Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang

dapat menimbulkan kebutaan. Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi

usia produktif adalah akibat uveitis. Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan

di mata saja atau merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma,

iatrogenik dan infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah

idiopatik. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior,

intermediet, posterior, dan panuveitis.[1]

Istilah “uveitis menunjukkan suatu peradangan, dalam bahasa latin uva

merupakan “anggur”. Peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus

ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau

koroid (koroiditis). Namun, dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup

peradangan pada retina (retinitis), pembuluh-pembuluh retina (vasculitis

retinal), dan nervus optikus intraocular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi

sekunder akibat radang kornea (keratitis), radang sklera (skleritis), atau

keduanya (sklerokeratitis).[2]

Uveitis lazim terjadi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat uveitis

memiliki prevalensi 2,3 juta orang dan menyebabkan 10% dari semua kasus

kebutaan. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 70 sampai 115 kasus per

100.000 penduduk, dan uveitis mempengaruhi wanita sedikit lebih banyak

daripada laki-laki. Prevalensi di negara-negara berkembang tidak jelas,

1
namun sebuah studi dari Afrika Barat menemukan bahwa uveitis termasuk

bahwa karena onchrocerciasis menyebabkan 24% kebutaan. Perdarahan

retina dan vitreous saat ini pada TB okular (penyakit Eales) paling sering

terjadi pada Pasien dari India, Pakistan dan Afghanistan. Uveitis dapat

terjadi pada usia berapapun, namun usia rata-rata saat presentasi sekitar 40.

Uveitis anterior adalah jenis uveitis yang paling umum, yang mencakup 90%

kasus uveitis di bidang Oftalmologi berbasis masyarakat. Praktek dan sekitar

50% di pusat rujukan universitas. Uveitis intermediate, posterior dan

panuveitis masing-masing mencakup 10 sampai 15% kasus uveitis di pusat

rujukan universitas namun hanya 1% sampai 5% pada praktik masyarakat. [3]

Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan

menimbulkan komplikasi kebutaan bila tidak ditatalaksana dengan baik.

Selain itu, uveitis dapat mengakibatkan peradangan jaringan sekitar seperti

sklera, retina, dan nervus optik sehingga memperburuk perjalanan penyakit

dan meningkatkan komplikasi. Karena uveitis dapat menimbulkan kebutaan,

dokter harus mampu menegakkan diagnosis klinis, memberikan terapi awal,

menentukan rujukan serta menindaklanjuti pasien rujukan balik yang telah

selesai ditatalaksana oleh dokter spesialis.[1]

1.2 TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui definisi dan epidemiologi Uveitis

2. Mengetahui klasifikasi beserta penatalaksanaan Uveitis

3. Mengetahui pemeriksaan penunjang dan komplikasi Uveitis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI UVEA

Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata

yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. [4]

Gambar 1. Anatomi bola mata potongan sagital

Uvea memberikan nutrisi pada mata. Pada bagian posterior uvea adalah

koroid, suatu jaringan yang terdiri dari pembuluh darah. Bagian kedua uvea

adalah badan siliar yang terletak tepat di anterior dari koroid dan posterior dari

batas korneosklera dan memberikan nutrisi dengan membentuk cairan

intraocular, yaitu aqueos humor. Selain itu, badan siliar mengandung otot

yang menunjang dan mekanisme fokus pada lensa. Bagian paling anterior dari

traktus uvealis, iris, yang bertindak sebagai diafragma pada pupil, dimana

akan berdilatasi untuk memungkinkan lebih banyak cahaya ke retina dalam

3
pencahayaan redup dan akan berkonstriksi dalam pencahayaan terang. Iris

juga mempunyai fungsi sebagai pemberi nutrisi, dengan cara membantu

meregulasi aliran cairan ke mata. [5]

2.1.1 Iris

Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa

permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil.

Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,

memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-

masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter

dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan

posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel

pigmen retina kea rah anterior.[2]

Perdarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris

mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated).

Sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan

secara intravena. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam

nervi ciliares.[2]

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.

Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara

konstruksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui

nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas

simpatis. [2]

2.1.2 Corpus Siliar

4
Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan

melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke

pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus ciliare terdiri atas zona anterior

yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang

datar, pars plana (4 mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata.

Processus ciliares ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang

bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan

berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan

secara intravena. Ada 2 lapisan epitel siliaris; satu lapisan tanpa

pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke

anterior; dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan

perluasan lapisan epitel pigmen retina. Processus ciliares dan epitel

siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous

humor.[2]

Gambar 2. Tampilan posterior corpus ciliare, zonula, lensa dan ora

serrata

5
Musculus ciliaris tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal,

sirkular dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk

mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di

lembah-lembah di antara processus ciliares. Otot ini mengubah

tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai

fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh

dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal musculus ciliaris

menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk memperngaruhi besar

porinya. [2]

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare berasal

dari circulus anteriosus major iris, persarafan sensoris iris melalui

saraf-saraf siliaris.[2]

Gambar 3. Sudut bilik mata depan dan struktur di sekitarnya

2.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.

