Anda di halaman 1dari 18

II.

3 Konjungtivitis Alergika

II.3.1. Definisi
Konjungtivitis Alergika adalah suatu peradangan pada konjungtiva akibat
reaksi Hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai IgE terhadap alergen. Pada sebagian
besar penderita, konjungtivitis alergika merupakan bagian dari sindroma alergi yang
lebih luas, misalnya rinitis alergika musiman.3,5 Tetapi konjungtivitis alergika bisa
terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-zat di dalam udara,
seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang.

II.3.2 Epidemiologi

Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman


yang tinggi. Konjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti
daerah mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Konjungtivitis vernal lebih sering
dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama usia muda (3-20 tahun).
Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade.3,
II.3.3 Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

II.3.4 Patofisiologi
Konjungtivitis alergi adalah suatu keadaan dimana adanya reaksi
hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas dikenal ada 4 tipe yaitu :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Reaksi alergi)
Pada reaksi ini yang paling berperan adalah Mast cell/ basofil dan IgE.
Biasanya pada pasien Atopi ( yang memiliki kecenderungan menderita alergi)
2 Reaksi hipersenitivitas tipe II ( Reaksi sitotoksik)
Terjadinya reaksi hipersensitivitas ini sangat erat kaitannya dengan adanya
suatu proses enanggulangan munculnya suatu klon baru, adanya sel klon baru
tersebut dapat ditemukan pada sel tumor, sel terinfeksi virus, dan sel yang
terinduksi mutagen selanjutnya dikenal dengan sebutan sel target. Sel target ini
adalah suatu sel karna adanya faktor lingkungan sel tersebut yangbmengalami
perubahan DNA. Oleh karna itu sel tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau
dimusnahkan melalui mekanisme imunologik. Karna sel yang mengalami
kecacatan DNA bila tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh, maka sel
tersebut akan berkembang menjadi klon baru yang selanjutnya
dapat menimbulkan suatu gangguan (Penyakit).
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III ( Imun kompleks)
Reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan
atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang
diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV ( Hiersensitivitas tipe lambat)
Terjadinya reaksi ini disebabkan oleh Infeksi mikroorganisme yang bersifat
intra seluler atau suatu antigen tertentu. Misalnya infeksi bakteri, jamur, parasit,
virus dan kontak antigen.
Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease),
hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :
1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti
mikrobial
2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak kelenjar
limfoid
3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti
4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga
perkembangbiakan mikroorganisme terhambat
5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata
6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi sel-sel
goblet kemudian akan dibersihkan oleh aliran air mata.
II.3.5 Klasifikasi
Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi :
‐ Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic
Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)
‐ Keratokonjungtivitis vernal
‐ Keratokonjuntgivitis atopic
‐ Konjungtivitis flikten
‐ Giant Papillary Conjunctivitis

Konjungtivitis Simpleks ( hay fever)


Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya
gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu
tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama.
Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin
tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu
dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun.
Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan.3,5
Gambaran patologi pada konjungtivitis hay fever berupa:
a. respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.
b. respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel
plasma dan mediator lain.
c. respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan
meningkatnya pembentukan jaringan ikat.
Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai “hay fever”
(rhinitis alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu
hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata merah,
dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan
sekitarnya”. Terdapat injeksi ringan di konjungtiva palpebralis dan konjungtiva
bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat


(yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran
mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya.

Gambar 4. Konjungtivitis Alergi


 Laboratorium

Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva.

Keratakonjungtivitis vernal
Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang rekuren dan bilateral terutama pada musim panas.
Mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun dan tidak ada perbedaan jenis
kelamin peremupan dan laki-laki. Penyakit ini merupakan self limiting disease.
Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-perubahan akibat dari reaksi
alergi. pada mata ditemukan papil besar dengan permukaan rata pada konjungtiva
tarsal, dengan rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi eosinofil atau granula
eosinofil, pada kornea terdapat keratitis , neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada
tipe limbal terlihat benjolan didaerah limbus dengan bercak Horner Trantas yang
berwarna keputihan yang terdapat didalam bejolan. Epitel konjungtiva mengalami
hiperplasia dan membuat proyeksi ke dalam jaringan subepitel. Pada lapisan
adenoid terdapat infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma, limfosit dan histiosit. Juga
ditemukan proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi perubahan hialin.
Selain itu, terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva, peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya
banyak papil pada konjungtiva tarsalis superior.


