Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga
bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami
dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari beberapa sumber.
Kami telah berusaha semampu kami untuk mengumpulkan berbagai macam bahan
tentang Teori Hubungan Industrial. Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih
jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon
bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami
mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hubungan Industrial................................................................... 2
B. Pelaku Hubungan Industrial ......................................................................... 4
C. Asal-Usul Perkembangan Hubungan Industrial........................................... 5
D. Perspektif-Perspektif Dalam Hubungan Industrial ...................................... 7
E. Perselisihan Industrial .................................................................................. 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk


antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha,
pekerja/ buruh, dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI.
Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintah, pekerja/buruh atau serikat pekerja
buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran
masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial
prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan,
maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan
pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang
penulis makalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian
akan digabungkan dengan berbagai materi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang dimaksud dengan hubungan industrial ?


2. Seperti apa asal-usul hubungan industrial ?
3. Bagaimana Perspektif-Perspektif Dalam Hubungan Industrial ?

C. Tujuan

Tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan informasi


tentang hubungan industrial. Sehingga dapat diharapkan pembaca dapat memahami teori
hubungan pancasila dengan jelas dan dapat menganalisis informasi tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hubungan Industrial


Hampir setiap individu dapat dikatakan memiliki hubungan kerja baik dengan
perorangan maupun dengan suatu lembaga. Hubungan kerja adalah suatu hubungan yang
timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh kedua
belah pihak. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah (Shamad, 1997). Suatu hubungan kerja
umumnya diikuti dengan suatu perjanjian kerja yang memuat hak dan kwajiban kedua
belah pihak baik secara langsung maupun tertulis. Dengan demikian perjanjian kerja
merupakan hasil interaksi diantara pihak- pihak yang terlibat dalam suatu proses
produksi.
Hubungan kerja merupakan cikal bakal dari hubungan industrial. Suatu hubungan
kerja dapat berkembang menjadi hubungan industrial apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti kolektivitas dan organisasi kerja. Apabila terjadi hubungan kerja
antara pihak-pihak secara kolektiv dalam suatu proses produksi, yaitu melibatkan
sekelompok pekerja dan pemberi kerja dalam suatu organisasi kerja (perusahaan), maka
hubungan kerja itu berubah menjadi hubungan industrial. Sebaliknya, suatu hubungan
kerja yang masih bersifat perorangan atau belum melibatkan sekelompok orang dalam
suatu organisasi kerja belum bisa disebut sebagai hubungan industrial. Selain itu, ada
yang menyebutkan hubungan industrial merupakan suatu bentuk interaksi berbagai
institusi, seperti serikat kerja, asosiasi pengusaha, proses- proses pelembagaan yang
menyangkut tawar-menawar, arbitrasi, serta hasil tawar-menawar dan arbitrasi tersebut,
berupa kesepakatan bersama maupun pemenuhan tuntutan (Gardner dan Palmer, 1994).
Seiring kompleksnya masalah yang muncul dalam hubungan industrial maka
perhatiannya meluas meliputi perilaku dan interaksi berbagai pihak ditempat kerja
yang membentuk hubungan ketenagakerjaan antara managemen dan buruh, misal
perbedaan kepentingan majikan dan pekerja, dan cara perbedaan itu dibentuk dan
diekspresikan.
Jadi, secara sederhana hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan
2
yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang atau jasa (Suwarto, 2000).
Namun, hubungan industrial tidak hanya sekedar sistem hubungan diantara para
pelaku ditempat kerja, tapi meliputi sekumpulan fenomena didalam maupun diluar
tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan
ketenagakerjaan. Dalam perkembangannya, hubungan industrial menyangkut hubungan
sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas (Smeru, 2002).
Tujuan hubungan industrial adalah meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan
pekerja dan pengusaha, dimana keduanya saling berkaitan. Peningkatan produktifitas
tidak bisa dicapai bila kesejahteraan pekerja tidak diperhatikan. Sebaliknya,
kesejahteraan pekerja tidak bisa dipenuhi bila tidak terjadi peningkatan produktifitas
perusahaan dan kerja.
Sarana utama hubungan industrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
Pertama, pada tingkat perusahaan ialah serikat buruh, Kesepakatan Kerja
Bersama/Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, lembaga kerjasama bipartit,
pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial. Kedua, sarana yang
bersifat makro, yaitu serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama tripartid,
peraturan perundang-undangan, penyelesaian industrial, dan pengenalan hubungan
industrial bagi masyarakat luas (Smeru, 2002).
Kesulitan dalam pengaturan hubungan industrial adalah perbedaan kepentingan
antara pekerja dan pengusaha sehingga tidak jarang muncul konflik kepentingan atau
gejolak industrial di antara para pelaku industrial. Pada umumnya, konflik yang terjadi
bersumber pada peraturan-peraturan yang berlaku di tempat kerja, yakni satu pihak
berupaya merubah dan membuat peraturan baru di tempat kerja, sementara pihak lain
berupaya mempertahankan peraturan-peraturan yang sudah berlaku (Anantaraman,
1990).
Peraturan di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, peraturan-
peraturan substanstif yang mencakup pengaturan upah, jam kerja, dan hal-hal lainnya
yang berkaitan dengan hubungan kerja yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Kedua, peraturan-peraturan prosedural yang
umumnya terdapat dalam peraturan perundangan tentang buruh, seperti peraturan tentang
prosedur pendaftaran serikat pekerja (Batubara, 2002).

