Anda di halaman 1dari 47

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Theory of Planned Behavior

Theory of reasoned action (TRA), dikembangkan di tahun 1967,

selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas oleh Icek Ajzen dan

Martin Fishbein. Pada tahun 1988, hal lain ditambahkan pada model

reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of

planned behavior (TPB) (Achmat, 2010). Konstruk ini disebut dengan

kontrol perilaku persepsian, digunakan untuk mengontrol perilaku individual

mengenai mudah atau sulitnya perilaku yang dilakukan dan dibatasi oleh

kekurangan serta keterbatasan dari sumber – sumber data yang digunakan

untuk melakukan perilakunya. Teori perilaku rencana (TPB) merupakan

pengembangan lebih lanjut dari TRA yang mengabaikan akibat – akibat dari

variabel eksternal seperti gender, usia dan keyakinan terhadap pemenuhan

kehendak perilaku. Munculnya niat untuk berperilaku dalam theory of

planned behavior ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :

a) Bahavioral Beliefs

Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari

seuatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut.

b) Normative Beliefs

Normative beliefs merupakan keyakinan tentang harapan normatif

orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut.


13

c) Control Beliefs

Control beliefs merpakan keyakinan tentang keberadaan hal – hal

yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan disampaikan

dan persepsinya tentang seberapa kuat hal – hal yang mendukung

dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).

Ketiga komponen ini dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti faktor

personal berupa sikap umum, kepribadian, nilai hidup, emosi, kecerdasan,

faktor sosial berupa usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan, penghasilan, dan

agama, faktor informasi seperti pengalaman, pengetahuan, dan ekspos

media. Ketiga komponen ini pula akan mempengaruhi intensi atau kehendak

individu dalam berprilaku nantinya. Oleh karena itu menurut TPB, intensi

dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : sikap, norma subjektif, kontrol perilaku

(Ajzen dalam Jogiyanto, 2012).

Theory of Planned of Behavior relevan untuk menjelaskan perilaku

wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Behavioral beliefs

(keyakinan berprilaku) berkaitan dengan kesadaran wajib pajak, yaitu ketika

sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki

keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya, sehingga

individu tersebut memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak

melakukannya dalam hal ini patuh dalam kewajiban perpajakan seperti

membayar pajak dan melaporkan SPT. Normative beliefs berkaitan dengan

pelayanan pegawai pajak, yaitu ketika akan melakukan sesuatu, individu

akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan

motivasi untuk memenuhi harapan tersebut dan dengan adanya pelayanan


14

yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif,

serta penyuluhan- penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada

wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan

atau memilih perilaku taat pajak. Control beliefs berkaitan dengan sanksi

pajak yaitu dibuat untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan

perpajakan. Kepatuhan formal wajib pajak akan ditentukan berdasarkan

persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung

perilaku wajib pajak untuk taat pajak, dimana dalam penelitian ini bagi

wajib pajak yang tidak melakukan penggelapan pajak dengan cara

menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah

daripada yang sebenarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan UUP yang

berlaku, maka waib pajak akan dikenakan sanksi selain membayar pokok,

wajib pajak juga membayar denda dari pajak terutang. Behavioral beliefs,

normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan

seseorang untuk berprilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka

seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah

behavior. Intensi ( niat) perilaku ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan

pengendalian perilaku yang disadari (Albery & Munafo, 2011). Kesadaran

wajib pajak, pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan dapat menjadi faktor

yang menentukan perilaku patuh formal pajak. Setelah wajib pajak memiliki

kesadaran untuk membayar pajak, termotivasi oleh pegawai pajak dan

sanksi pajak, maka wajib pajak akan memiliki niat untuk membayar pajak

dan kemudian merealisasikan niat tersebut.


15

2.1.2 Pengertian Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-

Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum (Bohari, 2010). Pajak adalah sebuah prestasi

pemerintah yang terhutang melalui norma-norma dan dapat dipaksakan

tanpa adanya suatu kontra prestasi dari setiap individual. Maksudnya ialah

membiayai pengeluaran pemerintah atau negaranya (Smeeths, 2015). Pajak

ialah iuran rakyat kepada negaranya berdasarkan Undang-Undang atau

peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor publik yang bisa

dipaksakan dan yang langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk

membiayai kebutuhan atau kepentingan umum. (Soemitro, 2015). Pajak

merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian harta kekayaan kepada

negara karena kejadian, keadaan juga perbuatan yang memberikan

kedudukan tertentu dimana pungutan itu bukanlah sebuah hukuman, namun

kewajiban berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan

pemerintah dan bisa dipaksakan. Tujuannya tetap untuk memelihara

kesejahteraan masyarakat pada umumnya (Djajaningrat, 2015).

2.1.3 Jenis Pajak

Terdapat berbagai jenis pajak menurut yng dapat dikelompokkan

menjadi tiga, menurut Siti dalam Resmi (2011:7), yaitu :

a) Berdasarkan Golongan

1) Pajak Langsung
16

Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak

dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain.

Contoh : PPh.

2) Pajak Tidak Langsung

Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan

kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh : Bea materai, PPN.

b) Berdasarkan Sifat :

1) Pajak Subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan keadaan pribadi

Wajib Pajak untuk menetapkan pajaknya dicari alasan yang

objektif yang berhubungan erat dengan keadaan material.

Contohnya : Pajak Penghasilan.

2) Pajak Objektif

Pajak objektif melihat kepada objeknya kemudian barulahh dicari

subjeknya. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai

c) Berdasarkan Lembaga Pemungut :

1) Pajak Pusat

Adalah yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat

Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Contoh : Pajak Penghasilan,

PPN, dan PPnBM, Bea materai, PBB, dan BHTB.

2) Pajak Daerah

Adalah pajak yang pemungutannya dilakukan pemerintah daerah

baik daerah Tingkat I maupun Tingkat II. Contoh : Pajak

Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Pembangunan I, Pajak reklame.


17

2.1.4 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai beberapa fungsi menurut Resmi (2011:3) sebagai berikut :

1) Fungsi Anggaran (budgetair)

Dimana pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluarannya (Mardiasmo, 2011:11).

Untuk menjalankan tugas rutin negara dan melaksanakan

pembangunan. Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh

dari penerimaan pajak.

2) Fungsi Mengatur (regulerend)

Dimana pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan

ekonomi (Mardiasmo, 2011:2). Misalnya pajak yang tinggi dikenakan

terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras

di masyarakat, tarif pajak yang tinggi dikenakan pada barang-barang

mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif, serta tarif 0 persen

dikenakan pada ekspor untuk meningkatkan ekspor produk dalam

negeri.

3) Fungsi Demokrasi

Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan

salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk

kegiatan pemerintah dan penggunaan demi kesejahteraan masyarakat.

4) Fungsi Retribusi

Fungsi retribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur

pemerataan dan keadilan masyarakat.


18

2.1.5 Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak haruslah memenuhi syarat yang telah ditetapkan

agar dapat tercapai suatu hal yang berkesinambungan antara Wajib Pajak

dan penagih pajak serta untuk menghindari hambatan dan perlawanan dari

Wajib Pajak, agar Wajib Pajak tidak merasa dirugikan oleh fiskus. Adapun

syarat – syarat pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:2) adalah

sebagai berikut :

Asas pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau

perlawanan, maka pemungut pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Pemungut pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan huku, yakni mencapai keadilan, undang –

undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam

perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum

dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing.

Adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi

Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam

pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan

Pajak.

2) Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang – Undang (Syarat

Yuridis)

Di Indoneia pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23. Hal ini

memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi

negara maupun warganya


19

3) Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi

maupun perdagangan, sehingga tak menimbulkan kelesuan

perekonomian masyarakat.

4) Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan

sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan sederhana harus memudahkan dan mendorong

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini

telah dipenuhi oleh Undang – Undang perpajakan yang baru.

2.1.6 Sistem Perpajakan

1) Asas Perpajakan

Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas – asas

perpajakan yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem

perpjakan, Tjahjono mengemukakan dari Adam Smith dalam buku

Wealth of Nations, menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya

didasarkan oleh empat asas, equality/equity, certainly, convenience of

payment dan economy (Andria, 2012:14). Tjahjono (2011:16)

menjelaskan ke empat asas tersebut sebagai berikut :

a) Eqality dan equity


20

Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang

sama atau orang dalam keadaan yang sama harus dikenakan

pajak yang sama.

b) Certainly

Kepastian hukum merupakan tujuan daari undang – undang,

dalam pembuatannya, harus dipayakan supaya ketentuan yang

dimuat di dalam undang – undang harus jelas, tegas, tidak

mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk

ditafsirkan lain. Kepastian hukum banyak tergantung pada

susunan kalimat, susunan kata, dan penggunaan istilah yang

sudah dibahukan. Untuk mencapai tujuan tersebut penggunaan

bahasa hukum sangat mutlak dibutuhkan.

d) Convenience of Payment

Pajak yang dipungut harus sesuai waktu yang tepat, yaitu ketika

Wajib Pajak mempunyai uang. Tidak seua Wajib Pajak

mempnyai saat Convinience yang sama, yang mengenakkannya

untuk membayar pajak. Seseorang yang menerima gaji akan

lebih mudah membayar gaji pada saat menerima gaji.

e) Economics of Collection

Dalam pembuatan undang – undang pajak perlu dipertimbangkan

bahwa biaya pemungutan harus lebih kecil dari uang pajak yang

masuk. Tidak ada artinya pengenaan pajak jika pemasukan

pajaknya hanya untuk biaya pemungutan saja (Adrian,

2012:21(Tjahjono dan Husein, 2011:16-17)).


21

2) Sistem Perpajakan di Indonesia

Menurut Mardiasmo (2012:9) sistem pemungutan pajak dibagi

menjadi 3 (tiga) yaitu Official Assessment System, Self Assessment

System, With Holding System.

a) Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada

pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang oleh Wajib Pajak. Wewenang untuk menentukan

besarnya pajak terutang ada pada Fiskus, Wajib Pajak bersifat

Pasif. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan

pajak oleh Fiskus (Mardiasmo,2012:9). Menurut Siahaan

(2010:178-179) sistem perpajakan yang telah diterapkan pada

perundang – undangan perpajakan atas penghasilan dan kekayaan

adalah sistem penetapan pajak oleh instansi pajak (official

assessment). Oleh karena itu berlaku hal – hal sebagai berikut :

(1) Pemungutan pajak dibebankan kepada administrasi pajak,

sehingga berhasil atau tidaknya pemungutan pajak

bergantung pada aktivitas aparatur perpajakan, baik dalam

menari subjek pajak maupun dalam menentukan besarnya

pajak terutang.

(2) WP dalam memenuhi kewajibannya mengisi dan memasukan

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tergantung pada

aktivitas aparatur perpajakan untuk mengirimkan SPT

tersebut kepada WP. Meskipun ditentukan, apabila sampai


22

akhir bulan Maret tahun berikutnya masih belum bisa

menerima pengiriman SPT, WP diwajibkan mengambil

sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

(3) Fungsi SPT adalah sebagai dasar administrasi perpajakan

untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang. Hasil

penghitungan dan penetapan pajak tersebut tertuang pada

Surat Ketetapan ajak (SKP) yang dikirimkan kepada WP

yang bersangkutan. Pada saat SKP diterbitkan, secara formal

timbul utang pajak dan pada administrasi perpajakan (KPP)

timbul dasar penagihan pajak.

(4) Sesuai fungsi SPT diatas, maka pada penyampaian SPT tidak

merupakan keharusan adanya pelunasan pajak terlebih dahulu

atas jumlah pajak yang terutang seperti yang tertera dalam

SPT.

(5) Terlambat menyampaikan SPT atau melakukan penundaan

dalam menyampaikan SPT tidak dikenakan sanksi, baik

berupa denda maupun bunga. Kecuali apabila telah

diperingatkan secara tertulis dan tercatat ternyata masih

belum memenuhinya, kepada WP dikenakan sanksi berupa

penetapan secara jabatan, yaitu penetapan pajak berdasarkan

penghasilan yang telah diperkirakan oleh Fiskus.

(6) Kepasifan WP diatas juga terjadi pada tahun berjalan, dimana

WP baru melakukan pembayaran pajak apabila telah

memperoleh SKP meskipun masih bersifat sementara.


23

b) Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

terutang. Ciri – cirinya adalah wewenang untuk menentukan

besarnya pajak tertang ada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib

Pajak aftif mulai dari, menghitung, menyetor dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang, Fiskus tidak ikut ampur dan hanya

mengawasi (Mardiasmo, 2012:9). Menurut Siahaan

(2010:184:185) self assessment system sebagai semua bentuk

sistem hukum yang modern dibidang perpajakan, dan ini sejalan

dengan falsafah bangsa yang meletakkan pembayaran pajak

sebagai bentuk kegotong royongan nasional sebagaimana yang

dimaksud dalam jiwa Pancasila. Dalam sistem ini pajak terutang

bukan karena adanya SKP (faham formal dalam utang pajak),

namun adanya pajak terutang karena timbulnya subjek memiliki

objek pajak (faham material dari timbulnya utang pajak). Dalam

hal ini bukan berarti pengertian faham formal timbulnya utang

pajak (melalui penerbitan SKP) tidak ada, SKP diterbitkan

apabila WP memiliki kesalahan dalam melaksanakan kewajiban

perpajakannya, yang bersifat bukan merupakan perbuatan pidana.

Dalam hal kesalahan tersebut bersifat kekeliruan yang bersifat

manusiawi dari wp maka kekeliruan itu cukup diterbitkan Surat

Tagihan Pajak (STP0 (Peraturan Menteri Keeuangan Nomor

189/PMK.03/2007 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2008).


24

Menurut Siahaan (2010:185) keuntungan penerapan self

assessment system adalah sebagai berikut :

(1) Uang Pajak dapat segera masuk ke kas Negara tanpa melalui

proses penagihan yang bertele – tele. Begitu suatu taabestand

terpenuhi, maka telah ada utang pajak yang harus dibayar

oleh Wajib Pajak tanpa menunggu adanya SKP dari pejabat

pajak. Dengan demikian WP dapat segera membayar utang

pajak ke kas Negara tanpa perlu menunggu ditagih oleh

Fiskus. Tindakan

(2) Karena tanpa melalui proses penagihan terhadap semua WP,

maka ada unsur efisiensi biaya pemungutan pajak. Fiskus

hanya perlu meningkatkan pelayanan dan pengawasan

terhadap WP agar mereka memahami dan melaksanakan

kewajiban perpajakannya secara benar.

