
Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi akibat trauma kimia basa lebih berat dibandingkan
trauma asam 9

2.5.2 Anamnesis

Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi.
Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri,
lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai adanya
benda asing intraokular apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi akibat
ledakan.

2.5.3 Pemeriksaan Fisik

Sebaiknya pemeriksaan fisik dilakukan setelah irigasi mata. Setelah dilakukan irigasi,
pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan keutuhan
kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea,
neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap dan berulang..

Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola mata
secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai pH
normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui
lokasi luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Selain itu dapat
pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular.

2.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan awal adalah irigasi secepatnya dengan air mengalir atau cairan isotonic
(salin normal atau ringer lactat) dilanjutkan selama 15-30 menit sebelumnya diberikan anastesi

8
local. Dilakukan pengecekan pH berulang sampai pH mencapai 7,3-7,7. Perlu dilakukan eversi
palpebral dan irigasi bagian forniks untuk membersihkan benda asing dan jaringan nekrotik. 10

Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi:10

1. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau


glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis
yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih
mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA. 17
2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah
spasme silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan
mengurangi inf lamasi.
3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin,
gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin)
4. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan
Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), betablocker (Timolol 0,5% atau
Levobunolol 0,5%). 6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan
pressure patch).

Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi:
1. Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan
intraokular dan penyembuhan kornea.
2. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing
3. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
4. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-4
kali sehari)
6. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari).
Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat
reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih
lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses

9
penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk terjadinya lisis
kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti inflammatory agent.
7. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan intraocular. Peningkatan tekanan
intraocular bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blockade jaringan
trabekulum oleh debris inflamasi.
8. Diberikan pressure patch di setelah diberikan obat tetes atau salep mata
9. Dapat diberikan air mata artifisial Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian
obat-obatan lain juga bermanfaat dalam menurunkan proses inflamasi,
meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi kornea.

Pemberian medikamentosa juga diperlukan antara lain :

a. Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun pemberian
steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis kolagen
dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan
ditappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED
diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
b. Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia posterior. Atropin
1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
c. Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan
penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas
kornea. 19 Natrium askorbat 10 % topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik
dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
d. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra okular dan
mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid
(diamox)500 mg.
e. Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif
untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil dan mengurangi
pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik
(doksisiklin 100 mg).

10
2.7 Komplikasi

Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma
yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antaralain :

1. Simblefaron, adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga kornea
dan penglihatan terganggu
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler
3. Sindroma mata kering
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun
perlahanlahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang
terjadi katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup
6. Entropion dan phthisis bulbi

Gambar 3. Simblefaron

11
2.8 Prognosis

Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma tersebut.
Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu indikator
keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah
limbus dan konjungtiva memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma
kimia ditunjukkan dengan gambaran “cooked fish eye” dimana prognosisnya adalah yang paling
buruk, dapat terjadi kebutaan.

Gambar 10. “cooked fish eye”

Trauma kimia sedang samapai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat menyebabkan
simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada kamera okuli
anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P, Witcher JP. 2011. Penyunting, Vaughan & Asbury’s general


ophthalmology. Edisi ke 18. Philadelphia
2. Ilyas S, Yulianti SR. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
3. Radosavljević A, Kalezić, T, Golubović S. The Frequency of Chemical Injuries of
the Eye in a Tertiary Referral Centre. School of Medicine, University of Belgrade,
Belgrade, Serbia. 2013;141(9-10):592-596
4. American Academy of Ophthalmology. Clinical aspects of toxic and traumatic
onjuries of the anterior segment: External Disease and Cornea. BSSC,
section8.2012.p353-359
5. Tsai, James C. Denniston, Alastair K. Murray, Philip I. Oxford American Handbook
of Ophthalmology.2011. Oxford University Press Inc.p84-85
6. Schlote, T. Rohrbach, J. Grueb, M. Mielke, J. Pocket Atlas of ophthalmology.2006.
George Theime Verlag. p105-107.
7. James, bruce. Lecture notes on ophthalmology. 9th edition. Blackwell
scientific.2003.p1-16,p194-195.

8. Drake B, Paterson R, Tabin G, Butler F, Cushing T. Treatment of Eye Injuries and


Illnesses in the Wilderness.2012. Denver Health Medical Center. Denver,wilderness
and environmental medicine 23, 325–336

9. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2001 New classification for ocular surface burns,
85:1379-1383, British Journal of Ophthalmology. Diakses 27 Mei 2018, dari
http://bjo.bmj.com/content/85/11/1379.full.pdfnewclassification.
10. Weiss JS. 2012. American Academy of Ophtalmology External disease and Cornea.
Amerika Serikat

13

Anda mungkin juga menyukai