Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya masih


difokuskan pada kondisi fisik semata tanpa memperhatikan kondisi
psikis.Kondisi psikis yang baik memiliki peranan penting bagi seseorang
dalam memengaruhi kualitas hidup.Seseorang yang mengalami kondisi jiwa
yang kurang sehat dapat mengganggu fungsinya dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari dan sering disebut orang dengan gangguan jiwa.Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia
(Departemen kesehatan RI 2014).

Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang mengganggu fungsi


mental sehingga menempatkan seseorang dalam kategori tidak sejahtera.
Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stressor dari lingkungan
eksternal maupun internal,dan dibuktikan melalui pikiran,perasaan dan
perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat
dan mengganggu fungsi sosial,pekerjaan dan atau fisik (Towsend 2005
;Caturini dan Handayani 2014).

Menurut World Health Organization (WHO)dalam Yosep Iyus


(2014), memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan kesehatan jiwa. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan adalah sebesar 6 % untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14
juta orang. Prevalensi gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia adalah 1,7
jiwa per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Sulawesi Tengah
menempati peringkat pertama dari provinsi lain yang berada di Sulawesi
dengan penderita Skizofrenia sebesar 5,3 % yang kemudian secara berturut-
turut diikuti oleh Sulawesi Selatan 3,2 % , Sulawesi Tenggara 2,5 %,
Sulawesi Utara 2,4 %, Gorontalo 2,4 %, dan Sulawesi Barat 1 %
(RISKESDAS, 2008).jumlah pasien skizofrenia yang rawat inap di RSUD
Madani Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 1.012 orang (rekam medik RSUD
Madani 2017).
Kekambuhan pasien gangguan jiwa skizofrenia adalah munculnya
kembali gejala-gejala psikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif
hubungan dengan beberapa kali masuk rumah sakit,lamanya dan perjalanan
penyakit penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari
rumah sakit mempunyai karakteristik hiperaktif,tidak mau minum obat dan
memiliki sedikit keterampilan social (Porkony dkk,dalam Akbar 2008).

Hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain penderita


tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan
sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari
keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat dapat
memicu stress. Sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di Rumah
Sakit (Widodo 2003, dalam Purwanto 2010).

Simatupang (2014), hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling


banyak menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah karena
faktor ketidakpatuhan minum obat.Istikah,Pujiastuti, dan Pitoyo (2010) dari
hasil uji statistik di ketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara
ketaatan minum obat dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia dimana p
value = 0,006. Penelitian yang dilakukan oleh Marchira,dkk(2008) tentang
ekspresi emosi keluarga pasien dengan kekambuhan penderita skizofrenia di
RS. RD Sardjito Yogyakarta yang menyebutkan adanya korelasi positif
antara ekspresi emosi dengan angka kekambuhan pasien skizofrenia .
Hasil analisis oleh A.B. Raharjo, 2014 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara dukungan sosial dengan frekuensi kekambuhan pada pasien
skizofrenia dengan p value = 0.000.

Data rekam medik RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah tahun


2016,jumlah pasien skizofrenia yang rawat inap berjumlah 545
orang,sedangkan tahun 2017 berjumlah 1.012 orang.Jadi dapat disimpulkan
bahwa jumlah pasien skizofrenia yang rawat inap di RSUD Madani Provinsi
Sulawesi Tengah dari dua tahun terakhir mengalami peningkatan.

Fenomena yang terjadi di RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah,


rata-rata kekambuhan pasien Skizofrenia masih sering terjadi.Hal ini
ditandai dengan adanya pasien skizofrenia yang keluar masuk ruangan rawat
inap.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah


pada penelitian ini yaitu faktor-faktor apa yang mempengaruhi kekambuhan
pada pasien Skizofrenia di RSUD Madani Propinsi Sulawesi Tengah ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada
pasien Skizofrenia di RSUD Madani Propinsi Sulawesi Tengah

1.3.2Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi hubungan antara kepatuhan klien dengan kekambuhan


pada pasien Skizofrenia di RSUD Madani Propinsi Sulawesi Tengah
2. Mengidentifikasi hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan
kekambuhan pada pasien Sizofrenia d RSUD Madani Propinsi Sulawesi
Tengah
3. Mengidentifikasi hubungan antara lingkungan sosial dengan
kekambuhan pada pasien Skizfrenia di RSUD Madani Propinsi
Sulawesi Tengah

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi STIKES Widya Nusantara


Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang
berguna untuk dijadikan acuan bagi para mahasiswa dalam
pengembangan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kekambuhan pada pasien skizofrenia

1.4.2 Bagi RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah


Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan buat penentu
kebijakan dalam pembuatan proposal kesehatan dan prosedur tetap
dalam menangani dan merawat klien yang mengalami kekambuhan.