(3) Adanya sanksi perpajakan bagi WP yang tidak melaksanakan

kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Baik sanksi

administrasi maupun sanksi pidana, diharapkan adanya efek

jera serta menimbulkan tingkat kepatuhan di dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya.

(4) Meningkatkan kebanggaan kepada masyrakat karena telah

dipercaya oleh Negara untuk melaksanakan hak dan

kewajiban kenegaraannya tanpa harus dilayani oleh Fiskus,

hal ini menunjukkan telah meningkatnya kecerdasan bangsa.


25

(5) Meningkatkan kesadaran perpajakan secara sukarela

(voluntary tax ompliance) masyarakat karena tanpa campur

tangan fiskus yang besar, masyarakat telah memahami tata

cara pelaksanaan kewajiban perpajakan secara baik dan

benar. Dengan demikian, penerapan self assessment ini

Negara khususnya Dirjen Pajak memberikan kepercayaan

penuh kepada masyarakat/WP dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya sejalan dengan prinsip demokrasi yang

berlaku di Indonesia. Dengan diberlakukannya sistem ini,

diharapkan masyarakat/WP bisa dengan baik dan jujur dalam

menghitung dan melaporkan utang pajaknya. Perlu adanya

kerja sama dan sosialisasi yang baik antara pemerintah

khususnya fiskus dengan WP untuk mensukseskan self

assessment ini.

c) With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pihak ketiga (bukan Fiskus atau bukan Wajib Pajak yang

bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang

oleh Wajib Pajak. Wewenang menentukan besarnya pajak yang

terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib

Pajak (Mardiasmo, 2012:9). Menurut Siahaan (2010:185) sistem

with holding diterapkan khususnya terhadap WP yang

perhitungan dan pemungutannya lebih efektif apabila dilakukan

oleh orang atau badan tertentu yang ditunjuk oleh fiskus sebagai
26

pemotong atau pemungut pajak. Pada pengenaan dan

pemungutan PPh pasal 21, misalnya PPh terhadap karyawan,

lebih efektif apabila pemberi kerja diberi kewenangan untuk

memungut paak atas pekerja yang bekerja kepadanya. Dengan

pemungutan pajak pada sumbernya, yaitu pada pemberi kerja,

maka pemungutan pajak dapat segera dilakukan dan dimasukkan

ke kas Negara tepat waktu, karena pemungut pajak diharuskan

untuk segera memasukan menyetorkan pajak yang dipungutnya

ke kas Negara (umumnya paling lambat 15 bulan berikutnya).

Dari ulasan materi diatas, menurut Undang – Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (penjelasan bagian umum angka 3) pemungutan pajak

di Indonesia memiliki corak dan ciri tersendiri yang berbeda

dengan Negara lain dan menunjukkan pajak sebagai wujud

kewajiban kenegaraan setiap anggota masyarakat. Ciri dan corak

pemungutan pajak di Indonesia adalah sebagaiana dijelaskan

berikut ini :

(1) Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian

dan peran serta WP untuk secara langsung dan bersama –

sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan

untuk pembiayaan penyelenggarakan Negara dan

pembangunan nasional.

(2) Tanggung jawab atas pelaksanakan pemungutan pajak

sebagai pencerminan kewajiban dibidang perpajakan dengan


27

fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan

dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan

berdasarkan ketentuan yang digariksan dalam peraturan

perundang – undangan perpajakan.

(3) Anggota masyarakat atau WP diberi kepercayaan untuk

melaksanakan kegotong – royongan nasional melalui

menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan

sendiri besarnya pajak terutang (self assessment), sehingga

melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat

dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah

dipahami oleh anggota masyakarat atau WP. Dengan

berbagai akses kemudahan WP dalam membayarkan

pajaknya, diharapkan masyarakat/WP dapat melaksanakan

peenuha kewajibannya dengan baik. Sistem pembayaran

pajak yang berlaku di Indonesia memberikan kebebasan dan

tanggungjawab penuh dari dalam diri WP, sehingga

diharapkan secara bersama – sama seluruh masyarakat/WP

bisa mewujudkan ketaatannya dalam kehidupan bernegara

khususnya untuk membayarkan kewajiban pajaknya yang

digunakan untuk pembangunan nasional.

2.1.7 Pengertian Wajib Pajak

Berdasarkan pasal 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000

pengertian wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi


28

pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungutan pajak yang

mempunyai hak dan kewajibn perpajakan sesuai dengan ketentuan

perundang – undangan perpajakan. Badan adalah sekumpulan orang atau

modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang

tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau

Badan Usaha Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun,

firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasaa,

organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga

dan bentuk badan lainnya termasuk konrak investasi kolektif dan bentuk

usaha tetap. Kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan maupun perseorangan

sesuai dengan undang – undang KUP antara lain :

1) Wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

terdekat untuk mendapatkan NPWP.

2) Wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

dengan benar, lengkap dan jelas.

3) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang melalui Kantor

Pos atau Bank persepsi yang ditunjuk.

Jadi dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak ini

terdiri dari dua jenis yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak

Badan yang meenuhi definisi sebagai subjek pajak dan menerima atau

memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak yang menurut

ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan ditentukan utk


29

melakukn kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotorng

pajak tertentu.

2.1.8 Etika

Seorang etimologi etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” yang

berarti watak kesusilaan atau adat istiadat (Custom). Etika biasanya

berkaitan dengan moral yang merupakan istilah dalam bahasa latin, yaitu

“mos” yang dalam bentuk melakukan perbuatan baik dan menghindari hal –

hal tindakan yang buruk.

Menurut Maryani & Ludigdo (2010), etika adalah seperangkat aturan

atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus

dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok

atau segolongan masyarakat atau profesi. Selain itu Sidik (2012),

berpendapat bahwa etika dapat dikelompokkan menjadi dua definisi yang

dijelaskan sebagai berikut :

1) Etika merupakan karater individu dalam hal ini termasuk bahwa

orang yang beretika adalah orang yang baik.

2) Etika merupakan hukum sosial. Sifat dasar etika adalah sifat kritis,

etika bertugas :

a) Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku;

b) Etika mengajukan pertanyaan tentang legtimasinya;

c) Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua,

sekolah, negara atau agama untuk memberikan perintah atau

larangan yang harus ditaati;


30

d) Etika dapat mengantarkan manusia pada sifat kritis dan rasional

e) Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggung

jawab bagi seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau

diombang – ambingkan oleh norma – norma yang ada.

Syarat timbulnya persepsi yakni, adanya objek, adanya perhatian

sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi, adanya alat indra

sebagai reseptor penerima stimulus yakni saraf sensoris sebagai alat untuk

meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui saraf motoris

sebagai alat untuk mengadakan respon (Sunaryo, 2013).

2.1.9 Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

1) Pengertian Penggelapan Pajak

Penggelapan pajak mengacu pada tindakan yang tidak benar yang

dilakukan oleh wajib pajak mengenai kewajibannya dalam perpajakan.