Tanda dan gejala
Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi
terhadap tepung sari rumput-rumputan. Dua bentuk utama yang dapat berjalan
bersama:
1. Bentuk palpebra, pada tipe palpebra terutama mengenai konjungtiva
tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Coble
stone) yang diliputi sekret mukoid. Konjungtiva tarsal inferior
hiperemis, edema terdapat papil halus dengan kelainan kornea
lebih berat dibandingkan dengan bentuk limbal. Secara klinis
papil besar ini tampak sebagai tonjolan berbentuk poligonal
dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.

Gambar 5. Cobble stones appearance pada keratokonjungtivitis vernal


2. Bentukk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat
membentuk jaringan hiperplastik gelatin dengan Trantas dot yang
merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya pannus dengan sedikit eosinofil.

Gambar 6. Konjungtivitis vernal bentul limbal


Sensasi panas dan gatal pada mata terutama apabila pasien berada di daerah
yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan, lakrimasi, sekret kental dapat ditarik
seperti benang dan kelopak mata terasa berat.
Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan
granula eosinofilik bebas.

Keratokonjungtivitis atopik
Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga
kelopak mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Ditemukan pada usia
dewasa 30-50 tahun diikuti dengan riwayat eczema dan pada pasien yang
menderita asthma. Individu dengan keratokonjungtivitis atopik umumnya
menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang rendah.
Oleh karena itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat
keratitis herpes simplex dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus.3,5

Tanda dan gejala


Sensasi terbakar, bertahi mata, berlendir, merah, dan fotofobia. Pada
pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda
dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus
superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit
setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer
superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea
tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan menurun.
Biasanya terdapat riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada
pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi
sejak bayi. Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami
eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung
kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.

Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat
sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.


Konjungtivitis Flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi terhadap bakteri atau
antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas
tipe IV ) terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venereal, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi ditemat lain dalam tubuh. Kelainan ini lebih sering ditemukan
pada anak-anak dilingkungan tempat tinggal yang padat, dan biasanya dengan gizi
kurang atau sering mendapat radang saluran nafas.
Secara histopatologik terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel
limfosit, makrofag, dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Flikten merupakan
infiltrasi selular subepitel yang terutama terdiri atas sel monocular limfosit. Biasanya
konjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata, pada
konjungtiva terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemis.3,4
Pada pasien terlihat akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi
suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang biasanya
terletak didekat limbus dan menjalar ke rah sentral atau kornea dan lebih dari satu.
Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain rasa sakit , pasien
juga akan mengeluh silau disertai blefarospasme.4

Gambar 7. Konjungtivitis Flikten


Konjungtivitis Giant Papillarry
Konjungtivitis Giant Papillarry adalah yang diperantarai reaksi imun yang
mengenai konjungtiva tarsalis superior. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti
dan diperkirakan kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan IV yang mendasari
patofisiolginya. Antigen yang terdapat pada konjungtiva seperti lensa kontak dan benang
operasi akan menstimulasi timbulnya reaksi imun pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Iritasi mekanis yang terus-menerus terhadap konjungtiva tarsalis superior
juga menjadi salah satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant Papillarry.
Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika
memakainya melewati waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil
(sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar
( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter. Ptosis mungkin akan terjadi akibat irritative spasm
dan kelemahan jaringan sekunder terhadap peradangan kronis.