3
B. Pelaku Hubungan Industrial

Dalam hubungan industrial, setidaknya ada tiga pelaku yang saling berinteraksi,
yaitu pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pekerja dan pengusaha merupakan
pelaku utama hubungan industrial ditingkat perusahaan. Dalam hal ini, pekerja dan
pengusaha mempunyai hak yang sama melindungi dan mengamankan kepentingan
masing-masing bahkan berhak melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila perlu.
Hubungan keduanya juga berpotensi mengundang konflik yang berkaitan dengan
perbedaan persepsi terhadap kepentingan masing-masing (Smeru, 2002).
Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah membuat peraturan dan
perundangan ketenagakerjaan agar hubungan keduanya berjalan seimbang dilandasi
pengaturan hak dan kewajiban yang ada. Selain itu, pemerintah berfungsi menyelesaikan
berbagai perselisihan industrial yang terjadi secara adil.

Tiga pelaku industrial dijelaskan sebagai berikut:

1. Pengusaha (Manajemen).
Istilah manajemen merujuk pada individu yang bertanggung jawab
merealisasikan tujuan dari pengusaha dan organisasi kerja mereka. Manajemen
sekurangnya mencakup tiga kelompok. Pertama, para pemilik dan pemegang saham
perusahaan. Kedua, jajaran direktur eksekutif dan manager. Ketiga, personalia
Human Resources Departement (HRD), yang bertanggung jawab khusus mengatur
hubungan perusahaan dengan buruh serta serikat buruh.
Manajemen berperan melakukan negosiasi dan menginvestasikan
peraturan-peraturan dan kebijakn-kebijakan perusahaan tentang hubungan
industrial (Katz dan Kochan, 1992).

2. Buruh
Istilah buruh (labour) meliputi pekerja dan serikat buruh yang mewakili
mereka. Para buruh dapat mempengaruhi perusahaan untuk memenuhi tuntutan
mereka melalui serikat buruh.
Penduduk dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan sedang
mencari kerja. Sedangkan, bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (>15

4
tahun) yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja. Buruh dalam konteks Indonesia
adalah mereka yang dalam angkatan kerja. Namun, study hubungan industrial
membatasi kategori buruh adalah mereka yang terlibat hubungan dengan
pengusaha, berarti tidak memasukkan kategori pegawai negeri dan angkatan
kerja yang bekerja sendiri (Swasono, 2000).

3. Pemerintah
Yang masuk dalam istilah pemerintah yaitu pertama, pemerintah lokal dan
pemerintah pusat. Kedua, lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab
membuat atau merubah kebijakan publik yang mempengaruhi hubungan industrial.
Ketiga, pemerintah sebagai representasi dari berbagai kepentingan publik.
Pemerintah bisa berperan sebagai regulator dengan mengeluarkan
peraturan perburuhan, misal peraturan bagaimana para pekerja membentuk serikat
buruh dan pengaturan hak dan kewajiban yang bisa dimiliki oleh serikat buruh
(Kartz dan Kochan, 1992).