Mardiasmo (2012) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion)”

adalah usaha untuk dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban

pajak dengan cara melanggar undang – undang dikarenakan melanggar

undang – undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan

cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan

ketentuan formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan

dokumen, atau mengisi data dengan tidak lengkap dan tidak benar”.

Menurut Siahaan (2010:110) mengatakan bahwa penggelapan

pajak “adalah usaha yang digunakan oleh wajib pajak untuk mengelak

dari kewajiban pajak yang sesungguhnya dan merupakan perbuatan yang


31

melanggar undang – undang pajak, sehingga membawa berbagai macam

akibat, meliputi berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain

bidang keuangan, ekonomi dan psikologi”.

Masri (2012:5), menjelaskan pembahasan mengenai penggelapan

pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut “Usaha – usaha memperkecil

jumlah pajak dengan melanggar ketentuan – ketentuan pajak yang

berlaku. Pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun

sanksi pidana”.

Menurut Setiawan (2010:181) tax evasion yaitu “Cara menghindari

pajak dengan cara – cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang

– undangan perpajakan yang berlaku. Bila diketemukan dalam

pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi

dan pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak

untuk melakukan penghindaran pajak (Nurmantu dalam Suryani,

2013:52), adalah sebagai berikut :

a) Ada peluang untuk melakukan penghindaran pajak karena

ketentuan perpajakan yang ada belum mengatur secara jelas

mengenai ketentuan – ketentuan tertentu.

b) Kemungkinan perbuatannya diketahui relatif kecil.

c) Manfaat yang diperoleh relatif besar daripada resikonya.

d) Sanksi perpajakan yang tidak terlalu berat.

e) Ketentuan perpajakan tidak berlaku sama terhadap seluruh Wajib

Pajak.
32

f) Pelaksanaan penegakan hukum yang bervariasi.

2) Dampak Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Menurut Siahaan (2010:110) penggelapan pajak membawa akibat

pada perekonomian secara makro. Akibat dari penggelapan pajak sangat

beragam dan meliputi berbagai kehidupan masyarakat, antara lain sebagai

berikut :

a) Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dalam Bidang Keuangan

Penggelapan/Pengelakan Pajak (sebagaimana juga halnya dengan

penghindaran diri dari pajak) berarti pos kerugian yang penting

bagi Negara, yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan

anggaran dan konsekuensi – konsekuensi lain yang berhubungan

dengan penaikan tarif pajak, inflasi, dan sebagainya. Untuk

menjamin pemungutan pajak secara tepat, sering dikemukakan

falsafah sebagai berikut, “Wajib Pajak yang mengelakan pajak

mungkin mengira bahwa Negara mengambil sejumlah yang telah

ada dikantungnya. Pada hakikatnya dialah yang mengambil uang

dari warga – warga yang oleh Negara harus diminta pengorbanan

lain (untuk mengimbangi kekurangan yang ditimbulkan oleh

Wajib Pajak yang tidak menunaikan kewajbannya itu)”.

b) Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dibidang Ekonomi

menurut Siahaan (2010:110), adapun akibat dari penggelapan

pajak dalam bidang ekonomi adalah sebagai berikut :

(1) Pengelakan/Penggelapan pajak sangat mempengaruhi

persaingan sehat diantara para pengusaha, sebab suatu


33

perusahaan yang menggelapkan pajaknya dengan menekan

biaya secara tidak legal, mereka mempunyaiposisi lebih

menguntungkan daripada saingan – saingan yang tidak

berbuat demikian.

(2) Pengelakan/Penggelapan pajak tersebut merupakan penyebab

stagnasi perputaran roda ekonomi yang apabila

perusahaanbersangkutan berusaha untuk mencapai tambahan

dari keuntungannya dengan penggelapan pajak, dan tidak

mengusahakan dengan jalan perluasan aktivitas atau

peningkatan usaha. Untuk menutup – nutupinya agar jangan

sampai terlihat oleh Fiskus.

(3) Pengelakan/Penggelapan pajak termaksud juga menyebabkan

langkanya modal karena para wajib pajak yang

menyembunyikan keuntungannya terpaksa berusaha keras

untuk menutupinya agar tidak sampai terdeteksi oleh Fiskus.

Oleh karena itu pengelakan/penggelapan pajak yang dilakukan

oleh para WP pada hakikatnya menimbulkan dampak yang secara

tidak langsung menghambat pertumbuhan dan perluasan usahanya,

dengan mencoba sedemikian rupa untuk meminimalkan jumlah

beban pajak yang dilaporkan di SPT. Hal ini juga mengakibatkan

ruang lingkup perputaran modal suatu usaha menjadi tidak leluasa

dikarenakan WP berusaha menyembunyikan laba/keuntungan

sedemikian rupa agar tidak sampai terdeteksi oleh Fiskus.


34

c) Akibat Pengelakan/Pengelapan Pajak Dalam Bidang Psikologi

Akibat dari penggelapan pajak itu juga dirasakan dalam bidang

psikologi, sebab penggelapan pajak membiasakan Wajib Pajak

untuk melanggar undang – undang. Apabila Wajib Pajak sampai

hati melakukan penipuan dalam bidang fiskal, lambat laun Wajib

Pajak tidak akan segan – segan berbuat sama dalam hal ini.

Akibat dari komplikasi – komplikasi ini pasti menumbuhkan

dampak yang mengancam hubungan dengan tindak penggelapan

pajak, seperti : kemungkinan terungkapnya praktek penipuan

tersebut dengan konsekuensi pembayaran pajak yang berlipat

ganda karena meliputi utang pajak dalam waktu tertentu,

ditambah dengan denda dan kenaikan pajak yang harus

dibayarnya. Hal demikian kadang – kadang terjadi pada saat

yang kurang tepat seperti dalam keadaan kekurangan uang, sakit

ataupun mengalami kebangkrutan. Akhirnya tindakan

penggelapan pajak mempunyai pengaruh yang berbahaya

terhadap Wajib Pajak, dengan tidak menyadari akan

konsekunsinya, dan mengira bahwa perbuatan curang semacam

itu akan menguntungkan secara jangka panjang (Siahaan,

2010:111).

Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengelakan/pengelapan pajak yang dilakukan oleh WP memiliki

konsekensi yang sangat beresiko secara materil dan non materil. Secara

materil bahwa WP akan menganggap perbuatan penggelapan pajak itu


35

akan menguntungkannya secara jangka panjang, akan tetapi, konsekuensi

yang terjadi jika terungkapnya tindak penggelapan pajak tersebut, maka

WP akan membayar dengan kerugian berkali – kali lipat disertai dengan

denda dan kurungan pidana dalam jangka waktu tertentu, ditambah pula

jika WP tidak mempunyai cukup dana untuk menutup denda yang

diputuskan, sejumlah asset akan disita dan bisa berdampak pada

kebangkrutan bahkan resiko kejiwaan.

2.1.10 Pemeriksaan Pajak

1) Pengertian Pemeriksaan Pajak

Pasal 1 angka 25 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah

diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007

(selanjutnya ditulis UU No. 28/2007) Pemeriksaan Pajak adalah

kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti

yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu

standar pemerikaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan (Waluyo,

2010:66).