Gambar 8. konjungtivitis giant papillary

II.3.6 Pemeriksaan dan Diagnosis


Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi
pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang
paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang
mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia3.
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan
eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen
berikut ini:5
 Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler


 Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea



 Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan

 Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan
sikatrikal, simblepharon, massa, sekret

 Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati
terhadap:5

 Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, nodul atau
vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi


 Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan kutu


 Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret


o Konjungtiva tarsal dan forniks


o Adanya papila, folikel dan ukurannya


a. Perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon


b. Membran dan psudomembran


c. Ulserasi


d. Perdarahan


e. Benda asing


f. Massa


g. Kelemahan palpebra


o Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila,


ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi


o Kornea


a. Defek epitelial


b. Keratopati punctata dan keratitis dendritik


c. Filamen


d. Ulserasi


e. Infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten


f. Vaskularisasi


g. Keratik presipitat


o Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi


o Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea




 ada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan
P
basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk
mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.


Gambar 10. Alur diagnostik Konjungtivitis alergi

II.3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis virus dan
bakteri. Cara membedakannya yaitu dari gejala masing-masing. Pada konjungtivits
virus terdapat gejala berupa : demam, dengan sengkret yang hampir sama dengan alergi,
air mata mengucur banyak, gatal yang minimal, biasanya menyerang traktus
respiratory. Pada pewarnaan usapan banyak ditemukan monosit dan limposit.
Sedangkan pada konjungtivitis bakteri terdapat gejala seperti: sekretnya purulen, air
mata sedang, gatalnya sedikit, tidak terdapat sakit tenggorokan (tidak menyerang
traktus respiratory), pewarnaan usapan didapatkan bakteri PMN.


Tabel 1. Diagnosis banding konjungtivitis Alergi
Konjungtiviti Konjungtiviti Konjungtiviti Konjungtiviti
s S s s
Virus
 Bakteri
 Alergi
 Toksik

Gatal
 -
 -
 ++
 -

Mata merah
 +
 ++
 +
 +

Hemoragi
 +
 +
 -
 -

Sekret
 Serous Purulen, Viscus
 -

mucous
 kuning, krusta

Kemosis
 ±
 ++
 ++
 ±

Lakrimasi
 ++
 +
 +
 ±

Folikel
 +
 -
 +
 ±

Papil
 -
 +
 +
 -

Pseudomembra ±
 ±
 -
 -

n

Pembesaran ++
 +
 -
 -

kelenjar limfe

Panus
 -
 -
 -
 ±

Bersamaan ±
 ±
 
 ±

dengan keratitis
 -

Demam
 ±
 ±
 
 -

-

Sitologi
 Granulosit
 Limposit, Eosinofil
 Sel epitel,
monosit
 granulosit


II.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konjungtivitis alergi berdasarkan indentifikasi dari antigen
spesifik dan eliminasi patogen spesifik, dalam praktek nya, dan penggunaan obat yang
menurunkan atau memediasi respon imun. Penggunaan terapi pendukung, termasuk
kompres dingin dapat meredakan gejala. Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan
vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal
dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (contohnya: edema,
dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast).8,9
Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan seperti ringan
sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan menjadi tingkat sedang.
Penyakit ringan sampai sedang biasanya mempunyai konjungtiva yang bengkak dengan
reaksi konjungtiva papiler yang ringan dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih
berat mempunyai giant papila pada konjungtiva palpebranya, folikel limbal, dan perisai
(steril) ulkus kornea.3,5


a. Alergi ringan

Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata merah yang
timbul musiman dan berespon terhadap tindakan suportif, termasuk air mata
artifisial dan kompres dingin. Air mata artifisial membantu melarutkan beragam
alergen dan mediator peradangan yang mungkin ada pada permukaan okuler3,5.
b. Alergi sedang
Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan mata merah
yang timbul musiman dan berespon terhadap antihistamin topikal dan/atau mast
cell stabilizer. Penggunaan antihistamin oral jangka pendek mungkin juga
dibutuhkan.
Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang paling sering
dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide. Antihistamin topikal
mempunyai masa kerja cepat yang meredakan rasa gatal dan kemerahan dan
mempunyai sedikit efek samping; tersedia dalam bentuk kombinasi dengan mast
cell stabilizer. Antihistamin oral, yang mempunyai masa kerja lebih lama, dapat
digunakan bersama, atau lebih baik dari, antihistamin topikal. Vasokonstriktor
tersedia dalam kombinasi dengan topikal antihistamin, yang menyediakan
tambahan pelega jangka pendek terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat
menyebabkan rebound injeksi dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga
digunakan pada konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek anti-
peradangan3,5.
c. Alergi berat