1.4.3 Bagi Peneliti


Memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian dan
menambah wawasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kekambuhan pada pasien skizofrenia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1Definisi Skizofrenia

Menurut Temes(2011) skizofrenia merupakan kekacauan jiwa


serius yang ditandai dengan kontak pada
kenyataan(psikosis),halusinasi,khayalan dan pikiran
abnormal.Skizofrenia adalah diagnosis psikiatri yang menggambarkan
gangguan mental yang ditandai oleh kelainan dalam persepsi atau
ungkapan realitas.Distorsi persepsi dapat mempengaruhi lima
indera,termasuk penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan sentuhan, tapi
paling sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran,
delusi paranoid (American Psychiatric Association 2005).Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan jiwa yang sering mengalami
kekambuhan.

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan


suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya
perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku
seseorang.Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya
tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian (Sadock 2003).Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di
bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif.Gejala
positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan
perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan
(afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari
pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara),
pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif.

a) Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat


dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup
secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai
hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja
akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini
mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada
perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah
urban dibandingkan daerah rural (Sadock 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan


zat, terutama ketergantungan nikotin.Hampir 90% pasien mengalami
ketergantungan nikotin.Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh
diri dan perilaku menyerang.Bunuh diri merupakan penyebab kematian
pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia
yang melakukan bunuh diri (Kazadi 2008).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray 1993 di seluruh


dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-
laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada
beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-
laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal
umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah
dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan
risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan
yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki (Durand 2007).
b) Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa


penyebab skizofrenia, antara lain :

a. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian
tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%;
bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua
yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%;
bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena
yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering
kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di
tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada
orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand &Barlow 2007).

b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain.
Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagianbagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap
dopamine.Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan (Durand 2007).

c. Faktor Psikologis dan Sosial


Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
adanya hubungan orang tuaanak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja &Sutardjo 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi
dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai
contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan
untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin,
dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab
skizofrenia pada anak-anaknya (Durand &Barlow 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et Al
2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting
dalam pembentukan kepribadian.Orangtua terkadang bertindak
terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak
merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.

d). Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap


individu.Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-
lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid,
prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock 2003; Buchanan
2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit


skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara
retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa
remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan
perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat
berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi.Penelitian
retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa
sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala,
nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock
2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata


secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan
perilaku.Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan
pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada.Fase residual
ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia.Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak
terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri
(withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan 2005).

e). Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical


Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American
Psychiatric Assosiation 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV
(American Psychiatric Assosiation 1994) dan DSM-IV-TR (American
Psychiatric Assosiation 2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari
DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang
dominan yaitu (Davison 2006) :
a. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang
mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya
fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga.Waham
biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau
keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham
kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga
muncul.Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga
jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

b. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)


Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah
pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau
inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan
dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan.Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada
gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

c. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy
flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang
ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi
(mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang
lain (echopraxia).

d. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang
menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat
menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang
sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat
dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar,
autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase
yang menunjukkan ketakutan.

e. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas
dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala
residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau
mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional.Gejala-gejala residual itu dapat meliputi
menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan
afek datar.

f). Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis,


dan terapi psikososial.

a. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian
yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi
elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak.Terapi dengan
penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejalagejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine
(thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat
tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine
(serpasil), dan haloperidol (haldol).Obat ini disebut obat penenang
utama.Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,
tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis
yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah
terbangun).Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi
electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir
1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai
penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa
alasan.ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada
berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap
ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui
tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia
meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat
ini.Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan,
ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien.Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik
dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran
sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan
hilangnya ingatan setelah itu.Adakalanya, intensitas kekejangan
otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat
fisik (Durand 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak
Moniz (1935, dalam Davison,et Al 1994) memperkenalkan
prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara
membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang
dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.
Akan tetapi, pada tahun 1950- an cara ini ditinggalkan karena
menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak
tumpul, tidak bergairah,bahkan meninggal.
b. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah
penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan
akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi
humanistik.Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya.Para peserta terapi saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami.Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk
berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta
dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok.Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapanungkapan emosi yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk


mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang
negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama.Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan caracara untuk menghadapinya. Dari beberapa
penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et Al 1994;
Rathus, et Al 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat
membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya
mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan
terapi-terapi secara individual.