Pengertian pemeriksaan pajak menekankan pada pemeriksaan

bukti yang berupa buku – buku, dokumen dan catatan yang

dilaksanakan secara objektif oleh pemeriksaan pajak yang profesional

berdasarkan suatu standar pemeriksaan, pemeriksaan pajak tidak menari


36

– cari kesalahan WP tetapi untuk menguji kepatuhan pemenuhan

perpajakan (Pardiat,2012:11).

2) Kriteria Pemeriksaan Pajak

Sebagaimana yang dipaparkan Pardiat (2008:5) bahwa di dalam

sistem self assessment tidak semua SPT dilakukan pemeriksaan pajak,

kriteria SPT yang dilakukan pemeriksaan pajak adala SPT Lebih Bayar

karena dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak

tanda terima penerimaan SPT lebih bayar. Direktur Jenderal Pajak harus

sudah memberikan ketetapan pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan No. 199/PMK.03/2007 Pasal 3 ayat (3), pemeriksaan untuk

menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Kriteria pemeriksaan pajak merupakan kebijakan pajak dari

Direktorat Jenderal Pajak, seperti yang dituangkan dalam Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.7/2004 tanggal 31 Desember

2004, kriteria pemeriksaan adalah :

a) Pemeriksaan Rutin dapat dilaksanakan dalam hal :

(1) Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan :

(a) SPT Tahunan/SPT Masa yang menyatakan Lebih Bayar.

(b) SPT Tahunan PPh yang menyatakan Rugi Tidak Lebih

Bayar.

(c) SPT Tahun PPh untuk bagian tahun pajak sebagai akibat

adanya perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau

penliaian kembali aktiva tetap yang telah disetujui oleh

Direktorat Jenderal Pajak.


37

(2) Wajib Pajak melakukan penggabungan, pemekaran, pengambil

alihan usaha, atau likuidasi, penutupan usaha, atau akan

meninggalkan Indonesia selama – lamanya.

(3) Wajib Pajak orang pribadi atau badan tidak menyampaikan SPT

Tahunan/Masa dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan

setelah ditegur secara tertulis tidak mnyampikan SPT pada

waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.

(4) Wajib Pajak orang pribadi atau badan melakukan kegiatan

membangun sendiri yang pemenuhan kewajiban PPN atas

kegiatan tersebut patut diduga tidak melaksanakan sebagaimana

mestinya.

b) Pemeriksaan kriteria seleksi terdiri dari :

(1) Kriteria seleksi resiko dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh

Wjib Pajak orang pribadi atau badan terpilih untuk diperiksa

berdasarkan analisis resiko.

(2) Kriteria seleksi lainnya dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh

Wajib Pajak orang pribadi atau badan terpilih untuk dipriksa

berdasarkan sistem scoring seara komputerisasi.

c) Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan dalam hal :

(1) Adanya dugaan melakukan tindakan pidana di bidang

perpajakan.

(2) Pengaduan masyarakat, termasuk melalui kotak pos 5000.


38

(3) Terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap yang

dilakukan melalui pemeriksaan ulang berdasarkan instruksi

Direktorat Jenderal Pajak.

(4) Permintaan Wajib Pajak.

(5) Pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak.

(6) Untuk memperoleh informasi atau data tertentu dalam rangka

pelaksanaan peraturan perundang – undangan perpajakan.

d) Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan apabila ditemukan

adanya indikasi tindakan pidana di bidang perpajakan berdasarkan

hasil analisis data, informasi, laporan pengaduan, laporan

pengamatan atau laporan pemeriksaa pajak (Pardiat,2012:6).

3) Tujuan Pemeriksaan Pajak

Menurut Pardiat (2012:6) Pemeriksaan Pajak yang dilakukan

Pemeriksa Pajak Direktorat Jenderal Pajak bertujuan untuk menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain

dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan

perpajakan.

Pemeriksaan pajak untuk tujuan lain dalam rangka melaksankan

ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan, seperti yang

disebutkan dalam Peraturan Menteri Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal

28 Desember 2000, meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka

a) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak seara jabatan.

b) Penghapusan NPWP.
39

c) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

d) Wajib Pajak mengajukan keberatan.

e) Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan

Penghasilan Neto.

f) Pencocokkan data dan alat keterangan.

g) Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.

h) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan

Nilai.

i) Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.

j) Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka

waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian

fasilitas perpajakan.

k) Memenuhi permintaan informasi dari Negara mitra Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda.

Jadi pemeriksaan pajak terkait dengan tujuan lain ini merpakan

suatu kegiatan review/peninjauan oleh fiskus terkait dengan

kondisi objek pajak baru maupun objek pajak yang lama atas

rekomendasi/laporan dari WP terhadap usahanya.

4) Wewenang Pemeriksaan Pajak

Menurut (Pardiat, 2012:12) berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU

No. 28/2007, Direktur Jenderal Pajaka berwenang melakukan

pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan WP dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan Direktur


40

Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan berwewenang melakukan pemeriksaan untuk :

a) Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP.

b) Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang – undangan.

5) Standar Pemeriksaan

Menurut Waluyo (2010:70) pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai

dengan standar pemeriksaan (audit standar), standar pemeriksaan ini

meliputi :

a) Standar umum pmeriksaan pajak

Standar umum pemeriksaan merupakan standar yang bersifat

pribadi dan berkaitan dengan persyaratan pemeriksaan pajak dan

mutu pekerjaan.

b) Standar pelaksanaan pemeriksaan pajak

Standar pelaksanaan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai dengan

standar pelaksanaan pemeriksaan pajak.

c) Standar pelaporan hasil pemeriksaan pajak

Kegiatan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk Laporan

Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil

pemeriksaan.
41

6) Jenis – Jenis Pemeriksaan Pajak

a) Pemeriksaan Lapangan

Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat

kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak,

tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh

Direktorat Jenderal Pajak (yang meliputi satu, beberapa jenis pajak,

untuk tahun kegiatan dan/atau tahun – tahun sebelumnya). Prosedur

pemeriksaan lapangan (Pradiat, 2012:58) :

(1) Pemeriksaan pajak ke tempat WP yang akan diperiksa

(a) Menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan

kepada WP, dilampirkan copy surat perintah pemeriksaan.

(b) Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksan.

(c) Pemeriksaan lapangan dilaksanakan pada jam kerja, dalam

hal tertentu dilakukan jam kerja.

(2) WP yang diperiksa

(a) WP berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak utuk

memperlihatkan srat perintah pemeriksaan dan tanda

pengenal pemeriksa.

(b) WP berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk

memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan

pemeriksaan pajak.

(3) Pemeriksaan pajak berwenang

(a) Memeriksa atau meminjam buku – buku, catatan – catatan

dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau


42

media komputer dan perangkat elektronik pengolah data

lainnya.

(b) Meminta keterangan lisan atau tulisan dari WP yang

diperiksa.

(c) Memasuki tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila

WP atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan

untuk memasuki tempat ruangan yang dimaksud.

(4) Peminjaman buku – buku, catatan dan dokumen – dokumen yang

terkait dan membuat bukti peminjaman buku dan dokumen

tersebut serta memberikan tanda bukti peminjaman buku – buku

tersebut secara rinci dan jelas mengenai jenis serta jumlahnya.

WP wajib memenuhi permintaan peminjaman buku – buku

tersebut dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak

tanggal permintaan, jika WP tidak memenuhinya dalam rangka

waktu yang ditetapkan maka dikirim surat peringatan pada hari

kerja berikutnya. Pemeriksa Pajak wajib mengembalikan buku –

buku dan catatan – catatan yang dipinjam dari WP paling lama

14 (empat belas) hari sejak selesainya pemeriksaan.

(5) Keterangan pihak ketiga

(a) Pemeriksaan pajak melalui Kepala Unit Pelaksanaan

Pemeriksaan Pajak dapat meminta keterangan atau bukti yang

berkaitan dengan pemeriksaan yang sedang dilakukan

terhadap WP kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud


43

Pasal 35 ayat (1) KUP (Undang – Undang No. 16 Tahun

2000), secara tertulis.

(b) Pihak ketiga harus memberikan keterangan paling lama 7

(tujuh) hari sejak diterimanya surat permintaan

keterangan/bukti.

(c) Apabila dalam jangka waktu tersebut no 5b tidak terpenuhi

Pemeriksa Pajak memberikan surat peringatan I, dan apabila

tidak dpenuhi diberikan surat peringatan II.

(d) Apabila surat peringatan II tidak dipenuhi Pemeriksa Pajak

membuat berita acara tidak dipenuhinya permintaan

keterangan/bukti dari pihak ketiga dan dapat melaporkannya

kepada pihak kepolisian tempat pihak ketiga tersebut

berdomisili atau berkedudukan.

(6) Metode pemeriksaan pajak

Pemeriksa Pajak setelah menerima buku-buku, catatan-catatan,

dokumen-dokumen dari WP melakukan pemeriksaan, metode

pemeriksaan pajak terdiri dari metode langsung dan metode tidak

langsung.

(7) Laporan pemeriksaan pajak (LPP)

(a) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam LPP setelah disetujui

oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksa Pajak (UPPP),

diberitahukan kepada WP dengan mengguakan Surat

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) dilampiri dengan

Daftar Temuan Pemeriksaan Pajak.


44

(b) WP dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal SPHP

diterima memberikan tanggapan tertulis baik setuju maupun

tidak setuju, WP dapat mengajukan permohonan

memperpanjang jangka waktu pemberian tanggapan kepada

Kepala UPPP.

(c) Setelah menerima SPHP, WP berhak meminta kepada

Pemeriksa Pajak rincian yang berkenan dengan hal – hal

berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT.

(d) WP yang menyetujui seluruh hasil pemeriksaan,

meenandatangani :

i.Surat Tanggapan Hasil Pemeriksan (STHP)

ii.Pernyataan Persetujuan Hasil Pemeriksaan (PPHP)

iii.Berita Acara Persetujuan Hasil Pemeriksaan (BAPHP)

iv.Dan mengembalikan kepada Kepala UPPP

(e) WP yang tidak setuju sebagian atau seluruh hasil

pemeriksaan, menyampaikan STHP dilampiri bukti – bukti

pendukung sanggahan serta penjelasan seperlunya kepada

Kepala UPPP.

(8) Tata cara pembahasan akhir

Menurut Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia No. 123/PMK.03/2006.

(a) Dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan,

Pemeriksaan Pajak wajib membritahukan secara tertulis

kepada WP tentang hasil pemeriksaan berupa hal – hal yang


45

berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil

pemeriksaan untuk ditanggapi WP.

(b) Atas pemberitahuan tersebut, WP wajib menyampaikan

tanggapan secara tertulis berdasarkan tanggapan tertulis.

(c) Berdasarkan tanggapan tertulis dari Wajib Pajak,

Pemeriksaan Pajak mengundang Wajib Pajak untuk

menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

(d) Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak

dapat didampingi oleh Konsultan Pajak dan/atau Akuntan

Publik.

(e) Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan akan

diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktorat Jenderal

Pajak.

(f) Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan/atau

tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan,

wajib dibuatkan Berita Acara, Surat Ketetapan Pajak dan

Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan

hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.

(g) Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak tidak

dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan

penyidikan.

b) Pemeriksaan Kantor

Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap

Wajib Pajak di Kantor Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak yang


46

meliputi data jenis pajak tertentu pada tahun berjalan da/atau tahun-

tahun sebelumnya yang dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan

melalui Pemeriksaan Sederhana (Pardiat, 2012:71). Prosedur

Pemeriksaan Kantor.

(1) Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SPPP) dapat diterbitkan

untuk 1 (satu) atau beberapa Massa Pajak dalam suatu Tahun

Pajak atau untuk 1 (satu) Tahun Pajak terhadap 1 (satu) Wajib

pajak.

(2) Berdasarkan SPPP tersebut, Kepala UPPP segera memanggil

Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Panggilan dalam

rangka Pemeriksaan Pajak yang dilampiri dengan Daftar Buku,

Catatan dan Dokumen yang diperlukan oleh Pemeriksa Pajak.

(3) Pemeriksa Pajak harus memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal

Pemeriksaan Pajak dan Surat Perintah pemeriksaan pajak

kepada WP yang diperiksa.

(4) Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Pajak harus sudah

dikirimkan kepada WP paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal

penerbitan SPPP kepada WP yang diperiksa.

(5) WP yang harus memenuhi panggilan sesuai dengan waktu dan

tempat yang telah ditentukan dalam Surat Panggilan dalam

rangka Pemeriksaan Pajak dengan membawa buku, catatan dan

dokumen yang diperlkan oleh Pemeriksa Pajak dan dibuat bukti

peminjaman/pengambilan dengan rinci dan jelas oleh

Pemeriksa Pajak.
47

(6) Apabila buku – buku, catata – catatan, dan dokumen – dokuen

yang dipinjam berupa fotoopy harus dinyatakan sesuai dengan

aslinya dengan surat pernyataan Wajib Pajak.

(7) Terhadap WP yang tidak memenuhi panggilan segera

diterbitkan Surat Panggilan kedua.

(8) WP yang menyetujui seluruh hasil pemeriksaan harus

menandatangani STHP (Surat Tanggapan Hasil Pemeriksaan)

beserta Lembar Pernyataan Persetujuan Hasil Pemeriksaan dan

Berita Acara Persetujuan Hasil Pemeriksaan dan menyerahkan

kembali kepada Kepala UPPP.

(9) Wajib Pajak yang tidak setuju atas sebagian atau seluruh hasil

pemeriksaan harus mengisi, menandatangani dan

menyampaikan STHP kepada Kepala UPPP dan dilampiri

dengan bukti – bukti pendukung sanggahan serta penjelasan

seperlunya.

(10) Berdasarkan tanggapan WP, Pemeriksa Pajak mengirimkan

Surat Panggilan melalui faksimili, pos tercatat, atau jasa

pengiriman lainnya kepada Wajib Pajak untuk menandatangani

Berita Acara Hasil Pemeriksaan dalam rangka pelaksanaan

Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

(11) Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan WP dapat

didampingi oleh Konsultan Pajak dan/atau Akuntan Publik

yang melakukan audit atas laporan keuangan Wajib Pajak

untuk tahun pajak yang sedang diperiksa.


48

(12) Hasil pembahasan akhir dituangkan dalam suatu berita Acara

Hasil Pemeriksaan beserta lampirannya berupa Iktisar

Pembahasan Akhir dan harus ditandatangani WP dan

pemeriksaan pajak, dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Laporan Pemeriksaan Pajak.