Penyakit alergi berat berkenaan dengan kemunculan gejala menahun dan


dihubungkan dengan peradangan yang lebih hebat dari penyakit sedang.
Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang agresif yang tampak
sebagai shield coneal ulcer. Rujukan spesialis harus dipertimbangkan pada kasus
berat atau penyakit alergi yang resisten, dimana memerlukan tambahan terapi
dengan kortikosteroid topikal, yang dapat digunakan bersama dengan antihistamin
topikal atau oral dan mast cell stabilizer. Topikal NSAID dapat ditambahkan jika
memerlukan efek anti-inflamasi yang lebih lanjut. Kortikosteroid punya beberapa
resiko jangka panjang terhadap mata termasuk penyembuhan luka yang terlambat,
infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraokuler, dan pembentukan katarak.
Kortikosteroid yang lebih baru seperti


loteprednol mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon. Siklosporin
topikal dapat melegakan dengan efek tambahan steroid dan dapat dipertimbangkan
sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat terutama sekali berguna sebagai terapi
lini kedua pada kasus atopi berat atau konjungtivitis vernal3,5.
Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi ringan ,sedang dan berat dapat
diberikan obat-obat seperti kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS),
vasokonstriktor, antihistamin, dan stabilisator sel mast.
1. Golongan antihistamin

Menurut sidarta (2010), golongan antihistamin serta penghambat sel


mast merupakan pilihan untuk terapi konjungtivitis alergi. Antihistamin
generasi lama selalu menimbulkan efek samping sedasi/mengantuk, seperti:
klorfeniramin maleat (CTM), dimenhidrinat, triprolidin, dan prometasin.
Antihistamin generasi baru sebagian besar tidak menimbulkan rasa ngantuk,
seperti: astemisol, loratadin, terfenadin, dan cetrisin. Antihistamin biasanya
diberi per oral namun juga bisa diberikan dalam bentuk tetes mata, yang
biasanya dikombinasikan dengan vasokonstriktor untuk mengurangi
kemerahan. Tetapi menurut Vaughan Antihistamin per-oral sedikit
manfaatnya.

2. Golongan penghambat sel mast

Sedangkan penghambat sel mast yang biasanya diberikan adalah Sodium


kromolin 4% dengan dosis 1 tetes 4-6 kali sehari terbukti bermanfaat memiliki
efek profilaktis pada konjungtivitis alergika. Sodium kromolin ini juga
bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti steroid bila pasien sudah
dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan akan
pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel mast,
mencegah terlepasnya beberapa mediator yang dihasilkan pada reaksi alergi
tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE terhadap sel maupun
interaksi sel IgE dengan antigen spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium
kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta menghambat
pelepasan histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi. Biasanya
digunakan sebagai pencegahan


jika penderita akan mengadakan kontak dengan suatu alergen. Umumnya 1-2
minggu penyakitnya membaik secara simtomatis.
3. Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.
Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang
bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins.
Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam
mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi,
meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya
ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi.

4. Golongan Kortikosteroid topical

Menurut departemen kesehatan republik indonesia derektorat jendral


pengawasan obat dan makanan.
a. Indikasi

Indikasi pemberian kortikosteroid topical adalah penyakit radang


segmen depan bola mata. Beberapa antara lainnya adalah
konjungtivitis alergika, uveitis, episkleritis, skleritis , fliktenulosis,
keratitis pungtata superfisial, konjungtivitis vernal.

b. Penggunaan dosis

Pemberian kortikosteroid ini perlu diperhatikan karena dapat


meningkatkan aktivitas virus herpes simpleks yang menyebabkan ulkus
dendritik, pada keratitis herpes simpleks dapat menyebabkan perforasi
kornea. Efek samping lainnya adalah tumbuhnya jamur secara
berlebihan. Kortikosteroid ini juga memperburuk kondisi yang dapat
berakhir hilangnya penglihatan. Penggunaan jangka lama dapat
menyebabkan glaukoma steroid sehingga pemberian kortikosteroid ini
harus dibawah pengawasan dokter. Sebagian daftar kortikosteroid topikal
untuk penggunaan oftamlologis adalah :
 Hidrokortison asetat, larutan 2,5 %.