2.1.1.2Konsep Kekambuhan

a) Definisi Kekambuhan

Kambuh merupakan keadaan klien dimana muncul gejala


yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan klien harus di
rawat kembali(Andri 2008).

Kekambuhan gangguan jiwa psikotik adalah munculnya


kembali gejala-gejala psikotik yang nyata.angka kekambuhan
secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk rumah
sakit,lamanya dan perjalanan penyakit.penderita yang kambuh
biasanya sebelum keluar dari rumah sakit mempunyai karakteristik
hiperaktif,tidak mau minum obat dan memiliki keterampilan social
(Porkony,dkk 1993).

Kekambuhan adalah peristiwa timbulnya kembali gejala-


gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan(Stuart dan
Laraia 2001).Kekambuhan biasanya terjadi karena adanya
kejadian-kejadian yang buruk sebelum mereka kambuh
(Wiramihardja 2007).

Menurut Febrianti (2013), kekambuhan merupakan istilah


medis yang mendiskripsikan tanda dan gejala kembalinya suatu
penyakit setelah pemulihan.Skizofrenia merupakan gangguan jiwa
yang sering mengalami kekambuhan setelah dilakukan upaya
penyembuhan. Menurut Gilang(2011) pasien skizofrenia yang tidak
patuh pengobatan akan memiliki resiko kekambuhan lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang patuh pada proses
pengobatan.hal ini sesuai dengan pernyataan
Irmansyah(2005),bahwa rentang waktu yang lama antara gejala-
gejala kekambuhan menyebabkan keluarga menunda untuk jangka
waktu yang lama sebelum datang ke klinik pengobatan untuk
control.jadi frekuensi kekambuhan dan pengetahuan hanyalah
sebagian dari faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan klien
gangguan jiwa sesuai dengan pernyataan Glens(1996) bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan klien gangguan
jiwa antara lain klien,yang di dalamnya dipengaruhi lagi kebiasaan
minum obat klien,control klien/frekuensi kekambuhan serta daya
tahan klien dalam menghadapi stress kehidupan,kemudian faktor
tersedianya informasi tentang pelayanan kesehatan yang mudah di
capai oleh klien,kemampuan klien dalam memecahkan masalah
sehari-hari,dan besar kecilnya dorongan sosial dari keluarga dan
masyarakat dimana klien itu tinggal.

Menurut Sulliger (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi


kekambuhan antara lain klien(keteraturan minum obat),dokter
(dosisteraupetik yang dapat mencegah kekambuhan dan mengatasi
efek samping),penanggung jawab/case manager (keluarga dan
perawat puskesmas dalam mengidentifikasi gejala dini
kekambuhan dan segera mengambil tindakan),keluarga(keluarga
dengan ekspresi emositinggi diperkirakan menyebabkan
kekambuhan dalam waktu Sembilan bulan).

Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan


kekambuhan,mereka dapat dalam waktu yang lama tidak muncul
gejala,maka skizofrenia sering disebut dengan penyakit
kronik,karena itu perlu mendapatkan perhatian medis yang
sama,seperti juga individu-individu yang menderita penyakit
kronik lainnya seperti hipertensi dan diabetes mellitus.
Kelambatan penanganan ini akan berdampak buruk,sehingga
kekambuhan menjadi sering dan pengobatan menjadi semakin sulit
dan akhirnya akan mengantar penderita pada keadaan kronis
berkepanjangan,karena penderita skizofrenia yang terlambat
berobat akan cenderung’’kebal’’dengan obat-obatan,menggunakan
obat dengan dosis yang lebih tinggi serta perawatan di rumah sakit
jika yang lebih lama dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya
dan beban ekonomi keluarga.

Periode kekambuhan adalah lamanya waktu tertentu atau


masa dimana klien muncul lagi gejala yang sama seperti
sebelumnya dan mengakibatkan klien harus dirawat kembali.

b) Gejala kambuh

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi(Nasir.A 2010)


antara lain:

a. Menjadi ragu-ragu dan serba takut


b. Tidak ada nafsu makan
c. Sulit tidur
d. Depresi
e. Tidak ada minat
f. Menarik diri

Sedangkan menurut Herz dan Menville(1980,dikutip oleh


Sulliger 1988)dalam Keliat,(1996) mengkaji gejala kambuh yang
diidentifikasi oleh klien dan keluarganya,yaitu nervous,tidak nafsu
makan,sukar konsentrasi,sulit tidur,depresi,tidak ada minat dan
menarik diri. Pada gangguan jiwa psikotik akan timbul gejala
positif yang lebih aktif seperti waham,halusinasi,gangguan
pikiran,ekoprasia,asosiasi longgar,flight of ideas(Videbeck 2008).
c) Faktor resiko kambuh