Koroid tersusun atas 3 lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang dan

6
kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin

lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai

koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui 4 vena

vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam

dibatasi oleh membrane Bruch dan disebelah luar oleh sklera. Ruang

suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke

posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah anterior, koroid

bergabung dengan corpus ciliare.[2]

Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina

yang menyokongnya.[2]

2.2 DEFINISI UVEITIS

Uveitis adalah peradangan uvea yang dapat mengenai hanya bagian

depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut

sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka keadaan ini disebut

sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut

sebagai uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam bagian belakang mata

maka disebut koroiditis. [4]

2.3 EPIDEMIOLOGI

Insidensi uveitis di wilayah barat dunia sekitar 52,4 per 100.000 dan

prevalensi sebesar 115 per 100.000. Insidensi dapat dikorelasikan

berdasarkan usia dan wanita lebih sering daripada pria. Angka morbiditas

7
biasanya tinggi pada kasus kronis di karenakan penyakit dan keparahan yang

mempengaruhi kualitas hidup penderita.[6]

Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan berpengaruh pada

10-20% kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis lebih

banyak ditemukan di negara-negara berkembang dibandingkan di negara-

negara maju karena lebih tingginya prevalensi infeksi yang bisa

mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberculosis di negara-

negara berkembang. [2]

Pertimbangan terkait usia, pada usia tua akibat gejala-gejala samar

(neoplasma) dan terkait obat. Sedangkan pada dewasa muda diantaranya

artritis idiopatik juvenile, uveitis terkait HLA-B27. Pada anak yaitu artritis

idiopatik juvenile.[7]

2.4 ETIOLOGI

a. Infeksi:

 Bakteri

 Virus

 Jamur

 Parasite

b. Non infeksi:

 Terkait dengan penyakit sistemik

 Tidak terkait sistemik

c. Masquerade (samar)

 Neoplasma

8
 Non neoplasma[7]

2.5 GEJALA KLINIS

Penderita biasanya datang dengan mata merah yang menyakitkan dan

penurunan penglihatan. Mungkin juga ditemukan pupil konstriksi, fotofobia,

dan robekan. Pada pemeriksaan lampu celah, tampak sel dan "flare"

(protein) di bilik mata depan. Jika inflamasi berat maka bisa terdapat

sejumlah sel darah putih sehingga menimbulkan suatu massa inferior

(hipopion). Permukaan dalam kornea mungkin didapatkan bintik-bintik

dengan endapan kerat yang berbutir halus ("granular") atau globular

("granulomatous" atau "mutton fat" endapan kerat). Istilah "granulomatous"

bersifat deskriptif dan tidak mengacu pada penemuan granuloma secara

patologi. Pembuluh darah iris dapat mengalami dilatasi dan juga iris dapat

menempel pada lensa (sinekia posterior). [3,11]

Gambar 4. Gambaran flare pada bilik mata depan

9
Gambar 5. Gambaran “sel” pada bilik mata depan

Gambar 6. Mutton Fat di permukaan bagian dalam kornea

2.6 KLASIFIKASI

The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The

Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis

berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit. Secara anatomi,

uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis

posterior, dan panuveitis sedangkan menurut etiologi, uveitis dibagi

10
menjadi infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan

idiopatik.[1]

Berdasarkan perjalanan penyakit, uveitis dibagi menjadi akut (onset

mendadak dan durasi kurang dari empat minggu), rekuren (episode uveitis

berulang), kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan

setelah pengobatan dihentikan), dan remisi (tidak ada gejala uveitis selama

tiga bulan atau lebih).[1]

Tabel 1. Klasifikasi anatomi uveitis menurut kelompok kerja SUN [7]

Jenis Tempat primer inflamasi Meliputi

Uveitis anterior Camera oculi anterior Iritis, iridosiklitis, siklitis

anterior

Uveitis Vitreus Pars planitis, siklitis

intermediet posterior, hialitis

Uveitis posterior Retina atau koroid Fokal, multifocal, atau

koroiditis difus,

korioretinitis,

retinokoroiditis, retinitis,

neuroretinitis

Panuveitis Camera oculi anterior,

vitreous, dan retina atau

koroid

Tabel 2. Deskripsi uveitis menurut kelompok kerja SUN[7]

Kategori Deskripsi Catatan

11
Awitan Mendadak

Perlahan

Durasi Terbatas ≤ 3 bulan lamanya

Persisten ≥ 3 bulan lamanya

Perjalanan Akut Episode ditandai dengan awitan

mendadak dan durasi terbatas

Rekuren Episode berulang diselang oleh

periode inaktif tanpa pengobatan

selama ≥ 3 bulan

Kronis Uveitis persisten dengan kekambuhan

dalam < 3 bulan sesudah penghentian

pengobatan

Remisi Uveitis persisten dengan kekambuhan

dalam < 3 bulan sesudah penghentian

pengobatan

2.7 UVEITIS ANTERIOR

2.7.1 Uveitis Anterior Akut

A. Definisi

Uveitis anterior merupakan peradangan mengenai iris dan jaringan

badan siliar (iridosklitis) biasanya unilateral dengan onset akut.[4]

B. Etiologi

12
Penyebab uveitis anterior akut dibedakan dalam bentuk

nongranulomatosa dan granulomatosa akut-kronis. Penyebab

nongranulomatosa akut diantaranya trauma, diare kronis, penyakit

Reiter, herpes simpleks, sindrom Bechet, sindrom Posner Schlosman,

pascabedah, infeksi adenovirus, parotitis, influenza dan klamidia.