(13) Dalam hl WP menolak untuk menandatangani Berita Acara

Hasil Pemeriksaan, Tim Pemeriksaan Pajak membuat catatan

tentang penolakan tersebut dalam Berita Acara Hasil

Pemeriksaan.

(14) Proses pemberitahuan hasil pemeriksaan sampai dengan

persetujuan atau menandatangani Berita Acara Hasil

Pemeriksaan dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan harus

diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejk

SPHP diterima WP.

(15) Apabila WP tidak memberikan tanggapan daa/atau tidak

menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, harus

dibuatkan Berita Acara Tidak Memberikan Tanggapan/Berita

Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak, sebagai dasar penerbitan

SKP berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan

kepada WP.

(16) Bentuk formulir terebut di atas sudah tersedia.

7) Jangka Waktu Pemeriksaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang diberlakukan sejak 1

Januari 2008, ditetapkan bahwa :


49

a) Pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3

(tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam)

bulan yang dihitng sejak tanggal Wajib Pajak dating memenuhi

surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan

tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

b) Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling laa 4

(empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8

(delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah

Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

c) Apabila Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi

khusus lain yang dapat berindikasi adanya rekayasa transaksi

dengan transfr pricing dan/atau transaksi khusus lainnya yang

berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan

pengujian yang lebih mendalam serta memerlukan waktu paling

lama, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun.

Dalam hal pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria Pemeriksaan

Pajak. Dalam hal ini Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak jangka waktu pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam butir a, b, dan c diatas hrus memperhatikan jangka waktu

penyesuaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

(Waluyo, 2010:70).
50

2.2 Penelitian Terdahulu

Penulis menunjuk pada beberapa penelitian terdahulu dalam melakukan

penelitian, yaitu :

1) Dewi (2018) dengan judul Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap

Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Denpasar. Variabel penelitiaanya

Official assesment system, Self assesment sytem, dan With holding

system sebagai variabel bebas (X), dan etika penggelapan pajak (Tax

Evasion) sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan

adalah regresi linier berganda. Dari penelitian tersebut ditemukan hasil

Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak

berpengaruh positif terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika

Penggelapan Pajak (Tax Evasion) pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota

Denpasar.

2) Savitri (2017 ) dengan judul Pengaruh Jumlah Wajib Pajak dan Tingkat

Penggelapan Pajak (Tax Evasion) terhadap Penerimaan Pajak Wajib

Pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung

Selatan dan Badung Utara Tahun 2012 – 2016. Variabel penelitiaanya

adalah Jumlah wajib pajak dan Tingkat penggelapan pajak (Tax

Evasion) sebagai variabel bebas (X), serta Penerimaan pajak Wajib

Pajak orang pribadi sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang

digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa Pengaruh Jumlah Wajib Pajak berpengaruh positif,

sedangkan Tingkat Penggelapan Pajak (Tax Evasion) berpengaruh


51

negatif terhadap Penerimaan Pajak Wajib PajakOrang Pribadi pada

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Selatan dan Badung Utara

Tahun 2012 – 2016.

3) Suminarsasi dan Supriyadi (2011) dengan judul Pengaruh Keadilan,

Sistem Perpajakan Dan Diskriminasi terhadap Persepsi Wajib Pajak

Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion). Vaiabel penelitian

adalah keadilan (X1), sistem perpajakan (X2), dan diskriminasi (X3)

sebagai variabel indepeden serta etika penggelapan pajak (Y) sebagai

variabel dependen. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier

berganda. Diperoleh hasil penelitian bahwa penggelapan pajak

dipandang sebagai salah satu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil

dalam penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem

perpajakan dan diskriminasi, sehingga variabel keadilan belum bisa

dibuktikan.

4) Rizki dan Hastuti (2010) meneliti dengan judul Persepsi Wajib Pajak :

Dampak Pertentangan Diametral Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam

Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan, Ketetapan

Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan dan Kecenderungan

Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi). Variabel penelitian adalah

kecurangan (X1), keadilan (X2), ketetapan pengalokasian (X3), dan

teknologi informasi sistem perpajakan (X4) serta penggelapan pajak

(Tax Evasion) (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier

berganda. Diperoleh hasil penelitian bahwa Kemungkinan terdeteksinya

kecurangan terhadap tax evasion mempunyai koefisien negatif (-0.501).


52

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa pengaruh ketepatan

pemanfaatan hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.286) terhadap

tax evasion. Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan

teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang ternyata tidak

berpengaruh pada tingkat tax evasion.

5) Dyah (2011) penelitiannya berjudul Persepsi Efektivitas Pemeriksaan

Pajak Terhadap Kecenderungan Melakukan Perlawanan Pajak. Variabel

penelitian adalah wajib pajak (X1), fiskus (X2) dan pemeriksaan pajak

(X3) serta penggelapan pajak (Y). Teknik analisis yang digunakan

adalah regresi linier berganda. Hasil pengujian dengan menggunakan

regresi linier berganda menunjukkan hasil bahwa persepsi terhadap

kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap

tax evasion. Persentase kemungkinan suatu pemeriksaan pajak

dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan dapat mendeteksi

kecurangan yang dilakukan wajib pajak sehingga berpengaruh pada Tax

Evasion.

6) Nickerson, Barry (2010, University, Larry leshko, Kuwait University),

dengan judul Presenting The Dimensionality of An Ethics Sale

Pertaining to Tax Evasion. Variabel penelitian adalah Fairness (X1),

Tax System (X2), Discrimination (X3) serta tax evasion (Y). Hasil

penelitian menunjukkan Tingkat penelitian di masing – masing Negara

berbeda – beda. UK memiliki nilai rata – rata terendah sebesar 4.15

yang mengindikasikan rendahnya perlawanan terhadap tindak


53

penggelapan pajak, USA memiliki skor rata – rata tertinggi sebesar

5.62.

7) Wahyuni dan Sulindawati (2016) dengan judul Pengaruh Keadilan

Sistem Perpajakan Diskriminasi dan Biaya Kepatuhan terhadap

Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

pada KPP Pratama Singaraja. Variabel penelitiannya adalah Keadilan

Sistem Perpajakan Diskriminasi dan Biaya Kepatuhan sebagai variabel

bebas (X), serta Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion) sebagai variabl

terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier

berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem perpajakan

berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika

penggelapan pajak (Tax Evasion).

8) Maghfiroh dan Fajarwati (2016) dengan judul Persepsi Wajib Pajak

mengenai Pengaruh Keadilan Sistem Perpajakan dan Sanksi Perpajakan

terhadap Penggelapan Pajak (Survey terhadap UMKM di Bekasi).

Variabel penelitiannya adalah Keadilan Sistem Perpajakan dan Sanksi

Perpajakan sebagai variabel bebas (X), serta Penggelapan Pajak sebagai

variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persepsi wajib

pajak mengenai keadilan berpengaruh positif terhadap penggelapan

pajak, persepsi wajib pajak mengenai sistem perpajakan berpengaruh

negatif terhadap penggelapan pajak, persepsi wajib pajak mengenai

sanksi perpajakan berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak.