C. Asal-Usul Perkembangan Hubungan Industrial

Hubungan industrial dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-18 seiring


munculnya revolusi industri. Awalnya hubungan industrial bersifat personal antara buruh
dan pengusaha, bahkan hubungan yang terjalin bersifat kekeluargaan. Segala persoalan
yang munculpun diselesaikan secara pribadi dan kekeluargaan. Intinya kala itu hubungan
industrial belum melahirkan berbagai peraturan kompleks ditempat kerja. Revolusi
industri menyebabkan perubahan besar dalam berproduksi. Perkembangan teknologi
produksi dan bahan baku yang melimpah mempermudah peningkatan produksi yang
mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. Dampaknya perusahaan lebih
bertambah besar dan cara produksi lebih praktis dari sebelumnya. Seiring
kompleksnya permasalahan yang muncul antara pekerja dan pengusaha dirasakan
perlu adanya pengaturan hak dan kewajiban yang dipatuhi oleh kedua pihak agar tercipta
harmonisasi dalam perusahaan.
Pasca revolusi industri sampai akhir abad ke 19 hubungan industrial semakin
menjadi isu yang meninjol. Pada masa ini hubungan industrial banyak dipengaruhi
oleh paham liberalisme, yang di[populerkan oleh Adam Smith yang dapat dilihat dari

5
beberapa pandangan berikut : Pertama, pada dasarnya antara pengusaha dan buruh
memiliki kepentingan yang berbeda, pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya sementara itu buruh juga berupaya mendapatkan upah yang sebear-
besarnya. Akibatnya diantara keduanya akan selalu memiliki hubungan yang bersifat
konfliktual terus-menerus. Kedua, hubungan antara pengusaha dan pekerja yang selalu
dilandasi oleh konflik kepentingan itu akan berupaya mencapai titik temu.
Akibat paling nyata pengaruh paham liberalisme terhadap hubungan industrial
adalah munculnya pandangan bahwa buruh adalah benda atau objek ekonomi. Dengan
kata lain pekerja adalah faktor produksi yang digunakan sebagai sarana untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dalam kondisi demikian para buruh sering
merasa tertindas dan mengalami kondisi yang menyedihkan, seperti jam kerja yang
panjang, kesejahteraan kerja yang sangat rendah, anak-anak terpaksa ikut bekerja, gizi
yang rendah dan banyak yang sakit-sakitan.
Penindasan yang banyak dialami oleh para buruh mendorong mereka untuk
menghimpun diri dalam suatu organisasi. Kesadaran berorganisasi di kalangan buruh
menandai munculnya aksi-aksi kolektif dalam mengajukan tuntutan terhadap pengusaha
dan aksi mereka berkembang menjadi aksi kolektif, seperti mogok kerja, dan penutupan
perusahaan sebagai sarana sah dalam hubungan industrial.
Seiring perkembangannya terjadi pergeseran pandangan terhadap hubungan
industrial. Pendekatan dalam bidang manajemen yang dikenal dengan scientific
management muncul dipelopori oleh F. W. Taylor, pendekatan yang diungkapkannya
mulai mengakui perbedaan di antara pekerja berdasarkan tingkat keterampilan yang
dimiliki pekerja. Pandangan selanjutnya yang lebih modern dalam bidang manajemen
dan hubungan industrial muncul pada tahun 1930-an. Dalam pandanagn ini, para pekerja
mulai dipandang sebagai individu dan juga makhluk sosial yang berinteraksi dengan
sesamanya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah, perkembangan hubungan industrial
bukan saja ditentukan oleh perkembangan bidang manajemen tetapi juga dipengaruhi
oleh perkembangan politik pada akhir abad sembilan belas dan permulaan abad dua
puluh. Perkembangan politik saat itu didominasi oleh sistem politik demokrasi,
dimana rakyat ikut berperan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut publik
melalui lembaga-lembaga perwakilan. Hal tersebut membuat kondisi para buruh semakin
terlindungi dengan adanya peraturan perundangan yang mengatur hak dan kwajiban
6
antara pengusaha dan pekerja, seperti pengaturan tentang keselamatan kerja, pengupahan
dan jam kerja.