Gejalanya berupa rasa nyeri, fotofobia, penglihatan buram, keratik

presipitat kecil, pupil mengecil dan sering terjadi kekambuhan.

sedangkan non granulomatosa kronis dapat disebabkan artritis

rheumatoid dan Fuchs heterokromik iridosiklitis.[4]

Granulomatosa akut disebabkan akibat sarkoiditis, sifilis,

tuberculosis, virus, jamur (histoplasmosis) atau parasite

(toksoplasmosis). Gejalanya tidak nyeri, fotofobia ringan, buram,

keratik presipitat besar (mutton fat), benjolan Koeppe (penimbunan sel

pada tepi pupil atau benjolan Busacca (penimbunan sel pada

permukaan iris).[4]

Tabel 3. Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa[2]

Non- Granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan Kabur Sedang Nyata

Merah Sirkumneal Nyata Ringan

Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar

Pupil Kecil dan tak teratur (“mutton fat”)

13
Sinekia posterior Kadang-kadang Kecil dan tak teratur

Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang

Lokasi Uvea anterior Kadang-kadang

Uvea anterior,

posterior,difus

Perjalanan penyakit Akut Kronik

Kekambuhan Sering Kadang-kadang

C. Patofisiologi

Radang akut pada jaringan ini diawali dengan dilatasi pembuluh

darah kecil yang kemudian diikuti eksudasi, sehingga jaringan iris

edema, pucat dan reflex menjadi lambat sampai terhenti sama sekali.

Eksudasi fibrin dan sel radang masuk ke bilik mata depan, maka akuos

humor menjadi keruh dinamakan flare dan sel positif. Bila sel radang

menggumpal dan mengendap di bagian bawah bilik mata depan

dinamakan hipopion, dan bila mengendap di endotel kornea

dinamakan keratik presipitat.[8]

D. Gejala

1) Gejala Subyektif

 Mata terasa ngeres seperti ada pasir

 Mata merah disertai air mata

 Nyeri, baik saat ditekan maupun digerakkan

 Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar

 Blefarospasme[8]

14
 Penglihatan kabur dengan sukar melihat dekat akibat ikut

meradangnya otot-otot akomodasi[4]

2) Gejala Obyektif

 Kelopak mata edema disertai ptosis ringan

 Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis

 Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar

sekitar limbus

 Jika inflamasi berat maka bisa terdapat sejumlah sel darah

putih sehingga menimbulkan suatu massa inferior (hipopion).

 Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau

keratik presipitat

 Iris edema dan warna menjadi pucat

 Sinekia posterior, yaitu pelekatan iris dengan lensa

 Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, reflek lambat sampai

negative[8]

Gambar 7. Sinekia Posterior dengan pupil tampak ireguler

15
Gambar 8. Hipopion pada kamera okuli inferior

E. Penatalaksanaan

- Midriatikum/siklopegik:

 Sulfas Atropin 1% sehari 3 kali tetes

 Homatropin 2% sehari 3 kali tetes

 Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes

- Anti Inflamasi:

Dewasa:

 Preparat kortikosteroid:

Oral: prednisone 2 tablet sehari 3 kali

Subkonjungtiva: hidrokortison 0,3 cc

Anak

 Prednisone 0,5 mg/kgBB, sehari 3 kali

- Antibiotic (diberikan bila ada indikasi yang jelas)

Dewasa:

 Local berupa tetes mata, kadang-kadang dikombinasi dengan

preparat steroid

 Subkonjungtiva, kadang-kadang dikombinasi dengan steroid

16
 Per-oral: Chloramphenicol sehari 3 kali 2 kapsul

Anak:

 Chloramphenicol 25 mg/kgBB sehari 3-4 kali[8]

2.7.2 Uveitis Anterior Kronis

A. Penyebab

 Sarkoidosis

 Iridosiklitis heterokromik Fuchs

 Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

 Artritis idiopatik juvenile

 Tuberculosis[7]

B. Gejala Klinis

 Kemerahan ringan

 Floater

 Keratic precipitat: ukuran = kecil atau sedang[7]

C. Penatalaksanaan

 Pilihan agen siklopegia dapat berupa tetes mata Atropin 1% yang

digunakan pada uveitis berat yang berlangsung lebih lama dapat

diberikan hingga qid pada orang dewasa untuk siklopegia dan

mungkin melisiskan sinekia. Pada anak, larutan Atropine 0,5%

diteteskan hingga tid atau salep yang dioleskan sedikit pada sakus

konjungtiva.

 Steroid topical Prednisolone acetate 1% yang diteteskan tiap 1 jam

hingga qid, bergantung pada derajat keparahan uveitis.[7]

17
2.8 UVEITIS INTERMEDIET

2.8.1 Definisi

Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer atau pars

planitis adalah jenis peradangan intraocular terbanyak kedua. Uveitis

intermediet menunjukkan inflamasi badan siliaris, vitreus dan retina

perifer. Uveitis intermediet khasnya bilateral dan cenderung mengenai

pasien pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak

terkena dibandingkan wanita.[2]

2.8.2 Etiologi

 Idiopatik

 Sarcoidosis berperan 10-20% kasus

 Sclerosis multiple berperan 10-20% kasus[2]

 Penyakit Lyme

 Penyakit cakaran kucing

 Penyakit usus inflamasi (inflammatory bowel disease)

 Toksokariasis[7]

2.8.3 Gejala

A. Gejala Subyektif

 Mata tidak nyeri dan merah

 Kehilangan pengihatan mendadak pada komplikasi ablasio

retina atau perdarahan vitreus

 Riwayat melihat adanya floater[7]

B. Gejala Obyektif

18
 “timbunan salju” inferior pada pars planitis yang biasanya

terlihat di vitreus perifer, inferior.

