142010101006
142010101009
142010101012
142010101031
142010101033
142010101037
142010101043
Tria Yudinia
142010101047
142010101054
142010101073
BJ Azmy As Ady
142010101104
Monika Roosyidah
142010101106
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
sel
lain
juga
dapat
mengeluarkan
pirogen
endogen
2005).
Prostaglandin
yangterbentuk
kemudian
akan
LEARNING OBJECTIVE
1. Patogensis Bakteri
2. Patogenesis mycobacterium
3. Penyakit
a) TB tanpa komplikasi
b) Difteri
c) MDR TB
d) Demam Thypoid
e) Lepra
f) Pertusis
g) Tetanus
4. Farmakologi antibiotik dan farmakologi untuk mycobacterium
5. Imunisasi
2)
lipid
mikobakterial
seperti
lipoarabinomanan
menghalangi
kaviti. Kaviti ini lebih penting daripada proses tuberkulosis sendiri, karena
merupakan sumber kuman dan sumber batuk darah profus.
4. Tuberkuloma:
Bila lesi proliferatif dibungkus kapsul jaringan ikat, maka proses menjadi
tidak aktif.
Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi,
maka pada tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah
dengan proses fibrotik (penyembuhan).
Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah:
Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus
inferior dan jarang dijumpai di tempat lain.
Pada penderita diabetes melitus seringdijumpai tuberkulosis pada paru
lobus inferior (lower lung field).
Penyebaran/perluasan proses tuberkulosis:
1. Ke parenkim paru sekitar
2. Ke pleura: menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema
3. Kesaluran nafas: menimbulkan endobronkial tuberkulosis
4. Melalui pembuluh darah dan saluran limfe: menimbulkan penyebaran
hematogen dan limfogen.
GEJALA KLINIS
Keluhan:
Umum (sistemik):
Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah.
Lokal paru:
Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak nafas bila lesi luas
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang,
pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi
trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup,
suara napas menurun).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
Darah lengkap: LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit
meningkat, hitung jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear).
Sputum:
1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens.
2. Kultur: untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis.
Radiologis:
Gambaran radiologis dapat berupa:
-
Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer.
Namun demikian kadang penampakan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti
tumor), sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakanthe great
imitator.
Untuk kepentingan klinis maka lesi tuberkulosis berdasarkan fototoraks dibagi
menjadi 2 kategori:
1. Lesi minimal (minimal lesion):
bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari
iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas (far advanced lesion):
bila proses lebih luas dari lesi minimal.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis klinis
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik.
2. Diagnosis bakteriologik
Ditemukan basil tahan asam dalam sputum.
Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO,
maka diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam
diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali
pemeriksaan hapusan basil tahan asam dari sputum (SPS= sewaktu, pagi,
sewaktu).
3. Diagnosis radiologis
Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.
DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
PENYULUT
1. Pleuritissika
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laryngitis tuberkulosis
5. Tuberkulosispada organ lain
6. Korpulmonale
PENATALAKSANAAN
1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan
2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi:
-
Penderita TB
3x/minggu)
2 RHZE (RHZS)
3x/minggu)
4 RH
6 HE
III
- TB ekstrapulmonerberat
Sputum hapusan positip:
2 RHZES +
Kambuh
RHZE
Gagal terapi
Putus berobat
Kasus baru BTA negatip selain 2 RHZE*
1 5 R3H3E3
4 RH
kategori I
IV
6 HE
Merujuk panduan WHO menggunakan
second line drug
Rifampicin (R)
10 (8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z)
25 (20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S)
15 (12-18)
15 (12-18)
Ethambutol (E)
15 (15-20)
30 (20-35)
2,5
not applicable
Thioacetazone (T)
PROGNOSIS
DIFTERI
DEFINISI
Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat
berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran
pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari
orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh
dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan
vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan,
dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan
penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan
rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat
imunisasi.
FAKTOR RESIKO
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi
DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status
imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46
kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi
kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi
kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan
sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila
ada sumber penular.
berkembang
biak,
toksin
merusak
jaringan
lokal
yang
sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan
-
toksin
menyebabkan
pembengkakan
dan
kerusakan
pada ginjal.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
dan menimbulkan bengkak pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan
gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi,
tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman
C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit
sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang
melebihi 38,9
Difteri hidung
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous,
kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran
sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret
hidung bisa menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung
luar dan bibir bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung
kadang mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.
Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih
lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.8,11
Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri
tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau,
anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang
melekat, berwarna putih kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula
dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea
DIAGNOSIS
-
terjadi perdarahan.
Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :
a. Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah
membran
b. Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat
penderita,
diagnosis
serta
penatalaksanaan
defisiensi
kekebalan.4,8
Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk
biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah
dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti
dengan isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
1.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya
Demikian
pula
perlu
dimonitor
terjadinya
reaksi
nasofaring.
c. Kortikosteroid
- Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri.
- Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak
disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian
-
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapat
pengobatan
TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka
kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu.
Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50
juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten
beberapa
penyebab
terjadinya
resitensi
terhadap
tuberkulosis,
obat
yaitu:
lalu
stop
lagi,
demikian
seterusnya
obat
antituberkulosis
cukup
lama,
menimbulkan
sehingga
kejemuan
M. Tb resistensi
Lamanya pasien
menderita
infeksi
disebabkan
oleh
epidemiologi penularan.
Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek
akan mendapatkan resistensi lanjut disebabkan ketidak hati
(moksifloksasin,
levofloksasin,
ofloksasin
dan
biasanya
masih
sensitif
terhadap
etionamid
dan
kapreomisin.
etionamid,
sikloserin,
klofazimin,
amoksilin+
as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif
minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu
Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600
800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan
Obat
Dosis
Aktiviti
puncak
harian
antibakteri
serum
terhadap
MIC
Aminoglikosid
a.
15
Streptomisin mg/kg
Bakterisid
menghambat
20-30
b. Kanamisin
atau
multiplikasi
amikasin
aktif
10-15
Bakterisid
4-8
c. Kapreomisin
Thiomides
10-20
(Etionamid
mg/kg
protionamid)
Pirazinamid
20-30
Ofloksasin
mg/kg
7.5-15
pH asam
Bakterisid
2.5-5
Etambutol
mg/kg
15-20
mingguan
Bakteriostatik
2-3
Sikloserin
mg/kg
10-20
Bakteriostatik
2-4
PAS asam
mg/kg
10-12 g Bakteriostatik
100
Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB,
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi
dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
a
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi.
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan.
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang
mungkinefektif.
DEMAM TIFOID
Merupakan penyakit salmonellosis akut di usus halus dengan karakteristik
demam disertai nyeri di bagian abdomen. Dinamakan demam tifoid karena
memiliki gejala yang mirip dengan typus yang disebabkan oleh ricketsiae, namun
terdapat perbedaan yaitu ditemukan pelebaran peyer patch dan limfonodi di
bagian meissner usus.
A. Epidemiologi
Merupakan penyakit endemik di Indonesia. Insidens demam tifoid terkait
dengan sanitasi lingkungan , terutama penyediaan air bersih dan pembuangan
sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
B. Etiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
Morfologi:
-
panjang bervariasi
Mudah tumbuh pada perbenihan biasa, hampir tak pernah meragikan laktosa
atau sukrosa
Resisten terhadap zat kimia tertentu (hijau brilian, natrium tetrationat, dan
natrium deoksikolat), karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan
dalam perbenihan yang dipakai untuk mengisoalsi salmonella dari tinja
Struktur Antigen
-
Memiliki antigen O dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua
fase. Beberapa juga mempunyai antigen Vi yang dapat mengganggu
aglutinasi melalui antiserum O.