D. Perspektif-Perspektif Dalam Hubungan Industrial

Ron Bean (1995), hubungan industrial adalah studi tentang bagaimana peranan
pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam rangka membuat perubahan atau
mempertahankan peraturan di tempat kerja.
Anantaraman (1990), mengembangkan dua pendekatan dalam membahas
hubungan industrial, yaitu perspektif unitary dan class conflict. Perspektif unitary,
hubungan industrial merupakan hubungan kerja sama antara pihak manajemen dan buruh
yang bersifat harmonis. Manajemen dan buruh merupakan satu tim kesatuan yang saling
membutuhkan, dimana manajemen adalah pihak yang menentukan kebijaksanaan, sedang
buruh merupakan pihak yang menjalankannya.
Sementara perspektif konflik kelas (class conflict) memandang pihak manajemen
dan buruh adalah pihak dengan kepentingan yang berbeda dan cenderung bersifat
antagonis.
Stephen J. Deery dan David H. Plowman (1991), perspektif pluralist menurutnya
memandang bahwa suatu oraganisasi kerja meliputi berbagai kelompok dengan
kepentingan,tujuan dan aspirasi yang beragam. Berdasarkan pendekatan ini konflik
dalam hubungan kerja tidak dapat dihindari. Sementara itu perspektif marxist bertolak
dari pemikiran bahwa dalam masyarakat industri selalu muncul konflik yang
berdasarkan kelas yaitu, antara kelas pemilik modal dengan kelas buruh.
J. Dunlop (1958), menegaskan bahwa peraturan di tempat kerja harus dijadikan
sebagai variabel dependent yang dipengaruhi oleh proses interaksi para pelaku hubungan
industrial sebagai variabel independent. Proses itu meliputi yaitu:

1. Status relatif dari pelaku.

Pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam hubungan industrial memiliki status


dan posisi yang berbeda. Status dan posisi para pelaku itu dipengaruhi dan
ditentukan dalam peraturan perundangan serta terikat dalam sistem politik yang
dianut oleh suatu negara.

7
2. Konteks dimana para pelaku berinteraksi

Konteks dimana para pelaku hubungan industrial berinteraksi tidak bisa


diabaikan ketika membuat peraturan di tempat kerja. Peraturan itu bukan hanya
dipengaruhi oleh kondisi faktor internal tapi juga faktor- faktor luar.

3. Ideologi dari sistem hubungan industrial.

Faktor ini menunjuk pada hubungan antara sistem hubungan industrial dan sistem
politik yang berlaku dalam suatu negara. Biasanya negara- negara yang baru
memulai pembangunan industri berupaya menciptakan stabilitas sosial dan politik
disektor perburuhan dengan cara membatasi atau bahkan melarang
keterlibatan serikat buruh dalam politik.

Sehingga Dunlop menekankan perlunya persamaan persepsi atau pandangan


meskipun tidak dipungkiri adanya ideologi dari masing-masing pelaku. Apabil dalam
suatu industri manajemen berpandangan terlalu paternalistik dalam menghadapi buruh
sementara di pihak lain buruh tidak mengakui fungsi dari pimpinan perusahaan maka
hubungan industrial tidak akan berjalan mulus dan stabil.

E. Perselisihan Industrial

Perselisihan di antara pelaku dalam proses produksi disebut dengan perselisihan


industrial. Perselisihan industrial dapat diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau
serikat pekerja meyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan.
Perselisihan pekerja biasanya diawali dengan tuntutan pekerja, baik secara lisan
maupun tulisan. Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera
ditanggapi oleh pihak pengusaha, tidak segera dilakukan perundingan, atau karena
kesepakatan antara manajemen dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan
belum tercapai.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU (2002)
menyimpulkan empat penyebab utama perselisihan industrial, yaitu:
8
1. Tuntutan non-formatif, yaitu suatu tuntutan yang berhubungan denganhal-hal
yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. Perselisihan
semacam ini muncul sebagai refleksi dari ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi
kerja, misalnya belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang
transportasi dan uang susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana
rekreasi, sistem pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service
charge di perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan
fasilitas, dan hal lain-lain.
2. Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam
peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB/KKB,
maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru. Misalnya,
pelaksanaan Upah Minimum Regional (UMR) atau upah yang telah menjadi
kesepakatan bersama (tripartit), uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan
perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukkan serikat pekerja dan
pemilihan pengurus secara demokratis, Tunjangan Hari Tua (THT),
Tunjangan Hari Raya (THR), dan pemberian pesangon.
3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja dari
perusahaan lain atau serikat pekerja afiliasi lain) dan aksi solidaritas untuk
melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah
minimum (UMR), kenaikan uang transportasi dan uang makan sebagai akibat
kenaikan BBM, dan pemberlakuan cuti haid.
4. Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja
lain agar ikut berunjuk rasa.

