Anda di halaman 1dari 66

Agama dan Budaya

(akulturasi budaya)

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar

Dosen Pembimbing : Ni’matuzzuhroh, M.Si

Oleh Zainal Asrory

NIM :07140061

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH


IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

2008

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat, Taufiq, serta


Hidayah Nya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak
memberikan inspirasi kepada penulis sehingga terselesaikanlah
tugas makalah ini. walaupun masih banyak kekurangan,
sebagaimana kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh
penyusun.

Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan


keikhlasan membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Ni’matuzzuhroh, M.Si
selaku dosen mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD).

Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi pembaca.


Amin……

Malang, 08 Mei
2008

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

Bab I Pendahuluan

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah

3. Tujuan Penulisan

Bab II Konsepsi Teori

1. Pengertian Agama
2. Agama dan Budaya

3. Agama dan Budaya Indonesia

4. Proses masuknya Islam Ke Indonesia

5. Pertemuan Islam dan budaya Nusantara

Bab III Studi Kasus

Bab IV Analisa dan kesimpulan

Kajian Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia
Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun
frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung
sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa
tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim
di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar
abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang,
Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).

Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada


sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari
Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696
Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di
Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.

Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya


sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di
Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik
dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti
arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa
dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari
Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa
sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.

Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut


paham Sunni, namun pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa
menganut paham Syi‘ah. Data arkeologis menunjukkan bahwa
Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui
Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara,
khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah


menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama
memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang
kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat
kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh
para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar),
sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga
Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam


yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum
Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat
Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).

Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of


influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau
norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya
yang dihasilkan masyarakat.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya


local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local
genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi
dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing,
sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak
terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.
Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan
memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada
perkembangan budaya selanjutnya.

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas


masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan
masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus
telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-
budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam.
Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”,
antara budaya local dan Islam.

B. Rumusan Masalah

 Kapan Islam masuk ke Indonesia?


 Bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia?
 Bagaimana implikasi masuknya Islam terhadap budaya di
Indonesia?

 Bagaimana proses asimilasi Islam dengan masyarakat


Indonesia?

 Bagaimana proses terjadinya akulturasi antara Islam dan


budaya Nusantara?

C. Tujuan Penulisan.

 Mengetahui kapan masuknya Islam ke Indonesia

 Mengetahui bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia

 Mengetahui implikasi masuknya Islam terhadap perubahan


budaya di Indonesia

 Mengetahui proses asimilasi Islam dengan masyarakat


Indonesia

 Mengetahui proses terjadinya akulturasi antara Islam dan


budaya Nusantara.
BAB II

KONSEPSI TEORI

A. Pengertian Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti


tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan
berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok
orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama
sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang
atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan
itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion


(bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang
berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam
pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana
manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi
(vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal.1

Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan


realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus
mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri,
ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam
kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat
kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan
perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman
dalam hidupnya.

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari


kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 :
19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan
Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara
fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus
syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya,
karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah
menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata
benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad


Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama
sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang


memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi
keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan
untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi.


Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme
Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah”
(Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam
Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:

“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang


terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha
Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu
diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok
terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya
serta isinya”.

Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi


manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam
hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan
segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah
suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia
yang berada dibawah.

B. Agama dan Budaya

Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem,


gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. 2

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan


yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian,
berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah
budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi
dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian
terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan
pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh
agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis
hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan.
Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka
memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk
suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk
pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok
individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga
wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga
dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.3

Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama


timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini
sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan
oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya


agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya
adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di
Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak
begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara
pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang
membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana
pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga
ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di
India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi
budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan
terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya
(Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah
bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus
membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia
percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni
bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada
pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi
karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang
berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan
pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi
agama.

C. Agama dan budaya Indonesia

Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak


budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya
agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.4

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-


ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang
telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti
sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di
Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah
berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas
keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka
berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama
pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang
tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.

Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan


peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman
bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari
pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju
kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam
kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah


mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan.
Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas
diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah


menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui
syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan
terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan
yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar)
berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal
yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun
Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan
antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti
kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan
yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi
sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri
sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori
pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan
pelayanan terhadap orang miskin.

Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di


Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk
mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku
dan ras.

Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut


agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material
seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai
peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah
mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam
antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di
Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang
khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang
beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan
Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang
mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara
Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam
dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan
berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya
India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau.5

Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa


agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin
berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi
manusia.

Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset


bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi
kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu
zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam
zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama
memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini
barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama
menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah
sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi
pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka
kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang
tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena
hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu
mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa
yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita,
bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu
sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:

1 Mengembangkan religius literacy.

Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan


perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka
terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama.
Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta
huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut
agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu
diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap
agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa
menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang
melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang
beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam
kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat
beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang
lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan
keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama
lain.
2. Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.

Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang legacy spiritual


dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana
bersama menghadapi krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi
ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah
korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy
yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal
dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum
pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu
pendapat bersama yang bersifat operasional.

Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah


waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa
dan penanggulangannya.

D. Proses masuknya Islam Ke Indonesia

Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita


adalah bilamana Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang
membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam
seperti apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang?
Pertanyaan pertama dan kedua dapat dijawab secara teoritis
melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai kepada kita,
sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata
budaya yang masih dapat disaksikan di beberapa tempat di
Nusantara.

Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara
tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun
atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin
(misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara
hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur
serta beberapa naskah yang menuliskan para pedagang Islam. yang
ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus
(pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).

Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam


yang hingga kini penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya
masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir
oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama
Indonesia kurang atau bahkan tidak memiliki pengertian perlunya
penulisan sejarah. Di samping sikap ulama Indonesia tersebut,
masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu
antara lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta
luasnya geografis Indonesia sehingga untuk mengintegrasikan data
dari berbagai daerah juga sulit.

Mengenai darimana Islam masuk Nusantara, ada beberapa


pendapat dengan argumennya masing-masing. Ada yang berteori
bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang
menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya
Islam berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke
Nusantara melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga
sambil menyebarkan syi‘ar Islam. Hal ini sesuai dengan Hadist:
“Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian
sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama
lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.

Tidak ada satupun pendapat yang pasti mengenai kapan


masuknya Islam di Nusantara jika mengingat hubungan kerajaan-
kerajaan di Nusantara dengan Timur Tengah, Persia, India, dan
Tiongkok sudah berlangsung lama. Para saudagar dari tempat-
tempat tersebut membawa dan mengambil komoditi perdagangan
dari dan ke Nusantara. Dari Nusantara mereka membawa hasil-
hasil hutan yang laku dijual di pasaran, seperti kapur barus,
kemenyan, dan rempah-rempah. Dari tempat asalnya mereka
membawa barang-barang kaca, keramik, kain sutra/brokat, batu-
batu mulia dan barang-barang perunggu. Sebelum Islam ada, para
pedagang, pendeta, dan bhiksu menyebarkan budaya India di
Nusantara, termasuk penyebaran agama Hindu dan Buddha. Pada
masa abad ke-7-10 Masehi, Śrīwijaya pernah menjadi pusat
pengajaran agama Buddha. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa
Islam masuk ke Nusantara juga dibawa oleh para saudagar.
Baru-baru ini, sektar tahun 2004 di perairan laut Jawa sebelah
utara Cirebon ditemukan runtuhan sebuah kapal yang diduga
tenggelam karena kelebihan muatan. Berdasarkan pertanggalan
keramik dan teknologi pembuatannya, kapal yang tenggelam
tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Muatannya
bermacam-macam yang berasal dari berbagai tempat di luar
Nusantara. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dapat diduga bahwa
barang-barang muatan kapal tersebut berasal dari daerah Timur
Tengah, India, dan Tiongkok. Sebagian besar merupakan barang
dagangan, dan sebagaian lagi merupakan barang-barang untuk
upacara keagamaan atau benda-benda keagamaan.

Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengungkapkan


tentang salah satu cara masuk dan berkembangnya Islam di
Nusantara pada satu kurun waktu sekitar abad ke-10 Masehi. Data
untuk bahan kajian berasal dari artefak-artefak yang ditemukan
dari kapal yang tenggelam di perairan Cirebon serta data lain yang
ditemukan dari hasil penelitian arkeologi. Dari data tersebut
kemudian akan ditarik pada budaya Islam di Nusantara dalam
konteks kekinian. Timbul dan berkembangnya suatu aliran atau
mazhab tertentu dapat tergantung darimana asalnya aliran tersebut.
Pada masa kini, sebagian masyarakat yang beragama Islam di
Indonesia menganut tradisi Suni. Namun tidak tertutup
kemungkinan ada juga yang menganut tradisi Syi‘ah. Kedua tradisi
tersebut bermazhab Syafi‘i.

1. Pelayaran dan Perdagangan

Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan


harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia
menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya
pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan
Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah,
disebabkan karena dorongan pertumbuhan dan perkembangan
imporium-imporium besar di ujung barat dan ujung timur benua
Asia. Di ujung barat terdapat emporium Muslim di bawah
kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) kemudian
Bani Abbasiyah (750-870 Masehi). Di ujung timur Asia terdapat
kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T‘ang (618-907
Masehi). Kedua emporium itu mungkin yang mendorong majunya
pelayaran dan perdagangan Asia, tetapi jangan dilupakan peranan
Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka
pada abad ke-7-11 Masehi. Emporium ini merupakan kerajaan
maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan
perdagangan.

Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat


menunjukkan asalnya, genta, ujung tongkat pendeta, wajra, dan
arca mungkin dari India. Benda-benda ini merupakan alat-alat
upacara yang dimiliki oleh kelompok pemeluk agama Buddha.
Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian
Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan
atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula
diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih
K‘uo yang biasa diidentifikasikan dengan Arab. Po-sse dapat juga
dimaksudkan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang
Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim
asli Iran—yang dapat pula digolongkan pada orang-orang yang
disebut Ta-shih atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal
oleh orang Arab sebagai orang Majus yang merupakan mayoritas
penduduk Iran setelah peng Islaman.

Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran


pedagang Po-sse di Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama
dengan orang-orang Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian
Selat Melaka, pantai barat Sumatera, dan pantai timur
Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok
Selatan diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah.
Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut ulung. Sebuah
catatan harian Tionghoa yang meceriterakan perjalanan pendeta
Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse
dari Kanton ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan
harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di
bandar-bandar di pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara.
Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-
kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan
diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada tahun 720 Masehi kembali
lagi ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut
mengalami kerusakan.6

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab,


Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan
persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang
berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui
utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720
Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah
sebagai tanda persahabatan.

Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya


artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di
Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara) dan situs-situs di pantai
timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang
tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia
atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain
Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman.
Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan
hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah
kemenyan dan kapur barus.

Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian


dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian
menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada
abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera
Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang
mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu,
Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang
singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan
hanya kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia
Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat
hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan Persia.

Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di


Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir.
Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa Sultan adalah seorang
penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan
dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari
Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum
sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana
para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil”
mungkin sekali dari Persia.

Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di


wilayah Aceh sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu
Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 Hijriah atau
845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdal-Aziz
Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi‘ah.

Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan


kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa
tempat yang dikunjungi pedagang Persia, tinggal dan menetap pula
orang-orang Persia. Di tempat ini timbul juga kontak budaya antar
dua budaya yang berbeda, dan tidak mustahil ada juga penganut
Islam Syi‘ah. Hal ini dapat dideteksi dari adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum Syi‘ah.

2. Tinggalan Budaya

Pada sekitar abad ke-7 Masehi para pedagang Muslim dari


Timur Tengah dan Persia giat melakukan aktivitas perdagangan.
Berdasarkan suatu keyakinan bahwa setiap insan dalam pandangan
Islam termasuk pedagang Muslim mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun sesuai dengan cara
yang baik dan persuasif, sejalan dengan urusan perdagangan
menyebar pula agama Islam. Berawal dari pengislaman daerah
pesisir Anak Benua India, kemudian memicu/merangsang bukan
saja hubungan dagang tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan
pertukaran keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan.
Sebenarnya sejak abad-abad pertama terjadinya perdagangan
internasional melalui laut, bukan hubungan perdagangan semata,
tetapi juga hubungan politik dan kebudayaan.

Meskipun menganut mazhab yang berbeda dengan mayoritas


penduduk Indonesia (Sunnah wal Jamaah mazhab Syafi‘i), bangsa
Persia sedikit banyak telah berjasa dalam penyebaran dan
pengembangan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan
tinggalan budayanya baik yang berupa kebendaan (tangible),
maupun yang bukan (intangible). Tinggalan budaya tersebut masih
dapat ditemukan di berbagai tempat di Nusantara, terutama di
nusantara sebelah barat, seperti di Sumatera dan Jawa.

2.1 Kargo Cirebon


Di antara runtuhan kapal yang tenggelam di perairan
Cirebon, ada beberapa jenis benda yang mungkin tidak termasuk
dalam barang komoditi. Beberapa jenis barang tersebut adalah
sebuah benda berbentuk tanduk yang dibuat dari logam berlapis
emas, sebuah benda berbentuk cumi-cumi (sotong) dari kristal,
cetakan tangkup (mould) dari batu sabun (soapstone), serta benda-
benda perunggu yang berfungsi sebagai alat-alat upacara agama
Buddha/Hindu.

Orang-orang di dalam sebuah kapal merupakan satu


komunitas tersendiri, ada nakhoda, kelasi, dan penumpang.
Semuanya itu dipimpin oleh seorang nakhoda. Dialah yang
memegang kendali di kapal. Demikian juga penumpang kapal yang
terdiri dari bermacam status sosial dan profesi. Ada golongan
pedagang, mungkin ada bangsawan dan pendeta/bhiksu, dan ada
juga penumpang biasa. Semua itu dapat diketahui dari benda-
benda yang disandangnya.

Ibn Khordadhbeh, seorang pejabat yang dilantik khalifah


Dinasti Abassiyah pada sekitar abad ke-9 Masehi, adalah seorang
pedagang yang pernah berkunjung ke Zabag (Śrīwijaya). Dia
menulis sebuah buku yang berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik
(Buku tentang Jalan-jalan dan Kerajan-kerajaan). Buku ini berisi
tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap
tempat yang dikunjunginya. Sebagai seorang pejabat yang dilantik
oleh Khalifah tentunya mempunyai tanda legitimasi dan atribut
lain yang dibawa dan disandangnya.

Cetakan tangkup yang dibuat dari batusabun (soapstone)


berbentuk empat persegi panjang (4,2 x 6,7 cm). Pada salah satu
sisinya terdapat kalimat yang ditulis dalam aksara Arab bergaya
kufik: “al-malk lillah; al-wahid; al-qahhar” yang berarti “Semua
kekuasaan itu milik Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa”
dalam dua buah bingkai empat persegi. Kalau diterjemahkan
secara harfiah, maka kalimat itu mengandung asma‘ul husna,
tepatnya merupakan sifat yang dimiliki mausuf (Allah) yang
memiliki kekuasan.

Melihat gaya tulisan kufik yang dipakai tampaknya masih


kaku jika dibandingkan dengan gaya tulisan kufik pada batu nisan
Malik as-Saleh (wafat 1297 Masehi) dari Samudra Pasai (Aceh).
Bentuk tulisan ini diduga berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi
yang dikembangkan di daerah Kufah pada masa pemerintahan
kekhalifahan Bani Abassiyah (750-870 Masehi).

Sebuah cetakan (mould) dengan ciri-ciri antara lain tulisan


digoreskan pada bidang segi empat dalam bentuk negatif. Bidang
segi empat yang bertulisan tersebut ada dua buah dibentuk dengan
cara “dikorek” sedalam kurang dari 0,5 mm. Dari bagian sisi
bawah (dilihat dari bentuk tulisan/aksara) dari bidang segi empat
tersebut terdapat garis yang bertemu pada satu titik. Pada titik
pertemuan kemudian melebar membentuk corong. Garis
berpotongan tersebut mempunyai ukuran lebar 1 mm. dan dalam
kurang dari 0,5 mm. Bagian yang membentuk corong berukuran
lebar 1-3 mm. Di bagian bawah bidang empat persegi, terdapat dua
buah tonjolan yang bergaristengah sekitar 5 mm. dan tinggi sekitar
3 mm. Di bagian atas bidang segiempat terdapat garis yang
dibentuk dengan cara dikorek, kemudian permukaan lainnya lebih
tinggi dari permukaan atas dua bidang segiempat.