 Edema macula sehingga penglihatan kabur

 Dapat dijumpai katarak sekunder akibat penyakit atau

penggunaan steroid jangka panjang

 Periflebitis retina perifer

 Pembengkakan caput nervus opticus[7]

Gambar 9. Snowballs: Bercak Putih Kekuningan di Vitreus

2.8.4 Penatalaksanaan

 Prednisolone acetate 1% topical setiap 1-2 jam sekali

 Injeksi steroid sub-Tenon (triamcinolone 0,5-1,0 ml, konsentrasi =

40 mg/ml). ulangi sesuai keperluan setiap 6-8 minggu

 Pertimbangkan steroid sistemik, Prednisone 40-60 mg po sekali

sehari selama 4-6 minggu jika pengobatan di atas tidak efektif

dalam memperbaiki penglihatan[7]

19
2.9 UVEITIS POSTERIOR

2.9.1 Definisi

Radang uvea bagian posterior yang biasanya disertai dengan

keradangan jaringan di sekitarnya, antara lain retina (retinitis) dan

viterus (vitritis).[8]

2.9.2 Etiologi

a. Infeksi: toksoplasmosis, toksokariasis, sifilis, tuberculosis, infeksi

sitomegalovirus, herpes simpleks, varisela zoster dan HIV

b. Non infeksi: sarcoidosis, sindroma Vogt-Koyanagi- Harada

(VKH), Presumed ocular histoplasmosis syndrome, penyakit

Behcet.[7]

2.9.3 Patofisiologi

Penyebab tersering adalah reaksi hipersensitifitas, baik terhadap

mikroorganisme maupun gerak autogenic. Infeksi terjadi karena di

salah satu bagian tubuh kemudian terjadi sensitisasi jaringan karena

mikro organisme atau proteinnya dalam darah sebagai antigen.[8]

2.9.4 Gejala

A. Gejala Subyektif

 Tidak nyeri

 Gangguan kotoran atau bercak-bercak pada lapang pandang

yang semakin banyak

 Kehilangan lapangan pandang (scotoma)[2]

 Visus menurun

 Kadang disertai fotopsia[8]

20
B. Gejala Obyektif

 Oftalmoskop: tampak kekeruhan badan kaca dan bila retina

masih terlihat, akan tampak fokal pucat disertai pigmen-

pigmen.

 Lensa kontak 3-cermin Goldman: terlihat adanya pars planitis

sebagai fokal kepucatan dengan pigmen-pigmen[8]

2.9.5 Penatalaksanaan

a. Midriatika/siklopegik:

 Sulfas Atropin 1% sehari 1 kali 1 tetes

 Homatropin 2% sehari 3 kali 1 tetes

b. Tetes/salep mata: diberikan sehari 3 kali

 Dexamethasone 1% atau betamethasone 1%

 Prednisolone 0,,5% tetes/salep

c. Suntikan periokuler:

 Long acting: Methylprednisone acetat atau Triamcinolone

acetonic 40 mg/cc/minggu

 Short acting: Betamethasone 4 mg/cc/hari atau Dexamethasone

4 mg/cc/hari

d. Suntikan subtenon posterior: obat yang diberikan sama dengan

diatas dengan dosis 1,5 cc/suntikan untuk kasus pars planitis dan

uveitis posterior

e. Sistemik: dosis awal 5 mg/hari bila ada respon diberi dosis

maintenance 2 mg/kgBB/hari dengan pengawasan pada faal hati

dan ginjal.

21
 Prednisolone: dosis awal 1-1,5 mg/kgBB diturunkan bertahap

bila sudah ada respons

 Cyclosporine dapat diberian bila tak ada respon dengan steroid,

setelah pemberian 2 minggu[8]

2.10 PANUVEITIS

Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya

seperti retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis,

sindrom VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis.

Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan

uveitis anterior.[1]

2.10.1 Uveitis Simpatetik

Uveitis simpatetik merupakan panuveitis bilateral yang

terjadi setelah trauma tembus/luka operasi mata pada daerah

badan siliar/sekitarnya. Biasanya terjadi 10-14 hari sampai

beberapa tahun setelah trauma. Waktu yang sering terjadi adalah

4-8 minggu setelah trauma. Mata yang terkena trauma disebut

“exciting eye” dan yang ikut bereaksi disebut “sympathizing

eye”. [9]

Patogenesa belum diketahui dengan jelas, diduga suatu

proses autoimun yang berupa “delayed hypersensitivity

reaction”. Antigennya adalah pigmen uvea matanya sendiri

dengan kemungkinan bantuan virus. [9]

22
Gambaran patologik lesi dikedua mata sama, yaitu berupa

granuloma difus/granuloma dengan sel epiteloid, giant sel dan

limfosit, tidak ditemukan adanya nekrosis. Gejala klinis berupa

gejala prodromal disertai fotofobia, gangguan penglihatan dekat

karena kelemahan akomodasi, hiperemi perikornea, keratik

presipitat, flare, kekeruhan badan kaca dan nyeri di mata. [9]