54

9) Sari (2015) dengan judul Pengaruh Keadilan, Self Assessment System,

Diskriminasi, Pemahaman Perpajakan, Pelayanan Aparat Pajak, dan

Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan terhadap Tax Evasion (Studi

Kasus pada KPP Pratama Semarang). Variabel penelitiannya adalah

Keadilan, Self assessment system, Diskriminasi, Pemahaman pajak,

Pelayanan aparat pajak sebagai variabel bebas (X), serta Tax Evasion

sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah

regresi linier berganda. Hasil penelitiannya adalah self assessment

system berpengaruh negatif terhadap tindakan tax evasion.

10) Friskianti (2014) dengan judul Pengaruh self assessment system,

keadilan teknologi perpajakan dan ketidakpercayaan kepada pihak

fiskus terhadap tindakan tax evasion. Variabel penelitiannya adalah self

assessment system, keadilan teknologi perpajakan dan ketidakpercayaan

kepada pihak fiskus sebagai variabel bebas (X), serta Tax Evasion

sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah

regresi linier berganda. Hasil penelitiaanya adalah self assessment

system, keadilan dan teknologi perpajakan tidak berpengaruh terhadap

tindakan tax evasion. Sedangkan ketidakpastian kepada pihak fiskus

berpengaruh positif terhadap tindakan tax evasion.

11) Ayu (2013) dengan judul Pengaruh pemeriksaan pajak dan self

assessment system terhadap tax evasion. Variabel penelitiannya adalah

pemeriksaan pajak dan self assessment system sebagai variabel bebas

(X), Tax Evasion sebagai variabel terikat (Y). Tenik analisis yang

digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitiannya adalah


55

pemeriksaan pajak dan self assessment system berpengaruh negatif

terhadap tindakan tax evasion.

12) Ardian dan Pratomo (2015) dengan judul Pengaruh sistem perpajakan

dan pemeriksaan pajak terhadap penggelapan pajak (tax evasion) oleh

wajib pajak badan (Studi pada KPP Pratama wilayah kota Bandung).

Variabel penelitiannya adalah sistem perpajakan dan pemeriksaan

sebagai variabel bebas (X), serta penggelapan pajak (tax evasion)

sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah

regresi linier berganda. Hasil penelitiannya adalah sistem perpajakan

dan pemeriksaan pajak mempunyai pengaruh positif terhadap

penggelapan pajak (tax evasion).

13) Syahril (2013) dengan judul Pengaruh Tingkat Pemahaman Wajib Pajak

dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib

Pajak PPh Orang Pribadi. Variabel penelitiannya adalah Tingkat

pemahaman dan kualitas pelayanan sebagai variabel bebas (X), serta

tingkat kepatuhan waib pajak PPh orang pribadi sebagai variabel terikat

(Y). Teknik analisi yang digunakan adalah regresi linier berganda Hasil

penelitiaanya adalah tingkat pemahaman wajib pajak dan kualitas

pelayanan fiskus berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib

pajak.

14) Indriyani dan Sukartha (2014) dengan judul Pengaruh Tanggung Jawab

Moral, Kesadaran Wajib Pajak, Sanksi Perpajakan dan Kualitas

Pelayanan pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan. Variabel

penelitiannya adalah tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak,


56

sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan sebagai variabel bebas (X),

serta kepatuhan pelaporan wajib pajak badan sebagai variabel terikat

(Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda.

Hasil penelitiannya adalah tanggung jawab moral, kesadaran wajib

pajak, sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan berpengaruh positif

pada kepatuhan pelaporan wajib pajak badan.

15) Putra (2013) dengan judul Pengaruh Pelayanan Fiskus dan Pengetahuan

Perpajakan PPh Pasal 21 terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak

pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Variabel

peneitiannya adalah pelayanan fiskus dan pengetahuan perpajakan PPh

Pasal 21 sebagai variabel bebas (X), serta kepatuhan pelaporan wajib

pajak pada KPP Pratama Badung Utara sebagai variabel terikat (Y).

Teknik analisis yang diguakan adalah regresi linier berganda. Hasil

penelitiannya adalah pelayanan fiskus berpengaruh negatif terhadap

kepatuhan pelaporan wajib pajak sedangkan pengetahuan PPh pasal 21

berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak.

16) Pratiwi (2014) dengan judul Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kualitas

Pelayanan, Kondisi Keuangan Perusahaan, dan Persepsi Tentang Sanksi

Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Reklame. Variabel

penelitiannya adalah kesadaran wajib pajak, kualitas pelayanan, kondisi

keuangan perusahaan dan persepsi tentang sanksi perpajakan sebagai

variabel bebas (X), serta kepatuhan wajib pajak reklame sebagai

variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda. Hasil penelitiannya adalah kesadaran wajib pajak,


57

kualitas pelayanan, kondisi keuangan perusahaan, dan persepsi tentang

sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak

reklame.

17) Hendrika (2014) dengan judul Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,

Pelayanan Fiskus dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi pada Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar

Barat. Variabel penelitiannya adalah kesadaran wajib pajak, pelayanan

fiskus dan sanksi pajak sebagai variabel bebas (X), serta kepatuhan

wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama Denpasar Barat sebagai

variabel terikat (Y). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda. Hasil penelitiannya adalah kesadaran wajib pajak,

pelayanan fiskus dan sanksi pajak berpengaruh positif terhadap

kepatuhan wajib pajak orang pribadi pada wilayah KPP Pratama

Denpasar Barat.

18) Santosa (2011) dengan judul Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas

Pelayanan dan Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Pelaporan Wajib

Pajak Badan Koperasi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung

Utara. Variabel penelitiannya adalah kewajiban moral, kualitas

pelayanan dan sanksi perpajakan sebagai variabel bebas (X), serta

kepatuhan pelaporan wajib pajak badan koperasi di KPP Pratama

Badung Utara sebagai variabel terikat (Y). Teknik analisis yang

digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitiannya adalah

Kewajiban moral wajib pajak badan Koperasi dan kualitas pelayanan


58

berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak badan Koperai di KPP

Pratama Badung Utara.

19) Fuadi dan Mangoting (2013) dengan judul pengaruh kualitas pelayanan

petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak terhadap

kepatuhan wajib pajak UMKM. Variabel penelitiannya adalah kualitas

pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak

sebagai variabel bebas (X), kepatuhan wajib pajak UMKM sebagai

variabel terikat (Y). Teknik analisis regresi linier berganda digunakan

dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah kualitas pelayanan

dan sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib

Pajak UMKM, sedangkan biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif

terhadap kepatuhan Wajib Pajak UMKM.

20) Yurline dan Meikusiawati (2012) dengan judul pengaruh kesadaran

wajib pajak, kualitas pelayanan dan sanksi perpajakan secara parsial

terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Tabanan. Variabel penelitiannya adalah

kesadaran wajib pajak, kualits pelayanan dan sanksi perpajakan secara

parsial sebagai variabel bebas (X), serta kepatuhan pelaporan wajib

pajak orang pribadi di KPP Pratama Tabanan sebagai variabel terikat

(Y). Teknik analisis yang digunakan ialah regresi linier berganda. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak, kualitas

pelayanan dan sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tabanan.

Anda mungkin juga menyukai