Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40-


60%, infeksi 20-30% dan keracunan kehamilan 20-30%, sisanya sekitar 5%
disebabkan penyakit lain yang memburuk saat kehamilan atau persalinan.
Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan antepartum dan
perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat
yang kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain
plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Perdarahan antepartum dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti maternal
shock, fetal hipoxia, peningkatan risiko kelahiran prematur, dan kematian janin
mendadak.
Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya tidak normal, sehingga
menutupi seluruh atau sebagian ostium internum kasus ini masih menarik
dipelajari terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, karena faktor
predisposisi yang masih sulit dihindari, prevalensinya masih tinggi serta punya
andil besar dalam angka kematian maternal dan perinatal yang merupakan
parameter pelayanan kesehatan. Di RS Parkland didapatkan prevalensi plasenta
previa 0,5%. Clark dkk (1985) melaporkan prevalensi plasenta previa 0,3%.
Plasenta previa pada kehamilan prematur lebih bermasalah karena
persalinan terpaksa. Sebagian kasus disebabkan oleh perdarahan hebat, sebagian
lainnya oleh proses persalinan. Prematuritas merupakan penyebab utama kematian
perinatal sekalipun penatalaksanaan plasenta previa sudah dilakukan dengan
benar. Di samping masalah prematuritas, perdarahan akibat plasenta previa akan
fatal bagi ibu jika tidak ada persiapan darah atau komponen darah dengan segera.
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Implantasi plasenta yang normal ialah pada dinding depan, dinding
belakang rahim, atau di daerah fundus uteri. Plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang
dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester
ketiga.
3
4

2.2 Klasifikasi
Plasenta previa dibagi berdasarkan kemungkinan implantasinya:
1. Plasenta previa totalis, yaitu seluruh ostium uteri internum tertutupi oleh
plasenta.
2. Plasenta previa parsialis, yaitu sebagian ostium uteri internum tertutupi
oleh plasenta.
3. Plasenta previa marginalis, yaitu bila tepi plasenta tepat berada di pinggir
ostium uteri internum.
4. Low-laying placenta (Plasenta letak rendah), yaitu plasenta yang
berimplantai pada segmen bawah rahim yang tepi bawahnya berada pada
jarak ≤ 2 cm dari ostium uteri internum.
5

Derajat plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada derajat dilatasi
serviks pada saat pemeriksaan. Sebagai contoh, plasenta letak rendah pada
pembukaan 2 cm mungkin menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 8
cm karena serviks yang berdilatasi menyebabkan plasenta terpajan. Sebaliknya,
plasenta previa yang tampaknya total sebelum pembukaan serviks dapat menjadi
partial pada pembukaan 4 cm karena serviks berdilatasi melebihi tepi plasenta.
Dokter harus mewaspadai bahwa palpasi dengan jari untuk memastikan perubahan
hubungan antara tepi plasenta dan ostium internal sewaktu serviks berdilatasi ini
dapat memicu perdarahan hebat.
Jika plasenta terletak di atas ostium internal, pembentukan segmen bawah
uterus dan pembukaan ostium internal pasti akan menyebabkan robekan tempat
perlekatan plasenta yang diikuti oleh perdarahan dari pembuluh-pembuluh uterus.
Perdarahan diperparah oleh ketidakmampuan serat-serat myometrium pada
segmen uterus bawah berkontraksi dan beretraksi untuk menekan pembuluh-
pembuluh yang terputus, seperti yang biasanya terjadi, jika plasenta terlepas dari
uterus yang sudah kosong selama partus kala tiga.

2.3 Epidemiologi
Plasenta previa terjadi sekitar 1 dalam 300 kelahiran. Insiden meningkat 20
kali pada grande multipara, dan juga lebih sering pada kehamilan ganda daripada
kehamilan tunggal. Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa
merupakan penyebab yang terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian perdarahan
antepartum, kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan lebih dahulu.
6

2.4 Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang
endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang
baiknya vaskularisasi desidua.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian plasenta previa adalah :
1. Umur penderita
Umur muda karena endometrium masih belum sempurna. Umur diatas
35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.
2. Paritas
Pada paritas yang tinggi kejadian plasenta previa makin besar
karena endometrium belum sempat tumbuh.
3. Endometrium yang cacat
 Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek
 Bekas operasi, bekas kuretage atau plasenta manual
 Perubahan endometrium pada mioma uteri atau polip
 Pada keadaan malnutrisi
Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi
dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat (lebih dari
20 batang sehari). Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta
harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang
tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri internum.
Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat
implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat ostium uteri
internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang
luas, seperti pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multipel.

2.5 Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang sudah lanjut, umumnya trimester ketiga dan
mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuk segmen bawah rahim,
tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta
7

terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uteri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen
bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan
mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta.
Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka
(dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan
terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan
intervillus dari plasenta.
Oleh karena itu fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu
perdarahan dari plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable
bleeding). Perdarahan ditempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh
karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat
karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh
darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan
berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang
besar dari plasenta pada masa perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan
lebih lama.
Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung
progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan.
Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah
yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plesenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam
kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian
terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalinan.
Perdarahan pertama sudah biasa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu
tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas.
Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka
perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma
retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan
8

tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi


koagulopati pada plasenta previa.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang
tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dan trofoblas, akibatnya plasenta
melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan
plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan villinya bisa sampai
menembus ke buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta
dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar.
Segmen bawah Rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab
kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi
meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa,
misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna
(retention placentae) atau karena segmen bawah Rahim tidak mampu berkontraksi
dengan baik.

2.6 Manifestasi Klinis


Ciri yang menonjol pada plsenta previa adalah perdarahan uterus keluar
melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir
trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan
berhenti sendiri. Perdarahan kemudian terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas
setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap pengulangan terjadi
perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir.
Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai
persalinan, perdarahan biasa sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta.
Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi
sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung sampai
pasca persalinan. Perdarahan juga bisa bertambah disebabkan serviks dan segmen
bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan.
Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta dengan tangan
misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi plasenta akreta.
9

Berbagai hubungan plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi
abdomen sering ditemukan bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis
dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat
ibu hamil merasa nyeri dan perut tegang.

2.7 Diagnosis
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa
penyebabnya ialah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.
Dari anamnesis didapat perdarahan tanpa keluhan nyeri dan perdarahan
berulang. Pemeriksaan fisik dengan ispeksi dapat dilihat perdarahan yang keluar
pervaginam banyak atau sedikit, darah beku dan sebagainya. Palpasi abdomen,
sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus uteri yang rendah karena
belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian terbawah janin belum
turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih bergoyang, terapung atau
mengolak di atas pintu atas panggul.
Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati
dilihat dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat
kelainan pada serviks, vagina, varises pecah. Diagnosis plasenta previa (dengan
perdarahan sedikit) yang diterapi ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan
Ultrasonografi (USG). Dengan pemeriksaan USG transabdominal ketepatan
diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG transvaginal atau transperineal
(translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Penggunaan magnetic resonance
imaging (MRI) masih terasa sangat mahal pada saat ini
10

Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/letak rendah sering kali


sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trimester ketiga. Namun,
dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya, bukan
plasenta yang “berpindah”, tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah
rahim, plasenta akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.
Sikap untuk segera mengirim pasien ke rumah sakit (yang mempunyai
fasilitas operasi) tanpa lebih dulu melakukan pemeriksaan dalam atau pemasangan
tampon sangat dihargai, hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa, perdarahan
pertama pada plasenta previa jarang membawa maut, pemeriksaan dalam dapat
menimbulkan perdarahan yang hebat.

2.8 Komplikasi
Kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada
ostium, dan merupakan port d’ entrée yang mudah tercapai. Pasien biasanya
anemis karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah. Juga harus
dikemukakan bahwa pada plasenta previa mungkin sekali terjadi perdarahan
pascapersalinan karena :
11

1. Kadang-kadang plasenta lebih erat melekat pada dinding rahim (plasenta


akreta).
2. Daerah perlekatan luas.
3. Kontraksi segmen bawah rahim kurang sehingga mekanisme penutupan
pembuluh darah pada insersi plasenta tidak baik.
Bahaya untuk ibu pada plasenta previa, yaitu :
1. Syok hipovolemik.
2. Infeksi-sepsis.
3. Emboli udara (jarang).
4. Kelainan koagulopati sampai syok.
5. Kematian.
Sedangkan bahaya untuk anak, yaitu :
1. Hipoksia.
2. Anemia.
3. Kematian.

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan awal pada semua pasien dengan perdarahan antepartum
adalah mencegah keadaan syok karena perdarahan yang banyak, untuk itu harus
segera diperbaiki keadaaan umumnya dengan pemberian cairan atau transfusi
darah, selanjutnya dapat dilakukan penanganan lanjutan yang disesuaikan dengan
keadaan umum, usia kehamilan,maupun jenis plasenta previa.
Penanganan pasif / ekspektatif. Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak
terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam
melalaui kanalis servisis. Upaya diagnosis dilakukan secara non invasive.
Pemantauan klinis dilakukan secra ketat dan baik. Kriteria : usia kehamilan < 37
minggu, perdarah sedikit, belum ada tanda persalinan, keadaan umum baik.
Penanganan : - Istirahat, tirah baring - Pemberian antibiotic profillaksis - Lakukan
pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia kehamian, profil
biofisik, letak dan presentase janin.
12

Penanganan aktif. Kriteria umur kehamilan 37 minggu, BB janin 2500


gram, perdarahan 500 cc atau lebih, ada tanda-tanda persalinan, keadaan umum
pasien kurang baik.

2.10 Memilih Persalinan


Pada umumnya memilih cara persalinan yang terbaik tergantung dari derajat
plasenta previa, paritas, dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lain yang harus
diperhatikan pula ialah apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan
dalam, atau penderita sudah mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada
kasus-kasus kebidanan yang terbengkalai.
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea,
tanpa menghiraukan faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada
primigravida sangat cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak, apalagi
yang berulang, merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea karena
perdarahan itu biasanya disebabkan oleh plasenta previa yang lebih tinggi
derajatnya daripada apa yang ditemukan pada pemeriksaan-dalam, atau
vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen-bawah uterus.
Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau
plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi
dengan pemecahan selaput ketuban. Akan tetapi, apabila ternyata pemecahan
selaput ketuban tidak mengurangi perdarahan yang timbul kemudian, maka seksio
sesarea harus dilakukan. Dalam memilih cara persalinan per vaginam hendaknya
dihindarkan cara persalinan yang lama dan sulit karena akan sangat
membahayakan ibu dan janinnya.
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau
infeksi intrauterin, baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama
tidak mengamankan ibu maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi
darah dan antibiotika secukupnya, seksio sesarea masih lebih aman daripada
persalinan per vaginam untuk semua kasus plasenta previa totalis dan kebanyakan
kasus plasenta previa parsialis. Seksio sesarea pada multigravida yang telah
mempunyai anak-hidup banyak dapat dipertimbangkan dilanjutkan dengan
13

histerektomia untuk menghindarkan perdarahan postpartum yang sangat mungkin


akan terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan
sterilisasi untuk menghindarkan kehamilan berikutnya.
Terdapat 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan per vaginam, dan
persalinan abdominal (seksio sesarea). Persalinan per vaginam bertujuan agar
bagian bawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama
persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan
secepatnya mengangkat sumber perdarahan; dengan demikian, memberikan
kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya, dan
menghindarkan perlukaan serviks dan segmen-bawah uterus yang rapuh
dilangsungkan persalinan per vaginam.

2.10.1 Persalinan Pervaginam


Pemecahan selaput ketuban adalah cara yang terpilih untuk melangsungkan
persalinan per vaginam, karena (1) bagian terbawah janin akan menekan plasenta
dan bagian plasenta yang berdarah; (2) bagian plasenta yang berdarah itu dapat
bebas mengikuti regangan segmen-bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari
segmen-bawah uterus lebih lanjut dapat dihindarkan.
Persalinan spontan pervaginam. Dilakukan pada plasenta previa marginalis
atau lateralis pada multipara dan sudah meninggal. Jika pembukaan serviks sudah
agak besar (4-5 cm), ketuban pecah (amniotomi) jika his lemah, diberikan
oksitosin drips. Bila perdarahan masih terus berangsung dilakukan SC. Tindakan
versi Braxton-hicks dengan pemberat untuk menghentikan perdarahan (kompresi
atau temponade bokong dan kepala janin terhadap plasenta) hanya dilakukan pada
keadaan darurat. Anak masih kecil atau sudah meninggal dan tidak ada fasilitas
untuk melakukan operasi.

2.10.2 Seksio Sesarea


Di rumah sakit yang serba lengkap, seksio sesarea akan merupakan cara
persalinan yang terpilih. Nesbitt (1962) melaporkan 65% dari semua kasus
plasenta previanya diselesaikan dengan seksio sesarea. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
14

antara tahun 1971-1975, seksio sesarea dilakukan pada kira-kira dari semua kasus
plasenta previa, yang kebanyakan terdiri dari kasus-kasus tidak terdaftar. Gawat
janin, atau kematian janin tidak boleh merupakan halangan untuk melakukan
seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa
menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki, fasilitas
memungkinkan. Apabila fasilitasnya tidak memungkinkan untuk segera
memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu untuk melakukan seksio sesarea satu-
satunya tindakan yang terbaik, seperti pada plasenta previa totalis dengan
perdarahan banyak.
Dalam keadaan gawat, laparotomi dengan sayatan kulit median jauh lebih
cepat diilakukan daripada dengan sayatan Pfannenstiel yang lebih kosmetik.
Sayatan pada dinding uterus sedapat mungkin menghindarkan sayatan pada
plasenta, agar perdarahan dari pihak ibu dan janin jangan lebih banyak lagi.
Perdarahan dari janin akan sangat membahayakan kehidupannya, apabila tidak
segera ditemukan tali pusatnya untuk kemudian dijepit.
Walaupun diakui bahwa seksio sesarea transperitonealis profunda
merupakan jenis operasi yang terbaik untuk melahirkan janin per abdominam,
akan tetapi hendaknya ragu-ragu untuk melakukan seksio sesarea korporalis
apabila ternyata plasenta pada dinding-depan uterus, untuk menghindarkan
sayatan pada plasenta, dan menghindarkan sayatan pada segmen-bawah uterus
yang biasanya rapuh dan dengan penuh pembuluh darah besar-besar; dengan
demikian, menghindarkan perdarahan postpartum.
Perdarahan yang berlebihan dari bekas insersio plasenta tidak selalu dapat
diatasi dengan pemberian uterotonika, apalagi kalau penderita telah sangat
anemis. Memasukkan tampon ke dalam uterus untuk menghentikan perdarahan
dari segmen bawah uterus selagi melakukan seksio sesarea merupakan suatu
tindakan yang tidak adekuat. Histerektomia totalis merupakan tindakan yang cepat
untuk menghentikan perdarahan, dan dapat menyelamatkan jiwa penderita; namun
sebelumnya sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk menghentikan perdarahan itu
dengan jahitan. Apabila cara-cara tersebut tidak berhasil mengatasi perdarahan,
15

dianjurkan untuk menghentikan perdarahan demikian itu dengan jalan mengikat


arteria hipogastrika.

2.11 Prognosis
Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta
previa rendah sekali, atau tidak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya
penanganan pasif pada tahun 1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat
diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan
prematuritas tetap memegang peranan utama.
Penanganan pasif maupun aktif memerlukan fasilitas tertentu, yang belum
dicukupi pada banyak tempat di tanah air kita, sehingga beberapa tindakan yang
sudah lama ditinggalkan oleh dunia kebidanan mutakhir masih terpaksa dipakai
juga seperti pemasangan cunam Willett, dan versi Braxton-Hicks. Tindakan-
tindakan ini sekurang-kurangnya masih dianggap penting untuk menghentikan
perdarahan di mana fasilitas seksio sesarea belum ada. Dengan demikian
tindakan-tindakan itu lebih banyak ditujukan demi keselamatan ibu daripada
janinnya.
16
17

BAB 4. KESIMPULAN

Plasenta previa dapat terjadi pada setiap kehamilan, walaupun insidennya


meningkat pada usia lanjut, multiparitas, riwayat oprasi, riwayat plasenta previa
dan perokok.
Diagnosis dini sangatlah penting untuk menentukan prognosis dan
merencanakan terapi. Setiap pasien dengan perdarahan pervaginam pada trimester
dua dan tiga, plasenta previa dan solutio plasenta harus selalu dicurigai.
Kemungkinan ini tidak boleh disingkirkan sampai pemeriksaan yang sesuai,
termasuk USG jelas membuktikan ketiadaannya. Pemeriksaan dalam tidak boleh
dilakukan karena akan memperberat perdarahan yang sudah terjadi.
Komplikasi terbesar untuk ibu adalah perdarahan dan syok akibat
perdarahan, sampai kematian. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi antara lain
anemia karena perdarahan. Untuk itu keadaan umum dan tanda vital adalah yang
paling penting untuk diketahui pada pasien dengan perdarahan pervaginam. Jika
terjadi keadaan tersebut, syok harus segara ditangani dan terminasi kehamilan
diperlukan walaupun janin imatur.
Kehamilan pada plasenta previa dapat diakhiri melalui persalinan
pervaginam ataupun perabdominal. Tetapi persalinan pervaginam hanya dapat
dilakukan jika plasenta hanya menutupi sebagian dari jalan lahir. Satu-satunya
cara untuk mengakhiri kehamilan pada plasenta previa totalis adalah
perabdominal.
Persalinan prematur adalah causa utama kematian perinatal walaupun sudah
dilakukan penatalaksanaan menunggu pada plasenta previa. Untuk kasus ini,
perencanaan mencakup pencegahan kelahiran preterm dengan tokolisis, dan
pematangan paru guna mempersiapkan bayi lebih viabel untuk hidup diluar
uterus. Untuk memperkecil kematian perinatal maka bayi prematur harus dirawat
secara intensif setelah lahir.
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo. Jakarta.
2. Cunningham, F., Gant, N., Leveno MD. 2010. Williams Obstetrics. 23st Ed.
McGraw-Hill Professional.
3. Gant, N., Cunningham, F. 2011. Dasar-dasar Ginekologi dan
obsetri . EGC.
4. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah F. editor. Obstetri
Patologi: Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi II. Jakarta : EGC 2004.
5. Chalik TMA. Plasenta Previa. Dalam: Hemoragi Utama Obstetri dan
Ginekologi. Ed.1. Jakarta: Widya Medika, 1997. hal 129-143.
6. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999. hal 362-376.
Perdarahan Antepartum dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Elstar
Offset Bandung, 1982. hal. 110-120.

Anda mungkin juga menyukai