Menurut Murphy,M.F., & Moller,M.D.(1993),faktor resiko untuk


kambuh dalam Videbeck 2008 adalah :

1) Faktor resiko kesehatan


a. Gangguan sebab dan akibat berpikir
b. Gangguan proses infomasi
c. Gizi buruk
d. Kurang tidur
e. Kurang olahraga
f. Keletihan
g. Efek samping pengobatan yang tidak dapat ditoleransi

2) Faktor resiko lingkungan


a. Kesulitan keuangan
b. Kesulitan tempat tinggal
c. Perubahan yang menimbulkan stress dalam peristiwa
kehidupan
d. Keterampilan kerja yang buruk,ketidakmampuan
mempertahankan pekerjaan
e. tidak memiliki transportasi/sumber-sumber
f. keterampilan sosial yang buruk,isolasi sosial,kesepian
g. kesulitan interpersonal

3) Faktor resiko perilaku dan emosional


a. Tidak ada kontrol,perilaku agresif,atau perilaku kekerasan
b. Perubahan mood
c. Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang buruk
d. Konsep diri rendah
e. Penampilan dan tindakan berbeda
f. Perasaan putus asa
g. Kehilangan motivasi

d) Tanda-tanda kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia

Tanda-tanda kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia menurut


Stuart dan Sundeen(2013) dibagi menjadi 5 tahap yaitu:

1. Overextinsion(kewalahan berlebihan)

Tahap ini menunjukkan ketegangan yang


berlebihan.pasien mengeluh karena perasaannya
terbebani.Gejala dari cemas intensif dan energy yang besar
digunakan untuk mengatasi hal ini.

2. Restricted consciousness(pembatasan kesadaran)

Tahap ini menunjukkan pada kesadaran yang


terbatas.gejala yang sebelumnya cemas,digantikan oleh
depresi.

3. Disinhibition(rasa malu)

Penampilan pertama pada tahap ini adalah adanya


hipomania dan biasanya meliputi halusinasi. Hipomania
awalnya ditandai dengan mood yang tinggi.kegembiraan
optimism dan percaya diri.gejala lain dari hipomania ini
adalah rasa percaya diri yang berlebihan,waham
kebesaran,mudah marah,senang berlebihan dan euforia.

4 Psikotik disorganization(disorganisasi psikotik)

Pada saat ini gejala psikotik sangat jelas terlihat. Tahap ini
diuraikan sebagai berikut:

a) Pasien tidak lagi mengenal lingkungan atau orang yang


familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi
penipu,fase ini dikenal sebagai fase penghancuran dunia
luar.
b) Pasien kehilangan identitas personal dan mungkin melihat
dirinya sendiri sebagai orang ketiga,fase ini menunjukan
kehancuran pada diri.
c) Psychotic resolution

Tahap ini biasanya terjadi di rumah sakit.pasien diobati


dan masih mengalami psikosis tetapi gejalanya berhenti
atau diam.

e) Pengelolaan kekambuhan

Kunci untuk pengelolaan kekambuhan adalah kesadaran


timbulnya perilaku yang menunjukkan kambuh.Sekitar 70% dari
klien dan 90% dari keluarga mampu melihat gejala kekambuhan
penyakit,dan hampir semua klien tahu kapan gejala sedang
meningkat.Sebuah fase prodromal terjadi sebelum kambuh.fase
prodromal adalah waktu antara timbulnya gejala dan kebutuhan
untuk perawatan.Fase prodromal terjadi paling singkat seminggu
atau selama satu bulan. Perawat sangat penting untuk berkolaborasi
dengan klien,keluarga,dan staf lain mengenai terjadinya
kekambuhan. Mengidentifikasi serta mengelola perilaku dan gejala
akan membantu untuk mengurangi jumlah dan tingkat keparahan
kekambuhan.Pendidikan tentang hal tersebut pada klien dan
keluarga adalah tindakan hemat biaya dan dapat memberi mereka
kontrol atas hidup mereka serta mengurangi jumlah dan panjang
rawat inap.Banyak penelitian telah menunjukkan penurunan tingkat
kekambuhan akibat tindakan psikoedukasi tersebut (Glynn et Al
2010).
Seseorang yang menderita gangguan jiwa harus diberi
semangat dan nasihat untuk mengatur keadaan dirinya dan untuk
menghindari kekambuhan. Tim kesehatan menyatakan bahwa klien
menyimpan catatan harian mengenai perasaan dan perilakunya
sehingga mereka secara signifikan dapat mengalami perubahan dan
peringatan tanda akan kekambuhannya. Banyak klien yang
mempelajari dan mengenali pribadi mereka dengan catatan
tersebut.memelihara pola hidup juga penting untuk setiap orang
khususnya klien gangguan jiwa. Mengambil dosis obat yang benar
pada waktu yang sama setiap hari sangat diperlukan.Membantu
mengingatkan klien dalam meminum obat dengan menggunakan
pil boxe untuk setiap dosis harian.Hal tersebut dapat menolong
mereka bila mereka harus mengambil dosis pengobatan.dalam
sebuah riset menyatakan bahwa tidur yang cukup dapat
mempengaruhi pikirannya dan dapat mencegah kekambuhan.Jika
intensitas tidurnya terlalu banyak,dapat diidentifikasi jika hal
tersebut adalah tanda dari depresi. Namun sebaliknya,jika intensitas
tidurnya kurang mungkin menandakan jika klien merasa khawatir
(Veague 2009).