Apabila diperhatikan dengan seksama, benda ini merupakan


semacam cetakan untuk logam mulia, seperti emas dan perak.
Seharusnya ada sepasang yang saling menangkup, tetapi bagian
yang satunya tidak ditemukan. Dua tonjolan bulat yang ada pada
permukaan benda tersebut, merupakan semacam pasak pengunci
agar tidak bergerak ketika proses pengecoran. Bagian yang berlu-
bangnya seharusnya terdapat pada bagian tangkupan yang hilang.
Garis-garis yang bersilang dan bertemu pada satu bentuk corong
merupakan tempat mengalirnya cairan logam yang memenuhi
bidang segiempat. Tempat memasukan cairan pada bagian yang
membentuk corong.
Hasil dari logam yang dicor tersebut berupa lempengan tipis
dengan kalimat-kalimat asma‘ul husna yang timbul. Kalimat-
kalimat tersebut dikelilingi bingkai empat persegi dengan hiasan
titik-titik seperti umumnya terdapat pada mata-uang logam. Bagian
yang memanjang, dapat dipotong dan dapat pula tidak. Saya belum
dapat memastikan fungsi dari benda yang dicetak tersebut.
Berdasarkan perbandingan yang diketahui, benda semacam ini
berfungsi sebagai jimat dengan tulisan asma‘ul husna. Memang
dalam keyakinan Islam tidak dikenal jimat, tetapi dalam
kenyataannya sebagian umat Islam memandangnya sebagai jimat
yang bertulisan asma‘ul husna.

Kalau ditelaah dari stempel yang beraksara Arab tersebut,


kapal asing yang tenggelam bersama kargonya di perairan Cirebon,
diduga kapal yang berasal dari pelabuhan Kufah atau Basra yang
sekarang termasuk wilayah Republik Irak. Ini berarti bahwa kapal
bersama kargonya berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam
pelayarannya ke arah timur (mungkin ke Kambangputih, Tuban) di
perairan Cirebon tertimpa musibah dan tenggelam bersama
kargonya. Dilihat dari posisinya di dasar laut, kapal ini tenggelam
karena kelebihan muatan. Bagian ruang nakhoda masih tampak
utuh (tidak terlalu porak poranda).
Artefak yang berbentuk tanduk pada bagian yang lurus
berukuran panjang sekitar 10 cm. Bagian pangkalnya berbentuk
segi delapan dengan garis tengah 4 cm. Bagian yang melengkung
diberi hiasan berupa ukir-ukiran sulur daun. Bagian pangkalnya
berbentuk helaian teratai. Berdasarkan perbandingan dengan benda
yang sama dan menjadi koleksi Museum Nasional, benda tersebut
merupakan hulu sebuah pedang. Hulu pedang koleksi Museum
Nasional tersebut ditemukan di Cirebon dan berasal dari sekitar
abad ke-8-9 Masehi.

Ada kemungkinan lain artefak ini berfungsi sebagai hulu


pedang (pendek). Cirinya tampak pada sebuah lubang empat
persegi panjang pada bagian pangkalnya. Lubang empat persegi
panjang ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukan bilah
senjata tajam pada pegangan. Apabila difungsikan sebagaimana
layaknya pedang, pegangan ini terasa tidak nyaman. Mungkin saja
senjata tajam dengan gagangnya dari emas berhiasan ukiran ini
berfungsi sebagai simbol status dari pemiliknya.

Benda lain yang diduga merupakan hulu pisau atau senjata tajam
adalah benda dari kristal yang berbentuk seperti cumi-cumi
(sotong). Bagian untuk memasukan bilah senjata berdenah bulat
panjang. Pada foto tampak samar-samar lubang yang memanjang
dari ujung ke bagian tengah. Bagian atas (lihat foto) ditempatkan
melekat pada telapak tangan, sedangkan bagian bawah melekat
pada jari-jari tangan.

Hampir seluruh artefak yang diangkut tersebut bukan produk


salah satu kerajaan di Nusantara. Ada yang berasal dari Timur
Tengah dan India, dan ada pula yang berasal dari Tiongkok.
Meskipun demikian, artefak tersebut manfaatnya sangat besar bagi
sejarah kebudayaan Indonesia, khususnya sejarah masuknya Islam
di Indonesia. Berdasarkan sumber-sumber tertulis para sejarahwan
berteori bahwa masuknya Islam di Indonesia dibawa oleh kaum
pedagang Islam. Dengan ditemukannya artefak-artefak yang
berasal dari negeri-negeri yang beragama Islam dalam konteksnya
dengan barang dagangan, teori tersebut semakin mendekati
kebenaran. Cetakan beraksara Arab dengan menyebutkan nama-
nama Allah, merupakan bukti kuat bahwa Islam masuk melalui
“perantara” para pedagang Islam.

2.2 Jejak Persia

Hubungan perdagangan antara Persia dan Nusantara (pada


waktu itu dengan Śrīwijaya) berlangsung pada sekitar abad ke-7
Masehi. Pada waktu itu komoditi perdagangan dari Persia berupa
barang-barang yang terbuat dari kaca atau gelas yang dikenal
dengan sebutan Persian Glass. Benda-benda ini berbentuk vas,
karaf, piala, dan mangkuk. Dari Śrīwijaya yang salah satu
pelabuhannya adalah Barus (Fansur), para pedagang Persia dan
Timur Tengah membawa kapur barus, kemenyan, dan getah damar.
Komoditi perdagangan ini sangat digemari di Timur Tengah,
Persia, dan India sebagai bahan wangi-wangian.

Persian Glass ditemukan di situs-situs arkeologi yang diduga


merupakan bekas pelabuhan kuna. Sebuah penelitian arkeologis di
Situs Labo Tua, Barus berhasil menemukan sejumlah besar temuan
barang-barang kaca Persia dalam bentuk pecahan dan utuhan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, benda-benda itu mungkin
sekarang di tempat asalnya sudah tidak diproduksi lagi. Pelabuhan
tempat barang tersebut dikapalkan antara lain dari Siraf yang
letaknya di pantai timur teluk Persia.

