NOMOR /KEPMEN-KP/2016
TENTANG
RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN IKAN TERBANG
MEMUTUSKAN:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
SUSI PUDJIASTUTI
Lembar Persetujuan
No Jabatan Paraf
1 Sekretaris Jenderal
2 Dirjen Perikanan
Tangkap
3 Kepala Balitbang KP
4 Karo Hukum &
Organisasi
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN
NOMOR /KEPMEN-KP/2016
TENTANG RENCANA PENGELOLAAN
PERIKANAN IKAN TERBANG DI WILAYAH
PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber
daya ikan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan terbang sebagai
salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, harus
dikelola secara bijaksana untuk kepentingan dan kesejahteraan
bangsa dan rakyat Indonesia. Selain tertera pada konstitusi negara,
kewajiban pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mengelola
sumberdaya alam, termasuk sumberdaya laut di dalamnya juga ada di
beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009, disebutkan bahwa perikanan adalah
semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Selanjutnya
dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa pengelolaan perikanan
adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas
sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengelolaan perikanan
merupakan aspek yang sangat penting untuk mengupayakan agar
sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (1) huruf (a) diamanatkan bahwa
untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan di
Indonesia, maka Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Kelautan
dan Perikanan menetapkan Rencana Pengelolaan Perikanan sebagai
acuan dalam menyelenggarakan kegiatan pengelolaan perikanan.
Dalam Article 6.2 Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF), FAO 1995 mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan
yang bertanggungjawab (responsible fisheries management) harus
menjamin kualitas, keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya
ikan dalam jumlah yang cukup untuk generasi saat ini dan generasi
yang akan datang, dalam konteks mewujudkan ketahanan pangan,
pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Hal
tersebut sejalan dengan cita-cita nasional Indonesia. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, Pemerintah dan Daerah provinsi yang
terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan terbang seyogyanya
melakukan upaya pengelolaan ikan terbang untuk menjamin
keberlanjutan pemanfaatannya. Pemerintah dan Daerah provinsi
bersama-sama dengan pemangku kepentingan juga harus memastikan
terwujudnya cita-cita nasional sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini
penting, karena menurut article 6.1 CCRF 1995, hak untuk
menangkap ikan (bagi pelaku usaha) harus disertai dengan kewajiban
menggunakan cara-cara yang bertanggungjawab, untuk memastikan
efektivitas pelaksanaan tindakan konservasi dan pengelolaan
sumberdaya ikan, khususnya sumberdaya ikan terbang.
Penyusunan rencana pengelolaan perikanan ikan terbang
mengacu pada definisi Ecosystem Approach to Fisheries Management
(EAFM) yang dibangun oleh FAO (2003), sebuah pendekatan yang
mencoba menyeimbangkan antara tujuan ekologi dan tujuan sosial
ekonomi dalam pengelolaan perikanan (keberlanjutan sumberdaya
dan habitat, kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan
sumberdaya ikan, dan lain-lain), serta dengan mempertimbangkan
ilmu pengetahuan dan ketidakpastian tentang komponen biotik,
abiotik, manusia dan interaksinya dalam ekosistem perairan melalui
sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan
berkelanjutan.
2. Wilayah pengelolaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), maka wilayah
perairan laut Indonesia dibagi menjadi 11 (sebelas) WPPNRI
(Gambar 1). Data statistik menunjukkan bahwa ikan terbang
tertangkap di seluruh WPPNRI, namun demikian jumlah hasil
tangkapan ikan terbang yang terbesar terdapat di WPPNRI 713,
WPPNRI 714, WPPNRI 573, WPPNRI 715, WPPNRI 571, dan WPPNRI
718. Persentase produksi hasil tangkapan ikan terbang per WPPNRI
sebagaimana pada gambar 1.
0,44 5
3
14
12
22
3 18
7
15
Gambar 1
Persentase hasil tangkapan rata-rata ikan terbang per WPP,
2005-2013
(Sumber : olahan data Statistik Perikanan Tangkap 2014)
Berdasarkan kondisi aktual pemanfaatan sumberdaya ikan
terbang, dimana terdapat aktivitas penangkapan yang dikhususkan
untuk ikan dan telur ikan terbang di WPPNRI 713, WPPNRI 715,
dan WPPNRI 718 dengan intensitas yang cukup tinggi, maka sebagai
langkah awal ditetapkan bahwa pengelolaan perikanan di dalam
dokumen ini difokuskan untuk pengelolaan perikanan ikan terbang
di WPPNRI 713, WPPNRI 715, dan WPPNRI 718.
Ikan terbang termasuk dalam famili ikan laut yang terdiri atas
sekitar 50spesies yang dikelompokkan dalam 7 hingga 9 genus. Ikan
terbang ditemukan di semua samudra utama, terutama di perairan
tropis dan subtropis di Samudera Atlantik, Samudera Pasifik, dan
Samudera Hindia. Ciri utamanya yang paling menonjol adalah sirip
dadanya yang besar, memungkinkan ikan ini meluncur terbang secara
singkat di udara, di atas permukaan air, untuk lari dari pemangsa.
Peluncuran mereka biasanya sejauh sekitar 50 meter, namun mereka
dapat menggunakan dorongan pada tepi gelombang hingga dapat
mencapai jarak setidaknya 400m.
Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus
pada tahun 1758, khususnya spesies Exocoetus volitans (Linneaus).
Sampai pada pertengahan abad XIX, penelitian lebih fokus pada aspek
taksonomi dan anatomi, sesudah itu, mulai dipelajari aspek biologi
(Davenport, 1994). Sistematika ikan terbang adalah: Filum Chordata,
Superkelas Gnathostomata, Kelas Osteichthyes, Subkelas
Actinopterigii, Infrakelas Teleostei, Divisi Euteleostei, Superordo
Acanthopterygii, Seri Atherinomorpha, Ordo Atheriniformes, Subordo
Exocoetoidei, Famili Exocotidae, Subfamili Exocoetinae, Genus
Hirundichthys, Spesies Hirundichthys oxycephalus (Nelson, 1994).
Hutomo et al., (1985) pernah merangkum sekitar 53 species ikan
terbang di dunia, masing-masing 17 spesies di Samudera Atlantik, 11
spesies di Samudera Hindia, dan 40 spesies di Samudera Pasifik. Di
Samudera Pasifik, Nelson (1994) mencatat sekitar 50-60 spesies.
Publikasi terakhir yang dilaporkan oleh Parin (1999) di bagian tengah
Pasifik terdapat 6 genera dan 31 spesies yaitu Cheilopogon 14 spesies,
Cypselurus 7 spesies, Exocoetus 3 spesies, Hirundichthys 3 spesies,
dan Prognichthys 2 spesies. Wilayah khatuliswa mempunyai jumlah
spesies lebih banyak dan semakin ke selatan atau ke utara jumlah
spesiesnya semakin sedikit (Hutomo et al., 1985). Di Filipina, sebelah
barat Luzon ikan terbang didominasi oleh Hirundichthys oxycephalus
(Datzell, 1992) dan beberapa spesies lain yaitu Cypselurus
poecillopterus, Cheilopogon nigricans, Cheilopogon cyanopterus.
Parexocoetus brachypterus dan Hirundichthys rondeletti.
Ikan terbang dikenal dengan nama torani atau tuing-tuing.
Ditemukan hampir di semua perairan tropik dan subtropik. Hidup di
permukaan wilayah perairan pantai maupun lepas pantai yang
bersifat oseanik. Di daerah tropis melimpah sebagai sumberdaya ikan
yang dieksploitasi perikanan skala kecil (Parin, 1999). Ikan terbang
tersebar di beberapa wilayah perairan dunia sebagai sumberdaya
perikanan komersial seperti Kepulauan Pasifik, Korea, Cina, Laut
Jepang, sebelah selatan California, USA, sebelah barat Afrika, sebelah
selatan India, Brazil, Nederland Antiles, sebelah timur Karibia
(Oxenford et al., 1995).
Di Indonesia distribusi ikan terbang antara lain tersebar di Selat
Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut
Arafura, Laut Utara Papua, Laut Halmahera, Laut Sawu, perairan
selatan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatra, perairan Sabang-
Banda Aceh (Hutomo et al., 1985; Ali & Nessa, 2006).Ikan Terbang
banyak ditemukan di perairan Indonesia sebanyak 18 species ikan
terbang (Parin, 1999; Weber & Beaufort, 2004), sementara Hutomo et
al. (1985) hanya mendeskripsikan sebanyak 15 species. Di perairan
Selat Makassar-Laut Flores ditemukan 10 species, di Laut Sulawesi-
Halmahera 2 species, di Maluku Tengah 5 species. Berdasarkan
identifikasi jenis yang dilakukan pada awal bulan Agustus 2007,
dengan mengacu pada Parin (1999) diperoleh jenis ikan terbang yang
dieksploitasi telurnya di perairan barat Papua antara lain
Hirundichthys oxycepalus (Bleeker, 1852), Fam. Exocoetidae (Gambar
2). Species ini juga dilaporkan merupakan jenis dominan di Selat
Makassar-Laut Flores (Nessa et al., 1977; Ali, 1981) dan Maluku
Tengah (Syahailatua et al., 2006). Di Philippine (sebelah barat pulau
Luzon) jenis Hirundichthys oxycepalus termasuk paling dominan
(Dalzell, 1992).
Penelitian tentang distribusi ikan terbang di wilayah perairan
Indonesia masih sangat terbatas. Menurut Hutomo et al. (1985)
distribusi ikan terbang di perairan Indonesia terdapat di wilayah
perairan bagian barat maupun bagian timur Indonesia. Beberapa
wilayah perairan yang merupakan wilayah distribusi ikan terbang di
Indonesia antara lain Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut
Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Teluk Tomini, dan Laut Jawa.
Informasi tentang keragaman spesies ikan terbang di beberapa
wilayah perairan atau wilayah penangkapan di Indonesia sangat
kurang. Hutomo et al. (1985) pernah merangkum jumlah spesies ikan
terbang di Indonesia sekitar 18 spesies namun belum menunjukan
keragaman berdasarkan wilayah penyebaran atau wilayah
penangkapan. Khusus di Selat Makassar dan Laut Flores, Nessa et al.
(1977) mengidentifikasi sekitar 11 spesies ikan terbang yaitu
Hirundichthys oxycephalus, Cypselurus altipennis, C. speculiger, C.
oligolepis, C. ophisthopus, C. nigricans, C. poecillopterus, C. swainson,
Cypselurus sp., Evolantia micropterus, dan Prognichthys sealei. Di Selat
Makassar didominasi oleh jenis ikan terbang Hirundichthys
oxycephalus atau Cypselurus oxycephalus (Gambar 2) yang dikenal
dengan nama lokal torani atau tuing-tuing (Nessa et al., 1977; Ali,
1981).
Gambar 2
Spesies dominan ikan terbang; Hirundichthys oxycephalus (bleeker)
di Selat Makassar dan Laut Flores
(Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat)
Gambar 3.
Grafik produksi tangkapan ikan terbang Prov. Sulsel dan Sulbar,
tahun 1983-2013
Ali (2005a) menyimpulkan bahwa bahwa distribusi tingkat
kematangan gonad ikan terbang yang tertangkap dengan
menggunakan jaring insang hanyut di Laut Flores adalah sebagian
besar ikan yang matang gonad atau sedang memijah dan hanya
sebagian kecil ikan muda. Berdasarkan distribusi persentase tingkat
kematangan gonad ikan terbang tersebut maka dilakukan perhitungan
perkiraan jumlah induk ikan terbang. Hasil perhitungan dalam
menduga jumlah induk ikan terbang yang tertangkap disajikan pada
Tabel 1.
1Sesuai dengan tradisi setempat untuk melindungi induk ikan dan juvenile (traditional conservation) yang disebut tradisi ‘SASI’, induk ikan terbang di
Papua tidak ditangkap.
Tabel1.
Hasil perhitungan dalam menduga jumlah induk ikan terbang
No Deskripsi Jumlah
1 Persentase induk (%) 80
2 MSY ikan terbang (kg/tahun) 818.000
3 Berat total induk (kg/tahun) 654.400
4 Rata-rata bobot induk individu (kg) 0,063
5 Rata-rata bobot ikan individu (kg) 0,060
6 Rata-rata fekunditas ikan terbang (butir) 7.077
menurut Ali (1981)
7 Perkiraan jumlah induk ikan terbang tahun 10.418.723
2012 (ekor)
Gambar 4.
Kurva Potensi Lestari Maksimum (MSY) Ikan Terbang menggunakan
Model Kuadratik Schaefer (Sumber: Ali, et.al, 2005)
Gambar 6.
Daerah penangkapan telur ikan terbang (H. oxycephalus) di
perairan sebelah barat Fak-fak (Papua Barat).
yuwana
(juvenile)
yang
ditangkap
4. Komposisi spesies target (H.
Komposisi Oxycephalus sekitar 80% dari semua
3 Baik
spesies spesies.
Gambar 7.
(a) Alat tangkap gillnet dan (b) tipe kapal yang digunakan dalam
penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores
Pengambilan telur ikan terbang, sampai saat ini masih
mempergunakan alat-alat tangkap yang bersifat tradisional. Alat-alat
tangkap tersebut adalah pakaja dan bale-bale (Gambar 8). Sampai
dengan akhir tahun 1980-an, penangkapan telur ikan terbang di
perairan Selat Makassar dan Laut Flores mempergunakan pakaja.
Namun, pada awal 1990-an pakaja ini diganti oleh bale-bale, karena
dianggap tidak ekonomis. Pakaja dianggap terlalu memakan tempat di
perahu sedang di sisi lain hasil yang didapat terlalu
sedikit.Penggunaan bale-bale secara intensif pada awal 1990-an
menandakan pemisahan secara jelas antara kapal penangkap ikan
dengan telur.
Gambar 8.
(a) Pakajja, (b) Bale-bale dan (c) Tipe kapal yang digunakan dalam
penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut
Flores
Upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telur ikan
terbang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang berbeda.
Penangkapan telur bersamaan dengan induk ikan terbang digunakan
bubu hanyut atau pakajja, untuk menangkap induk ikan terbang
digunakan jaring insang hanyut, sedangkan untuk mengumpulkan
telur ikan terbang digunakan rumpon (fish accumulation devices)
dengan nama daerah bale-bale.
Bubu hanyut atau pakajja adalah alat tangkap yang pertama
yang digunakan nelayan untuk melakukan usaha penangkapan ikan
terbang (Gambar 9). Bubu hanyut merupakan alat perangkap ikan
berbentuk silinder yang terbuat dari bila-bila bambu, kedua mulutnya
diberikan daun kelapa dan sargassum sebagai tempat peletakan telur
sehingga dapat menghasilkan ikan dan telurnya. Sargassum ini
sendiri selain sebagai tempat peletakan telur, juga berfungsi memberi
aroma tersendiri agar memanggil ikan untuk datang memijah (Mallawa
1978 in Dirhamsyah 2009). Namun sayangnya, alat tangkap ini sudah
tidak digunakan lagi dalam operasi penangkapan karena nelayan
mengkontruksi alat tangkap baru yang dikenal dengan bale-bale. Bale-
bale merupakan alat tangkap tradisional yang digunakan nelayan
khusus untuk mengumpulkan telur ikan terbang. Bale-bale juga
memiliki bentuk persegi panjang namun lebih menyerupai rakit,
terbuat dari bambu dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2,5 meter
yang dilengkapi dengan daun kelapa disisi atasnya.
Jaring insang hanyut atau drift gill adalah alat tangkap
berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung
dan pemberat yang bertujuan untuk menghadang ikan terbang yang
sedang bergerak. Jaring insang hanyut berbahan dasar Polyamide,
memiliki ukuran panjang 2.000 m dan lebar 2 m dengan ukuran mata
jaring 2,54 cm atau 1 inch. Penangkapan menggunakan jaring insang
hanyut di wilayah selat makassar telah dilaporkan oleh Palo (2009)
yang menyatakan bahwa pengoperasian jaring insang hanyut di Selat
Makassar dengan ukuran mata jaring masing-masing (2,54; 3,18; 3,81
dan 4,45 cm) diketahui didominasi oleh jenis Hirundichthys
oxycephalus.
Jumlah armada kapal patorani di Takalar sekitar 2000 buah
terdapat di Galesong Selatan 1200 kapal dan Galesong Utara 800
buah. Daerah penangkapan telur ikan terbang sudah semakin jauh,
karena nelayan Galesong Takalar sudah keluar dari Selat Makassar
dan Laut Flores yaitu sampai ke Fak-Fak dua tahun lalu sudah masuk
ke daerah Tual dan Dobu. Penangkapan di daerah Fak-Fak dimulai
pada tahun 2001, sedangkan penangkapan di daerah Tual dan Dobu
mulai tahun 2013. Pada tahun 2013 diperkirakan nelayan Galesong
diperkirakan sekitar 800-900 armada kapal patorani (penangkap telur
ikan terbang) berangkat ke Fak-Fak, Tual dan Dobu. Hal ini
disebabkan karena hasil tangkapan di Selat Makassar dan Laut Flores
sudah rendah dan tidak efisien dibanding jika menangkap di Laut
Seram.Di Laut Seram nelayan bisa menghasilkan 150-300 kg/trip
sedangkan di Selat Makassar dan laut Flores hasilnya hanya 50-100
kg/trip. Gejala ini menjadi salah satu petunjuk bahwa di Selat
Makassar dan Laut Flores sudah overfishing. Kejadian ini
menunjukkan terjadi range collaps dimana nelayan mencari daerah
penangkapan baru diwilayah bagian Timur Indonesia sebagai wilayah
distribus ikan terbang.
Hasil penilaian indikator teknik penangkapan ikan terbang pada
tahun 2013 sebagaimana tersebut pada tabel 4.
3. Kapasitas
Rasio fishing capacity antara
perikanan dan
tahun 2007 dan tahun 2009
upaya
0,88 (R<1) maka terjadi 1 Buruk
penangkapan
overcapacity ke overfishing.
(Fishing Capacity
and Effort)
4. Selektivitas Jaring insang hanyut selektif thdp
penangkapan spesies H. oxycephalus cukup
3 Baik
tinggi sekitar 80 %.
5. Kesesuaian
fungsi dan
Fungsi dan ukuran kapal sesuai
ukuran kapal
dengan dokumen. 3 Baik
penangkapna
ikan dengan
dokumen legal
6. Sertifikasi Pada umumnya awak kapal
awak kapal patorani tidak memiliki surat
perikanan sesuai kecakapan awak kapal, hanya 1 Buruk
dengan peraturan mengandalkan pengalaman.
(sumber: Ali, S.A, 2015)
D. SOSIAL DANEKONOMI
Konflik perikanan yang sering terjadi pada pengelolaan ikan
terbang adalah konflik antara alat tangkap jaring insang hanyut yang
menangkap ikan terbang dan alat tangkap bale-bale yang menangkap
telur ikan terbang di Galesong Takalar. Nelayan bale-bale keberatan
terhadap nelayan jaring insang hanyut karena penangkapan induk
ikan akan menurunkan hasil tangkapan telur karena ikan tertangkap
oleh jaring sebelum memijah. Sebaliknya nelayan jaring insang hanyut
keberatan atas penangkapan telur karena akan mengurangi hasil
tangkapan pada tahun berikutnya. Selain konflik penggunaan alat
tersebut di atas juga terjadi konflik penggunaan jalur penangkapan
antara perikanan rakyat (perikanan tradisional) yang digunakan oleh
jaring insang hanyut dengan perikanan tangkap yang menggunakan
kapal ukuran besar, serta masalah pemasangan alat tangkap jaring
insang hanyut yang memasuki kawasan ALKI (Alur Laut Kepulauan
Indonesia) di Majene.
Ada pengetahuan lokal yang dimanfaatkan oleh nelayan dalam
penangkapan ikan terbang yang pertama adalah pengetahuan tentang
pengembangan alat tangkap pakkaja menjadi bale-bale, kemudian
penggunaan tanda tanda alam dalam mengetahui keberadaan
gerembolan ikan terbang seperti burung laut, suhu air laut yang
dingin sebagai tanda kurang ikan yang bertelur, angin kencang dan
gelombang yang besar juga menjadi pertanda ikan yang tertangkap
kurang.
Hasil penilaian indikator domain sosialikan terbang pada tahun
2013 sebagaimana tersebut pada tabel 5.
3. Pemanfaatan 3 Baik
pengetahuan Pengetahuan lokal untuk
local dalam penangkapan.
pengelolaan
sumberdaya ikan
(sumber: Ali, S.A, 2015)
LOKAL
Gambar 9
Volume ekspor telur ikan terbang periode 2007 – 2013
(Sumber: KADIN-SULSEL 2014)
Gambar 11.
Rata-rata nilai pendapatan nelayan dan usaha ikan terbang
(Sumber: Yahya, 2011)
F. PEMANGKU KEPENTINGAN
Pemangku kepentingan (Stakeholder) adalah semua pihak yang
mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh keberlangsungan ikan
terbang di WPPNRI baik secara perorangan atau kelompok. Karena
karakteristik pemangku kepentingan berbeda dan kompleks, maka
dibutuhkan analisis pemangku kepentingandan keterlibatan mereka
mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, hingga
evaluasi dan review RPP ikan terbang.
Analisis pemangku kepentingan (Stakeholder analysis) adalah
proses mengidentifikasi pemangku kepentingan dan kepentingan
mereka, dan menilai pengaruh dan hubungan pemangku kepentingan.
Analisis pemangku kepentingan bertujuan untuk menyatukan
persepsi dan komitmen, mengurangi konflik kepentingan dan
mengembangkan strategi untuk mempercepat pencapaian hasil
termasuk memperoleh dukungan sumber daya (SDM, pendanaan,
fasilitas, dan lain-lain) secara berkelanjutan.
Secara umum pemangku kepentingan yang terlibat dalam
rencana pengelolaan perikanan ikan terbang di WPPNRI berdasarkan
hasil analisis dibagi menjadi 2 kelompok:
1. Pemerintah :
a. Kementerian Kelautan dan Perikanan:
1) membuat dan menetapkan peraturan terkait
denganpengelolaan/pemanfaatan sumber daya ikan terbang ;
2) melakukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan
sumber daya ikan terbang ;
3) membantu dan menyediakan infrastuktur/sarana bagi
nelayan/pengolah; dan
4) menjadi mediator antara asosiasi, pelaku usaha dan nelayan.
b. Kementerian dan lembaga terkait:
1) dukungan infrastruktur
2) kemudahan perdagangan
c. TNI-AL dan Polri, melakukan upaya penegakan hukum dibidang
perikanan
d. Daerah Provinsi provinsi dan kabupaten/kota:
1) membuat dan menetapkan peraturan terkait dengan
pengelolaan/pemanfaatan sumber daya ikan terbang sesuai
kewenangannya;
2) melakukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan
sumber daya ikan terbang sesuai kewenangannya;
3) membantu dan menyediakan infrastuktur/sarana bagi
nelayan/pengolah sesuai kewenangannya; dan
4) menjadi mediator antara asosiasi, pelaku usaha dan nelayan
sesuai kewenangannya.
e. Kelompok Ilmiah/Scientific Group:
1) menyediakan data dan informasi yang akurat dan tepat
waktu bagi pembuat kebijakan;
2) menyediakan SDM unggul untuk pendidikan, dan industri
3) menyediakan tenaga kerja terampil dan berdaya saing;
4) pengutamaan transformasi kelembagaan dari pada
pengembangan organisasi;
5) kontribusi inovasi dan teknologi baru;
6) menyediakan layanan publikasi dan edukasi publik; dan
7) nama Institusi, antara lain: Institut Pertanian Bogor,
Universitas Diponegoro.
2. Non Pemerintah :
a. Nelayan:
1) nelayan merupakan pelaku utama kegiatan usaha
penangkapan ikan terbang ;
2) penyedia bahan baku ikan terbang ;
3) kelompok nelayan merupakan pelaku kunci dalam
mendukung RPP;
4) nelayan harus mematuhi peraturan yang terkait dengan
penangkapan ikan terbang ; dan
5) perlu peningkatan keterampilan/kompetensi SDM melalui
pelatihan dan penyuluhan.
b. Penyedia/pengumpul:
1) orang yang membeli bahan baku ikan terbang langsung dari
nelayan atau pembudidaya;
2) pedagang atau distributor dapat menjadi penyedia bahan
baku;
3) orang yang menjual bahan baku ikan terbang ke
perusahaan pengolahan ikan terbang atau pasar lokal;
4) orang yang memberikan pinjaman/kredit kepada nelayan
atau pembudidaya;
5) Orang yang menentukan harga ikan terbang ;
d. Asosiasi Perusahaan:
1) Asosiasi sebagai mediator antara pemerintah dan nelayan;
2) Nelayan menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah
melalui asosiasi;
3) Nama Asosiasi, antara lain: HPPI, AP5I, ASPINTU,
GAPPINDO.
f. Pemimpin Adat:
1) bertindak sebagai mediator antara pemerintah, Daerah
Provinsi (pembuat kebijakan) dan masyarakat (pengguna);
dan
2) membantu membangun konsensus dan memberikan saran
dalam memecahkan masalah.
A. ISU PENGELOLAAN
Demi mendukung efektivitas pelaksanaan pengelolaan
perikanan ikan terbang, maka dilakukan inventarisasi berbagai isu
yang terkait dengan (1) sumberdaya ikan dan lingkungan, (2) sosial
ekonomi dan (3) tatakelola.
Terdapat beberapa isu pokok yang menjadi permasalahan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan terbang yang perlu segera
ditindaklanjuti dengan upaya pemecahannya.Secara rinci, isu
prioritas yang menjadi permasalahan pokok untuk masing masing
aspek dapat dilihat pada tabel 8 berikut.
Tabel 8. Isu Prioritas Pengelolaan Perikanan ikan terbang
ISU
A.
SUMBERDAYA IKAN DAN LINGKUNGAN
1 Degradasi stok ikan terbang (perikanan dengan target ikan terbang
maupun telur menunjukan gejala overfishing di Selat Makassar dan
Laut Flores)
2 Alat tangkap gillnet yang digunakan umumnya memiliki selektivitas
rendah (ukuran mesh size <1,5 inchi; panjang >1000 m)
3 Masih kurangnya data dan informasi untuk perikanan ikan terbang
4 Perlu identifikasi lebih lanjut potensi daerah penangkapan dan
spesies ikan terbangdi WPPNRI 715 dan 718
5 Perlu identifikasi lebih lanjut alat bantu penangkapan ikan terbang
di WPPNRI 715 dan 718
B. SOSIAL EKONOMI
1 Belum lengkapnya data terkait jumlah nelayan ikan terbang dan
nelayan pengumpul telur ikan terbang
2 Pemanfaatan ikan masih terbatas untuk dikonsumsi segar, diasap
atau diasinkan dengan kualitas yang masih rendah dan harganya
rendah
3 Rendahnya nilai jual telur di tingkat nelayan disebabkan belum
adanya sosialisasi dan penerapan SNI mutu telur
C. TATA KELOLA
1 Belum diimplementasikannya pengendalian ijin penangkapan
2 Potensi konflik pemanfaatan, terutama antara nelayan penangkap
ikan terbang (gillnet) dengan nelayan penangkap telur ikan terbang
3 Kurang optimalnya pelaksanaan peraturan tentang andon
penangkapan ikan
B. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan pengelolaan perikanan ikan terbang ditetapkan dan
diarahkan untuk memecahkan isu prioritas yang telah teridentifikasi,
selanjutnya sasaran diarahkan untuk mewujudkan tujuan yang akan
dicapai. Penetapan sasaran dilakukan dengan pendekatan SMART
yakni specific (rinci), measurable (dapat diukur), agreed (disepakati
bersama), realistic (realistis), dan time dependent (pertimbangan
waktu).
Tujuan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
terdiri dari 3 komponen utama, yaitu:
1. Sumberdaya Ikan dan habitat;
2. Sosial dan ekonomi; dan
3. Tata kelola.
Tujuan 1:
“Mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan terbang dan
habitatnya secara berkelanjutan”
Tujuan 2 :
“Meningkatnya manfaat ekonomi dari perikanan ikan terbang
yang berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan pelaku
perikanan”
Tujuan 3 :
“Meningkatnya kepatuhan pemangku kepentingan dalam
mewujudkan pengelolaan ikan terbang yang bertanggungjawab”
D. RENCANA AKSIPENGELOLAAN
Rencana jangka pendek pengelolaan perikanan ikan terbang
selanjutnya dijabarkan dalam 5 (lima) rencana strategis dalam rangka
mengatasi permasalahan pengelolaan perikanan ikan terbang di
perairan Selat Makassar dan Laut Flores, yaitu:
1. RENCANA AKSI TUJUAN I:
Mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan terbang dan habitatnya
secara berkelanjutan.
A. PERIODEPENGELOLAAN
Guna memperoleh hasil yang optimum, maka periode
pengelolaan untuk melaksanakan rencana aksi ditetapkan selama 5
(lima) tahun terhitung sejak RPP Ikan Terbang ini ditetapkan.
SUSI PUDJIASTUTI