Pengobatan ditujukan pada pencegaha terhadap penyakit ini,

yaitu uveitis simpatetik tidak terjadi bila mata yang mengalami

trauma dibuang, kecuali bila sudah ada uveitis simpatetik ketika

dilakukan pembuangan mata. Atas dasar ini, jika trauma tembus

didaerah badan siliar dan mata sudah tidak berfungsi lagi maka

dilakukan pembuangan sebelum 14 hari sesudah trauma. Bila

sudah terjadi uveitis simpatetis, maka dapat diberikan

pengobatan seperti pengobatan pada uveitis biasa.[9]

2.10.2 Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Sindrom VKH merupakan suatu sidnrom yang terdiri atas

uveitis granulomatosa bilateral disertai depigmentasi kulit

(vitiligo) dan rambut, rambut rontok (alopesia) dengan tanda-

tanda iritasi meningen sehingga sering disebut sebagai uveo-

meningitis. [10]

Penyakit ini umumnya menyerang orang dewasa muda.

Sering dimulai dengan serangan panas dengan sakit kepala,

gangguan pendengaran dan vertigo. Setelah 2 minggu kemudian

diikuti gejala uveitis anterior bilateral, kadang-kadang koroiditis

23
dan neuritis optika, vitiligo, alopesia, poliosis biasanya baru

timbul beberapa bulan kemudian. Kelainan pigmen ini biasanya

menetap. [10]

Pada gambaran klinik secara subyektif tergantung bagian

uvea yang terkena. Gejala obyektifnya terdapat uveitis,,

koroiditis dan neuritis optic yang sering mereda dalam waktu

yang lama akan tetapi sering meninggalkan kerusakan yang

menyebabkan kemunduran penglihatan. Poliosis biasanya hanya

mengenai alis dan bulu mata. Pengobatan pada sindrom VKH

dapat diberikan steroid untuk mengendalikan inflamasi, dosis

bergantung pada keparahan.[10]

2.10.3 Penyakit Behcet

Penyakit yang mengenai multisystem, kronis dan idiopatik

dengan gambaran umum episode kekambuhan inflamasi.

Keterlibatan mata tersering berupa panuveitis yang mengancam

penglihatan dan vasculitis retina. [7]

Paling sering menyerang penderita dengan usia 20-40 tahun.

Lebih sering dijumpai pada orang Turki, Jepang atau Timur

Tengah. [7]

Gambaran klinis berupa penglihatan kabur, nyeri, fotofobia

dan floater dengan onset mendadak. Pada uveitis anterior

didapatkan uveitis non-granulomatosa akut yang biasanya

tampak hipopion. Pada uveitis posterior tampak edema macula,

vitritis dan infiltrate pada retina. Kriteria diagnositik penyakit

24
Behcet yaitu harus tampak ulkus oral yang berulang, ditambah

dua dari ulkus genital berulang, lesi mata, lesi kulit berupa eritem

nodosum/lesi papulopustular/pseudofolikulitis atau uji patergi

positif. [7]

Penatalaksanaan dengan kortikosteroid sistemik yaitu

Prednisolone per-oral dosis awal 1-2 mg/kg/hari.[7]

2.11 UVEITIS NON INFEKSI

Uveitis non-infeksi dapat terjadi hanya di mata namun dapat juga

sebagai peradangan ikutan pada penyakit autoimun atau neoplasma di organ

lain. Penyakit autoimun yang sering menimbulkan uveitis adalah

spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis

ulseratif chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis,

sindrom VKH, sindrom behcet, uveitis fakogenik, dan sarkoidosis. Perlu

diperhatikan bahwa sebelum menyatakan uveitis sebagai kasus autoimun,

penyebab infeksi, trauma dan neoplasma harus disingkirkan. [1]

Pada spondiloartropati, uveitis bersifat akut, kelainan di satu mata dan

sering berulang. Manifestasi uveitis anterior dapat dijadikan penanda awal

spondiloartropati terutama pada undifferentiated spondyloarthropathy.

Uveitis terjadi pada 10-40% kasus ankilosing spondilitis yang merupakan

inflamasi kronik ligamen, kapsul sendi dan osifikasi sendi. Penyakit tersebut

menyerang sendi aksial seperti vertebrae dan sendi sakroiliaka pada pasien

berusia dekade ketiga dan keempat, serta lebih sering pada laki-laki.

Ankilosing spondilitis dapat juga menimbulkan uveitis anterior akut,

25
skleritis, episkleritis, dan keratitis. Uveitisnya bervariasi mulai dari yang

ringan hingga berat dan sering menimbulkan nyeri, fotofobia serta

penglihatan kabur. Selain itu ditemukan injeksi limbus dan keratic precipitat.
[1,2]

Pada artritis psoriasis, uveitis terjadi perlahan, melibatkan segmen

posterior, dan mengenai kedua mata. Komplikasi yang sering adalah sinekia

posterior, katarak, hipertensi okular, glaukoma, dan edema makula. Lesi

psoriasis terdapat di kulit kepala, tubuh, lengan, dan kaki. [1]

Artritis reumatoid juvenil atau Arthritis Idiopatik Juvenilis (JIA)

merupakan penyebab tersering uveitis anterior pada anak yang berusia

kurang dari 16 tahun. Anak perempuan terkena 4-5 kali lebih sering

dibandingkan anak laki-laki. Gejala artritis dapat berupa oligoartikular dan

poliartrikular. Gejala sistemik meliputi demam, ruam, limfadenopati, dan

hepatosplenomegali. Tanda utama pada mata adalah sel dan flare dalam bilik

mata depan, keratic precipitate putih berukuran kecil sampai sedang dengan

atau tanpa bintik-bintik fibrin pada endotel, sinekia posterior yang sering

menimbulkan seklusio pupil dan katarak. Penderita JIA harus diperiksa oleh

ahli rheumatologi dan diperiksa titer ANA-nya. Pengobatannya dengan

kortikosteroid topical, anti inflamasi non steroid dan siklopegik/midriatik.