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara melahirkan


kerajaan yang bercorak Islam. Salah satu di antaranya adalah
Kesultanan Samudera Pasai yang lahir pada sekitar abad ke-13
Masehi dengan sultannya yang pertama adalah Sultan Malik as-
Saleh (mangkat 1297 Masehi). Jejak adanya kerajaan ini dapat
ditelusuri dari tinggalan budayanya yang berupa batu nisan Sultan
Malik as-Saleh. Ada dua hal yang dapat dicermati pada batu nisan
ini dan merupakan indikator Persia. Aksara yang dipahatkan pada
batu nisan merupakan aksara shulus yang cirinya berbentuk
segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di
Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi. Kalimat yang dipahatkan
bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguhnya dunia ini fana, dunia ini
tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”.

Indikator Persia lain ditemukan pada batu nisan Na‘ina


Husam al-Din berupa kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan
Persia, Syaikh Muslih al-din Sa‘di (1193-1292 Masehi). Ditulis
dalam bahasa Persia dengan aksara Arab, merupakan satu-satunya
syair bahasa Persia yang ditemukan di Asia Tenggara. Batu nisan
ini bentuknya indah dengan hiasan pohon yang distilir
(disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang berisikan kutipan
syair Persia dan kutipan al‘Quran II: 256 ayat Kursi.

2.3 Wali Sanga dan Tasawwuf

Wali Sanga di tanah Jawa dikenal sebagai sembilan orang


Wali-Ullah yang dianggap sebagai penyiar-penyiar terkemuka
agama Islam. Mereka ini sengaja dengan giat menyebarkan dan
mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah
Jawa masih berkepercayaan lama yang percaya dengan hal-hal
gaib, para wali tersebut dipercaya mempunyai kekuatan gaib,
mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan mempunyai ilmu
yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa
dan penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.
Wali Sanga jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Syekh Siti
Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini diambil dari nama tempat
mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon,
Drajat dekat Tuban, Muria di lereng Gunung Muria, Kudus di
Kudus dsb.

Dalam masa hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di


daerah tempatnya bermukim. Di wilayahnya itu mereka juga
membangun masjid sebagai tempat beribadah. Di daerah sekitar
kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam
para Wali dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, dan Sunan Kudus. Masjid yang dibangun adalah Masjid
Demak dan Masjid Kudus.

Walaupun di Indonesia dikenal mazhab Syafi‘i dan menganut


Sunnah wal Jamaah, namun di kalangan masyarakat di beberapa
tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak Syi‘ah yang
semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur Tengah dan di
Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi‘ah tidak
sepaham, terutama dalam hal sumber hukum Islam (ijma=
kesepakatan para alim ulama). Dalam aliran ini sudah dimulai
politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi‘ah
menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang
masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma,
dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW dapat
menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi‘ah menganggap
al-Qur‘an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam,
sedangkan Ijma dan Qiyash (= perumpamaan) tidak perlu.

Runtuhnya kesultanan Syi‘ah tidak menyurutkan ajaran yang


“terlanjur” berkembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi‘ah
menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di beberapa
daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi‘ah jumlahnya tidak
banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang
biasa dilakukan umat Syi‘ah masih dapat ditemukan, dan secara
kontinyu dilakukan oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi‘ah,


misalnya:Perayaan Tabot, peringatan Hari Arbain atau hari
wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad) oleh kaum Syiah
dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang
pisang yang dihiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi
teriakan “Hayya Husein hayya Husein” yang artinya “Hidup
Husein, hidup Husein”. Pada akhir upacara tabot ini kemudian
dilarung di laut lepas. Benda yang disebut tabot melambangkan
keranda mayat. Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat pada
setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.

Asyura di Jawa dalam sistem pertanggalan Jawa berubah


menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan
wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan
istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan
Asan Usen. Di Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan
kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga
masyarakat merayakannya dengan sukacita. Mereka membuat
bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.

Peringatan Hari Arbain dirayakan juga di Desa Marga Mukti,


Pengalengan, Jawa Barat. Ratusan umat Islam Syi‘ah memenuhi
Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa persembahan
kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali
bin Abi Thalib.

Debus. Adalah pertunjukan yang hubungannya erat dengan


tarekat Rifa‘iyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad al-Rifa‘i yang
wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat ini pandangannya lebih
fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri, mukjizat-
mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyi-
ramkan air keras (HCl) ke tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh
dengan benda tajam. Penganut Rifa‘iyah dengan debus-nya
terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten, Cirebon, dan Maluku
bahkan sampai masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika
Selatan.

E.Kesusasteraan dan Bahasa

Karya-karya sastra bentuk prosa dari Persia sampai pula


pengaruhnya kepada kesusasteraan Indonesia, misalnya kitab
Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang semula
ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir
Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji,
perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-
ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya
ditampilkan pula dalam pertunjukan wayang golek yang konon
diciptakan oleh Sunan Kudus, wayang kulit diciptakan oleh Sunan
Kalijaga, dan wayang gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Ceritera
Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya kitab Rengganis yang
banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan
Palembang.

Hasil kesusastraan lain yang mendapat pengaruh Syi‘ah


adalah Kissah Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertempuran
Hassan dan Husein, anak-anak Khalifah Ali, di medan perang
Karbala. Ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Melayu pada
sekitar abad ke-15 Masehi.Hikayat Amir Hamzah, merupakan
kisah roman melegenda berdasarkan tokoh Hamza ibn Abd. Al-
Mutalib, paman Nabi Muhammad S.A.W. Kisah roman ini ditulis
oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama Melayu penganut
tasawwuf.Mir‘at al-Mu‘minin (Cerminan jiwa insan setia) yang
ditulis oleh Shamsuddin as-Sumatrani, seorang penasehat spiritual
Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus Hamzah Fansuri.

Hamzah Fansuri adalah tokoh terpenting dalam


perkembangan Islam dan tasawwuf di Nusantara. Ia adalah orang
pertama yang menuliskan seluruh aspek fundamental doktrin sufi
ke dalam bahasa Melayu. Ia juga berjasa dalam membawa bahasa
dan sastra Melayu ke tingkat baru yang lebih maju.

Bayan Budiman, cerita yang didongengkan oleh seekor


burung nuri ini berasal dari ceritera India Śukasaptati, yang isinya
memuat pula dongeng-dongeng dari pañcatantra. Di Persia ceritera
itu menjadi Tuti-namĕ, dan di Nusantara disadur menjadi Hikayat
Bayan Budiman.

Pengaruh Persia dalam hal bahasa juga ada. Beberapa kosa kata,
terutama yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan
berasal dari kata-kata Persia, misalnya nakhoda, bandar,
shahbandar, dan gelar penguasa (raja atau sultan) dengan sebutan
Shah atau Syah.

F. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima


akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan
dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan
budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam
sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya.
Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut
dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau
local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang
yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.7

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang


permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum
Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat
Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great
tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung
di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma,
aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang
dihasilkan masyarakat.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local
ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius,
yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan
pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di
wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu
bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan
memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada
perkembangan budaya selanjutnya.8

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat


Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat.
Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi
budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local
yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran
Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian
melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.

Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam


antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan
suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga
dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa.
Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal
dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan
kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan
warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni,
tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.
Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf
tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan
budaya local.

Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material
dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap
tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar
menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis
pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid
di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak
sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui
pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan
Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu
suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.9

Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam


Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah
kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur
yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa,
sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota
Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat
kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di
mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat,
tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang
asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang
Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.

Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu


tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama
lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah
memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama
lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di
sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-
muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau
perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang
agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat
beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-
kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan.
Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya
sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.

Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat


dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut
seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita
(wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi
dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari
unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur
Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang
memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa
disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya
memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara
selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh
bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan
hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara
sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah
lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di
daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat
dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan
Marpangir.

G. Eksklusivisme Islam menuju Inklusivisme

Jika dalam wilayah non-teologis atau sosial kemasyarakatan Islam


begitu sangat akomodatif terhadap budaya local, berbeda halnya
dengan wilayah-wilayah lainnya, terutama berkenaan dengan
aspek teologis (aqidah). Dalam masalah teologis ini Islam menarik
garis demarkasi secara tegas. Islam tampil dengan wajah yang
sangat eksklusif. Penegasan Islam ini termaktub di dalam Alquran
surah Al-Ikhlas, dan surah Al-Kafirun yang tercermin dalam dua
kalimah sahadah. Inilah doktrin sentral Islam yang kemudian
disebut dengan tauhid; pengakuan kemahakuasaan dan kemutlakan
Tuhan serta penegasan bahwa Muhammad nabi terakhir yang
diutus Tuhan bagi umat manusia di muka bumi.

Klaim-klaim eksklusif Islam sebagaimana tercermin dalam


doktrin teologis tersebut tidak berarti umat Islam menjadi umat
yang eksklusif yang menafikan pluralisme. Karena Islam juga
sangat menekankan inklusivisme, sebagaimana dinyatakan dalam
sumber-sumber primer Islam (misalnya Q.S al-Kafirun:6, Q.S.al-
Hujarat:13) dan sebagaimana pula yang telah dipraktikkan dalam
sejarah awal pembentukan masyarakat Islam.

Gambaran ideal tentang kerukunan antara umat Islam dan


non-Islam sebagaimana yang dicontohkan nabi dan yang kemudian
menjadi model bagi tata laku kehidupan bermasyarakat dan
bernegara ini secara original dapat dilihat dalam butir-butir
“Piagam Madinah”. Dalam piagam ini hak-hak penganut agama
Yahudi untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat
Islam dinyataan secara tegas. Harkat dan martabat kaumYahudipun
kemudian terangkat dari sekedar klien kesukuan menjadi warga
negara yang sah sebagaimana yang dialami oleh kaum muslimin.
Tidak ada perbedaan perlakuan antara keduanya. Posisi demikian
ini tidak pernah dimiliki kaum Yahudi sejak invasi Babilonia pada
586 SM. Dalam bingkai negara Madinah inilah kaum Yahudi dapat
menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan ajaran Taurat. Tidak
hanya itu, negara Madinah juga menjamin dan memikul tanggung
jawab tentang ke-Yahudian itu. Perlakuan negara Madinah yang
demikian adil tanpa diskriminasi, khususnya terhadap komunitas
Yahudi ini mengantarkan peradaban Yahudi dengan berbagai
aspeknya mencapai masa “keemasannya” di bawah pemerintahan
Islam.
Situasi dan kondisi yang istimewa tersebut juga dialami oleh
kaum Nasrani, terutama pasca “futuhat” Makkah. Kaum Kristen
Najran Yaman mendatangi Nabi untuk memperjelas posisi mereka
vis-à-vis negara Islam. Delegasi mereka ini diterima dengan baik
oleh Nabi. Sebagian mereka kemudian memeluk agama Islam.
sementara yang lain tetap pada keyakinan agamanya di dalam
kerangka negara Islam. Nabi kemudian mengukuhkan posisi
mereka sebagai ummah yang khas, sebagaimana halnya yang
dialami oleh kaum Yahudi.

Praktik kerukunan sebagaimana yang dicontohkan nabi


Muhammad diteruskan oleh para sahabat nabi sebagaimana yang
dilakukan Umar bin Khattab ketika melakukan ekspansi ke
wilayah-wilayah Bizantium Kristen. Ketika wilayah ini
ditaklukkan, Umar mengadakan perjanjian dengan uskup setempat
yang berisi tentang jaminan Islam akan eksistensi Kristen di dalam
kekuasaan Islam11.

Prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan yang diberikan


oleh penguasa Islam kepada umat-umat lain ini yang kemudian
menyebabkan umat Kristen tumbuh dan berkembang secara luas.
Bahkan pada abad-abad pertama hijriah, mayoritas penduduk di
dalam entitas politik Muslim adalah penganut Kisten. Situasi
demikian tidak mereka dapati pada masa-masa sebelumnya seperti
pada masa kekuasaan Roma Kristen maupun Bizantium Yunani.

Prinsip prinsip luhur kerukunan tersebut juga dapat dijumpai


pada hampir di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya, seperti
di anak Benua India. Di wilayah ini para penganut, Hindu dan
Budha mendapat hak yang sama sebagaimana yang diperoleh
kaum Yahudi dan Nasrani. Ketika kekuasaan Islam berakhir,
masyarakat tetap berada pada keyakinan semula. Hal ini
membuktikan bahwa prinsip toleransi atau kerukunan tetap
menjadi pegangan bagi para penguasa muslim.

Bahkan perkembangan peradaban Islam yang mencapai


puncaknya pada masa Abbasiyah antara lain disebabkan oleh
pengembangan teologi kerukunan ini. Sukar dibayangkan bahwa
kemajuan ilmu dan peradaban Islam tanpa peran serta dari
penganut umat beragama lain. Dalam tahapan perkembangan
kebudayaan Islam dengan segenap aspeknya hampir selalu
berpijak pada akar kerukunan. Perkembangan sains dan teknologi
pada masa Abbasiyah yang melahirkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan diawali dengan keterlibatan ahli-ahli dari non Islam
yang diawali dengan proses penterjemahan besar-besaran seperti
dari Nasrani dan Persia.
Sementara itu dialog-dialog ataupun tukar fikiran antara
kaum Nasrani dengan umat Islam sebagaimana dicatat Annemarie
Schimmel juga sudah mulai berjalan. Dialog-dialog tersebut
umumnya dilaksanakan di istana-istana para penguasa muslim,
sekalipun saling pengertian dan kerukunan timbal balik tidak
berkembang sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan
masih adanya prasangka-prasangka negatif dari masing-masing
pihak. Para teolog muslim misalnya mempelajari Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru untuk menyanggah Ketuhaan Yesus, dan
penyalipan Yesus, serta menuduh kaum Nasrani telah
menyelewengkan kitab sucinya. Sementara di pihak lain, kaum
Nasrani mempelajari Islam hanya untuk membuktikan bahwa
Islam hanyalah agama bidat dan anti Kristus.

Hubungan antara Islam dan Kristen selama masa tersebut


memang tidak selalu berjalan dalam keadaan ko-eksistensi damai.
Karena sejak abad IX M telah mulai tampak benih-benih
ketidakharmonisan itu. Hal ini disebabkan antara lain
perkembangan sosial politik di dalam kekuasaan Islam sendiri
yang telah memperlihatkan perpecahan. Ketidakstabilan dalam
bidang politik ini pada gilirannya mengganggu hubungan Islam-
Kristen.
Perbedaan doktinal antara Kristen dan Islam tidak selalu
mudah untuk didamaikan,bahkan mungkin dianggap sebagai
sesuatu yang musykil. Misalnya perbedaan antara Islam dan
Kristen tentang Ketuhanan Yesus, khususnya tentang
penyalibannya. Pihak Islam umumnya meyakini bahwa tidak ada
penyaliban terhadapYesus (nabi Isa). Sementara umat Kristiani
penyaliban Yesus sebagai sesuatu keyakinan yang sudah final.
Demikian pula doktrin tentang kerasulan Muhammad. Umat Islam
meyakini bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir, akan tetapi
umat Kristen tidak mengakui hal ini. Kedua agama ini masing-
masing tidak mengakui adanya keselamatan di luar agamanya.
Inilah beberapa prinsip fundamental yang membedakan keduanya,
sehingga sulit untuk disatukan.

Selain perbedaan-perbedaan doctrinal secara teologis, perbedaan


lain yang menempatkan Islam sebagai ajaran eksklusif adalah
ajaran Islam tentang larangan memakan hewan tertentu.(Q.S.al-
Maidah:3).Ajaran ini bagi Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi
sebagai hal yang mutlak yang harus dipatuhi. Sementara dalam
agama lain, terutama Kristen larangan tentang memakan hewan
tertentu (babi dan anjing) tidak ada. Di pihak lain agama Hindu
(India) ada larangan untuk memakan hewan tertentu, sementara
Islam justru menganjurkannya sebagai binatang kurban, misalnya
binatang sapi.
Perbedaan merupakan realitas kehidupan manusia yang
sengaja diciptakan Tuhan agar umat manusia berlomba-lomba
menjadi yang terbaik.(Q.S.49:13) Karena jika Tuhan berkehendak,
tentu ia akan menjadikan umat manusia menjadi satu umat saja
tanpa perbedaan satu sama lain.

Dengan demikian, agama dan budaya harus dapat menjadi


instrumen bagi pengembangan kebudayaan dan budaya seharusnya
dapat berjalan seiring dalam rangka memperkuat kerukunan antar
umat beragama

Jadi kerukunan beragama bukanlah berarti penyatuan


konsep-konsep teologis sentral dari masing-masing agama,
melainkan adanya saling memahami dan saling pengertian
terhadap adanya perbedaan-perbedaan doctrinal mendasar itu.
Kerukunan dalam arti penyatuan hanya bisa dimungkinkan pada
wilayah-wilayah non teologis, seperti sosial budaya dengan
segenap unsur-unsur di dalamnya. Kerukunan dalam makna inilah
yang disebut dengan akulturasi budaya. Hal inilah yang dilakukan
umat Islam pada masa itu sehingga melahirkan kebudayaan yang
sangat tinggi yang dikenal dengan zaman keemasan Islam yang
mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah.
BAB III

STUDI KASUS

Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang


dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-
kerajaan masih hadir menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga
era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak
semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli
perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat bermuaranya
berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara
ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah
Indonesia perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang
majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur
ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan
berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau
akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa
kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya
Islam Jawa.

Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri


disbanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini
tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam
Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan
Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi
penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di
Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz
berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam
praktiknya, santri, abangan, dan priyayi. Meskipun banyak
mendapat kritik, dalam beberapa hal saya piker Gertz memang
benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah
menyatakan adanya objektifitas dalam hasil yang diperoleh. Yang
kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah
fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam
Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-
lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya
terletak pada gerak spritualitas yang dilakukan oleh Golongan
Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini,
kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan
dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka
terlihat begitu mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa, terlihat ada
saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan
sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya
menjadi sinergi. Contoh menarik adalah peringatan tahun baru
1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah.
Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran
Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat.
Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak
kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya
Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsure ini begitu kental, bercampur
memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar
rumput yang dimilikinya.

Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang


menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang
dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang
memang diperingati berbarengan Pergantian selambu makam ini
menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di
dalamnya. Setelah selambu menyelubungi makam selama setahun
dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk
yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu
lambing penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu
dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air
Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam.
Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut
tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu
biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh
lainnya.

Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut


dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk
membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air
disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini
ditempatkan di tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian
ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara
diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk
akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum
kedatangan Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu atau Budha,
setelah Islam dating diganti dengan do’a-do’a yang bersumber dari
kitab suci Islam.
BAB IV

ANALISIS DAN KESIMPULAN

Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa


perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi
kemudian muncul mesjid, surau, dan makam. System kasta di
dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk
zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian
menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora
dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota
mempunyai komponen dan tata ruang baru, bahkan pada abad
XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan Hijriah.
Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan,
sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang
inovatif sifatnya. Masjid dan cunggup makam mengambil bentuk
atap tumpang, seperti mesjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya
sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada
beberapa relief candi. Demikian pula menara mesjid tempat
muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di
Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa
Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian
kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal
karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan
piring porselin.

Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indnesia kala


itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam
berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa,
seperti makam Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim,
menurut penelitian merupakan benda yang diimpr dalam bentuk
jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya
dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-
makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman
setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang
digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di
pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di
atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal
yang tidak pernah terjadi di tempat lain.

Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat dilihat
adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota
tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata
menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-
bangunan lain, serta pemukiman penduduk yang juga diatur
berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan
status social.

Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim


mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak
kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman.
Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain,
atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan
antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu
yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang
mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam
proses itu terjadi percampuran unsure-unsur kedua kebudayaan
yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-unsurnya masih dapat
dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-
sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya. Rupanya
proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia,
termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia.
Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha,
Prasejarah, dan Islam (kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi
dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri
bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan
tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi.
Factor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta
kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini
kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah
bangunan mesjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman,
sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum
pernah ada, juga way of life baru.

Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan


sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu
dipikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa
mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan
pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi,
supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-
kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya
kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan.
Namun, tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga
memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam
perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata
rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan
yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini
perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan
budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya
kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.

Hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di


Nusantara dengan Persia (Iran) diduga sudah berlangsung sejak
abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Dari hubungan perda-
gangan ini, kemudian berdampak pada pemikiran keagamaan
terutama sufisme atau tasawwuf dengan tarekat-tarekatnya. Selain
itu berdampak juga pada unsur-unsur kebudayaan. Beberapa tradisi
Syi‘ah dan tarekatnya masih tetap dipelihara oleh kelompok
masyarakat tertentu di Indonesia. Dalam susastra dan bahasa
beberapa karya sastra yang berbau Sufi dan kosa kata Persia
diadopsi pada karya sastra Melayu dan kosa kata dalam bahasa
Indonesia.
Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang
belum terekam dalam kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat
pengaruh Persia. Semua ini memerlukan penelitian dari berbagai
disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan
sejarah, antropologi, sosiologi, agama, linguistik, dan
kesusasteraan.

Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan


beragama di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari
berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah
“tercipta” sejak masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para
penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan
menyesuaikan dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga
menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan sarana
wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di
belahan dunia lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan
Afghanistan sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian
sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu domba
pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA
 Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan
Pembangunan: Jakarta
 Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia:
Pengalaman Islam, Paramadina: Jakarta

 Hasan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam:


Arkeologi dan Islam di Indonesia: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional: Jakarta

 Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial,


Penerbitan Universitas: Jakarta

 Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius


dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya
Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta

 Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius:


Yogyakarta

 Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam


Dialog Bebas Konflik, Pustaka Hidayah: Bandung

 Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan


Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

 Badri Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo


Persada: Jakarta
 Hamka, 1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta

1 Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran,


hal. 71

2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 170

3 Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, 1992, hlm. 13

4 Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas


Konflik, 1998, hlm. 77-79

5 Tule, Philipus, Wilhelmus Julie, ed Agama-agama, Kerabat


Dalam Semesta, hlm. 159.

6 Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, hlm. 31-32

7 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman


Islam, hal. 13.

8 Soejanto Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan


Relevansinya dalam modernisasi, kepribadian budaya bangsa
(local genius), hal. 28

9 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi


dan Islam di Indonesia, hlm. 209.

Anda mungkin juga menyukai