C. Klasifikasi
Terbagi menjadi 3 spesies utama:
1) Salmonella typhi (satu spesies)
2) Salmonella choleraesius (satu serotipe)
3) Salmonella enteridis (lebih dari 1500 serotipe)
Penentuan serotipe berdasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik
D. Patogenesis
Makanan yang
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag Dibawa ke plague
peyeri ileum distal hiperplasia jaringan Ke KGB mesenterika Masuk sirkulasi
darah melalui duktus torasikus dan menyebar terutama ke seluruh organ
retikuloendotelial terutama hati dan limpa Kuman meninggalkan sel fagosit lalu
berkembang biak di luar sel Masuk ke sirkulasi darah lagi Bakteremia, disertai
tanda dan gejala infeksi sistemik
E. Manifestasi Klinis
-
Minggu pertama: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tak enak di perut, batuk dan epistaksis
Pemeriksaan fisik: suhu meningkat secara perlahan terutama pada sore hari
hingga malam hari
F. Diagnosis
1.
2.
Kultur darah, bila hasil biakan positif positif tifoid, bila negatif mungkin:
-
Riwayat vaksinasi
G. Tata Laksana
Trilogi demam tifoid:
a.
penyembuhan. Tirah baring dilakukan secar absolut selama minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih 14 hari. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya
dilakukan di tempat, seperti makan, minum, mandi, BAK,BAB.
b.
menurun. Pada masa lampau penderita diberi bubur saring bubur kasar nasi.
Pemberian bubur saring bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan
aman pada penderita.
c.
Antimikroba
-
Golongan Fluorokuinolon:
Norfloksasin 2 x 400 mg/hr selama 14 hr
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hr selama 6 hr
Ofloksasin 2 x 400 mg/hr selama 7 hr
Pefloksasin 400mg/hr selama 7 hr
Fleroksasin 400mg/hr selama 7 hr
Demam lebih lambat pada pengguaan norfloksasin
Kortikosteroid
Indikasi pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok
septik, dosis 3 x 5 mg
BATASAN
Morbus hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium lepra yang menyerang syaraf tepi (terlebih dahulu
primer), baru kulit dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan syaraf pusat.
Penyebab
Disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman berbentuk batang dan
dengan pengecatan Ziehl Nielsen tahan asam. Hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin.
EPIDEMIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan kulit yang tidak
utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman
(tipe multibasiler) yang belum diobati. Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman
menuju tempat predileksinya yaitu syaraf tepi.
GEJALA KLINIS
1. Kerusakan syaraf tepi
Kerusakan bisa bersifat sensorik (hipoestesi ataupun anastesi pada kulit
yang terserang), motorik (kelemahan otot pada daerah yang terserang
biasanya di ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata) dan autonomik.
Gejala autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi
terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi
Diagnosis pasti
Berdasarkan WHO 1997. Diagnosis berdasarkan adanya tanda utama (Cardinal
sign) berupa :
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang
jelas
2. Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam
Diagnosis ditegakkan dengan adanya satu tanda di atas
Penentuan Tipe
Pembagian tipe kusta menurut Ridley-Joping adalah tipe :
1. Tipe tuberkuloid (TT)
1-5 lesi
Makula
Makula
hipopigmentasi/
eritema
Distribusi
Distribusi simetris
tidak
Hilangnya sensasi
simetris
tidak jelas
Hilangnya sensasi
jelas
Penebalan
syaraf tepi
BTA
PENATALAKSANAAN
datar,
PERTUSIS
Pertusis adalah penyakit infeksi akibat Bordetella pertussis yang ditandai oleh
batuk rejan.
A. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis atau Haemophilus pertussis.
Namun dapat pula didapatkan B. parapertussis dan B. bronchisepta pada penderita
pertusis.
Morfologi:
-
kuman kecil
tidak bergerak
gram negative
B. Epidemiologi
-
Terbanyak pada usia 1 5 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita
C. Transmisi
Cara penularan melalui kontak dengan penderita terutama melalui droplets.
D. Patologi
Kuman masuk menempel pada silia epitel torak mukosa pada bronkus dan
bronkiolus terjadi proses inflamasi bila berlanjut terus menerus terjadi
nekrosis bagian basal disertai infiltrat dari neutrofil dan makrofag
menimbulkan eksudasi dan mukopurulen. Apabila eksudasi sampai ke alveolus
bisa menyebabkan infeksi sekunder.
E. Gejala Klinis
Masa tunas 7 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau
lebih.
Terbagi menjadi 3 satium yaitu :
a)
stadium kataralis
-
menyerupai influenza
b) stadium spasmodic
-
akhir minggu batuk makin berat dan terjadi paroksismal berupa batuk
khas
c)
stadium konvalensi
-
F. Diagnosis
-
Dugaan sementara = batuk yang mula-mula timbul pada malam hari tidak
mereda dengan obat batuk malah meningkat menjadi siang dan malam serta
diketahui kontak dengan penderita pertusis.
G. Terapi
1. antibiotic
-
2.
3.
4.
5.
H. Pencegahan
Secara aktif pemberian vaksin pertusis yaitu DPT yang mulai diberikan
pada bayi usia 0 bulan sebanyak 1 dosis (0,5 ml) kemudian bayi usia 2 bulan
sebanyak 3 dosis (@ 0,5 ml) dengan interval minimal 4 minggu.
Secara pasif
TETANUS
DEFINISI
Tetanus adalah suatu onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general yang diakibatkan oleh
neurotoksin C. tetani
EPIDEMIOLOGI
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus
terutama ditemukan pada negara-negara berkembang yang padat penduduk
dengan iklim hangat dan lembab dan tanah yang kaya dengan material organik.
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama
ditemukan di negara berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 4050% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan
kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti
mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di
India.
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya
imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus,
tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan
tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus
terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak
lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu
4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75%
kasus terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi
pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain.
Sekuele neurologis residual jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan
oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia,
atau henti jantung
ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani
adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob.
Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan,
desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
menimbulkan tetanus.
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan
pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora.
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi
sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif.
Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat:
a. terdapat jaringan mati dan benda asing,
b. crushed injury,
c. infeksi supuratif
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan
potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas.
Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau
toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan
C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan
2,5 ng/kg berat badan.
PATOGENESIS
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif.
Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem
saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis.
Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin
solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis
tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri.
Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat
molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua
subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh
ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran
neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam
sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada
plasmid bakteri.
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor
melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda
spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian
pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat
berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin
dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai
ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin,
senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel.
Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang
pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya
neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga
terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA)
dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron
motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot
yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal
4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui
Masa inkubasi
< 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
> 14 hari
Nilai
5
4
3
2
1
Lokasi infeksi
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada
neonatus)
> 10 tahun yang lalu
< 10 tahun yang lalu
Imunisasi lengkap
Status
imunisasi
5
4
3
2
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
1
Faktor
pemberat
didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b)
skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. Udwadia (1992)
kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia.
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Grade IV (sangat
berat)
Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka
operasi, injeksi intramuskular
Ada
> 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit
Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
Penyebab lain dan penyebab
yang tidak diketahui
Tidak ada
< 38.4oC
Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus < 150 kali/menit
Skor 0-1
Skor 2-3
Skor 4
Skor 5-6
PENATALAKSANAAN
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan
napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai
berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan
untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan
midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan
patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang
berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus
memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan
khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat
memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk
membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah
pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan
elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1)
menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
(3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron
dimetabolisme.
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human
tetanus immunoglobulin (HTIG). Dosis yang disarankan dalam formularium
nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU. Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari
sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan
lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of
globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat
digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis
40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam
200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus
selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan
secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda
sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga
pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan
menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian
diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin
yang belum memasuki sistem saraf.
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB
per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G
ulangan
karena
jumlah
tetanospasmin
yang
dibutuhkan
untuk
Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif
dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan.
KOMPLIKASI
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi
Kardiovaskular
Renal
Gastrointestinal
Muskuloskeletal
Lain-lain
Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia),
komplikasi trakeostomi.
Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Stasis, ileus, perdarahan.
Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.
PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan
untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem
skoring yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan
Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang
dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang
bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.
Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar
untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hatihati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.
TETANUS NEONATORUM
DEFINISI
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus yang menyerang pada bayi yang
disebabkan oleh Clostridium Tetani yaitu bakteri yang bekerja mengeluarkan
racun yang menyerang sistem saraf pusat.
ETIOLOGI
Clostridium Tetani adalah bakteri gram positiv yang menghasilkan eksotoksin
yang bersifat neurotoksin.
FAKTOR RESIKO
A. Pencemaran lingkungan
B. Penggunaan alat2 yang tidak steril pada saat kehamilan
C. Faktor kekebalan tubuh
PATOGENESIS
Pertolongan persalinan dengan alat tidak steril=>spora Clostridium tetani
masuk=>mengeluarkan
tetanospamin=>tetanospasmin
berikatan
dengan
memranm pra sinaps motor neuron =>kemudian bergerak melalui melalui sistem
transpor aksonal=>mencapai med spinalis dan batang otak=> gguan SSP dan SST
Gangguan dapat berupa gangguan inhibisi presinaptik trhadap GABA dan
glisin ,,sehingga terjadi muatan listrik yang berlebihan.
GEJALA KLINIS
A. Kekakuan otot rahang
B. Kekakuan otot muka
C. Kekakuan yang berat menyebabkan tubuh melengkung,,bisa menyebabkan
fraktur tulang belakang
4. FARMAKOLOGI ANTIMIKROBA
A. Definisi
Antimikroba
Antibiotik
Toksisitas selektif obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba,
tetapi relative tidak toksik untuk hospes.
B. Aktivitas dan Spektrum
1) Aktivitas bakteriostatik
-
2) Aktivitas bakterisid
-
membunuh mikroba.
Penisilin G aktif terhadap bakteri gram (+), resisten untuk bakteri gram (-).
Streptomisin aktif terhadap bakteri gram (-), resisten untuk bakteri gram (+).
Tetrasiklin aktif terhadap bakteri gram (+), bakteri gram (-), Rickettsia, dan
Chlamydia.
C. Mekanisme Kerja
Terbagi dalam lima kelompok:
1.
Sulfonamid, Sulfon
Mikroba membutuhkan asam folat. Berbeda dengan mamalia yang
mendapatkan asam folat dari luar, bakteri pathogen menyintesis sendiri asam
folatnya dari asam amino benzoate (PABA). sulfonamid, sulfon bersaing dengan
PABA. Jika sulfonamid atau sulfon menang, akan terbentuk asam folat analog
yang nonfungsional.
-
Trimetoprim
Normalnya, mikroba akan mengubah dihidrofolat (nonfungsional) akan
PAS
PAS, merupakan analog PABA, bekerja dengan menghambat sintesis asam folat.
2.
dini sampai proses akhir. Antimikroba yang termasuk tipe ini bekerja menghambat
di titik-titik serangkaian proses tersebut. Rusaknya dinding sel dapat
mengakibatkan lisis karena tekanan osmotik intrasel bakteri lebih besar dari
tekanan osmotik ekstrasel.
3.
Antimikroba
yang
Mengganggu
Keutuhan
Membran
Sel
Mikroba:
Polimiksin
Polimiksin bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba.
Antimikroba tipe ini tidak efektif terhadap bakteri gram (+) karena jumlah fosfor
pada bakteri tersebut rendah, tetapi efektif terhadap bakteri gram (-) karena jumlah
fosfor pada bakteri ini tinggi.
Polien
Contoh antimikroba tipe ini adalah Antiseptic Surface Active Agents yang
mengubah tegangan permukaan sehingga permeabilitas selektif membran sel
rusak.
4.
yaitu ribosom 3OS dan ribosom 5OS. Dua subunit tesebut bersatu pada pangkal
rantai mRNA menjadi 7OS agar berfungsi.
-
Aminoglikosid berikatan dengan ribosom 3OS, akibatnya kode pada mRNA salah
dibaca oleh tRNA sehingga terbentuk protein abnormal dan nonfungsional.
-
Makrolid: Eritromisin
Linkomisin
Tetrasiklin
Kloramfenikol
5. IMUNISASI
PENGERTIAN
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah
agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit
tertentu.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
terhada penyakit tertentu.
TUJUAN IMUNISASI
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat
mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang
sering berjangkit.
Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
MANFAAT IMUNISASI
1. Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau
kematian.
2. Untuk Keluarga
3. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, mrnciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara.
JENIS IMUNISASI
1.Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar
nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap
antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya.
Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak.
1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan, eksotoksin yang
didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein pembawa seperti
polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen
organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari
organisme yang dijadikan vaksin.
2. Pengawet/stabilisator, atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin
tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya
mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa atau antibiotik yang biasa
digunakan.
3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang
digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya telur, protein serum, bahan kultur
sel.
4. Adjuvan, terdiri dari garam aluminium yang berfungsi meningkatkan sistem imun dari
antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen dapat melakukan
perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi
peningkatan antibodi tubuh.
2.Imunisasi Pasif
Merupakan suatau proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara memberikan zat
immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat
berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapatkan bayi dari ibu melalui
plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba sudah
masuk dalam tubuh yang terinfeksi.
Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS pada orang yang mengalami luka
kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi
tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama
masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir sebelum umur 3 bulan.
Vaksin BCG diberikan melalui intradermal/intracutan. Efek samping pemberian
imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis,
dan reaksi panas.
2. Hepatitis B
3. Polio
4. DPT
Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan
organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian kedua dan ketiga terbentuk zat
anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui intramuscular.
Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan misalnya
terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat
misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran
menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan syok.
5. Campak
Secara genetik respon imun manusia terhadap antigen tertentu baik, cukup, rendah.
Keberhasilan vaksinasi tidak 100%.
3. Kualitas vaksin
1. Cara pemberian. Misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik.
2. Dosis vaksin (1.Tinggi hambatan respon, menimbulkan efek samping; 2.Jika rendah,
maka tidak merangsang sel imunokompeten)
3. Frekuensi pemberian. Respon imun sekunder Sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, afinitas lebih tinggi. Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun
yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih
tinggi, sedangkan antigen dinetralkan oleh antibodi spesifik maka tidak merangsang
sel imunokompeten.
4. Ajuvan (1.Zat yang meningkatkan respon imun terhadap antigen; 2.Mempertahankan
antigen agar tidak cepat hilang; 3.Mengaktifkan sel imunokompeten)
5. Jenis vaksin. Vaksin hidup menimbulkan respon imun lebih baik.
FAKTOR YANG DAPAT MERUSAK VAKSIN
1. Panas dapat merusak semua vaksin.
2. Sinar matahari dapat merusak BCG.
3. Pembekuan toxoid.
4. Desinfeksi / antiseptik : sabun. (Marimbi, 2010)
JADWAL IMUNISASI
1.BCG
1. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. namun dianjurkan pemberian
imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.
2. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun).
3. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
4. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah
komplikasinya.
5. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2.Hepatitis B
1. Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.
2. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepatitis
B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapatkan respon imun optimal,
interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
3. Departemen kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepatitis B-0 monovalen
(dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi
DTwP/hepatitis B pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis B diberikan dalam
kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan
hepatitis B-3 yang masih rendah.
4. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi hepatitis B dengan jadwal 3 kali
pemberian.
3. DPT
1. Imunisasi DPT primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8
minggu, jadi DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan, DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT3 pada umur 6 bulan.
2. Dosis DPT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.
3. Vaksin DPT dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DPT/Hepatitis
B dan DPT/IPV.
4. Polio
1. Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio -1, 2, dan 3. (1.OPV, hidup
dilemahkan, tetes, oral.; 2.IPV, in-aktif, suntikan.)
2. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk
mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi.
3. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval
antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
4. OPV diberikan 2 tetes per-oral.
5. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau
dalam kemasan kombinasi.
5. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan dalam,
pada umur 9 bulan