[1,2]

Sindrom uveitis fuchs adalah inflamasi nongranulomatosa kronik dengan

manifestasi uveitis anterior, heterokromia iris, dan katarak. Pada inflamasi

berat, dapat terjadi vitritis dan koroiditis. Kasus ini suatu kelainan yang

jarang, tidak sampai 5% dari semua kasus uveitis. Gejalanya berupa

26
kemerahan, nyeri, penglihatan kabur oleh karena katarak dan fotofobia yang

minimal. Keratic precipitate pada penyakit ini bentuknya stellate, kecil dan

tersebar di seluruh endotel. [1,2]

Kolitis ulseratif chron dan penyakit whipple adalah penyakit usus yang

dapat menimbulkan uveitis anterior, keratitis, vitritis, retinitis, perdarahan

retina, cotton-wool spots, dan koroiditis. [1]

Tubulointerstitial nephritis and uveitis adalah penyakit yang

menimbulkan gejala anemia, hipertensi, gagal ginjal, uveitis anterior,

intermediet dan uveitis posterior. Inflamasi bersifat nongranulomatosa

disertai edema diskus optik dan makula. [1]

Sindrom VKH ditandai dengan inflamasi di jaringan bermelanosit

seperti uvea, telinga, dan meninges; sering terjadi pada ras Hispanik dan

Jepang serta berhubungan dengan HLA-DR1 dan HLA-DR4. [1]

Sindrom behcet adalah ulkus aftosa rekuren setidaknya tiga kali dalam

setahun disertai minimal dua gejala berikut: ulkus genital, inflamasi mata,

lesi kulit, dan reaksi patergi. [1]

Uveitis fakogenik adalah uveitis akibat respons imun terhadap protein

lensa dengan faktor predisposisi berupa trauma, pasca-operasi, atau

degenerasi kapsul lensa. Gejala klinisnya adalah mata merah, penglihatan

kabur, nyeri, fotofobia, dan peningkatan tekanan intraokular. Apabila

fragmen lensa masuk ke dalam cairan vitreus dapat timbul vitritis.

Pengobatan menggunakan kortikosteroid dan pengeluaran lensa. [1,10]

Sarkoidosis adalah inflamasi granulomatosa nonkaseosa di seluruh organ

namun lebih sering di paru dan kelenjar limfe. Sarkoidosis sering

27
menyebabkan uveitis anterior granulomatosa tetapi di Indonesia lebih jarang

ditemukan. Kelainan terjadi di kedua mata berupa presipitat keratik, nodul di

trabecular meshwork, vitreus keruh, lesi multipel korioretina perifer,

periflebitis segmental dan nodular atau makroaneurisma retina, serta nodul

diskus optik. [1]

Oftalmia simpatika merupakan panuveitis granulomatosa di kedua mata

akibat trauma tajam di mata atau pasca-operasi.[1]

2.12 UVEITIS INFEKSI

2.12.1 Uveitis Toksoplasmosis

Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior disebabkan oleh

T.gondii dengan gejala utama necrotizing chorioretinitis.

Toksoplasmosis kongenital biasanya di kedua mata sehingga

umumnya disertai strabismus, nistagmus, dan kebutaan. Pada orang

dewasa retinokoroiditis toksoplasma biasanya akibat reaktivasi

infeksi kongenital. Lesi toksoplasmosis didapat umumnya di satu

mata namun jika dijumpai lesi aktif toksoplasmosis di kedua mata

pada orang dewasa, perlu dipikirkan kemungkinan HIV. Dapat

ditemukan lesi nekrosis fokal di retina, berwarna putih kekuningan

seperti kapas dan batas tidak jelas. Pada proses penyembuhan,

batas lesi menjadi lebih tegas disertai pigmentasi perifer.

Pengobatan toksoplasmosis menggunakan Pirimetamin,

Sulfadiazin, Spiramisin, fotokoagulasi atau kauter krio.[1,10]

28
Gambar 10. Retinokoroiditis Toksoplasmosis. Papil bulat, batas

tidak tegas dengan eksudat berwarna putih kekuningan di daerah

makula

2.12.2 Uveitis Tuberculosis

Gambaran uveitis anterior tuberkulosis umumnya iridosiklitis

granulomatosa di kedua mata, nodul di tepi iris (nodul koeppe)

atau di permukaan iris (nodul busacca), presipitat keratik,

hipopion, dan sinekia posterior. Uveitis intermediet dapat berupa

pars planitis, vitritis, vitreous snowballs, snowbanking, granuloma

perifer, vaskulitis dan edema makular sistoid. Pada uveitis

posterior dapat timbul koroiditis, tuberkel, tuberkuloma atau abses

subretina dengan gambaran khas koroiditis serpiginosa. [1]

