Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PORTOFOLIO

TONSILITIS AKUT

Disusun Oleh:

dr. Rani

Pebimbing:
dr. Agnes Maria Tanri

RSAL Dr. Mintohardjo

Periode Juni 2018– Oktober 2018


BERITA ACARA

Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia.

Jakarta, Juli 2018


Dokter Pendamping

(dr. Agnes Maria Tanri)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya ucapakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan portofolio yang berjudul “Tonsilitis Akut”.
Portofolio ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menempuh tercapainya
Program Internsip Dokter Indonesia. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah berpartisipasi
dan membantu dalam penulisan portofolio ini.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama:
1. dr. Wiweka, MARS, selaku Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
2. dr. Eko Budi, Sp.An ,selaku Wakamed Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
3. dr. Robby Hilman, Sp. M, selaku Wakabin Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
4. dr. Agnes Maria Tanri, selaku dokter pendamping wahana Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
5. Seluruh teman-teman medis dan paramedis Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Laut
dr. Mintohardjo yang telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan portofolio ini.
6. Kepada seluruh sahabat-sahabat internsip saya yang memberikan semangat dan inspirasi
dalam pembuatan portofolio ini

Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam
menyempurnakan portofolio ini. Semoga portofolio ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.

Jakarta, Juli 2018

Penulis
KASUS PORTFOLIO

Nama Peserta: dr. Rani


Nama Wahana: RSAL Dr. Mintohardjo
Topik: Tonsilitis Akut
Tanggal (Kasus): 20 Juli 2018
Nama Pasien: An. A No RM: 203331
Tanggal Presentasi: 27 Juli 2018 Nama Pendamping: dr. Agnes Maria Tanri
Tempat Presentasi: RSAL Dr. Mintohardjo
Obyektif Presentasi:
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi: An. A., laki-laki, 12 tahun, datang ke RS dengan keluhan nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu.
Selain nyeri menelan yang dirasakan pasien, pasien juga mengaku merasa demam. Pasien mengalami
batuk dan tenggorokan terasa panas. Pasien mengaku sudah sering mengalami keluhan seperti ini sejak
6 bulan yang lalu tetapi keluhan hilang timbul dan 3 hari terakhir keluhan dirasakan semakin memberat
dan mebuat pasien datang berobat kedokter. Pasien mengaku sering minum es, sering makan gorengan.
Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat dan makanan disangkal. Dalam keluarga tidak ada yang
mengalami penyakit serupa
 Tujuan: Mengetahui diagnosis dan tatalaksana tonsilitis akut
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
Data Pasien Nama: Tn. A No Registrasi: 151533
Nama RS: RSAL Dr. Mintohardjo Telepon: Terdaftar Sejak:
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Gambaran Klinis
An. A., laki-laki, 12 tahun, datang ke RS dengan keluhan nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu.
Selain nyeri menelan yang dirasakan pasien, pasien juga mengaku merasa demam. Pasien
mengalami batuk dan tenggorokan terasa panas. Pasien mengaku sudah sering mengalami keluhan
seperti ini sejak 6 bulan yang lalu tetapi keluhan hilang timbul dan 3 hari terakhir keluhan
dirasakan semakin memberat
2. Riwayat Pengobatan
 Sebelumnya pasien tidak pernah berobat ke fasilitas kesehatan manapun.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
 Disangkal
4. Riwayat Keluarga
• Disangkal
5. Lain-lain: -
Daftar Pustaka
1. Anonim. Otitis Media Akut.

2. Soepardi, iskandar, et all. buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher.

Edisi ke-enam. FKUI. Jakarta; 2007.

3. Soepardi, iskandar, et all. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga, Hidung dan

Tenggorok. FKUI. Jakarta; 1992.

4. Lawrence R. Boies, et all. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-enam. EGC. jakarta; 1997.

5. Efiaty arsyad S, et all. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL, FKUI. jakarta;2007
Hasil Pembelajaran
1. Penegakan diagnosis tonsilitis akut.
2. Penatalaksanaan pada tonsilitis akut.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portfolio


1. Subjektif:
An. A., laki-laki, 12 tahun, datang ke RS dengan keluhan nyeri menelan sejak 3 hari yang
lalu. Selain nyeri menelan yang dirasakan pasien, pasien juga mengaku merasa demam. Pasien
mengalami batuk dan tenggorokan terasa panas. Pasien mengaku sudah sering mengalami
keluhan seperti ini sejak 6 bulan yang lalu tetapi keluhan hilang timbul dan 3 hari terakhir
keluhan dirasakan semakin memberat dan mebuat pasien datang berobat kedokter. Pasien
mengaku sering minum es, sering makan gorengan. Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi
obat dan makanan disangkal. Dalam keluarga tidak ada yang mengalami penyakit serupa.
2. Objektif:
Primary Survey
A (Airway) : Clear, Stridor (-), Gargling (-)
B (Breathing) : Spontan, RR 20x/menit, pergerakan dada simetris kanan=kiri
C (Circulation): Nadi 77x/menit, reguler, isian cukup, akral hangat, capillary refill time <2
detik, akral hangat.
D (Disability) : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+.
E (Exposure) : diberikan selimut untuk mencegah hipotermi.
Secondary Survey
Keadaan umum
o Kesadaran: compos mentis
o Kesan sakit: Tampak sakit berat
Vital Signs
o KU: Tampak sakit berat
o Kesadaran: compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
o Frekuensi Nadi: 77 x/ menit, kuat
o Suhu: 37,8ºC
o Frekuensi Nafas: 20 x/ menit
o Saturasi O2: 98%
o BB : 45kg
Status Generalis
o Kepala: Dalam batas normal
o Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+ normal
o Mulut: Bibir tidak anemis, mulut dalam batas normal
o THT: Ukuran T2-T4, merah muda, permukaan tidak rata, kripta melebar, detritus (-),
eksudat (-)
o Leher: Tidak ada pembesaran KGB
o Jantung:
o I: Iktus Kordis tidak terlihat
o P: Ikturs kordis teraba pada ICS IV linea midklavikularis sinistra
o P: Kardiomegali (-)
o A: Bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur (-) gallop (-)
o Paru:
o I: Gerakan napas tampak simetris
o P: Gerakan napas teraba simetris, fremitus kanan = kiri
o P: Sonor pada kedua lapang paru,
o A: Bunyi napas vesikuler di kedua lapang paru, Rhonki (-) Wheezing(-)
o Abdomen:
o I: Bentuk datar, tidak terlihat scar
o P: Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak terdapat pembesaran
o P: Timpani pada seluruh lapang
o A: Bising usus positif normal
o Urogenital
o Dalam batas normal
o Extremnitas
o Dalam batas normal

2. Assessment :
Resume:
Anamnesis: An. A., laki-laki, 12 tahun, 45kg datang ke RS dengan keluhan nyeri menelan
sejak 3 hari yang lalu. Selain nyeri menelan yang dirasakan pasien, pasien juga mengaku merasa
demam. Pasien mengalami batuk dan tenggorokan terasa panas. Pasien mengaku sudah sering
mengalami keluhan seperti ini sejak 6 bulan yang lalu tetapi keluhan hilang timbul dan 3 hari
terakhir keluhan dirasakan semakin memberat dan mebuat pasien datang berobat kedokter.
Pasien mengaku sering minum es, sering makan gorengan. Pasien tidak memiliki riwayat asma,
alergi obat dan makanan disangkal. Dalam keluarga tidak ada yang mengalami penyakit serupa.
Pemeriksaan fisik : THT: Ukuran T2-T4, merah muda, permukaan tidak rata, kripta melebar,
detritus (-), eksudat (-)
Diagnosis Kerja:
Tonsilitis Akut
4. Rencana Tatalaksana:
o Rencana terapi
Non farmakologi: - Edukasi hygene pasien
Farmakologi : - PCT 3 x 1 tab
- Cefixime 2 x 1
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari jaringan
limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian organ tubuh yang
berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil faringal yang membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari
invaginasi hipoblas di tempat ini.
Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus
atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidungatau mulut, tonsil berfungsi
sebagai filter/ penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih.
Hal ini akan memicu sistem kekebalantubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan
datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan
timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut,
tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari
patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan tatalaksana yang komprehensif pada pasien
tonsilitis beserta keluarganya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Tonsil

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Tonsil adalah salah satu struktur yang terdapat di rongga orofaring. Tonsil merupakan
massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di
dalamnya. Cincin Waldeyer merupakan susunan tonsil pada orofaring seperti yang terlihat
pada gambar 1, terdiri dari tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingualis (tonsil pangkal lidah) dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlah’s tonsil).
Fossa tonsilaris dibentuk oleh tiga otot, yaitu m. palatoglossus, m. palatofaringeal dan m.
konstriktor superior. Perdarahan tonsil berasal dari percabangan a. lingual dorsalis, a. palatina
dan a. fasialis sedangkan aliran venanya berujung pada plexus peritonsilar yang selanjutnya
dialirkan ke v. faringeal dan kemudian masuk ke v. jugularis interna. Aliran limfe tonsil
dialirkan ke limfe nodus servikal. Persarafan tonsil didapatkan dari n. glossofaringeus, hal ini
yang mengakibatkan adanya gejala otalgia saat tonsillitis.
Tonsil memiliki peranan penting dalam sistim imunitas tubuh, dimana puncaknya pada
usia empat hingga sepuluh tahun, selanjutnya tonsil akan mengalami involusi. Tonsil
merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan
limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%
sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (Antigen Presenting Cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
Ig G. Tonsil akan menghasilkan imunoglobulin jika terdapat antigen yang masuk melalui
reaksi radang pada saluran nafas dan saluran cerna atas.

2.2. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina. Tonsilitis kronis merupakan peradangan
menahun pada tonsil palatina. Peradangan menahun disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
higiene mulut yang buruk, cuaca, rangsangan asap rokok atau pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat.

2.3. Etiopatogenesis
Kuman penyebab tonsilitis kronis sama dengan kuman yang menyebabkan terjadinya
tonsilitis akut yaitu Streptococcus hemoliticus (50%), Streptococcus viridians dan sisanya
disebabkan virus. Penyebarannya melalui percikan ludah (droplet infection). Penyakit ini ada
kecenderungan bersifat residif secara periodik. Mula-mula terjadi infiltrasi pada lapisan epitel.
Bila epitel terkikis, maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi kemudian terjadi
peradangan dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinis tampak pada
kriptus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsilitis kronis merupakan kelanjutan dari infeksi
akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya terjadi pembesaran tonsil sebagai
akibat hipertrofi folikel-folikel kalenjar limfe.
Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan atrofi tonsil.
Terjadinya proses radang berulang mengakibatkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan
ikat ini sesuai dengan sifatnya akan mengalami pengerutan, sehingga ruang antar kelompok
jaringan limfoid melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus
ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul, akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.
Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui
perkontinuitatum, hematogen atau limfogen. Penyebaran perkontinuitatum dapat menimbulkan
rinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Penyebaran hematogen atau limfogen dapat
menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, urtikaria,
furunkulosis dan pruritus.
2.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
biasanya terdapat riwayat infeksi berulang, riwayat nyeri menelan atau rasa mengganjal di
tenggorokan, keluhan nafas berbau, tidur yang mendengkur, riwayat infeksi telinga tengah
berulang.
Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak
enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa tidak
enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala
klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil
(tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1)
gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal,
hipertrofi tonsil, permukaan berbenjol–benjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar
massa seperti keju. Kadang–kadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam
fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe
regional.
Pada pemeriksaan fisik tampak adanya pembesaran tonsil dengan permukaan tidak rata,
pelebaran kriptus dan sebagian kripti terisi oleh detritus seperti yang terlihat pada gambar 2.
Gambar 2 memperlihatkan pembesaran tonsil yang terkadang juga disertai dengan pembesaran
KGB submandibula.
Gambar 2. Grade Tonsil

T1 : berada di dalam fossa tonsilaris


T2 : telah melewati fossa tonsilaris, tetapi belummelewati garis paramedian
T3 : telah melewati garis paramedian, tetapi belum mencapai garis median
T4 : telah mencapai garis median

2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis terdiri dari terapi lokal dan terapi radikal. Terapi lokal
ditujukan pada higiene mulut, dengan menggunakan obat kumur atau obat hisap. Antibiotik
dapat diberikan bila penyebab adalah bakteri. Terapi radikal ialah dengan melakukan operasi
tonsilektomi setelah tanda-tanda infeksi hilang.
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck
Surgery :
1. Indikasi absolut:
- Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia menetap,
gangguan tidur atau komplikasi kardiopulmonal
- Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
- Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
- Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2. Indikasi relatif :
- Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun
dengan terapi yang adekuat
- Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak responsif
terhadap terapi media
- Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman Streptococus yang resisten terhadap
antibiotik betalaktamase
- Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
Kontra indikasi :
 Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
 Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai
pengalaman khusus terhadap bayi
 Infeksi saluran nafas atas yang berulang
 Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
 Celah pada palatum

Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi, antara lain cara guillotine, diseksi
electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel harmonik, coblation, tonsilektomi parsial intraskapular,
dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang dilakukan di Indonesia adalah teknik
guillotine dan diseksi. Teknik guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil dan memotong
uvula yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotomi atau guillotine. Teknik
ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman. Teknik diseksi memiliki prinsip yang sama,
meliputi fiksasi tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada
daerah tersebut dengan salin. Teknik electrosurgery, radiofrekuensi, scalpel harmonik,
coblation, tonsilektomi parsial intraskapular, dan teknik laser merupakan modifikasi lain dari
teknik diseksi.
Gambar 3. Tonsilektomi

2.6. Komplikasi
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah. Komplikasi
saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama
pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan
mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman dan
terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler
atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar,
dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak
menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan
pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine
lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di
sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau
dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
 Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Asfiksi
ini dapat membuat komplikasi yang berat dan mengancam jiwa. Penyebabnya diduga karena
hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah
1. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal
2. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur
3. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang terkumpul di
faring
4. Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila diduga ada
perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan darah di fosa tonsil diangkat, karena tindakan ini
dapat menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti spontan. Bila
perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan tampon yang mengandung
adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian hemostatik
topikal di fosa tonsil dan hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas
perdarahan belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan
perawatan perdarahan seperti saat operasi. Mengenai hubungan perdarahan primer dengan
cara operasi, laporan di berbagai kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda, tetapi
umumnya perdarahan primer lebih sering dijumpai pada cara guillotine. Komplikasi yang
berhubungan dengan tindakan anestesi segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan
perawatan terhadap jalan napas. Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang tampon yang
tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.
 Komplikasi yang terjadi kemudian (interme-diate complication) dapat berupa perdarahan
sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia. Perdarahan
sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada
hari ke 5-10. Perdarahan ini jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma
akibat makanan, dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan.
Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer. Pada pengamatan pasca
tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila
dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula.
Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ
lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya
merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang- kadang merupakan gejala otitis media
akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring.
Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan biasanya akibat aspirasi
darah atau potongan jaringan tonsil.
 Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
komplikasi ini berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain
adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sisa jaringan tonsil sedikit, umumnya tidak
menimbulkan gejala tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses
peritonsil.

2.7. Prognosis
Sejumlah literatur menyatakan penururnan angka infeksi faring yang signifikan setelah
tonsilektomi. Pada pasien dengan Obstructive Sleep Apnea jalan nafas yang dapat kembali
normal mencapai 25 %.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Otitis Media Akut.

2. Soepardi, iskandar, et all. buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan

leher. Edisi ke-enam. FKUI. Jakarta; 2007.

3. Soepardi, iskandar, et all. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga, Hidung dan

Tenggorok. FKUI. Jakarta; 1992.

4. Lawrence R. Boies, et all. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-enam. EGC. jakarta; 1997.

5. Efiaty arsyad S, et all. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL, FKUI. jakarta;2007.

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO


Pada hari ini tanggal :

Nama peserta : dr. Rani


Dengan judul/topik : Fraktur Terbuka Tibia Fibula Sinistra 1/3 Distal Grade IIIA
Nama Pembimbing : dr. Tjahja Nurrobi, Sp.OT
Nama Pendamping : dr. Agnes Maria Tanri
Nama Wahana : RSAL DR Mintohardjo

No Nama Peserta Presentasi No Tanda Tangan


1 dr. Rani (Presentan) 1

2 dr. Nishrina Chairinnisa (Peserta) 2

3 dr.Tita Berliana Riadi (Peserta) 3

4 dr. Andrian (Peserta) 4

5 dr. Edveleen Br. Simbolon (Peserta) 5

6 dr. Khoirunisa’ Binti M (Peserta) 6

7 dr. Pipit Wandini (Peserta) 7

Anda mungkin juga menyukai