 Prednisolon asetat larutan 0,125% dan 1 %.

 Prednisolon sodium fosfat, larutan 0,125 % dan 1 %.


 Deksametason sodium fosfat, larutan 0,1 %.

 Medrison larutan 1%.

 Fluorometolon larutan 1%.

5. Vasokonstriktor topikal
Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan
memblokir histamin H1 receptors.
‐ adrenalin
‐ efedrin
‐ nafazoline
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
‐ Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis
vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma.
Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam)
selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali
sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone.
Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara semua
steroid tersebut.
‐ Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
‐ Antihistamin topical
‐ Acetyl cysteine 0,5%
‐ Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik;
‐ Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
‐ Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain dan pencegahan
‐ Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid
supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang
sangat besar.


‐ Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari
tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis
dari mediator-mediator sel mast.
Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder
dan katarak.
‐ Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa
serbuk sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
‐ Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan
alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus
dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.
‐ Kompres dingin dapat meringankan gejala.
‐ Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata
juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen.
‐ Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering
juga disebut sebagai climato-therapy.
Efek samping obat pada mata dan sistemik
Menurut vaughan (2010), Obat-obat yang digunakan baik sistemik
maupun topikal memberikan efek di mata yang merugikan dan kadang-
kadang preparat mata topikal menyebabkan efek sistemik jika bahan-bahan
kandungannya yang aktif terlalu banyak terserap. Efek samping pengawetnya
juga diperhitungkan. Cara untuk mengurangi efek samping sistemik yaitu
prinsipnya yaitu mencegah agar jangan sampai dosisnya berlebihan. Yang
biasa diresepkan oleh dokter adalah kadar terendah yang masih memberikan
efek terapuetik yang baik. Hanya diperlukan pengobatan dengan 1 tetes
volume setiap kali karena mata dapat menahan kurang dari 1 tetes. NON –
FARMAKOLOGI
Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus
alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu
mengenali pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat
sulit disembuhkan, hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan
pemicu ini sangat penting dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya
karena dengan menghindari pemicu, kematian dapat terhindarkan.


Edukasi :
1. Obat tetes mata dalam wadah pakai ulang untuk penggunaan dirumah
tidak boleh digunakan lebih lama dari 4 minggu setelah dibuka.
Cara pemakaian tetes mata yang benar menurut pedoman penulisan
resep WHO yaitu ;
 Cuci tangan.

 Jangan menyentuh lubang penetes.

 Tengadahkan kepala, tarik kelopak mata ke bawah agar
terbentuk cekungan.

 Dekatkan alat penetes sedekat mungkin kecekungan mata tanpa
menyentuh mata dan menyentuh tutupnya.
 Teteskan obat sebanyak yang dianjurkan dalam cekungan.

 Pejamkan kira-kira 2 menit.

 Bersihkan cairan yang kelebihan dengan tissue.

 Jika menggunakan lebih dari 1 obat tetes mata tunggu
sedikitnya 5 menit sebelum meneteskan obat mata selanjutnya.
 Obat tetes mata mungkin menimbulkan rasa terbakar, tetapi hal
ini hanya akan berlangsung beberapa menit, jika terasa lebih lama
kunjungi dokter atau apoteker.

2. Menghindarkan penyebab pencetus penyakit.
3. Kompes dingin untuk menghilangkan edemnya.

II.3.9 Komplikasi
Komplikasi pada konjungtivitis alergi sangat jarang terjadi. Namun penyakit
radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada
mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi berupa ulkus kornea atau
keratoconus. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan
sikratik yang dapat mengganggu penglihatan.

Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis
yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena
terjadi ulserasi pada permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal juga
dapat menyebabkan keratitis jika tidak ditatalaksana.3,4


II.3.10 Prognosis

Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat primer


sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain,
kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal dan dapat dikontrol
sehingga penglihatan dapat dipertahankan3,7.

Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika
bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma,

katarak maupun ablasi retina3.


Anda mungkin juga menyukai