(akulturasi budaya)
NIM :07140061
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
2008
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Malang, 08 Mei
2008
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan
1. Pengertian Agama
2. Agama dan Budaya
Kajian Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia
Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun
frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung
sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa
tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim
di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar
abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang,
Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan.
KONSEPSI TEORI
A. Pengertian Agama
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara
tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun
atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin
(misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara
hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur
serta beberapa naskah yang menuliskan para pedagang Islam. yang
ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus
(pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
2. Tinggalan Budaya
Benda lain yang diduga merupakan hulu pisau atau senjata tajam
adalah benda dari kristal yang berbentuk seperti cumi-cumi
(sotong). Bagian untuk memasukan bilah senjata berdenah bulat
panjang. Pada foto tampak samar-samar lubang yang memanjang
dari ujung ke bagian tengah. Bagian atas (lihat foto) ditempatkan
melekat pada telapak tangan, sedangkan bagian bawah melekat
pada jari-jari tangan.
Pengaruh Persia dalam hal bahasa juga ada. Beberapa kosa kata,
terutama yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan
berasal dari kata-kata Persia, misalnya nakhoda, bandar,
shahbandar, dan gelar penguasa (raja atau sultan) dengan sebutan
Shah atau Syah.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local
ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius,
yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan
pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di
wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu
bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan
memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada
perkembangan budaya selanjutnya.8
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material
dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap
tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar
menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis
pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid
di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak
sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui
pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan
Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu
suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.9
STUDI KASUS
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat dilihat
adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota
tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata
menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-
bangunan lain, serta pemukiman penduduk yang juga diatur
berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan
status social.
DAFTAR PUSTAKA
Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan
Pembangunan: Jakarta
Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia:
Pengalaman Islam, Paramadina: Jakarta