2.1.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan Pada Pasien


Skizofrenia

Menurut Keliat 2009,Faktor faktor yang


berhubungan dengan kekambuh-an diantaranya adalah :

a) Kepatuhan Klien
Secara umum klien yang minum obat secara tidak teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh.hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit
jiwa tidak minum obat secara teratur (Appleton,dalam Keliat
1996).klien kronis,khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan
minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan
mengambil keputusan.di Rumah sakit perawat bertanggung jawab
dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat,di rumah tugas
perawat digantikan oleh keluarga.klien juga berhenti minum obat
karena efek samping atau karena mereka percaya obat meningkatkan
stigma.Klien yang memiliki sedikit wawasan atau kesadaran tentang
penyakitnya berisiko untuk menghentikan obat (Velligan et Al
2010;Tranulis et Al 2011).Sayangnya,salah satu langkah pertama
yang sering dilakukan perawat dalam mengkaji kekambuhan adalah
menyalahkan klien tidak minum obat tanpa mencari tahu alasan
klien berhenti minum obat.Klien mungkin berpikir tidak ada yang
salah dan mungkin minum obat hanya untuk mengikuti perintah.

Perawat harus menyadari bahwa kekambuhan mungkin terjadi


ketika klien minum atau tidak minum obat.Ketidakpatuhan klien
cenderung mengkibatkan onset kambuh yang bertahap dengan ciri
gangguan jiwa yang menonjol dan umumnya masuk program
treatment diluar kemauan klien terhadap komitmen rumah sakit.
Mereka biasanya membutuhkan rawat inap yang lebih lama dan
perubahan dalam pengobatan.biasanya,mereka tidak dapat melacak
terjadinya kekambuhan untuk setiap pemicu tertentu.kerja sama
manajemen obat dapat dipupuk jika klien dapat dilibatkan sebagai
mitra sejajar dalam perawatan.perawat harus fokus pada perspektif
klien yang unik,tingkat motivasi,dan tujuan treatment serta
preferensi.klien perlu dan penting dalam pengambilan keputusan
tentang pengobatan (Hamman et Al 2011),Sullinger(dalam Keliat
1996).
Kepatuhan minum obat memiliki pengaruh terhadap
kekambuhan pasien skizofrenia.Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Simatupang (2014) bahwa yang paling
banyak menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah
karena faktor ketidakpatuhan minum obat diperolah 73,9%
pasien.pasien tidak dapat selalu mengkonsumsi obat karena
keterbatasan biaya sedangkan beberapa pasien lain tidak
mengkonsumsi obat sesuai aturan karena efek obat yang sangat
mengganggu aktivitas dan pekerjaan mereka.Selain itu,pasien
mungkin menderita efek samping dari obat-obatan yang
dikonsumsinya dan meyakini hanya akan menimbulkan lebih banyak
permasalahan dibanding menemukan jalan keluar.

b) Ekspresi Emosi Keluarga


Ekspresi emosi merupakan persepsi dalam bentuk verbal dan
non verbal,merupakan aspek penting menentukan efektivitas dalam
komunikasi hubungan interpersonal.Terdiri dari beberapa sikap yaitu
permusuhan,kritik yang berlebihan,dukungan yang tidak tepat.pasien
dengan keluarga yang ekspresi emosinya tinggi dan lama kontak
lebih atau sama dengan 35 jam per minggu mempunyai risiko
kambuh atau rawat inap ulang dua kali lebih besar,menurunkan
ekspresi emosi keluarga terhadap pasien gangguan jiwa akan dapat
memperbaiki prognosis gangguan jiwa (Sadock & Sadock 2007).
Ekspresi emosi adalah salah satu faktor dalam proses
penyembuhan bagi orang-orang yang didiagnosa dengan penyakit
psikologis.Tiga macam perilaku yang dapat menggambarkan
ekspresi emosi adalah hostilitas, kritik dan keterlibatan emosional
yang berlebihan yang menentukan ke arah mana pasien yang telah
sembuh akan dilakukan terapi (Leff 1986). Ekspresi emosi yang
tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang
tinggi pada klien.hal ini adalah klien mudah dipengaruhi oleh stress
yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.beberapa peneliti
menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuh gangguan
jiwa adalah perilaku keluarga yang tidak tahu cara menangani klien
skizofrenia.
Menurut Sariah (2014) bahwa salah satu penyebabkambuhnya
penyakit skizofrenia disebabkan oleh peristiwa kehidupan keluarga
yang penuh dengan tekanan(stress), Sullinger (dalam Keliat 1996).

c) Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak
mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi
kekambuhan.misalnya,masyarakat menganggap klien sebagai
individu yang tidak berguna,mengucilkan klien,mengejek klien dan
seterusnya,Sulliger(dalam Keliat 1996).
Menurut Kurnia Kusuma (2009), penderita gangguan jiwa
sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat di sekitarnya dibandingkan individu yang menderita
penyakit medis lainnya.Hal ini tampak lebih jelas dialami oleh
penderita.Hal ini menyebabkan penderita skizofrenia yang sudah
sehat memiliki kecenderungan untuk mengalami kekambuhan lagi
sehingga membutuhkan penanganan (Sebayang 2011).
Pandangan masyarakat tentang skizofrenia menyebabkan
keluarga dengan anggota yang mengalami skizofrenia menutup diri
dari lingkungan sosialnya.Arif (2006) menyatakan bahwa sebuah
keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia
cenderung tertutup dan enggan diwawancarai oleh orang aing.Hal ini
terjadi karena stigma,rasa malu,dan penyalahan dari lingkungan
sosial yang dialami oleh keluarga. Biasanya keluarga
akanmenyerahkan perawatan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit
karena mereka kurang mengetahui bagaimana cara merawat
penderita skizofrenia dan mereka memiliki keyakinan bahwa dengan
menjalani perawatan di rumah sakit maka pasien akan mendapat
perawatandan pengobatan yang tepat.
Lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak
mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi
kekambuhan.Misalnya masyarakat menganggap klien sebagai
individu yang tidak berguna,mengejek klien,dan
seterusnya.(PKMRS Dr.Soetomo Surabaya) sikap masyarakat
menerima,mengucilkan,membicarakan,dan menganggap klien
berbeda setelah mengetahui pasien menderita gangguan jiwa.Lowber
(2006) menyatakan bahwa menurut Hawari (2005) salah satu
kendala dalam upaya penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah
adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga.Keluarga dan
masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan
dan membawa aib bagi keluarga. Kurangnya stimulus lingkungan
juga akan menjadi penyebab terjadinya gangguan jiwa.pada
umumnya klien dengan masalah gangguan jiwa diawali dengan
perasaan sedih/stress karena masalah tertentu dan kemudian klien
menyendiri dalam waktu yang cukup lama. Pada saat ini klien
berada dalam kondisi dimana stimulus dari lingkungan sangat
kurang sementara stimulus dalam dirinya semakin kuat. Apabila hal
ini terjadi dalam waktu lama,maka klien akan mulai gangguan
jiwa.Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa
adalah resiko mencederai diri sendiri,orang lain dan
lingkungan,kesulitan mengakses dan menggunakan ingatan yan telah
disimpan,kerusakan ingatan jangka pendek atau jangka panjang.
2.2 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep-konsep teori yang digunakan atau


berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Notoatmodjo 2010).
Berdasarkan tinjauan teori dan apa yang telah diuraikan maka digunakan
kerangka teori dalam bentuk bagan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka teori penelitian

Etiologi:

1. Faktor Genetik
2. Faktor biokimia
3. Faktor psikologis
dan sosial

Tipe-tipe Skizofrenia: Karakteristik Klien:

1. Tipe Paranoid 1. Usia


2. Tipe Disorganized Skizofrenia 2. Jenis kelamin
3. Tipe katatonik 3. Status
4. Tipe perkawinan
Undiffentiated 4. Pendidikan
5. Tipe residual 5. Lama dirawat

Faktor-faktor yang
mempengaruhi :

1. Kepatuhan
klien
2. Ekspresi emosi
keluarga
3. Lingkungan
sosial

Kekambuhan
Sumber : Rosalia Indra Lesgita (2016),Davison (2006),Febrianti (2013), Sullinger

(1996), (Durand 2007).

2.3 Kerangka konsep

Berdasarkan teori tersebut diatas dan kenyataan yang ada maka peneliti dapat
menggambarkan konsep dalam penelitian ini:

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Konsep

Skizofrenia

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor-faktor yang
mempengaruhi :

1. Kepatuhan Klien Kekambuhan pada


2. Ekspresi Emosi pasien Skizofrenia
keluarga
3. Lingkungan
Sosial

2.4 Hipotesis

1. Ada hubungan Kepatuhan klien dengan kekambuhan pada pasien


Skizofrenia di RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah
2. Ada hubungan Ekspresi emosi keluarga dengan kekambuhan pada pasien
Skizofrenia di RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah
3. Ada hubungan Lingkungan sosial dengan kekambuhan pada pasien
Skizofrenia di RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Bentuk Penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan penelitian


analitik menggunakan pendekatan cross sectional,cross sectional yaitu
penelitian pada beberapa populasi yang diamati pada waktu yang sama atau
dimana data yang menyangkut data variabel independen dan variabel
dependen akan dikumpulkan dalam waktu bersamaan (Notoatmodjo 2010).

3.2Tempat Dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di ruang Manggis RSUD


Madani Provinsi Sulawesi Tengah.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada Juni 2018.

3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo 2010;


Sri Andayani 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
Skizofrenia yang dirawat karena mengalami kekambuhan di ruang
perawatan Manggis RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah.Berdasarkan
data di triwulan bulan oktober-desember 2017,jumlah populasi pada
penelitian ini sebanyak 30 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh


populasi (Notoatmodjo 2010).Tehnik pengambilan sampel pada penelitian
ini yaitu total Sampling. Total sampling yaitu cara pengambilan sampel
dengan pengambilan semua anggota populasi menjadi sampel
(Hidayat,2007) adapun besar sampel dalam penelitian ini sama dengan
besar populasi atau total populasi yaitu sebanyak 30 orang.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri,sifat,atau ukuran


yang dimiliki atau di dapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep
(Notoatmodjo 2010).

3.4.1 Variabel independen


Variabel yang mempengaruhi atau sering disebut variabel bebas. Variabel
independen penelitian ini yaitu kepatuhan klien,ekspresi emosi keluarga &
lingkungan sosial

3.4.2 Variabel dependen


Variabel yang dipengaruhi atau sering disebut dengan variabel
terikat.varibel dependen penelitian ini yaitu kekambuhan pada pasien
Skizofrenia

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional penelitian diperlukan agar pengukuran variabel
konsisten antara responden yang satu dengan responden yang lain
(Notoatmodjo 2010).

3.5.1 Variabel Independen


a. Ekspresi emosi keluarga :persepsi dalam bentuk verbal dan non
verbal, merupakan aspek penting menentukan efektivitas dalam
komunikasi hubungan interpersonal.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Cheklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Baik : ≥ Skor nilai median
Kurang baik : ≤ Skor nilai median
b. Kepatuhan klien : secara umum klien yang minum obat secara tidak
teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Cheklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Baik : ≥ Skor nilai median
Kurang baik : ≤ Skor nilai median
c. Lingkungan sosial : lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak
mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi kekambuhan.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Cheklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Baik : ≥ Skor nilai median
Kurang baik :≤ Skor nilai median

3.5.2 Variabel Dependen


Kekambuhan : keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti
sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Cheklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Kambuh : ≥ Skor nilai median
Tidak kambuh : ≤ Skor nilai median

3.6 Instrumen Penelitian

Menurut Sukmadinata(2010) instrumen penelitian adalah berupa tes


yang bersifat mengukur,karena berisi tentang pertanyaan dan pernyataan yang
alternatif jawabannya memiliki standar jawaban tertentu,benar salah maupun
skala jawaban.Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan kuesioner.Tujuan
pembentukan kuesioner sebagai alat memperoleh data yang sesuai dengan
tujuan penelitian dan penjabaran dari hipotesis.

Pada variabel kepatuhan klien, ekspresi emosi keluarga, dan lingkungan


sosial menggunakan ceklist, dimana setelah hasil pengukuran dan observasi
peneliti menggunakan lembaran ceklistuntuk mengisi hasil ukurnya.

Pada kuesioner kepatuhan klien menggunakan skala ordinaldengan


pilihan jawaban Y= ya, T= tidak.

3.7 Tehnik Pengumpulan Data

3.7.1 Data primer

Data primer merupakan sumber pertama yang diperoleh dari


responden dari hasil wawancara atau hasil pengisian angket yang
dilakukan oleh peneliti (Setiadi 2007).Data primer penelitian ini berupa
data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada
pasien skizofrenia,seperti kepatuhan klien,ekspresi emosi keluarga &
lingkungan sosial.

3.7.2 Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak


langsung dari instansi terkait sebagai tempat penelitian. Sebelum
melakukan penelitian,peneliti meminta izin kepada instansi Rumah sakit
untuk mendapatkan data dari responden yang sesuai dengan kriteria
inklusi.Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dari catatan rekam
medik RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah.

3.8 Analisis Data

3.8.1 Analisis univariat


Dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari masing -
masing variabel independen (kepatuhan klien,ekspresi emosi keluarga da
n lingkungan) dan variabel dependen (kekambuhan). Pada umumnya
analisa ini di peroleh dalam bentuk persentase (Notoatmodjo 2010).
Dengan rumus sebagai berikut :
Rumus :

f
P= × 100 % = ∙∙∙∙∙∙ %
N

Keterangan :

P : presentase

f : Jumlah subjek yang ada pada kategori tertentu

N : Jumlah atau keseluruhan responden


3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel
bebas dengan terikat. Dengan nilai kemaknaan 0,05 dengan tingkat
kepercayaan 95%. Adapun uji yang digunakan pada penelitian ini adalah
uji Chi Square (𝑥 2 ) dengan rumus sebagai berikut (Hartanto 2006) :

2
( 0 − 𝐸 )2
𝑥 = ∑
𝐸

Keterangan :

0 : Jumlah observasi

E : Nilai yang diharapkan

Apabila 𝑥 2 hitung ≥ 𝑥 2 tabel maka H0 ditolak artinya ada hubungan

Apabila 𝑥 2 hitung ≤ 𝑥 2 tabel maka H0 diterima artinya tidak ada hubungan


DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Assosiation. 2005. Daignostic and Statistical Manual of


Mental Disorder 4th edition. Washington DC

Andri, 2008, Kongres Nasional Skizorenia V Closing The Treathment Gap for
Schizophrenia

Appleton,(1982 dalam Keliat,1996). Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat


Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia

Barlow, H. D. & Durrand, M. V. (2007). Psikologi Abnormal. Jakarta. Penerbit.


Pustaka belajar

Buchanan. (2005). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius

Departemen kesehatan RI. 2014. Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang


Kesehatan Jiwa. Jakarta: Balai Pustaka

Data Rekam Medik RSUD Madani Provinsi Sulawesi Tengah

Davison, G.C & Neale J.M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

Jurnal Husada Mahakam/Volume III No.5,Mei 2013, Hal.200-262:Faktor-faktor


Penyebab Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia

Jurnal Husada Mahakam/Volume III No.5,Mei 2013, Hal.200-262: Hubungan


Pola Asuh Dan Ekspresi Emosi Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Jurnal Psikologi Teori & Terapan 2013,Vol.4,No.1, Hal 24-30: Peran Dukungan
Sosial dan Regulasi Emosi Terhadap Resiliensi Keluarga Penderita
Skizofrenia/INSAN Vol.01,No.01, Juni 2016,Hal 12
Jurnal Kesehatan Masyarakat-Vol.09,No.01/Maret/2016 : Kepatuhan Konsumsi
Obat,Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Terhadap Frekuensi
kekambuhan penderita Skizofrenia Di Desa Sriharjo,Imogiri,Bantul

Kazadi N. J. B, dkk. 2008. Factors as Sosiated with Relaps in


Skizophrenia.Jakarta

Keliat,B. A.(2009). Proses Keperawatan Jiwa.Jakarta:ECG

Keliat , B.A., 1996, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa, EGC,Jakarta

Maramis W.F.1995.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya:Airlangga University


Press

Maramis, W. F., 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press.


Surabaya

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta

Nursalam. (2009). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian ilmu


keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan instrumen Penelitian
Keperawatan. Edisi 2.Jakarta: Salemba Medika

Sadock, B.J, Sadock, V.A. 2003. Synopsis of Psychiatry. 9th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins

Stuart, G. W. & Laraia, M. T. (2005). Principle and Practice OF Psychiatric


Nursing .8th Ed. St. Louis:Mosby years Book

Sadock. (2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.Schizophrenia. Lippincott
Williams & Wilkins.

Sullinger, N. (1988). Relapse. Journal of Psycosocial Nursing

Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005.Pengantar Psikologi


Abnormal.Bandung.Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai