Anda di halaman 1dari 65

RESUME TUTORIAL SKENARIO 2

Infeksi Bakteri dan Mycobacterium terkait penyakit agromedis


Oleh Tutorial D :
Nikmatul Maula Nur R.

142010101006

Herlinda Puji Lestari

142010101009

Hilda Nur Achfidawati

142010101012

Systriana Esi Kamasita

142010101031

Hasbi Maulana Arsyad

142010101033

Sofi Aliyatul Himah

142010101037

Sri Weli Teguh P. S. 142010101038


Andreas Yacobus

142010101043

Tria Yudinia

142010101047

Graita Yuli Ambarwati

142010101054

Chiesa Ridwan Lazuardi

142010101073

BJ Azmy As Ady

142010101104

Monika Roosyidah

142010101106

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1. Skenario 2: Infeksi Bakteri dan Mycobacterium terkait penyakit


agromedis
Anak Mifta berusia 4 tahun dibawa keluarganya ke IGD-RS dengan keluhan
demam dan nyeri pada tenggorokan. Demam dirasakan sejak 4 hari yang lalu.
Nyeri pada tenggorokan dirasakan sejak 4 hari yang lalu, disertai nyeri waktu
menelan, pasien tidak mau makan dan hanya sedikit minum. Pasien juga
mengeluh batuk sejak 2 hari yang lalu, orang tua pasien juga mengatakan kalau
anaknya tidur ngorok dan suara serak. Riwayat Imunisasi: BCG, Hepatitis B,
DTP, Hib. Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU tampak lemah, compos
mentis, denyut nadi 98 x/menit, frekuensi nafas 35x/menit, Suhu 38,2
oC.Tenggorokan: Tonsil T3 T4 tampak membrane berdarah. putih keabuabuan, faring hiperemis. Dokter segera merencanakan pemeriksaan lanjutan dan
tindakan monitoring kondisi pasien serta melakukan rencana terapi pasien.
Rumusan Masalah
1. Mengapa muncul gejala klinis?
a. Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen.Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen
terbagi dua yaitupirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar
tubuh pasien. Contoh daripirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin ataumikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen
klasik adalah endotoksinlipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri
gram negatif. Jenis lain dari pirogenadalah pirogen endogen yang
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuhpasien. Contoh dari
pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN.Sumber dari
pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, danlimfosit
walaupun

sel

lain

juga

dapat

mengeluarkan

pirogen

endogen

jikaterstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).


Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit,limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediatorinflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zatkimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF-, dan IFN).Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamusuntuk membentuk prostaglandin (Dinarello &
Gelfand,

2005).

Prostaglandin

yangterbentuk

kemudian

akan

meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasihipotalamus.


Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah darisuhu

patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme


untukmeningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan
mekanismevolunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksipanas dan penurunan pengurangan panas yang pada
akhirnya akan menyebabkansuhu tubuh naik ke patokan yang baru
tersebut (Sherwood, 2001).
b. Nyeri telan
Ada gangguan di faring karena reaksi inflamasi dan destruksi epitel
c. Nyeri tenggorok
Tonsil edem Nyeri telan
2. Imunitas apa saja yang tela diberikan untuk anak usia 4 tahun? Apakah ada
hubungan antara riwayat imunisasi dengan gejala?
a. Hepatitis B
b. Polio
c. BCG
d. DPT
e. Campak
Kemungkinan anak tersebut belum melakukan booster dan efektivitas vaksin
menurun
3. Apa saja pemeriksaan lanjutan, tindakan monitoring, dan tatalaksana yang
dilakukan?
a. Pemeriksaan darah rutin
Leukosit meningkat, albumin menurun
b. Urin
Albuminuria ringan
c. Tatalaksana
Tirah baring
ADS
Antibiotik : Penisilin prokain
4. Bagaimana interpretasi hasil TTV?
a. Frekuensi nafas
Dari skenario di atas, anak termasuk takipnea.
Usia Pernafasan
(rpm)
26 tahun
2130
610 tahun
2026
1214 tahun
1822
Dewasa
1220
Lanjut usia
1220
b. Suhu tubuh :
Subfebris.
5. Diagnosis dan Diagnosis banding?
Diagnosis : Difteri
Diagnosis banding : tomsilitis, pertusis, TB, demam tifoid

6. Apakah ada hubungan antara tonsil yang membesar dengan manifestasi :


a. Ngorok
Mendengkur (snoring) merupakan suara gaduh dari pernafasan
yangterjadi selama proses tidur, akibat getaran yang dihasilkan oleh
dinding orofaring. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula
danotot di saluran napas bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian
(hipopnea) atautotal (apnea). Obstructive sleep apnea adalah obstruksi
saluran napas baik sebagianmaupun total saat tidur yang menyebabkan
mendengkur, desaturasi oksihemoglobin dan arousal. Mendengkur dibagi
menjadi 2 kategori yaitu intermiten dan persisten.Mendengkur intermiten
tidak timbul setiap malam meskipun menderita OSA. Dicetuskanoleh satu
atau beberapa faktor seperti obesiti, merokok, konsumsi alkohol.
Sedangkanmendengkur persisten merupakan gambaran penderita OSA
dengan keluhan sakitkepala pagi hari, kelelahan, kurang konsentrasi,
hipertensi dan obesiti.

LEARNING OBJECTIVE
1. Patogensis Bakteri
2. Patogenesis mycobacterium
3. Penyakit
a) TB tanpa komplikasi
b) Difteri
c) MDR TB
d) Demam Thypoid
e) Lepra
f) Pertusis
g) Tetanus
4. Farmakologi antibiotik dan farmakologi untuk mycobacterium
5. Imunisasi

1. PATOGENESIS INFEKSI BAKTERI


INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat
bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di
berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan bakteri
ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler
biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri
ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis
kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi
yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri
berkapsul Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu,
kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang
seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses
fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat dihambat.
Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni
leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non
fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit . Sel normal dalam
tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan oleh
komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3
konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan
mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase
pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan
aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk. Beberapa bakteri juga dapat
mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk mikrobial yang
mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa
spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi
komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan
bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif
mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek
serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri . Bakteri enterik Gram
negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk menginduksi
apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan

mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki


oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang
terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan
sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan
adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik
(neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa
kronik)

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER


Strategi pertahanan bakteri Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis,
yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif
adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh
sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat
hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena
bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme
respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan
bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan
organisme Listeria dan Brucellamenghindari perlawanan sistem imun dengan cara
hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel
tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai
dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di
dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.

Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri


melalui tiga mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi
bakteri,

2)

lipid

mikobakterial

seperti

lipoarabinomanan

menghalangi

pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion superoksida,


radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3)
menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup
bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan
selanjutnya Mekanisme pertahanan tubuh Pertahanan oleh diperantarai sel T
(Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam mengatasi organisme
intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang
dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri
intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN yang akan
mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui
pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya
makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan
dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang diperantarai
oleh sel T CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi
antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag
yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk
mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis
yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan
jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri
intraseluler.

2. PATOGENESIS INFEKSI MYCOBACTERIUM

Mycobacterium merupakan bakteri intraseluler, di mana bakteri intraseluler ini


mampu bertahan dan bereplikasi di sel fagosit. Sistem imun innate terhadap
mycobacterium berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan bakteri, sedangkan
sistem imun adaptive untuk eliminasi bakteri
Innate : diperantarai oleh sel fagosit (ex : makrofag) dan Natural Killer (NK) cell
Adaptive : cell mediated immunity
Proses :
Mycobacterium yang masuk ke tubuh akan difagosit oleh sel fagosit Infeksi
mycobacterium akan menginduksi activating ligand pada NK cell dan
menstimulasi makrofag untuk sekresi IL-2 activating ligand akan berikatan
dengan IL-2 ikatan tersebut menstimulasi NK cell untuk membunuh sel yang
terinfeksi dengan cara melubangi membran sel dengan sekresi perforin dan

granzyme NK cell juga mengeluarkan IFN-

untuk mengaktivasi makrofag

mengekspresikan CD40 reseptor akan berikatan dengan CD40 ligand pada


limfosit membunuh mikroba di fagosit sel limfosit cytolitic akan melisiskan
sel.
3. PENYAKIT

TB PARU TANPA KOMPLIKASI


DEFINISI
Infeksi paru yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada
orang dewasa merupakan tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi
tuberkulosis pada penderita yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap
tuberkulosis.
PATOGENESIS
Proses penularan melalui inhalasi droplet nuclei yang berisi kuman
Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme:
1. Perkembangan langsung penyakit primer
2. Reaktivasi penyakit primer yang tenang
3. Penyebaran hematogen ke paru
4. Reinfeksi eksogen
PATOLOGI
Lesi tuberkulosis dapat dalam bentuk empat lesi dasar:
1. Lesi eksudatif:
Merupakan reaksi hipersensitif
2. Lesi proliferatif:
Merupakan kelanjutan lesi eksudatif yaitu timbul nekrosis pengejuan yang
dikelilingi oleh jaringan granulasi tuberkulosis.
3. Kaviti:
Bila jaringan keju dari proses proliferasi mencair, dan menembus bronkus,
maka jaringan keju cair akan dikeluarkan, sehingga meninggalkan sisa

kaviti. Kaviti ini lebih penting daripada proses tuberkulosis sendiri, karena
merupakan sumber kuman dan sumber batuk darah profus.
4. Tuberkuloma:
Bila lesi proliferatif dibungkus kapsul jaringan ikat, maka proses menjadi
tidak aktif.
Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi,
maka pada tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah
dengan proses fibrotik (penyembuhan).
Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah:
Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus
inferior dan jarang dijumpai di tempat lain.
Pada penderita diabetes melitus seringdijumpai tuberkulosis pada paru
lobus inferior (lower lung field).
Penyebaran/perluasan proses tuberkulosis:
1. Ke parenkim paru sekitar
2. Ke pleura: menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema
3. Kesaluran nafas: menimbulkan endobronkial tuberkulosis
4. Melalui pembuluh darah dan saluran limfe: menimbulkan penyebaran
hematogen dan limfogen.
GEJALA KLINIS
Keluhan:
Umum (sistemik):
Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah.
Lokal paru:
Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak nafas bila lesi luas
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang,
pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi
trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup,
suara napas menurun).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:
Darah lengkap: LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit
meningkat, hitung jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear).
Sputum:
1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens.
2. Kultur: untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis.
Radiologis:
Gambaran radiologis dapat berupa:
-

III define air space shadowing

Kaviti dengan dinding tebal dikelilingi konsolidasi

Millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis milier

Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer.
Namun demikian kadang penampakan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti
tumor), sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakanthe great
imitator.
Untuk kepentingan klinis maka lesi tuberkulosis berdasarkan fototoraks dibagi
menjadi 2 kategori:
1. Lesi minimal (minimal lesion):
bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari
iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas (far advanced lesion):
bila proses lebih luas dari lesi minimal.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis klinis
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik.
2. Diagnosis bakteriologik
Ditemukan basil tahan asam dalam sputum.
Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO,
maka diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam
diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali

pemeriksaan hapusan basil tahan asam dari sputum (SPS= sewaktu, pagi,
sewaktu).
3. Diagnosis radiologis
Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.
DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
PENYULUT
1. Pleuritissika
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laryngitis tuberkulosis
5. Tuberkulosispada organ lain
6. Korpulmonale
PENATALAKSANAAN
1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan
2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi:
-

Komitmen pemerintah dalam mengontrol TB

Deteksi kasus dengan pemeriksaan hapusan BTA sputum

Kemoterapi standar jangka pendek (6-8 bulan) dengan pengawasan


minum obat

Kesinambungan ketersediaan obat anti tuberkulosis

Sistem pancatatan dan pelaporan standar

Rekomendasi regimen terapi


Kategori
Terapi
TB

Penderita TB

Alternatif regimen terapi TB


Fase inisial
Fase lanjutan
(setiap hari atau

(setiap hari atau

3x/minggu)
2 RHZE (RHZS)

Kasus baru BTA positip

Kasus baru BTA negatip dengan

3x/minggu)
4 RH
6 HE

lesi paru luas


II

III

Konkomintan HIV berat atau

- TB ekstrapulmonerberat
Sputum hapusan positip:

2 RHZES +

Kambuh

RHZE

Gagal terapi

Putus berobat
Kasus baru BTA negatip selain 2 RHZE*

1 5 R3H3E3

4 RH

kategori I
IV

- TB ekstrapulmoner tidak berat


Kasus kronis

6 HE
Merujuk panduan WHO menggunakan
second line drug

*Ethambutol dapat dihilangkan pada fase inisial pada penderita nonkavitas, TB


paru BTA negatif dengan HIV negatif, penderita dengan basil suseptibelobat, anak
muda dengan TB primer.
Obat anti tuberkulosis esensial
Obat esensial
Isoniazid (H)

Rekomendasi Dosis (dose range) mg/kgBB


Setiap hari
Seminggu 3 kali
5 (4-6)
10 (8-12)

Rifampicin (R)

10 (8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z)

25 (20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S)

15 (12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E)

15 (15-20)

30 (20-35)

2,5

not applicable

Thioacetazone (T)
PROGNOSIS

Tergantung pada luas proses, saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita


mengikuti aturan penggunaan dan cara pengobatan yang digunakan.

DIFTERI

DEFINISI
Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat
berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran
pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari
orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh
dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan
vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan,
dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan
penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan
rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat
imunisasi.
FAKTOR RESIKO
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi
DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status
imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46
kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi
kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi
kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan
sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila
ada sumber penular.

4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya


imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit
difteri.
5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari
rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.
PATOGENESIS
-

Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita


maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau
droplet infection. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda

atau makanan yang terkontaminasi.


Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan
invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang
lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak dan
menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui

aliran darah dan sistem limfatik.


Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua
fenomena yang berbeda, yaitu :
a. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan
proliferasi bakteri.
b. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic

karena terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.


Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun
virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat
bakteri

berkembang

biak,

toksin

merusak

jaringan

lokal

yang

menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan.


Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan,
yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar
mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian
terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang

kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin.


Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering disebut dengan simple tonsilar exudate.
Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah

sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan
-

menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal.


Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf. Pada
miokardium,

toksin

menyebabkan

pembengkakan

dan

kerusakan

mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial


fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan
peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada
perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat
-

terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik.


Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
timbul dalam 10 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3 7 minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik
dan degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak udim, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot
dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik denganm
degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai
hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut

pada ginjal.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
dan menimbulkan bengkak pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan
gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi,
tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman
C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit

sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang
melebihi 38,9
Difteri hidung
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous,
kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran
sekret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret
hidung bisa menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung
luar dan bibir bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung
kadang mengaburkan adanya membran putih pada septum nasi.

Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih
lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.8,11
Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri
tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau,
anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang
melekat, berwarna putih kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula
dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis servikalis


dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim ringan jaringan lunak
leher yang luas, akan menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle
baik unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10
hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 10
hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.13
Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring (gambar 8), jarang
sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari
tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan
batuk kering.2,14 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran
dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi
sebagai perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah,
sianosis, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling
berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

DIAGNOSIS
-

Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin


sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera

ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.


Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.
Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna
membran pada difteri lebih gelap, lebih keabuabuan disertai lebih banyak
fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat

terjadi perdarahan.
Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :
a. Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah

membran
b. Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat

diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG)


Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status
imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru
dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan
kerentanan

penderita,

diagnosis

serta

penatalaksanaan

defisiensi

kekebalan.4,8
Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk
biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah
dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti
dengan isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler

dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro dengan


tes Elek.
PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.2,4
Pengobatan Khusus
a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,

sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit.


Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam

fisiologis 1:1000 secara intrakutan.


Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam

fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.


Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS

diberikan dengan cara desentisasi (Besredka).


Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel

1.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya

Demikian

pula

perlu

dimonitor

terjadinya

reaksi

hipersensitivitas lambat (serum sickness).


b. Antibiotik
- Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah
penularan organisme pada kontak.

C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk


penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah
digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin.
Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri

nasofaring.
c. Kortikosteroid
- Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri.
- Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak
disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian
-

kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.


Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.

MULTI DRUGS RESISTEN TB

Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapat

pengobatan

TB

- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka
kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu.
Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50
juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten

terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan


oleh MDR
Ada

beberapa

penyebab

terjadinya

resitensi

terhadap

tuberkulosis,

obat
yaitu:

- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis


- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya
yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang
tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat tersebut sudah cukup tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua
atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian
berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga
bulan

lalu

stop

lagi,

demikian

seterusnya

- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat


ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila
kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan
yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya
akan menambah panjang daftar obat yang resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak
dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu
daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
- Pemakaian

obat

antituberkulosis

cukup

lama,

menimbulkan

sehingga
kejemuan

- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB


- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)Terdapat 5 sumber
utama resisten obat Tb menurut kontribusi Spigots, yaitu :
1

Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi

M. Tb resistensi
Lamanya pasien

menderita

infeksi

disebabkan

oleh

keterlambatan diagnosis MDR Tb dan hilangnya efektiviti


terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap
3

kontak yang masih sensitif.


Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek
memiliki angka kesembuhan kecil dan hilangnya efek terapi

epidemiologi penularan.
Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek
akan mendapatkan resistensi lanjut disebabkan ketidak hati

hatian pemberian monoterapi (efek penguat).


Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi
penyakit Tb dan penyebab pendeknya masa infeksi.

Klasifikasi OAT untuk MDR


Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3
kelompok OAT:
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan
pirazinamid yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon

(moksifloksasin,

levofloksasin,

ofloksasin

dan

siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten


terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobatPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan
resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan
OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi
terjadi resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason. Etionamid adalah golongan tionamid yang
dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan proteonamid
karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara
tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan
tiosetason

biasanya

masih

sensitif

terhadap

etionamid

dan

proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid


biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70%
kasus.
- Aminoglikosid. Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya
sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten
terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif
terhadap

kapreomisin.

. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin


. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi
silang untuk semua fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan
ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif
(levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di
masa datang.
- Sikloserin dan terizidon. Terdapat resistensi silang antara dua macam
obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi
untuk pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor
made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 4 OAT masih sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,
aminoglikosida,

etionamid,

sikloserin,

klofazimin,

amoksilin+

as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif
minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu
Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600
800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan

Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang

menggembirakan. Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada


sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus
dan kesembuhan pada 56% kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang
baik, merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda.
Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan
MDR-TB
Diagnosis
Langkah awal mendiagnosis resisten obat Tb adalah mengenal pasien
dalam risiko dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium.
Deteksi awal MDR Tb dan memulai sejak awal terapi merupakan
faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. Tb dan resistensi obat.
Kemungkinan resistensi obat Tb secara simultan dipertimbangkan
dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi
awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai kemungkinan
resisten obat Tb sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu
kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak
adekuat. Identifikasi cepat pasien resistensi obat Tb dilakukan
terutama pasien memiliki risiko tinggi karena program pengendalian
Tb lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi
penularan, efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan
mencegah resistensi obat lanjut.
Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat
adalah langkah awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting
resistensi obat adalah riwayat terapi Tb sebelumnya, progresiviti klinis
dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari daerah insidens tinggi
resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb. Setelah

pasien dicurigai MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M.


Tb dan resistensi obat. Laboratorium harus mengikuti protokol
jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional.
Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium
dengan tingkat yang berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan
pada laboratorium yang lebih balk. Penting sekali laboratorium
menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid
dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan
laboratorium seperti ini disuatu daerah merupakan tantangan untuk
program pengendalian Tb.

Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB


Rasio
kadar
Tingkatan

Obat

Dosis

Aktiviti

puncak

harian

antibakteri

serum
terhadap
MIC

Aminoglikosid
a.

15

Streptomisin mg/kg

Bakterisid
menghambat

20-30

b. Kanamisin

organisme yang 5-7.5

atau

multiplikasi
amikasin

aktif

10-15

Bakterisid

4-8

c. Kapreomisin
Thiomides

10-20

(Etionamid

mg/kg

protionamid)
Pirazinamid

20-30

Bakterisid pada 7.5-10

Ofloksasin

mg/kg
7.5-15

pH asam
Bakterisid

2.5-5

Etambutol

mg/kg
15-20

mingguan
Bakteriostatik

2-3

Sikloserin

mg/kg
10-20

Bakteriostatik

2-4

PAS asam

mg/kg
10-12 g Bakteriostatik

100

Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB,
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi
dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
a

Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan


dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.

Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika


alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative

Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.


Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya

Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),


ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.

Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam


klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.

Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut


(World Health Organization, 2008):

Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi.

Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan.

Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan


fluorokuinolon.

Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang
mungkinefektif.

Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari


golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila
dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap,

tahap awal dan tahap

lanjutan.Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama dari pada


pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan.Pada tahap awal pasien
akan mendapat obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih
sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT
lini kedua yang dipakai pada tahap awal.
Pencegahan terjadinya resistensi obat
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru
TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama
kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman
terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,
pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah
memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal
dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan
TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai
evidence based dan tes kepekaan kuman.

DEMAM TIFOID
Merupakan penyakit salmonellosis akut di usus halus dengan karakteristik
demam disertai nyeri di bagian abdomen. Dinamakan demam tifoid karena
memiliki gejala yang mirip dengan typus yang disebabkan oleh ricketsiae, namun
terdapat perbedaan yaitu ditemukan pelebaran peyer patch dan limfonodi di
bagian meissner usus.

A. Epidemiologi
Merupakan penyakit endemik di Indonesia. Insidens demam tifoid terkait
dengan sanitasi lingkungan , terutama penyediaan air bersih dan pembuangan
sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
B. Etiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
Morfologi:
-

panjang bervariasi

Kebanyakan spesies, kecuali Salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak


dengan flagel peritrika.

Mudah tumbuh pada perbenihan biasa, hampir tak pernah meragikan laktosa
atau sukrosa

Resisten terhadap zat kimia tertentu (hijau brilian, natrium tetrationat, dan
natrium deoksikolat), karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan
dalam perbenihan yang dipakai untuk mengisoalsi salmonella dari tinja

Struktur Antigen
-

Golongan dan spesies dideteksi dengan analisis antigen

Memiliki antigen O dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua
fase. Beberapa juga mempunyai antigen Vi yang dapat mengganggu
aglutinasi melalui antiserum O.

C. Klasifikasi
Terbagi menjadi 3 spesies utama:
1) Salmonella typhi (satu spesies)
2) Salmonella choleraesius (satu serotipe)
3) Salmonella enteridis (lebih dari 1500 serotipe)
Penentuan serotipe berdasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik
D. Patogenesis
Makanan yang

terkontaminasi kuman Hati, masuk ke kandung empedu

Berkembang biak dan diekskresikan bersama cairan empedu secara remitten


Lambung feses Usus (bila lolos) dan berkembang biak Menembus sel epitel (bila
respon imunitas humoral kurang baik) Lamina propia Difagosit oleh makrofag

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag Dibawa ke plague
peyeri ileum distal hiperplasia jaringan Ke KGB mesenterika Masuk sirkulasi
darah melalui duktus torasikus dan menyebar terutama ke seluruh organ
retikuloendotelial terutama hati dan limpa Kuman meninggalkan sel fagosit lalu
berkembang biak di luar sel Masuk ke sirkulasi darah lagi Bakteremia, disertai
tanda dan gejala infeksi sistemik
E. Manifestasi Klinis
-

Masa tunas 10-14 hari

Minggu pertama: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tak enak di perut, batuk dan epistaksis

Pemeriksaan fisik: suhu meningkat secara perlahan terutama pada sore hari
hingga malam hari

Minggu kedua: gejala menjadi jelas. Demam, bradikardi relatif (peningkatan


suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah berselaput
(kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatosplenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis

F. Diagnosis
1.

Tes widal kenaikan 4x lipat selama 2-3 minggu positif tifoid

2.

Kultur darah, bila hasil biakan positif positif tifoid, bila negatif mungkin:
-

Telah mendapat terapi antibiotic

Volume darah yang kurang

Riwayat vaksinasi

Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, saat aglutinin semakin


meningkat

G. Tata Laksana
Trilogi demam tifoid:
a.

Istirahat dan Perawatan


Tirah baring dan perwatan bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Tirah baring dilakukan secar absolut selama minimal 7 hari bebas

demam atau kurang lebih 14 hari. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya
dilakukan di tempat, seperti makan, minum, mandi, BAK,BAB.
b.

Diet dan Terapi penunjang


Hal ini penting agar penderita tidak sampai keadaan umum dan status gizinya

menurun. Pada masa lampau penderita diberi bubur saring bubur kasar nasi.
Pemberian bubur saring bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan
aman pada penderita.
c.

Antimikroba
-

Kloramfenikol pilihan utama, dosis: 4 x 500mg/hr peroral/iv sampai 7


hr bebas panas

Tiamfenikol dosis 4x 500mg/hr peroral/iv selama 7 hari bebas panas.


Tetapi komplikasi hematologi (anemia aplastik) lebih rendah dibanding
kloramfenikol

Kotrimoksazol efektivitas dilaporkan sama dengan kloramfenikol.


Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet= sulfametoksazol 400mg dan 80 mg
trimetropin) selama 2 minggu

Ampisilin dan Amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih


rendah dibending kloramfenikol. Dosis 50-150 mg/kgBB selama 2
minggu

Sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk tifoid adalah


seftriakson, dosis antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc selama jam/infus
1x/hr selama 3-5 hari

Golongan Fluorokuinolon:
Norfloksasin 2 x 400 mg/hr selama 14 hr
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hr selama 6 hr
Ofloksasin 2 x 400 mg/hr selama 7 hr
Pefloksasin 400mg/hr selama 7 hr
Fleroksasin 400mg/hr selama 7 hr
Demam lebih lambat pada pengguaan norfloksasin

Kombinasi Obat antimikroba

Kombinasi 2 obat/lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu antara


lain toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, syok septic
-

Kortikosteroid
Indikasi pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok
septik, dosis 3 x 5 mg

Penggunaan Obat pada wanita hamil


Kloramfenikol tak dianjurkan pada trimester ke-3 partus prematur,
kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus
Tiamfenikol tak dianjurkan pada trimester pertama efek teratogenik
Florouinolon dan kotrimoksazol tak dianjurkan
Dianjurkan AMPISILIN, AMOKSISILIN, DAN SEFTRIAKSON

LEPRA DAN REAKSI LEPRA

BATASAN
Morbus hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium lepra yang menyerang syaraf tepi (terlebih dahulu
primer), baru kulit dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan syaraf pusat.
Penyebab
Disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman berbentuk batang dan
dengan pengecatan Ziehl Nielsen tahan asam. Hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin.

EPIDEMIOLOGI

Dapat menyerang semua umur (terbanyak adalah 25-35 tahun).


Frekuensi pada pria = wanita
Pada ras kulit hitam tipe tuberkuloid
Pada kulit putih tipe lepromatous

Insidensi tinggi pada negara berkembang dengan sosio-ekonomi yang


rendah.

PATOFISIOLOGI
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan kulit yang tidak
utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman
(tipe multibasiler) yang belum diobati. Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman
menuju tempat predileksinya yaitu syaraf tepi.

GEJALA KLINIS
1. Kerusakan syaraf tepi
Kerusakan bisa bersifat sensorik (hipoestesi ataupun anastesi pada kulit
yang terserang), motorik (kelemahan otot pada daerah yang terserang
biasanya di ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata) dan autonomik.
Gejala autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi
terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi

terutama yang dekat dengan permukaan kulit (n. Ulnaris, n aurikularis


magnus)
2. Kelainan kulit dan organ lain
Hipopigmentasi ataupun eritematus dengan adanya gangguan estesi yang
jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala lebih lanjut :

Facies lonina (gejala yang difus di muka)

Penebalan cuping telinga

Madarosis (penipisan alis di bagian lateral)

Anastesi simetris pada kedua tangan kaki (glove &


stocking anastesia)
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Kulit dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri,

dan rasa raba pada lesi yang dicurigai


Syaraf tepi dilakukan untuk syaraf-syaraf tepi yang berjalan di

dekat permukaan kulit.


3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan Ziehl Nielsen dengan sediaan diambil dari kedua

cuping telinga dan lesi yang ada di kulit.


Pemeriksaan serologis
Lepromin test : untuk mengetahui imunitas selular dan membantu
menentukan tipe kusta
o MLPA : untuk mengetahui imunitas tipe humoral terhadap
antigen yang berasal dari M. Leprae.
o PCR : sangat sensitif, dapat mendeteksi 1-10 kuman dan
biasanya sediaan diambil dari jaringan

Pemeriksaan histopatologi untuk membantu diagnosis dan


menentukan tipe kusrta

Diagnosis pasti
Berdasarkan WHO 1997. Diagnosis berdasarkan adanya tanda utama (Cardinal
sign) berupa :
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang
jelas
2. Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam
Diagnosis ditegakkan dengan adanya satu tanda di atas

Penentuan Tipe
Pembagian tipe kusta menurut Ridley-Joping adalah tipe :
1. Tipe tuberkuloid (TT)

2. Tipe borderline tuberculoid (BT)

3. Tipe mid borderline (BB)

4. Tipe borderline lepromatous (BL)

5. Tipe lepromatosa (LL)

WHO membagi berdasarkan pengobatan yang diberikan yaitu hanya tipe


multibasiler (MB) dan Pausibasiler (PB)

Tipe TT dan BT termasuk dalam tipe Pausibasiler


Tipe BB;BL;LL termasuk dalam tipe Multibasiler
Perbedaan tipe PB dan MB
Tipe Pausibasiler (PB)
Klinis
Makula

Tipe Multibasiler (MB)

1-5 lesi

Lebih dari 5 lesi

Makula

Makula

hipopigmentasi/

papul dan nodus

eritema
Distribusi

Distribusi simetris
tidak

Hilangnya sensasi

simetris

tidak jelas

Hilangnya sensasi
jelas
Penebalan

Hanya satu cabang saraf

banyak cabang saraf

syaraf tepi
BTA

PENATALAKSANAAN

datar,

Diberikan obat berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy)


1. Pausibasiler
Rifampicine 600mg/bulan diminum di depan petugas
DDS 100mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur selama 6 bulan dan diselesaikan
dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (release from treatment)
2. Multibasiler
Lamprene 50mg/hari
DDS 100mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis
dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA positif.

PERTUSIS
Pertusis adalah penyakit infeksi akibat Bordetella pertussis yang ditandai oleh
batuk rejan.
A. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis atau Haemophilus pertussis.
Namun dapat pula didapatkan B. parapertussis dan B. bronchisepta pada penderita
pertusis.
Morfologi:
-

kuman kecil

tidak bergerak

gram negative

B. Epidemiologi
-

dapat mengenai semua golongan umur.