29
Gambar 11. Nodul Koeppe di tepi pupil

Gambar 12. Nodul Busacca di permukaan iris

Gambar 13. Tuberkel Koroid pada TB Milier berupa nodul putih

keabu-abuan

30
2.12.3 Uveitis sifilis

Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang ditularkan

melalui abrasi kulit atau mukosa saat berhubungan seksual. Pada

sifilis kongenital, T.pallidum ditularkan melalui plasenta dari ibu

yang mengidap sifilis. Sifilis dapat menyebabkan kelainan di

semua organ termasuk mata dengan gejala uveitis, keratitis,

korioretinitis, retinitis, vaskulitis retina, dan neuropati optik. [1]

Uveitis merupakan manifestasi tersering sehingga sifilis okular

harus dicurigai sebagai bagian dari infeksi sistemik. Uveitis dapat

terjadi 6 minggu setelah infeksi primer namun dapat muncul

beberapa tahun setelah infeksi primer. Uveitis terjadi di kedua mata

berupa peradangan granulomatosa atau nongranulomatosa. Di iris

dapat dijumpai nodul kekuningan (roseola) yang merupakan

dilatasi kapiler iris. Gejala lain adalah korioretinitis, neuritis optik,

dan neuroretinitis. Barile et al23 menemukan bahwa 71% kasus

uveitis sifilis terjadi di segmen anterior, sedangkan Amaratunge et

al24 menyatakan sifilis lebih sering menyerang segmen posterior

dan keterlibatan segmen anterior mengarah pada koinfeksi dengan

HIV. Pengobatan menggunakan Penicillin G. [1,7]

2.12.4 Infeksi virus

Uveitis anterior merupakan bentuk uveitis yang paling sering

dijumpai pada infeksi virus terutama HSV, VVZ, dan CMV.

Infeksi virus pada individu imunokompeten umumnya asimtomatik

namun pada gangguan imunitas dapat timbul gejala akut. [1]

31
HSV merupakan penyebab uveitis tersering di Amerika Serikat

terutama pada usia di bawah 60 tahun. HSV umumnya

menimbulkan kelainan di satu mata dengan tanda khas atrofi iris

dan keratitis herpetik. Diagnosis uveitis anterior HSV sulit

ditegakkan tanpa tanda khas tersebut sehingga diperlukan

informasi mengenai riwayat herpes di bibir atau genital. Gejala lain

adalah dilatasi pupil, peningkatan tekanan intraokular dan sinekia

posterior. [1]

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh herpes zoster

oftalmikus yang merupakan reaktivasi VZV dorman di ganglion

sensorik nervus kranial V. Reaktivasi virus terjadi akibat

penurunan sistem imun terkait usia. Gejalanya berupa uveitis

granulomatosa, atrofi iris, dan peningkatan tekanan intraokular.

Uveitis anterior zoster umumnya didahului dengan lesi di kulit

sesuai dengan persarafan trigeminal cabang oftalmik. [1]

Pada pasien imunokompeten, infeksi CMV sering asimtomatik

namun dapat menjadi infeksi oportunis pada pasien dengan

gangguan kekebalan. CMV menyerang satu mata namun dapat

berkembang di kedua mata. Di segmen anterior, CMV

menimbulkan uveitis, endotelitis, presipitat keratik, peningkatan

tekanan intraokular, atrofi iris dan katarak. Di segmen posterior,

infeksi CMV mengganggu penglihatan karena kelainan di makula,

vitritis, retinitis, dan neuritis optikus. [1]

32
2.12.5 Infeksi jamur

Uveitis jamur dapat disebabkan oleh Histoplasma capsulatum,

Pneumocystis choroiditis, Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal

choroiditis, Candida, dan Coccidioidomycosis yang umumnya

terjadi pada individu dengan gangguan imun. Presumed ocular

histoplasmosis syndrome (POHS) terjadi akibat respons imun

terhadap antigen. Gejala klinis yang khas berupa trias infiltrat putih

multipel, parut atrofi koroid, perubahan pigmen peripapiler, dan

makulopati. [1]

Infeksi P. jirovecii dan Cryptococcus merupakan penyebab

utama mortalitas pasien AIDS. Tanda khas infeksi P. jirovecii

adalah lesi bulat multiple berwarna putih kekuningan di koroid,

sedangkan pada kroiditis kriptokokus dapat berupa vasculitis,

eksudat, papilledema dan disfungsi otot ocular. [1]

2.13 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan ditujukan untuk menentukan kaitan sistemik dan sebagian

diarahkan oleh jenis uveitis yang terjadi. Uveitis anterior kemungkinan besar

dikaitkan dengan spondylitis ankilosa dan penentuan HLA dapat membantu

mengkonfirmasi diagnosis. Adanya keratic precipitate yang besar dan

kemungkinan nodul pada iris dapat menandakan sarcoidosis; pemeriksaan

rontgen toraks, kalsium serum dan kadar angiotensin converting enzyme

dalam serum tepat dilakukan. Pada retinokoroiditis toksoplasmik, fokus

inflamasi sering terletak pada batas parut koroid inflamasi lensa. Uveitis

33
posterior mungkin memiliki penyebab infektif atau inflamasi sistemik.