Berdasarkan temuan penelitian SMERU, perselisihan industri dapat dibagi ke


dalam empat kategori utama menurut intensitas dan cakupannya, yaitu: pertama,
perselisihan ringan, yakni perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan
lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau
tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); kedua, perselisihan
sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan didampingi atau
melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik
didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); ketiga,
perselisihan berat, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja yang dapat
9
diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P; keempat, perselisihan sangat berat, yaitu
perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja
yang belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P.
Menurut Hyman (1984), pemogokan dapat didefinisikan sebagai a temporary
stoppage of work by a group of employees in order to express grievance or enforce
demand. Definisi lain tentang pemogokan dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 25
Tahun 1997, yaitu suatu tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau
memperlambat pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan perselisihan industrial
yang dilakukan, agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja. Namun, dalam
kenyataannya, pemogokan tidak selalu harus didahului dengan gagalnya perundingan
tetapi dapat juga terjadi pada saat perundingan sedang berlangsung atau
mendahului suatu perundingan untuk memaksa agar perundingan segera dilakukan.
Dalam konteks hubungan industrial, negara memiliki peran normatif yang secara
mendasar memang potensial untuk dominan, seperti peran sebagai legislator, pemilik
modal, agen resolusi konflik, pengelola ekonomi, dan pengatur hubungan industrial.
Namun, melalui peran normatifnya ini negara juga tidak jarang terjebak ke dalam
kontradiksi antara logika akumulasi modal yang mengabaikan syarat dan ketentuan
ketenegakerjaan dengan logika akomodasi yang seharusnya melindungi korban-korban
dari akumulasi modal. Kontradiksi semacam inilah yang membuat peran negara
cenderung berada di antara dilema sebagai sumber keuntungan sepihak bagi modal atau
sebaliknya menjadi sumber kesejahteraan bagi pekerja atau justru berhasil dalam
menciptakan keseimbangan antara kontradiksi tersebut (Nugroho, 2003).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada masa colonial pergerakan buruh tidak terpisahkan dari pergerakan


kemerdekaan (anti kolonial). Kondisi yang hampir serupa juga mewarnai hubungan
industrial pada awal kemerdekaan dimana masih diwarnai oleh orientasi politik.
Pada masa ini seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mempertahankan
kemerdekaan sehingga polarisasi dalam hubungan industrial tidaklah terasa. Polarisasi
dalam hubungan industrial mulai dirasakan ketika pada tahun 1947 terbentuk serikat
buruh SOBSI yang berorientasi pada komunisme.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, terjadi gerak balik perkembangan hubungan
industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah terlibat jauh dalam penataan
hubungan industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah terlibat jauh dalam
penataan hubungan industrial di Indonesia. Dengan kata lain, kalau pada masa orde lama
gerakan buruh menjadi riuh rendah dengan politik maka pada masa orde baru
gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Bahkan buruh diasingkan, diabaikan
dari politik, dan gerakan buruh dibatasi dibawah wadah tunggal serikat buruh atau yang
dikenal dengan istilah political labor union.
Kemunculan HIP dapat dikatakan merupakan bagian dari restrukturisasi gerakan
buruh di Indonesia oleh pemerintah Orde Baru. Langkah restrukturisasi dimaksutkan,
antara lain, untuk meredam andcaman aktivitas politik buruh terhadap stabilitas social
politik yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan. Untuk mencapaii tujuan
tersebut, Orde baru menjalankan dua langkah sekaligus, yaitu penataan pada aspek
kelembagaan dan aspek ideology.

B. Saran
Demikian makalah yang kami sajikan, bila ada kesalahan dalam penulisan juga
kekurangan dalam segi pembahasan mohon dimaklumi. Dengan segala kerendahan hati,
kami sebagai penyusun makalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
teman-teman dan dosen pembimbing agar dapat memperbaiki makalah selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Haha Haryanto dkk. 2009. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia
http://www.stekpi.ac.id/informasi/datas/users/1-hubungan%20industrial.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai