Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut
ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit
sistemis.
John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati
perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang
berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis
maupun anatomis dari penderita.
James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic
neuropathy, namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.
Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A note on
acute ascending paralysis“. Artikel ini bercerita tentang seorang pasien yang telah
mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya meninggal dunia.
Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan
kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal dengan sebutan Landry’s
1
paralysis.
Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile
Polyneuritis. Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian
mereka yang berjudul “On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of
cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics
and tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini menemukan kelainan patologis
yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam cairan serebrospinal dan disertai dengan
radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan
sebenarnya adalah Landry’s paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi
nama penyakit ini sebagai Guillain – Barre Syndrome. Sebab mengapa Strohl tidak
diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui. 1

Untuk mengatasi kondisi pasien dengan keluhan yang di timbulkan pada kasus GBS
maka fisioterapi mempunyai banyak sekali modalitas yang bisa di gunakan. Latihan yang
rutin dan cepat serta mengawalinya sedini mungkin maka akan memperkecil dampak
terjadinya gangguan. Sehingga pasien di harapkan bisa sesegera mungkin untuk
meninggalkan rumah sakit dan kembali di tengah-tengah keluarganya.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui proses penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS
2. Tujuan Khusus
b. Memahami dasar teori yang berkaitan dengan kasus GBS
c. Mampu menerapkan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS
d. Mengetahui cara melakukan assessment, diagnosa, perencanaan, intervensi dan
evaluasi pada pada kasus GBS
e. Menentukan intervensi yang tepat, guna pencapaian tujuan intervensi.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Beberapa definisi Guillain-Barre Syndrome (GBS) menurut para ahli :
1. Nolte (1999) mengemukakan GBS adalah salah satu penyakit 'demyelinating' saraf.
Juga merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat
dipastikan penyebabnya. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses
infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi dan menyerang
system saraf tepi.
2. Parry, mengatakan bahwa GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang biasanya terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut
Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
3. GBS adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian
dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau
arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga
menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.

B. ETIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan
menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)1,2
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.
2,3

Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus,
yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV.1,4,5,8 Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang
disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma
pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa.
1,5,8,12
; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti
kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester
8,12
ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4
10
minggu sebelum timbul GBS .

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV (Cytomogalovirus) HIV Influenza
EBV (Ebstein-Barr virus) Varicella-zoster Cacar air
Vaccinia/smallpox Penyakit
gondok/gondong
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo

Bakteri Campylobacter Jejeni Typhoid/Tipes Borrelia B


Paratyphoid
Mycoplasma Pneumonia Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria

C. PATOFISIOLOGI
Semua jenis dari GBS berkaitan dengan respon imun terhadap antigen dari luar
tubuh (misalnya vaksin), tetapi terjadi kesalahan target yakni menyerang pada jaringan
saraf. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre
Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi.
Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada
umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of
spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root
nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi
paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi.
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya
hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin
terhenti sama sekali Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik.
Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping
itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves) termasuk
diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh
karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik
mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja
terserang, misalnnya saraf ke III-VII, IX-XII. Yang menyebabkan kelemaha pada otot-otot
wajah, dysphagia, dysarthria, opthalmoplegia, dan gangguan papillary.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah.
Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia).
Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri.
Perlahan-lahan kelemahan 'naik' ke otot yang lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga
penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di
sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila
otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa
nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan
terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-
turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin
(Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa
menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot
biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama
dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya
bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan
sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa
berpindah dari waktu ke waktu .
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan
kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik
otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf
otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara
maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila
kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk
kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya
terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru. Bila fungsi glotis terganggu,
akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga
makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga
tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu muka memerah
secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah
itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 3 minggu sesudah
kelemahan berhenti.

D. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana
terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa
penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun
demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir
musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2
tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.
Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun). Penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

E. GEJALA KLINIS
GBS ini ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya
refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami
demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik
perifer. Kelemahan terjadi dimulai dari lower ekstremitas kemudian dengan cepat naik ke
ekstemitas atas. Pasien umumnya mengalami kelemahan pada sepanjang tungkai dan akan
mengalami atrofi pada otot-otot tungkai dan tampak layu. Biasanya dalam beberapa hari
kelemahan ini akan berlanjut ke ekstremitas atas. Otot-otot lengan dan wajah pun juga
akan mengalami kelemahan. Sering pula nervus cranial lower pun telah terkena dan dapat
mengakibatkan bulbar weakness (oropharyngeal, dysphagia (sulit menelan, mengeluarkan
air liur) dan gangguan respirasi.
Beberapa pasien memerlukan perawatan rumah sakit dan kira-kira 30%
membutuhkan bantuan ventilator. Kelemahan otot-otot wajah juga biasa terjadi, akan
tetapi gerak abnormal pada mata tidak tampak pada pasien GBS, tetapi akan tampak pada
varian Miller Fisher.
Gangguan sensibilitas juga terjadi pada penderita GBS, biasanya pasien mengalami
sensasi proprioseptif dan areflexia (refleks tendon).4 Berikut beberapa ringkasan gejala
klinis dari GBS :
1. Bersifat progresif
2. Relatif simetris
3. Terdapat gangguang sensibilitas ringan
4. Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
menelan, kadang < 5% kasus neuropati.
5. Fase pemulihan dimulai 2-3 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan. Sedangkan yang berat bisa sampai 4
bulan lebih.
6. Kesembuhan ditunjukkan dengan pulihnya kekuatan otot, dimulai dari
bagian atas. Otot-otot kaki biasanya pulih paling belakangan.
7. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan
gejala vasomotor.
8. Tidak ada demam saat terdapat gejala neurologis.
Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total,
prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan
sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS.

F. KLASIFIKASI GBS
Meskipun paralisis ascending biasanya mengalami penjalaran dalam bentuk GBS,
terdapat varian lain, atara lain;
1. Miller Fisher Syndrome (MFS)
Miller Fisher Sindrom merupakan jenis yang jarang terjadi, yang masih
dipertimbangkan apakah termasuk dari Guillain-Barre Sindrom. MFS ditandai oleh
koordinasi otot yang tidak normal, paralisis dari otot-otot mata, tidak adanya refleks
tendon. Kemudian ophthalmoplegia, ataxia. Seperti Guillain-Barre Sindrom, gejala
pada MFS mungkin didahului oleh adanya virus. Gejala lain yang mungkin terjadi
meliputi kelemahan otot yang simetris dan respiratory failure. MFS merupakan varian
yang dimulai dari deficit saraf cranial
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)8
Menyerang motorik nodus ranvier dan umumnya terjadi di Cina dan Mexico. Penyakit
ini merupakan penyakit musiman dan sembuh dengan cepat.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
AMSAN juga merusak saraf sensori dan akar saraf.9 Penderitanya biasanya dewasa
dengan kelainan motorik dan sensorik. Proses penyembuhannya berjalan lambat dan
sering tidak sempurna.
4. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
5. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
6. Acute pandysautonomia

G. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis. 3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah
dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda
rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1
– 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh Guillain, 1961, disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis.1,3,5,6.8 Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya
terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 / mm3 4,7,9
pada kultur LCs tidak ditemukan
1
adanya virus ataupun bakteri
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 10)
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi
distal yang memanjang 4,7,9,10 .Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat
adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan
konduksi saraf motorik.7
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira
pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda
equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. 7) Pemeriksaan
serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .Biopsi otot tidak diperlukan dan
biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation
atrophy. 1
I. KRITERIA DIAGNOSTIK GBS MENURUT THE NATIONAL INSTITUTE OF
NEUROLOGICAL AND COMMUNICATIVE DISORDERS AND STROKE
(NINCDS)
1. Gejala utama
a. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau
tanpa disertai ataxia
b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
2. Gejala tambahan
a. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
b. Biasanya simetris
c. Adanya gejala sensoris yang ringan
d. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
e. Disfungsi saraf otonom
f. Tidak disertai demam
g. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
3. Pemeriksaan LCS
a. Peningkatan protein
b. Sel MN < 10 /ul
4. Pemeriksaan elektrodiagnostik
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
5. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
a. Kelemahan yang sifatnya asimetri
b. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
c. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
6. Gejala sensoris yang nyata

J. DIAGNOSIS BANDING
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti
myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome
dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam. 4,
8, 11, 12
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria,
diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan
plumbum 4, 11
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus
dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan
terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia. 4, 8 12
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang
terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS
normal 4, 11

K. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi terjadi karena long-term paralysis. Kemungkinan komlikasi
yang dapat terjadi antara lain:
1. Kelumpuhan yang terus menerus
2. Respiratory failure
3. Hipotensi atau hipertensi
4. Tromboemboli
5. Pneumonia
6. Kerusakan kulit
7. Aritmia jantung
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Masalah psikologi, seperti depresi dan gelisah
11. Nephropathy, pada pasien anak-anak.12

L. PROGNOSIS
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh
total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. 3,10
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan
oleh gagal napas dan aritmia.2,3 Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah
gejala pertama kali timbul. 3
3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun
setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing
inflammatory polyneuropathy. 12

M. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS


1. Problem Fisioterapi Pada Kasus GBS
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan 4 problem dasar dari sisi
pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan
sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-masing problem.
a. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot.
Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau
terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang
satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang
mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor
neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi
ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor
neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang. Jadi bila ada satu akar
saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi;
sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih
mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam
satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan.
Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu
otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan
otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja
untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.
b. Kardiopulmonari
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada
tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan,
yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma
mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh
karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka
ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi
juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun.
Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami
kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas
paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat
gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat
melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya
atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).
Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya
cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa
masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru.
Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi
paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan
kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan
memperburuk kondisi pasien.
Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut
tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan
hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan
keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan
mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali,
sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan
otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.
c. Sistem Neuromuskuloskeletal
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai
tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik
simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial
nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik
berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf
vagus. Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah,
keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan
menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program
fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu
mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi
yang berarti atau mobilisasi.
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi).
Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyer.
Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat.
Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut
menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah
sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni
disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh
kombinnasi gangguan sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa
menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot,
bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk
pencegahannya.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M.R
No register : 469 186
Usia : 57 tahun
Alamat : Maluku
Pekerjaan : Guru
Pendidikan terakhir : Sarajana Pendidikan Guru
Hobi : Nonton TV
Agama : Kristen
Ruangan : Ruang perawatan neurologi, RS Wahiddin (Kamar 3)
Tanggal pemeriksaan : 13 Juni 2011
Diagnosa : tetraparese LMN ec GBS (DD: paralisis periodik)

B. CHIEF OF COMPLAIN :
Lemah anggota gerak bawah dan atas

C. HISTORY TAKING :
RPS :
± 13 hari sebelum masuk RS secara perlahan-lahan os merasakan kelemahan. Kelemahan
dimulai dari kedua tungkai lalu diikuti dengan kelemahan pada kedua lengan. Kemudian
pada tanggal 23 Mei 2011 setelah pulang mengajar penderita merasakan kekakuan pada
kedua tungkai dan lengan semakin parah, kemudian penderita berobat ke puskesmas. Di
puskesmas penderita hanya dilakukan pemeriksaan darah, dan penderita dirumah hanya
merendam kaki dengan air panas. 3 hari kemudian penderita tidak mampu untuk berjalan,
kemudian pemderita dirujuk ke RS Wahidin. Pada tanggal 3 Juni 2011 penderita masuk
RS Wahidin, pada saat itu kondisi penderita tidak mampu berjalan kedua tungkai dan
lengan lemas, untuk melakukan aktivitas sehari-hari penderita dibantu penuh, Sesak (-),
diare (-) flu (-), demam (-), dan mutah (-) . Saat ini tungkai dan lengan penderita sudah
dapat digerakan, namun masih lemah. Aktivitas sehari-hari penderita seperti makan,
minum, dressing masih dibantu penuh. Saat ini penderita baru pertama kali menjalan
fisioterapi di RS Wahidin namun sebelumnya penderita sudah 2 kali menjalani fisioterapi
saat di maluku.
RPD :
Pada tahun 1989 oada saat usia 22 tahun penderita pernah mengalami riwayat yang sama
dan sembuh sempurna. DM (-), HT (-), Peny jantung dan paru (-)
RPK :
DM (-), HT (-)
R.Psi :
Penderita bekerja sebagai guru SD, suami guru di papua, penderita tinggal bersama anak
yang masih SMP

D. ASSYMETRIC :
1. Vital sign
 BP : 120/ 70 mmHg
 RR : 16 x/menit
 HR : 88 x /menit
 Suhu : afebris
 Kesadaran : compos mentis (GCS=15)
 Berat badan : 54 kg
 Tinggi badan: 160 cm
 IMT : (IP : normal)
2. Observasi
 Inspeksi Statis :
 Bentuk dada : normal
 Deformitas : (-)
 Pasien dalam kondisi rawat inap, dengan posisi tidur terlentang
 Postur (dalam posisi tidur terlentang, tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam
posisi berdiri)
o Neck : normal
o Shoulder : normal
o Elbow : normal
o Hip : normal
o Knee : normal
o Ankle : normal
 Inspeksi Dinamis dan Test Orientasi :
 Berjalan :1
 Menggerakkan lengan keatas :1
 Menggerakkan siku :2
 Menggerakkan wrist :2
 Menggerakan hip :1
 Menggerakkan ankle :2
 Menggerakkan knee :2
Kriteria:
3 : dapat melakukan secara bebas
2 : dapat melakukan tetapi dengan susah payah
1 : tidak dapat melakukan

3. PFGD :
Pasif ROM TIMT
Aktif ROM
Sendi Move ROM End Feel
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Flexi Stretch Stretch
Ekstensi Stretch Stretch
Abduksi Tidak dapat Hard Hard
Shoulder ROM Full Tidak dapat melakukan.
Adduksi melakukan Soft Soft
Endorotasi Stretch Stretch
Eksorotasi Hard Hard
Tidak dapat melawan tahanan mampu
Flexi Lemah, tidak full Soft Soft
Elbow ROM Full melawan gravitasi, tidak didapatkan nyeri
Ekstensi ROM Hard Hard gerak statis

Tidak dapat melawan tahanan mampu


Pronasi Lemah, tidak full Hard Hard
Forearm ROM Full melawan gravitasi, tidak didapatkan nyeri
Supinasi ROM Hard Hard gerak statis

Flexi Hard Hard Tidak dapat melawan


Ekstensi Hard Hard tahanan terapis mampu
Lemah, tidak full
Wrist Deviasi ulnar ROM Full Hard Hard melawan gravitasi, tidak
ROM
Hard Hard didapatkan nyeri gerak
Deviasi radial
statis
Abduksi Stretch Stretch Tidak dapat melawan
Lemah, tidak full
Thumb Adduksi ROM Full Soft Soft tahanan terapis mampu
ROM
Flexi MCP Soft Soft melawan gravitasi, tidak
Extensi MCP Hard Hard didapatkan nyeri gerak
Flexi IP Soft Soft statis
Extensi IP Hard Hard
Abduksi Stretch Stretch
Tidak dapat melawan
Adduksi Soft Soft
tahanan terapis mampu
Finger Flexi MCP Lemah, tidak full Soft Soft
ROM Full melawan gravitasi, tidak
II-V Extensi MCP ROM Hard Hard
didapatkan nyeri gerak
Flexi PIP Soft Soft
statis
Extensi PIP Hard Hard
Flexi Stretch Stretch
Ekstensi Soft Soft
Tidak dapat melawan
Abduksi Tidak dapat Stretch Stretch
Hip ROM Full tahanan terapis tidak dapat
Adduksi melakukan Soft Soft
melwan gravitasi
Endorotasi Stretch Stretch
Eksorotasi Stretch Stretch
Flexi Lemah, tidak full Soft Soft Tidak dapat melawan tahanan terapis
Knee ROM Full mampu melawan gravitasi, tidak
Ekstensi ROM Hard Hard didapatkan nyeri gerak statis

Dorso flexi Stretch Stretch Tidak dapat melawan tahanan


Plantar flexi Lemah, tidak full Hard Hard terapis mampu melawan
Ankle ROM Full
Inversi ROM Hard Hard gravitasi, tidak didapatkan

Eversi Hard Hard nyeri gerak statis

Flexi MTP Soft Soft Tidak dapat melawan tahanan


Ekstensi MTP Lemah, tidak full Hard Hard terapis mampu melawan
Hallucis ROM Full
Flexi IP ROM Soft Soft gravitasi, tidak didapatkan

Ekstensi IP Hard Hard nyeri gerak statis

Flexi MTP Soft Soft


Ekstensi MTP Hard Hard Tidak dapat melawan tahanan
Toe Flexi IP Lemah, tidak full Soft Soft terapis mampu melawan
ROM Full
II-V Ekstensi IP ROM Hard Hard gravitasi, tidak didapatkan

Flexi DIP Soft Soft nyeri gerak statis

Ekstensi DIP Hard Hard

4. Palpasi :
 Suhu : afebris
 Spasme : (+) otot bantu napas
 Nyeri tekan : (-)
 Pola nafas : lambat
 Gerak nafas : thorakoabdominal
 Tonus : hipotonus
E. RESTRICTIVE :
 ADL : berjalan (-), makan-minum sendiri (-), toileting (-), berpakaian (-)
 Pekerrjaan : os tidak mampu melakukan pekerjaannya sebagai guru.
 Shoulder dan hip : tidak dapat melakukan gerakan, rom pasif full
 Elbow, wrist, knee dan ankle : dapat melakukan gerakan rom aktif terbatas, rom pasif
full

F. TISSUE IMPAIRMENT :
 Neurogenic : gangguan demyelinisasi
 Miogenic : kelemahan otot

G. SPECIFIC TEST :
 ROM dan MMT
Aktif ROM Pasif ROM MMT
Sendi Move ROM N
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
0 0 0 0 0 0
Flexi 0 -90 0 -70 0 -70 1 1
0 0 0 0 0 0
Ekstensi 0 -45 0 -45 0 -45 1 1
0 0 0 0 0 0
Abduksi 0 -180 0 -180 0 -180 2 2
Shoulder 0 0 0 0 0 0
Adduksi 0 -45 0 -45 0 -45 2 2
Endorotasi 00-350 00-350 00-350 1 1
0 0 0 0 0 0
Eksorotasi 0 -40 0 -40 0 -40 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0
Flexi 0 -135 0 -120 0 -120 0-140 0-140 3 3
Elbow 0 0 0
Ekstensi 0 0 0 0 3 3
0 0 0 0 0 0 0
Pronasi 0 -80 0 -80 0 -80 0 -85 0 -85 3 3
Forearm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Supinasi 0 -90 0 -90 0 -90 0 -95 0 -95 3 3
Flexi 00-800 00-700 00-700 00-850 00-850 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ekstensi 0 -70 0 -60 0 -60 0 -75 0 -75 3 3
Wrist 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Deviasi ulnar 0 -30 0 -30 0 -30 0 -35 0 -35 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Deviasi radial 0 -20 0 -20 0 -20 0 -25 0 -25 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Abduksi 0 -70 0 -70 0 -70 0 -75 0 -75 3 3
0 0 0 0 0
Adduksi 0 0 0 0 0 3 3
Flexi MCP 00-500 00-500 00-500 00-550 00-550 3 3
Thumb 0 0 0 0 0
Extensi MCP 0 0 0 0 0 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Flexi IP 0 -90 0 -90 0 -90 0 -90 0 -90 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Extensi IP 0 -20 0 -20 0 -20 0 -20 0 -20 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Finger Abduksi 0 -20 0 -20 0 -20 0 -20 0 -20 3 3
II-V Adduksi 00 00 00 00 00 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Flexi MCP 0 -90 0 -90 0 -90 0 -90 0 -90 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Extensi MCP 0 -30 0 -30 0 -30 0 -30 0 -30 3 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Flexi PIP 0 -100 0 -100 0 -100 0 -100 0 -100 3 3
0 0 0 0 0
Extensi PIP 0 0 0 0 0 3 3

 Fremitus : adanya peningkatan getaran pada lobus atas kedua paru


 Ekspansi thoraks
 upper : 2 cm (normal : 2-3 cm)
 middle : 2 cm (normal : 3-5 cm)
 lower : 2 cm (normal : 5-7 cm)
 Spirometri test : tidak dilakukan
 Test Sensori
 raba halus : defisit sensoris 50 % pada kedua ekstremitas atas dan bawah
 tajam tumpul : defisit sensoris 50% pada kedua ekstremitas atas dan bawah

 Pemeriksaan Refleks
 Refleks biceps : hiporfleksia
 Refleks triceps : hiporefleksia
 Refleks brachioradialis : arefleksia
 Refleks knee : arefleksia
 Refleks ankle : arefleksia
 Refleks babinski : arefleksia
 Koordinasi
 Non Equilibrium:
Derajat : Kiri TEST KOORDINASI Derajat : Kanan
1 Jari – hidung 1
1 Jari-jari pemeriksa 1
1 Jari-jari 1
3 Oposisi jari 3
3 Menggenggam (mass graps) 3
3 Pronasi/supinasi 3
3 Tapping (tangan) 3
2 Tapping (kaki) 2
1 Pointing dan past pointing 1
3 Bergantian heel-knee, heel toe 3
1 Menggambar lingkaran(dengan tangan) 1
1 Menggambar lingkaran(dengan kaki) 1
Ket :
1. Tidak mampu melakukan gerakan
2. Impairment berat : mampu memulai gerakan saja ( tidak dapat menyelesaikan)
3. Impairment sedang : mampu melakukan gerakan, dengan defisist koordinasi yang
jelas, gerakan lambat, tidak tepat
4. Impairment ringan : mampu melakukan gerakan dengan sedikit gangguan kecepatan
dan ketepatan
5. normal

 Equilibrium :
Derajat Test Koordinasi
Berdiri : Postur normal
Berdiri : Postur normal, mata ditutup
Tidak Berdiri ; 2 kaki
dapat Berdiri : 1 kaki
dilakuk Berjalan : letakkan heel kaki yang
an satu didepan ujung kaki yang lain
Berjalan pada garis lurus
Berjalan ke samping

 Balance
Tes Keseimbangan duduk
Tipe pengukuran :mengukur dan menilai kemampuan dalam mempertahankan
keseimbangan dalam posisi duduk
Alat yang dibutuhkan : stop watch dan bed
Waktu tes :30 detik
Prosedur tes:
Pasien duduk di tepi bed, kaki tersangga, kedua tangan diletakkan di sisi tubuh dan
punggung tak tersangga, selama 15 detik. Jika mampu menahan posisi ini selama 15
detik, fisioterapis menggoyang/mendorong pasien ke arah depan, belakang dan
samping (dengan tenaga dorongan yang diperkirakan mampu diterima pasien), hingga
waktu 30 detik berakhir.
Skor: 4 (normal) mampu melakukan tanpa ada bantuan fisik
3 (good) membutuhkan bantuan dari sisi tubuh yang lemah
2 (fair) mampu mempertahankan posisi statis, tapi perlu bantuan dalam reaksi tegak
1 (poor) tak mampu mempertahankan posisi statis tegak
Hasil : 1 (Poor)
 MMSE
 Aktivitas fungsional
Indeks Barthel
Tipe pengukuran : Mengukur kemampuan aktivitas fungsional
Alat yang dibutuhkan: Tidak dibutuhkan peralatan khusus
Waktu tes : 20 menit
Prosedur tes
1. Pemeliharaan kesehatan diri 0-5
2. Mandi 0-5
3. Makan 0 - 10
4. Toilet (BAK & BAB) 0 - 10
5. Naik/turun tangga (trap) 0 - 10
6. Berpakaian 0 - 10
7. Kontrol BAB 0 - 10
8. Kontrol BAK 0 – 10
9. Ambulasi 0 - 15
Kursi roda 0-5
10. Transfer kursi/bed 0 - 15
Skor normal 100
Hasil : 20 Ketergantungan berat
 Mobilisasi dan transfer :
 Mika-miki : dibantu
 Tidur ke duduk : dibantu
 Duduk ke berdiri : -
 Berjalan :-
 Electrical Stimulan
 NCV (Nerve conduction velocity)
 SDC (Strenght duration curve)
 EMG (Elektromiografi)
 Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks AP (Tanggal 4 Juni 2011)
Hasil :
 Pelebarann pembuluh darah parahili
 Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
 COR membesar dengan CTI = 0,6 aorta dilatasi
 Sinus kanan tumpul
Kesan : cardiomegali dengan tanda-tanda bendungan paru
Pleural reaksi kana
 Pemeriksaan laboratorium (Tanggal 6 Juni 2011)
 GDS 114 mg/%
 Glukosa liquor 103
 Protein total liquor 27 mg/%

H. Diagnosa FT :
Gangguan ADL (makan, minum, toletting, dressing dan berjalan) akibat GBS 2 Minggu
yang lalu.

I. Problematik FT :
Primer :
Kelemahan otot upper extremity billateral dan lower extremity billateral
Sekunder :
 Gangguan ekspansi thoraks
 Gangguan sensoris
 Keterbatasan LGS shoulder
 Spasme otot bantu nafas
 Retensi sputum pada lobus atas paru
 Ganggua mobilisasi mika-miki, tidur ke duduk.
Kompleks :
Gangguan ADL (makan, minum, toletting, dressing dan berjalan)

J. Tujuan Terapi :
Tujuan jangka pendek :
 Meningkatkan kekuatan otot upper extremity billateral dan lower extremity billateral
 Meningkatkan ekspansi thoraks
 Megurangi defisit sensorissensoris
 Meningkatkan LGS shoulder
 Menghilangkan spasme otot bantu nafas
 Menghilangkan retensi sputum pada lobus atas paru
 Pasien dapat mobilisasi mika-miki, tidur ke duduk sendiri tanpa bantuan
Tujuan jangka panjang :
 Gangguan ADL (makan, minum, toletting, dressing dan berjalan)

K. Rencana Terapi :
No Problematik FT Modalitas Dosis
PRIMER
1. Kelemahan otot Exercise dan Exercise
Electrical F: 1 x sehari
Stimulation I : 3 x / 8 Hitungan/ group
otot
T: Strengthening (aktif
resisted), PNF
T: 10 menit
Electrical Stimulation
F: 1x xsehari
I: 30 mA
T: muscle strengthening
T: 5 menit per otot
SEKUNDER
1 Gangguan ekspansi Chest PT F: 3xsehari
I:3xrepetisi/8hitungan/gerakan
thoraks
T: Chest mobility, breathing
exercise
T:10 mienit
2 Gangguan sensoris F: 1x sehari
I : 3x repetisi/ 6hitungan
T : sweping
T : 3 menit
3 Keterbatasan LGS Manual therapy, F: 1x sehari
Exc I: 3x repetisi
shoulder
T: traksi, aktif
T: 5 menit
4 Spasme otot bantu Exercise, manual Exercise
therapy, dan IRR F :1x sehari
nafas
I:6xrepetisi/8 hitungan
T: stretching
T:5 menit
Manual therapy
F:1xsehari
T:NMT
T:5 Menit
IRR
F: 1xsehari
I: jarak 50 cm
T:lumious
T: 10 menit
5. Retensi sputum pada Chest Pt F: 1xsehari
I:3xrepetisi/8hitungan/gerakan
lobus atas paru
T: breathing exercise, postural
drainage
T: 8 menit
6. Ganggua mobilisasi Latihan mobilisasi F: 1X Sehari
I : 1-3 x repetisi
mika-miki, tidur ke
T : Motor relearning program
duduk. T : 5 menit
KOMPLEKS
1 Gangguan ADL, Excercise, gait F : 1x sehari
makan minum, training I: 3 x repetisi/ 6
berjalan Hitungan/gerakan
T: PNF, gait training
T : menit

L. Tindakan Terapi
Melakukan sesuai dengan rencana terapi
M. Dokumentasi
N. Evaluasi :
Problematik Sebelum Terapi Sesudah 5x terapi
FT
Kelemahan
otot
MMT MMT
Sendi Move Sendi Move
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Flexi 1 1 Flexi 3 3
Ekstensi 1 1 Ekstensi 3 3
Abduksi 2 2 Abduksi 3 3
Shoulder Shoulder
Adduksi 2 2 Adduksi 3 3
Endorotasi 1 1 Endorotasi 3 3
Eksorotasi 1 1 Eksorotasi 3 3
Flexi 3 3 Flexi 4 4
Elbow Elbow
Ekstensi 3 3 Ekstensi 4 4
Pronasi 3 3 Pronasi 4 4
Forearm Forearm
Supinasi 3 3 Supinasi 4 4
Flexi 3 3 Flexi 4 4
Wrist Wrist
Ekstensi 3 3 Ekstensi 4 4
Deviasi ulnar 3 3 Deviasi ulnar 4 4
Deviasi radial 3 3 Deviasi radial 4 4
Abduksi 3 3 Abduksi 4 4
Adduksi 3 3 Adduksi 4 4
Flexi MCP 3 3 Flexi MCP 4 4
Thumb Thumb
Extensi MCP 3 3 Extensi MCP 4 4
Flexi IP 3 3 Flexi IP 4 4
Extensi IP 3 3 Extensi IP 4 4
Abduksi 3 3 Abduksi 4 4
Adduksi 3 3 Adduksi 4 4
Finger Flexi MCP 3 3 Finger Flexi MCP 4 4
II-V Extensi MCP 3 3 II-V Extensi MCP 4 4
Flexi PIP 3 3 Flexi PIP 4 4
Extensi PIP 3 3 Extensi PIP 4 4
Flexi 1 1 Flexi 3 3
Ekstensi 1 1 Ekstensi 3 3
Abduksi 2 2 Abduksi 3 3
Hip Hip
Adduksi 2 2 Adduksi 3 3
Endorotasi 1 1 Endorotasi 3 3
Eksorotasi 1 1 Eksorotasi 3 3
Flexi 3 3 Flexi 4 4
Knee Knee
Ekstensi 2 2 Ekstensi 4 4
Dorso flexi 3 3 Dorso flexi 4 4
Plantar flexi 3 3 Plantar flexi 4 4
Ankle Ankle
Inversi 3 3 Inversi 4 4
Eversi 3 3 Eversi 4 4
Flexi MTP 3 3 Flexi MTP 4 4
Ekstensi MTP 3 3 Ekstensi MTP 4 4
Hallucis Hallucis
Flexi IP 3 3 Flexi IP 4 4
Ekstensi IP 3 3 Ekstensi IP 4 4
Flexi MTP 3 3 Flexi MTP 4 4
Ekstensi MTP 3 3 Ekstensi MTP 4 4
Toe Flexi IP 3 3 Toe Flexi IP 4 4
II-V Ekstensi IP 3 3 II-V Ekstensi IP 4 4
Flexi DIP 3 3 Flexi DIP 4 4
Ekstensi DIP 3 3 Ekstensi DIP 4 4

Gangguan Ekspansi thoraks Ekspansi thoraks


ekspansi  upper : 2 cm (normal : 2-3 cm)  upper : 2 cm (normal : 2-3 cm)
thoraks  middle : 2 cm (normal : 3-5 cm)  middle : 3 cm (normal : 3-5 cm)
 lower : 2 cm (normal : 5-7 cm)  lower : 3 cm (normal : 5-7 cm)

Gangguan Test Sensori Test Sensori


sensoris  raba halus : 50 %  raba halus : 50 %
 tajam tumpul : 50%  tajam tumpul : 50%
Keterbatasan Fleksi : 0-700 Fleksi : 0-700
LGS shoulder
Spasme otot Palpasi : kontur kulit (+) spasme otot Palpasi : spasme otot berkurang
bantu nafas bantu nafas
Retensi Fremitus : peningkatan getaran pada lobus Fremitus : peningkatan getaran pada lobus
sputum pada atas paru atas paru (belum ada perubahan)
lobus atas paru
Ganggua Mika –miki : (-) Mika –miki : (+)
mobilisasi Tidur ke duduk : (-) Tidur ke duduk : (+)
mika-miki, Duduk ke berdiri : (-) Duduk ke berdiri : (+)
tidur ke duduk. Berjalan: (-) Berjalan: (+)

Gangguan Makan dan minum: bantuan penuh Makan dan minum: mandiri
ADL, makan
Toiletting (-) dressing (-) Toiletting (+) dressing (+)
minum,
toileting, Berjalan (-) Berjalan (-)
dressing,
berjalan

O. REEVALUASI
Re-Evaluasi dilakukan apabila dalam kurun waktu tertentu ternyata tidak
didapatkan hasil yang membaik atau bahkan lebih memburuk dari keadaan klien setelah
diberikan intervensi FT sekian kali. Dalam hal ini assesmen, diagnosa dan intervensi FT
sudah tepat sehingga tidak dperlukan adanya re-evaluasi. Yang termasuk re-evaluasi
dalam hal ini assesment (sistem pemeriksaan), program terapi, modalitas, teknik dan dosis
terapi, dan home program yang dianjurkan oleh terapis.
P. HOME PROGRAM
 Penderita disarankan untuk tetap melakukan latihan yang diberikan terapis

Q. MODIFIKASI
 AFPR

R. KEMITRAAN
 Dokter neurologi
 Perawat
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating Yang
menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf motorik tetapi mungkin juga saraf
sensorik dan otonomik. Serangan GBS biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan,
sehingga diduga akibat dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS
tergantung dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang, maka
gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang terserang, maka gejalanya
semakin ringan.
Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam
penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi.
Pada kasus ini pasien telah berada pada tahap lanjut atau fase kedua dimana
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran
utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang
diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif
terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu
melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian
meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban untuk meningkatkan
kekuatan otot.
DAFTAR PUSTAKA

1. Seneviratne U. Guillain-Barre syndrome. Postgrad Med J. Dec 2000;76(902):774-82.


2. Winer JB. Guillain Barre syndrome. Mol Pathol. Dec 2001;54(6):381-5.
3. Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher
4. Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acute motor
neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic and laboratory
features. Brain (118); 841-847
5. Van Koningsveld R, Van Doorn PA. Steroids in the Guillain-Barre syndrome: is there
a therapeutic window?. Neurologia. Mar 2005;20(2):53-7
6. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M, Nash D, et al. The
Guillain-Barré syndrome and the 1992-1993 and 1993-1994 influenza vaccines. N
Engl J Med. Dec 17 1998;339(25):1797-1802
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Guillain-Barre Syndrome among
recipients of Menactra meningococcal conjugate vaccine--United States. Morb Mortal
Wkly Rep. Oct 14 2005;54(40):1023-5
8. McKhann GM, Cornblath DR, Ho T, et al (1991). Clinical and electrophysiological
aspects of acute paralytic disease of children and young adults in northern China.
Lancet 338 (8767): 593–7
9. Winer JB. Treatment of Guillain-Barré syndrome. QJM. Nov 2002;95(11):717-21
10. Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al Peripheral
neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
11. Griffin JW, Li CY, Ho TW, et al (1995). Guillain-Barré syndrome in northern China.
The spectrum of neuropathological changes in clinically defined cases. Brain 118
(Pt3): 577–95
12. Ilyas M, Tolaymat A. Minimal change nephrotic syndrome with Guillain-Barré
syndrome. Pediatr Nephrol. Jan 2004;19(1):105-6
13. Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome, optimum
management. Clin Immunother. 2(2): 89-99

Anda mungkin juga menyukai