Anda di halaman 1dari 10

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi


Menurut Beck, status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh
keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi. Penelitian status gizi merupakan
pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diet (Beck,
2000). Menurut Dewa Nyoman dkk (2002) status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan menurut Almatsier (2001) status
gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

2.2 Gizi Kurang


a. Pengertian Gizi Kurang
Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut
Umur (BB/U) -3 SD (Standard Deviasi) sampai -2 SD (Depkes RI, 2011). Gizi kurang
adalah gangguan kesehatan yang disebabkan kekurangan dan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dengan asupan dan protein (Rahardjo, 2012). Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan.
Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun (Ariyanto, 2010).
b. Faktor Risiko Gizi Kurang
Faktor risiko gizi kurang pada balita menurut konferensi international tentang “At
Risk Factors and The Health and Nutrition of Young Children” di Kairo tahun 1975
mengelompokkan menjadi tiga (Moehji,2009), yaitu :
1) At risk factors yang bersumber dari masyarakat
a) Ketahanan pangan
Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya
(Waryono, 2010).Daya beli keluarga dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan
keluarga. Jika daya beli rendah maka akan berpengaruh pada ketahanan pangan

8
keluarga, sehingga konsumsi pangan juga berkurang yang dampaknya bisa kepada
gangguan gizi.
b) Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan
sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan. Sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga (Waryono, 2010).

2) At risk factors yang bersumber pada keluarga


a) Tingkat Pengetahuan
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, higiene pemeriksaan kehamilan dan
pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan.Pengetahuan yang dimiliki ibu
berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan
ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang
(Septikasari & Septiyaningsih, 2016). Keluarga akan lebih banyak membeli barang
karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga
disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2013),
menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makan anak
sangat berhubungan dengan status gizi kurang anak balita.
b) Tingkat Pendidikan
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan
gizi ibu tinggi (Kemenkes, 2013). Dan balita yang mengalami pertumbuhan yang
lambat/balita dengan status gizi buruk juga berisiko 3 kali lebih besar berasal dari
ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nafi’ah tahun 2015, Sebagian besar tingkat pendidikan ibu balita yang memiliki
balita gizi kurang dalam kategori pendidikan dasar.
c) Tingkat Pekerjaan
Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan
perhatian penuh terhadap anak balitanya, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun
tidak semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban

9
kerja yang ditanggungnya dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam
menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya (Septikasari dkk., 2016).
3) At risk factors yang bersumber pada individu anak
a) Usia
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–
<3tahun (batita) dan anak usia prasekolah (3-5 tahun).Anak usia 1-<3 tahun
merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang
disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-
sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang
masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam
sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola
makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. Di usia ini anak
memasuki usia pra sekolah dan mempunyai risiko besar terkena gizi kurang bahkan
gizi buruk. Pada usia ini anak tumbuh dan berkembang dengan cepat sehingga
membutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sementara mereka mengalami penurunan
nafsu makan dan daya tahan tubuhnya masih rentan sehingga lebih mudah terkena
infeksi dibandingkan anak dengan usia lebih tua. Pada usia pra-sekolah anak menjadi
konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia
ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga
anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. penelitian yang dilakukan oleh
Kuntari, Jamil dan Kurniati tahun 2013 menunjukkan bahwa balita yang berusia 1-
3 tahun mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi baik dibandingkan dengan
balita yang berusia 3-5 tahun.

b). Jenis Kelamin


Menurut Suharjo (1996) secara tradisional seringkali anak perempuan
mendapat prioritas makanan yang kedua daripada anak laki-laki, sehingga jika
terjadi musim panceklik anak perempuan lebih rentan menderita kurang gizi karena
diskriminasi dalam pembagian makanan.
Jenis kelamin mempengaruhi hormon yang berfungsi dalam proses
perkembangan. Laki-laki menghasilkan lebih banyak androgen dan perempuan lebih

10
banyak menghasilkan esterogen. Banyaknya hormon sex yang sesuai dengan jenis
kelamin mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan
psikologis (Hurlock, 1999). Menurut baku standar WHO-NCHS dalam depkes
(2007) jenis kelamin juga mempengaruhi ukuran tubuh anak dimana laki-laki lebih
berat dan lebih tinggi dari peremuan pada umur yang sama dalam keadaan status gizi
baik. Sehingga kebutuhan zat gizi laki-laki lebih berat dan lebih tinggi dari
perempuan pada umur yang sama dalam keadaan status gizi baik. Sehingga
kebutuhan zat gizi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena perbedaan luas
tubuh dan aktivitasnya (Apriadji, 1986)

c). Jumlah Balita dalam Keluarga


Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antara anak sangat dekat
akan menimbulkan banyak masalah. Dalam acara makan bersama seringkali anak
yang lebih kecil akan mendapat jatah makan yang kurang memadai (Apridji, 1986)
Berg (1986), menunjukkan bahwa rumah tagga yang mempunyai anggota
keluarga besar berisiko mengalami kelaparan empat kali lebih besar dari rumah
tangga yang anggota keluarganya kecil, dan berisiko pula mengalami gizi kurang
sebanyak lima kali lebih besar daripada keluarga yang anggota keluarganya kecil,
Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempengaruhi distibusi makanan
terhadap anggota keluarga, terutama pada keluarga miskin yang terbatas
kemampuannya dalam penyediaan makanan, sehingga akan berisiko terhadap
terjadinya gizi kurang.
Komposisi dan jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya
kurang gizi. Sebagian besar penduduk negara Indonesia berpenghasilan menengah
kebawah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota
keluarga, jumlah anggota keluarga yang banyak akan memperburuk keadaan ini dan
akan menimbulkan banyak masalah kesehatan lain yang berhubungan dengan
ketidakcukupan pangan dan gizi (Suharjo, 1996)

11
d). Riwayat Berat Lahir
Berat lahir adalah berat bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam pertama setelah
bayi lahir. Klasifikasi berat bayi lahir menurut Kosim, et al.,(2009) dikelompokkan
menjadi 3 yaitu :
(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
BBLR merupakan berat bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2500
gram tanpa memandang usia gestasi (Kosim, et al.,2009). Bayi yang BBLR
menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi dan berisiko lebih tinggi
terhadap kematian bayi, penyakit kronis pada usia dewasa, keterlambatan
mental dan pertumbuhan yang lambat karena kondisi kekurangan gizi yang
berisiko mengakibatkan balita menderita KEP. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi yang BBLR berkali-kali berisiko
memiliki status gizi kurang pada usia 1-5 tahun dibandingkan yang tidak BBLR,
penelitian yang lain juga menyebutkan bahwa anak yang BBLR pertumbuhan
dan perkembangannya lebih lambat dari anak dengan berat bayi lahir normal.
Gizi Buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang.Pada BBLR zat
anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
terutama penyakit infeksi.Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan
sehingga asupan makanan yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan
dapat menyebabkan gizi buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil,
dan Kurniati tahun 2013 menemukan anak dengan berat lahir sama atau lebih
dari 2500 gram berisiko seperlima kali lebih kecil untuk mengalami malnutrisi
dibandingkan anak dengan berat lahir kurang dari 2500 gram.
(2) Bayi Berat Lahir Normal
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42
minggu dan berat badan lahir > 2500 - 4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).
(3) Bayi Berat Lahir Lebih
Bayi berat lahir lebih adalah Bayi yang dilahirkan dengan beratlahir lebih
> 4000 gram (Kosim et al., 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arnisam
tahun 2007 menunjukan bahwa BBLR mempunyai risiko 3,34 kali lebih besar
untuk mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan anak yang tidak

12
BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah tahun 2016 menunjukkan
bahwa ada hubungan antara riwayat BBLR dan status gizi balita. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti tahun 2011 menunjukan bahwa
bayi yang BBLR mempunyai kemungkinan mengalami status gizi buruk 41,5
kali lipat dibandingkan dengan yang berat bayi lahir normal. Artinya ada
hubungan yang bermakna antara BBL dengan status gizi balita.

e). Pemberian ASI Eksklusif


ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO) 2011 adalah
memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada
bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. ASI akan terus
diberikan kepada anak sampai berusia 2 tahun.WHO (2009) menyatakan sekitar 15%
dari total kasus kematian anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang
disebabkan oleh pemberian ASI secara tidak eksklusif.
Dalam upaya peningkatan status gizi pada hakekatnya harus dimulai sedini
mungkin, salah satunya yaitu dengan pemberian ASI eksklusif. ASI dapat
menigkatkan kekebalan tubuh bayi yang baru lahir, karena mengandung zat
kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan
alergi. Bayi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan
bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif, hal ini juga akan mempengaruhi status gizi
balita. Dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian anak, United Nations
Children's Fund (UNICEF) dan WHO merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif
sampai bayi berumur enam bulan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Giri
tahun 2013 menunjukan bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif memiliki balita
dengan status gizi lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak memberikan ASI
eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Monica, Dewi dan Susilo (2014) juga
menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian gizi kurang pada balita.

13
2.3 Penilaian Status Gizi Kurang
Penilaian status gizi menurut Supariasa (2011), dapat dilakukan dengan cara
penilaian status gizi secara langsung yaitu dengan pengukuran antropometri. Antropometri
adalah sebuah studi tentang pengukuran tubuh dimensi manusia dari tulang, otot dan
jaringan adiposa atau lemak (Survey, 2009). Secara umum, antropometri digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan konsumsi energi dan protein dilihat dari pola pertumbuhan
fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Tjahyani,
2011). Bidang antropometri meliputi berbagai ukuran tubuh manusia seperti berat badan,
posisi ketika berdiri, ketika merentangkan tangan, lingkar tubuh, panjang tungkai, dan
sebagainya. Antropometri adalah pengukuran dan komposisi tubuh (Hartriyanti dan
Triyanti, 2007).
Sedangkan antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh, komposisi tubuh, tingkat umur dan tingkat gizi.Berdasarkan
Kemenkes RI (2012), Indonesia masih mengalami permasalahan gizi pada anak-anak,
maka usaha deteksi dini penting untuk dilakukan. Kita mengenal alat ukur yang digunakan
untuk melihat gizi balita antara lain dengan pengukuran status gizi melalui kegiatan
posyandu dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) sebagai alat ukur dan deteksi dini untuk
memantau tingkat pertumbuhan dan perkembangan balita. KMS bagi balita merupakan
kartu yang memuat kurva laju pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri
berat badan menurut umur yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Kemenkes RI,
2010).
a. Kartu Menuju Sehat (KMS)
KMS (Kartu Menuju Sehat) untuk balita adalah alat yang sederhana dan murah,
yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. KMS balita
berisi catatan penting tentang pertumbuhan, perkembangan anak, imunisasi,
penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak, pemberian
ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI, pemberian makanan anak dan rujukan
ke Puskesmas/RS. KMS balita juga berisi pesan-pesan penyuluhan kesehatan dan gizi
bagi orang tua balita tentang kesehatan anaknya (Beck, 2000).
KMS-Balita menjadi alat yang sangat bermanfaat bagi ibu dan keluarga untuk
memantau tumbuh kembang anak, agar tidak terjadi kesalahan atau ketidakseimbangan

14
pemberian makan pada anak. KMS juga dapat dipakai sebagai bahan penunjang bagi
petugas kesehatan untuk menentukan jenis tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi
kesehatan dan gizi anak untuk mempertahankan, meningkatkan atau memulihkan
kesehatan- nya.
Manfaat KMS-Balita adalah (Depkes, 2002) :
1. Sebagai media untuk mencatat dan memantau riwayat kesehatan balita secara
lengkap, meliputi : pertumbuhan, perkembangan, pelaksanaan imunisasi,
penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak
pemberian ASI eksklusif, dan Makanan Pendamping ASI, pemberian makanan anak
dan rujukan ke Puskesmas/Rumah Sakit.
2. Sebagai media edukasi bagi orang tua balita tentang kesehatan anak
3. Sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan oleh petugas untuk menentukan
penyuluhan dan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi.
Berat badan yang tercantum pada KMS hanya menggambarkan pola pertumbuhan
berat badan balita bukan berat badan per umur. Berat badan di Bawah Garis Merah
(BGM) bukan menunjukan keadaan gizi buruk tetapi sebagai peringatan untuk
konfirmasi dan tindak lanjutnya, tetapi perlu diingat tidak berlaku pada anak dengan
berat badan awalnya memang sudah dibawah garis merah. Naik-turunnya berat badan
balita selalu mengikuti pita warna pada KMS. KMS hanya difungsikan untuk
pemantauan pertumbuhan dan perkembangann balita serta promosinya, bukan untuk
penilaian status gizi.
Hasil penimbangan balita di Posyandu hanya dapat dimanfaatkan atau digunakan untuk:
1. Pematauan pertumbuhan dan perkembangan individu balita dengan melihat berat
badan yang ditimbang (D) apakah naik (N), turun (T) atau BGM.
2. Perkiraan perkembangan dan pertumbuhan balita di masyarakat yaitu dengan melihat
persentase balita yang Naik Berat Badannya dibanding dengan keseluruhan balita
yang ditimbang (% N/D), termasuk juga persentase balita yang BGM di banding
dengan keseluruhan balita yang ditimbang (% BGM/D).
3. Perkiraan perkembangan keadaan gizi balita di masyarakat.
4. Pembinaan kegiatan Posyandu dengan menilai cakupan program dan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan Posyandu

15
b. Tanda Gejala Gizi Kurang
Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak
tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya.Dr Rachmi Untoro ahli gizi anak dari
Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia mengungkapkan ciri-ciri anak kurang gizi
adalah rambut kusam, kering, pucat, bibir dan mulut bengkak.

c. Dampak Gizi Kurang


Menurut Nency dan Arifin (2008), bahwa beberapa penelitian menjelaskan
dampak jangka pendek dari kasus gizi kurang adalah anak menjadi apatis, mengalami
gangguan bicara serta gangguan perkembangan yang lain, sedangkan dampak jangka
panjang dari kasus gizi kurang adalah penurunan IQ, penurunan perkembangan
kognitif, gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan penurunan rasa percaya diri.
Oleh karena itu kasus gizi kurang apabila tidak tangani dengan baik akan mengancam
jiwa dan pada jangka panjang akan mengancam hilangnya generasi penerus bangsa
(Zulfita, 2013). Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang
menjadi gizi buruk (Dewi, 2013).

d. Pencegahan Gizi Kurang


1.Timbang balita tiap bulan ke posyandu untuk memantau BB anak
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Juniarti dan Mardiyah tahun 2008,
menunjukan bahwa keluarga yang berada dalam kategori aktif ke posyandu memiliki
persentase lebih besar memiliki balita dengan status gizi baik.
2. Berikan ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi.ASI sangat
dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi
secara optimal. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan terpenuhi kebutuhan
gizinya secara maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi,
tidak mudah terkena alergi, dan lebih jarang sakit. Karena dengan pemberian ASI
eksklusif status gizi bayi akan baik danmencapai pertumbuhan yang sesuai dengan
usianya (Sulistyoningsih, 2011).

16
3. Suplementasi zat gizi mikro
Pemberian vitamin A, zat besi, iodium dan seng. Kekurangan zat gizi mikro
merupakan penyebab timbulnya masalah gizi dan kesehatan disebagian besar wilayah
Indonesia.
4. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini maupun terlambat akan
menyebabkan bayi rentan mengalami penyakit infeksi, alergi, kekurangan gizi, dan
kelebihan gizi, sehingga dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan
(Hakim, 2014). Sehingga setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan, maka diberikan MP-
ASI sesuai dengan umurnya.

e. Penanganan Gizi Kurang


1. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah salah satu bentuk intervensi
langsung untuk menyediakan jenis makanan yang penting contohnya makanan
tambahan pemulihan untuk balita gizi buruk dan gizi kurang (Setiarini, 2007).
Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak
golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak
balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya
pada KMS terletak dibawah garis merah.

17

Anda mungkin juga menyukai