Beberapa penyakit seperti infeksi virus CMV pada pasien positive HIV

memiliki tampila khas dan dengan anamnesis yang tepat mungkin tidak

diperlukan tes diagnostic lebih lanjut. Gejala terkait juga dapat membantu

mengarahkan diagnosis penyakit sistemik (misal, demam, diare, penurunan

berat badan). Tidak semua kasus uveitis anterior membutuhkan pemeriksaan

penunjang pada kali pertama, kecuali didapatkan gejala sistemik terkait. [11]

2.14 KOMPLIKASI

Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior maupun posterior.

Sinekia anterior dapat mengganggu aliran keluar aqueous di sudut bilik mata

dan menyebabkan glaukoma. Sinekia posterior, jika luas dan menyebabkan

glaukoma sekunder sudut tertutup dengan terbentuknya seclusio pupil dan

penonjolan iris ke depan (‘iris bombe’). Penggunaan kortikosteroid dan

siklopegik yang agresif sejak dini dapat memperkecil kemungkinan

terjadinya komplikasi-komplikasi ini. [2]

Peradangan di bilik mata depan maupun belakang akan mencetuskan

terjadinya penebalan dan opasifikasi lensa. Di awal, hal ini hanya

menimbulkan kelainan refraksi minimal dan biasanya mengarah ke miopia.

Namun, dengan berjalannya waktu, katarak akan berkembang dan

membatasi visus koreksi yang terbaik. Tatalaksananya adalah operasi

katarak, yang hanya boleh dilakukan setelah radang intraokuler teratasi. [2]

Edema makula kistoid dapat terjadi dan merupakan penyebab dari

hilangnya penglihatan yang paling sering ditemukan pada pasien uveitis dan

34
biasanya terlihat pada kasus-kasus berat uveitis anterior dan uveitis

intermediet. Edema makula berkepanjangan atau berulang menyebabkan

hilang penglihatan permanen akibat adanya degenerasi kistoid. [2]

Ablasio retina eksudatif mengesankan peradangan koroid yang nyata dan

paling sering pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatika dan

skleritis posterior atau menyertai kondisi retinitis berat atau vaskulitis

retina.[2]

2.15 PROGNOSIS

Prognosis pada uveitis secara umum baik. Jika tanpa pengobatan,

penyakit ini akan berjalan pelan dan progresif. Selain itu akan merusak

fungsi mata yang berakhir dengan kebutaan.[8]

35
BAB III

PENUTUP

Uveitis adalah peradangan uvea yang dapat mengenai hanya bagian depan

jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila

mengenai bagian tengah uvea maka keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya

iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior. Bila

mengenai selaput hitam bagian belakang mata maka disebut koroiditis.

Etiologi uveitis bisa disebabkan bermacam-macam faktor seperti faktor

infeksi, non infeksi dan masquerade (samar).

Klasifikasi uveitis menurut The International Uveitis Study Group (IUSG)

dan The Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis

berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit. Secara anatomi, uveitis

dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan

panuveitis sedangkan menurut etiologi, uveitis dibagi menjadi infeksi (bakteri,

virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan idiopatik.

Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau

memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi

penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu

diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi

yang tidak diharapkan.

Prognosis pada uveitis secara umum baik. Jika tanpa pengobatan, penyakit

ini akan berjalan pelan dan progresif. Selain itu akan merusak fungsi mata yang

berakhir dengan kebutaan.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitompul, R. 2016. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya


Mencegah Kebutaan. Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas
Indonesia. Jurnal Vol.4, No.1
2. Vaughan & Asbury : Oftalmologi Umum / Paul Riordan-Eva, John P.
Whitcher ; alih bahasa, Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia,
Diana Susanto. Edisi 17. Jakarta : EGC, 2014. Hal. 150-161
3. Mustafa, Muthusamy, Hussain, Shimmi, Sein. 2014. Uveitis:
Pathogenesis, Clinical Presentations and Treatment. Faculty of Medicine
and Health Services University of Malaysia. IOSR Journal Of Pharmacy
Vol 4, Issue 12.
4. Ilyas, Sidarta. 2014. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata : Uvea. Jakarta; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.125-136
5. McCaa, C. 1982. The Eye and Visual Nervous System: Anatomy,
Physiology and Toxicology. Environmental Health Perspectives. Vol 44,
page 1-8
6. Jan, Van Laar, Rothova. 2015. Diagnosis and Treatment of Uveitis.
Journal of Clinical and Translational Research. Department of
Immunology and Internal Medicine, Erasmus Medical Center, Rotterdam,
The Netherlands. Vol 2, page 94-99
7. John, T. 2015. Chicago Manual: Mata dan Kegawatdaruratan Mata. Editor
Edisi Bahasa Indonesia: dr. Lydia Ingrid. EGC: Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta. Hal 221-256
8. Soewono W dan Eddyanto. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya; RSUD Dr.Soetomo Surabaya.
Hal 156-166.
9. Kuswandari, Yulianti dan Armanto Sidohutomo. 2012. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Mata : Uvea. Surabaya; Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UWK
Surabaya. Hal. 108-118.
10. Ilyas, S, Tanzil, M, Salamun, Azhar, Z. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta. Hal 75-85
11. James, B, Chew, C, Bron, A. 2006. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi
Kesembilan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 86-88

37
38

Anda mungkin juga menyukai