3 Konjungtivitis Alergika
II.3.1. Definisi
Konjungtivitis Alergika adalah suatu peradangan pada konjungtiva akibat
reaksi Hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai IgE terhadap alergen. Pada sebagian
besar penderita, konjungtivitis alergika merupakan bagian dari sindroma alergi yang
lebih luas, misalnya rinitis alergika musiman.3,5 Tetapi konjungtivitis alergika bisa
terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-zat di dalam udara,
seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang.
II.3.2 Epidemiologi
II.3.4 Patofisiologi
Konjungtivitis alergi adalah suatu keadaan dimana adanya reaksi
hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas dikenal ada 4 tipe yaitu :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Reaksi alergi)
Pada reaksi ini yang paling berperan adalah Mast cell/ basofil dan IgE.
Biasanya pada pasien Atopi ( yang memiliki kecenderungan menderita alergi)
2 Reaksi hipersenitivitas tipe II ( Reaksi sitotoksik)
Terjadinya reaksi hipersensitivitas ini sangat erat kaitannya dengan adanya
suatu proses enanggulangan munculnya suatu klon baru, adanya sel klon baru
tersebut dapat ditemukan pada sel tumor, sel terinfeksi virus, dan sel yang
terinduksi mutagen selanjutnya dikenal dengan sebutan sel target. Sel target ini
adalah suatu sel karna adanya faktor lingkungan sel tersebut yangbmengalami
perubahan DNA. Oleh karna itu sel tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau
dimusnahkan melalui mekanisme imunologik. Karna sel yang mengalami
kecacatan DNA bila tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh, maka sel
tersebut akan berkembang menjadi klon baru yang selanjutnya
dapat menimbulkan suatu gangguan (Penyakit).
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III ( Imun kompleks)
Reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan
atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang
diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV ( Hiersensitivitas tipe lambat)
Terjadinya reaksi ini disebabkan oleh Infeksi mikroorganisme yang bersifat
intra seluler atau suatu antigen tertentu. Misalnya infeksi bakteri, jamur, parasit,
virus dan kontak antigen.
Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease),
hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :
1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti
mikrobial
2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak kelenjar
limfoid
3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti
4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga
perkembangbiakan mikroorganisme terhambat
5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata
6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi sel-sel
goblet kemudian akan dibersihkan oleh aliran air mata.
II.3.5 Klasifikasi
Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi :
‐ Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic
Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)
‐ Keratokonjungtivitis vernal
‐ Keratokonjuntgivitis atopic
‐ Konjungtivitis flikten
‐ Giant Papillary Conjunctivitis
(yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran
mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya.
Keratakonjungtivitis vernal
Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang rekuren dan bilateral terutama pada musim panas.
Mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun dan tidak ada perbedaan jenis
kelamin peremupan dan laki-laki. Penyakit ini merupakan self limiting disease.
Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-perubahan akibat dari reaksi
alergi. pada mata ditemukan papil besar dengan permukaan rata pada konjungtiva
tarsal, dengan rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi eosinofil atau granula
eosinofil, pada kornea terdapat keratitis , neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada
tipe limbal terlihat benjolan didaerah limbus dengan bercak Horner Trantas yang
berwarna keputihan yang terdapat didalam bejolan. Epitel konjungtiva mengalami
hiperplasia dan membuat proyeksi ke dalam jaringan subepitel. Pada lapisan
adenoid terdapat infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma, limfosit dan histiosit. Juga
ditemukan proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi perubahan hialin.
Selain itu, terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva, peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya
banyak papil pada konjungtiva tarsalis superior.
Tanda dan gejala
Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi
terhadap tepung sari rumput-rumputan. Dua bentuk utama yang dapat berjalan
bersama:
1. Bentuk palpebra, pada tipe palpebra terutama mengenai konjungtiva
tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Coble
stone) yang diliputi sekret mukoid. Konjungtiva tarsal inferior
hiperemis, edema terdapat papil halus dengan kelainan kornea
lebih berat dibandingkan dengan bentuk limbal. Secara klinis
papil besar ini tampak sebagai tonjolan berbentuk poligonal
dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.
Sensasi panas dan gatal pada mata terutama apabila pasien berada di daerah
yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan, lakrimasi, sekret kental dapat ditarik
seperti benang dan kelopak mata terasa berat.
Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan
granula eosinofilik bebas.
Keratokonjungtivitis atopik
Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga
kelopak mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Ditemukan pada usia
dewasa 30-50 tahun diikuti dengan riwayat eczema dan pada pasien yang
menderita asthma. Individu dengan keratokonjungtivitis atopik umumnya
menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang rendah.
Oleh karena itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat
keratitis herpes simplex dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus.3,5
Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat
sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
Konjungtivitis Flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi terhadap bakteri atau
antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas
tipe IV ) terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venereal, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi ditemat lain dalam tubuh. Kelainan ini lebih sering ditemukan
pada anak-anak dilingkungan tempat tinggal yang padat, dan biasanya dengan gizi
kurang atau sering mendapat radang saluran nafas.
Secara histopatologik terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel
limfosit, makrofag, dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Flikten merupakan
infiltrasi selular subepitel yang terutama terdiri atas sel monocular limfosit. Biasanya
konjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata, pada
konjungtiva terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemis.3,4
Pada pasien terlihat akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi
suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang biasanya
terletak didekat limbus dan menjalar ke rah sentral atau kornea dan lebih dari satu.
Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain rasa sakit , pasien
juga akan mengeluh silau disertai blefarospasme.4
Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan kutu
c. Ulserasi
d. Perdarahan
e. Benda asing
f. Massa
g. Kelemahan palpebra
o Kornea
a. Defek epitelial
c. Filamen
d. Ulserasi
f. Vaskularisasi
g. Keratik presipitat
Gambar 10. Alur diagnostik Konjungtivitis alergi
Tabel 1. Diagnosis banding konjungtivitis Alergi
Konjungtiviti Konjungtiviti Konjungtiviti Konjungtiviti
s S s s
Virus
Bakteri
Alergi
Toksik
Gatal
-
-
++
-
Mata merah
+
++
+
+
Hemoragi
+
+
-
-
Sekret
Serous Purulen, Viscus
-
mucous
kuning, krusta
Kemosis
±
++
++
±
Lakrimasi
++
+
+
±
Folikel
+
-
+
±
Papil
-
+
+
-
Pseudomembra ±
±
-
-
n
Pembesaran ++
+
-
-
kelenjar limfe
Panus
-
-
-
±
Bersamaan ±
±
±
dengan keratitis
-
Demam
±
±
-
-
Sitologi
Granulosit
Limposit, Eosinofil
Sel epitel,
monosit
granulosit
II.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konjungtivitis alergi berdasarkan indentifikasi dari antigen
spesifik dan eliminasi patogen spesifik, dalam praktek nya, dan penggunaan obat yang
menurunkan atau memediasi respon imun. Penggunaan terapi pendukung, termasuk
kompres dingin dapat meredakan gejala. Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan
vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal
dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (contohnya: edema,
dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast).8,9
Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan seperti ringan
sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan menjadi tingkat sedang.
Penyakit ringan sampai sedang biasanya mempunyai konjungtiva yang bengkak dengan
reaksi konjungtiva papiler yang ringan dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih
berat mempunyai giant papila pada konjungtiva palpebranya, folikel limbal, dan perisai
(steril) ulkus kornea.3,5
a. Alergi ringan
Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata merah yang
timbul musiman dan berespon terhadap tindakan suportif, termasuk air mata
artifisial dan kompres dingin. Air mata artifisial membantu melarutkan beragam
alergen dan mediator peradangan yang mungkin ada pada permukaan okuler3,5.
b. Alergi sedang
Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan mata merah
yang timbul musiman dan berespon terhadap antihistamin topikal dan/atau mast
cell stabilizer. Penggunaan antihistamin oral jangka pendek mungkin juga
dibutuhkan.
Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang paling sering
dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide. Antihistamin topikal
mempunyai masa kerja cepat yang meredakan rasa gatal dan kemerahan dan
mempunyai sedikit efek samping; tersedia dalam bentuk kombinasi dengan mast
cell stabilizer. Antihistamin oral, yang mempunyai masa kerja lebih lama, dapat
digunakan bersama, atau lebih baik dari, antihistamin topikal. Vasokonstriktor
tersedia dalam kombinasi dengan topikal antihistamin, yang menyediakan
tambahan pelega jangka pendek terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat
menyebabkan rebound injeksi dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga
digunakan pada konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek anti-
peradangan3,5.
c. Alergi berat
loteprednol mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon. Siklosporin
topikal dapat melegakan dengan efek tambahan steroid dan dapat dipertimbangkan
sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat terutama sekali berguna sebagai terapi
lini kedua pada kasus atopi berat atau konjungtivitis vernal3,5.
Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi ringan ,sedang dan berat dapat
diberikan obat-obat seperti kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS),
vasokonstriktor, antihistamin, dan stabilisator sel mast.
1. Golongan antihistamin
jika penderita akan mengadakan kontak dengan suatu alergen. Umumnya 1-2
minggu penyakitnya membaik secara simtomatis.
3. Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.
Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang
bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins.
Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam
mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi,
meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya
ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi.
b. Penggunaan dosis
Deksametason sodium fosfat, larutan 0,1 %.
Medrison larutan 1%.
Fluorometolon larutan 1%.
5. Vasokonstriktor topikal
Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan
memblokir histamin H1 receptors.
‐ adrenalin
‐ efedrin
‐ nafazoline
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
‐ Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis
vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma.
Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam)
selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali
sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone.
Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara semua
steroid tersebut.
‐ Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
‐ Antihistamin topical
‐ Acetyl cysteine 0,5%
‐ Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik;
‐ Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
‐ Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain dan pencegahan
‐ Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid
supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang
sangat besar.
‐ Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari
tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis
dari mediator-mediator sel mast.
Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder
dan katarak.
‐ Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa
serbuk sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
‐ Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan
alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus
dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.
‐ Kompres dingin dapat meringankan gejala.
‐ Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata
juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen.
‐ Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering
juga disebut sebagai climato-therapy.
Efek samping obat pada mata dan sistemik
Menurut vaughan (2010), Obat-obat yang digunakan baik sistemik
maupun topikal memberikan efek di mata yang merugikan dan kadang-
kadang preparat mata topikal menyebabkan efek sistemik jika bahan-bahan
kandungannya yang aktif terlalu banyak terserap. Efek samping pengawetnya
juga diperhitungkan. Cara untuk mengurangi efek samping sistemik yaitu
prinsipnya yaitu mencegah agar jangan sampai dosisnya berlebihan. Yang
biasa diresepkan oleh dokter adalah kadar terendah yang masih memberikan
efek terapuetik yang baik. Hanya diperlukan pengobatan dengan 1 tetes
volume setiap kali karena mata dapat menahan kurang dari 1 tetes. NON –
FARMAKOLOGI
Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus
alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu
mengenali pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat
sulit disembuhkan, hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan
pemicu ini sangat penting dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya
karena dengan menghindari pemicu, kematian dapat terhindarkan.
Edukasi :
1. Obat tetes mata dalam wadah pakai ulang untuk penggunaan dirumah
tidak boleh digunakan lebih lama dari 4 minggu setelah dibuka.
Cara pemakaian tetes mata yang benar menurut pedoman penulisan
resep WHO yaitu ;
Cuci tangan.
Jangan menyentuh lubang penetes.
Tengadahkan kepala, tarik kelopak mata ke bawah agar
terbentuk cekungan.
Dekatkan alat penetes sedekat mungkin kecekungan mata tanpa
menyentuh mata dan menyentuh tutupnya.
Teteskan obat sebanyak yang dianjurkan dalam cekungan.
Pejamkan kira-kira 2 menit.
Bersihkan cairan yang kelebihan dengan tissue.
Jika menggunakan lebih dari 1 obat tetes mata tunggu
sedikitnya 5 menit sebelum meneteskan obat mata selanjutnya.
Obat tetes mata mungkin menimbulkan rasa terbakar, tetapi hal
ini hanya akan berlangsung beberapa menit, jika terasa lebih lama
kunjungi dokter atau apoteker.
2. Menghindarkan penyebab pencetus penyakit.
3. Kompes dingin untuk menghilangkan edemnya.
II.3.9 Komplikasi
Komplikasi pada konjungtivitis alergi sangat jarang terjadi. Namun penyakit
radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada
mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi berupa ulkus kornea atau
keratoconus. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan
sikratik yang dapat mengganggu penglihatan.
Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis
yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena
terjadi ulserasi pada permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal juga
dapat menyebabkan keratitis jika tidak ditatalaksana.3,4
II.3.10 Prognosis