Anda di halaman 1dari 14

Pertemuan ke : 11 (Sebelas)

Har i&tanggal : Senin, 11 Desember 2017

Pemateri : Ari Susanti. S.KM., M.Kes

Judul Materi : Upaya Memutus Rantai Infeksi, Pencegahan Bahaya Fisik,


Radiasi, Kimia, Ergonomik, Dan Psikososial
Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat
mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro organisme
patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan tetapi dampak dari
resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan, maka dapat berdampak serius
baik terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta
masyarakat disekitar rumah sakit.
a. Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1) Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang
paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik /
jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko
bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut
terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular
penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska
tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di
rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan
barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari
brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana
saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu
diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa.
Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk
terjepit/tenggelam tersebut.
d) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-
lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp
atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah
ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti
licin serta rambu peringatan “awas licin”.
e) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan
jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau
pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan
pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan
abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai
atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-
anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
2) Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang
mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah
sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi
yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi
gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta
didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara
pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi
dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal
yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus
memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang
sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh
melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien hamil
hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy radiasi terpasang rambu
peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.
3) Resiko bahaya akibat kebisingan
kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi ambang
batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler, generator listrik, dan
peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya
tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no
1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh
area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya
minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan
yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS
dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
4) Resiko bahaya akibat pencahayaan
pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih. Tingkat
pencahayaan diseluruh area rumah sakit juga telah dipantau dan dilaporkan
seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah
jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti setara tingkat
pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan
dalam tingkat pencahayaan pada area tersebut.
5) Resiko bahaya listrik
bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik. Pengendalian
yang telah dilakukan adalah melakukan preventif maintenance seluruh peralatan
elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian
peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat
peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan keluarga pasien dilakukan
sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga
pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien
rawat inap.
6) Resiko bahaya akibat iklim kerja
berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan kelembaban
di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan
kualitas hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan
jika ditemukan kondisi tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan
pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh
Direktur Umum dan Operasional.
7) Resiko bahaya akibat getaran
resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih
ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik
dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).

b. Resiko Bahaya Biologi


1) Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS
(ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2) Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik
dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c. Resiko Bahaya Kimia
1) Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit
oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi
dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan
B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data
Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang
mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta
mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan
diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia
MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani
tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja
yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar
pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan
oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus
memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan
sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat
harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk
selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan:
angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan
ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala
oleh Unit K3.
e. Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan
hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan
pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

Rantai Penularan Infeksi

Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata
rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen
yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah:
 Agen infeksi (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia,
jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan
jumlah (dosis, atau load)
 Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang
biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik
lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus
dan vagina
 Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan
darah serta cairan tubuh lain.
 Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi
dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu
:
a. Kontak (contact transmission):
1. Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik
pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasen
2. Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat)
perantara: melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci
b. Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tdk
bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh :
Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib), Virus
Influenza, mumps, rubella.
c. Airborne : partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh,
dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus campak, Varisela (cacar
air), spora jamur
d. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan
kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan.
Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
e. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun
kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu,
binatang pengerat

 Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki
pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui: saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang
tidak utuh (luka).
 Pejamu rentan (suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh
yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit.
Faktor yang mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis,
luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan imunosupresan.
Sedangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau
etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,


agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko
pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya
infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi
hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara
umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun
dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2
pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan
“Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan)
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap
petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah
atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau
pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B,
Hepatitis C, dan HIV.

Kewaspadaan Isolasi

Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada


pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan benar dapat menurunkan risiko
transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan
transmisi mikroba infeksius diantara petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus
diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium
keluar.

Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

Standard Precautions /Kewaspadaan Standar

gabungan dari:

 Universal Precautions/Kewaspadaan Universal


 Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh

berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit
pelayanan kesehatan

 Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi

Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung


terinfeksi/kolonisasi. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang
sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:

1. Kebersihan tangan/Handhygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face
shield (pelindungwajah), gaun
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hyangiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi


Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan
pada pasien gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular
yang dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan
terkontaminasi. 3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:
1. kewaspadaan transmisi kontak
2. kewaspadaan transmisi droplet
3. kewaspadaan transmisi airborne

Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun


kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan transmisi Kontak


 Penempatan pasien :
o Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri
mencegah HAIs)
o Kohorting (management MDRo )
 APD petugas:
o Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius, lepaskan
sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan
antiseptic
o Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan
 Transport pasien
o Batasi kontak saat transportasi pasien

Kewaspadaan transmisi droplet

a. Penempatan pasien
- Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m
- Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka
b. APD petugas:
Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien
c. Transport pasien
o Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi
o Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne

a. Penempatan pasien :
o Di ruangan tekanan negative
o Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol
o Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA
o Pintu harus selalu tertutup rapat.
o Kohorting
o Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak
>1 m
o Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah
penyebaran
o Ventilasi airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
o Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang
b. APD petugas:
o Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur
o Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
o Gaun
o Goggle
o Sarung tangan

(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

c. Transport pasien
 Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :

Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang
yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi

Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien
rawat inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh
pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya
3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius
5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta barang
yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti
sarung tangan antara pasien.
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang
pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan
obtainer/container pasien lainnya.
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan
dan didisinfeksi benar.

Kebersihan Tangan

Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS. Menjaga kebersihan


tangan dengan baik dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan
frekuensi infeksi nosokomial. Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar
pengendalian infeksi. Teknik yang digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah. Dapat
memakai antiseptik, dan air mengalir atau handrub berbasis alkohol.

Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab


infeksi (orang ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan
menunjang penurunan insiden MRSA, VRE di ICU.
Kapan Mencuci Tangan?

 Segera setelah tiba di rumah sakit


 Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien
 Sebelum dan sesudah kontak pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh
pasien
 Diantara kontak pasien satu dengan yang lain
 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien
 Sesudah ke kamar kecil
 Sesudah kontak darah atau cairan tubuh lainnya
 Bila tangan kotor
 Sebelum meninggalkan rumah sakit
 Segera setelah melepaskan sarung tangan
 Segera setelah membersihkan sekresi hidung
 Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

Alternatif Kebersihan Tangan

1. Handrub berbasis alkohol 70%:


 Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas
 Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau
 Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml 100 ml alkohol 70 %)
2. Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan air bersih mengalir dan sabun harus
dilakukan
3. Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan
kotor harus mencuci tangan sabun dan air mengalir
4. Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan sabun dan air mengalir
5. Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya mencuci tangan
sabun antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997.
6. Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit
Enam langkah kebersihan tangan :

Langkah 1 : Gosokkan kedua telapak tangan

Langkah 2 : Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan
sebaliknya

Langkah 3 : Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang

Langkah 4 : Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan
sebaliknya

Langkah 5 : Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar,
dan lakukan sebaliknya

Langkah 6 : Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri,
dan lakukan sebaliknya

Anda mungkin juga menyukai