Terbanyak pada usia 1 5 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita

C. Transmisi
Cara penularan melalui kontak dengan penderita terutama melalui droplets.
D. Patologi
Kuman masuk menempel pada silia epitel torak mukosa pada bronkus dan
bronkiolus terjadi proses inflamasi bila berlanjut terus menerus terjadi
nekrosis bagian basal disertai infiltrat dari neutrofil dan makrofag
menimbulkan eksudasi dan mukopurulen. Apabila eksudasi sampai ke alveolus
bisa menyebabkan infeksi sekunder.
E. Gejala Klinis
Masa tunas 7 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau
lebih.
Terbagi menjadi 3 satium yaitu :
a)

stadium kataralis
-

lamanya 1-2 minggu

menyerupai influenza

mulanya batuk ringan terutama malam hari

makin lama makin berat terjadi siang dan malam

gejala penyerta yaitu pilek, serak, dan anoreksia

b) stadium spasmodic
-

lamanya 2-4 minggu

akhir minggu batuk makin berat dan terjadi paroksismal berupa batuk
khas

serangan batuk panjang, tidak ada inspirasi di antaranya dan di akhiri


dengan whoop (= tarikan napas panjang dan dalam serta berbunyi
melengking)

sering disertai muntah dan sputum yang kental

kadang tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis akibat


meningkatnya tekanan pada saat serangan batuk.

c)

stadium konvalensi
-

lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh

minggu ke 4 jumlah dan berat serangan batuk berkurang, muntah


berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.

Ronki difus yang ada pada stadium mulai menghilang

Infeksi common cold bisa menimbulkan serangan lagi.

F. Diagnosis
-

Pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosa karena menyerupai common


cold, namun terdapat leukositosis dan limfositosis.

Akhir stadium kataralis dan awal spasmodik leukosit meninggi dengan


limfositosis

Stadium spasmodik batuk khas dengan adanya whoop

Dugaan sementara = batuk yang mula-mula timbul pada malam hari tidak
mereda dengan obat batuk malah meningkat menjadi siang dan malam serta
diketahui kontak dengan penderita pertusis.

Bisa juga menggunakan uji Ouchterlony untuk melihat presipitasi antibodi


pertusis.

G. Terapi
1. antibiotic
-

eritromisin ( 50mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis)


untuk menghilangkan B. Pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari
memperpendek penyebaran infeksi
menyembuhkan pertusis bila dalam stadium kataralis
mencegah dan menyembuhkan pneumonia

ampisilin ( 100mg/ kg bb/ hari dibagi dalam 4 dosis)

lain-lain : rovamisin, kotrinoxazol, kloramfenikol, tetrasiklin

2.

imunoglobulin (belum dapat dipastikan manfaatnya)

3.

ekspektoransi dan mukolitik

4.

kodein (bila batuk hebat sekali)

5.

luminal (sbg sedativa)

H. Pencegahan

Secara aktif pemberian vaksin pertusis yaitu DPT yang mulai diberikan
pada bayi usia 0 bulan sebanyak 1 dosis (0,5 ml) kemudian bayi usia 2 bulan
sebanyak 3 dosis (@ 0,5 ml) dengan interval minimal 4 minggu.

Secara pasif

TETANUS

DEFINISI
Tetanus adalah suatu onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general yang diakibatkan oleh
neurotoksin C. tetani
EPIDEMIOLOGI
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus
terutama ditemukan pada negara-negara berkembang yang padat penduduk
dengan iklim hangat dan lembab dan tanah yang kaya dengan material organik.
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama
ditemukan di negara berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 4050% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan
kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti
mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di
India.
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya
imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus,
tahun 1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan
tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus
terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak
lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu
4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75%
kasus terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi

pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain.
Sekuele neurologis residual jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan
oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia,
atau henti jantung
ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani
adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob.
Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan,
desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
menimbulkan tetanus.
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan
pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora.
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi
sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif.
Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat:
a. terdapat jaringan mati dan benda asing,
b. crushed injury,
c. infeksi supuratif
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan
potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas.
Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau
toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan
C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan
2,5 ng/kg berat badan.
PATOGENESIS

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif.
Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem
saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis.
Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin
solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis
tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri.
Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat
molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua
subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh
ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran
neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam
sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada
plasmid bakteri.
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor
melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda
spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian
pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat
berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin
dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai
ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin,
senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel.
Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang
pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya
neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga
terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA)
dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron
motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot
yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal

seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural


retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan
diensefalon. Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin.
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan
asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin
botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada
tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada
sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan
inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan
terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis
nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan
setelah penyembuhan.
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari
motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas
muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari
kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan
fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang
pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti
otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering
tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan
gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar
katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel
dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru
sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai.
MANIFESTASI KLINIS
1.Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien
dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas
pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik.
Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan
menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi

gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian.


Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%.
2.Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan
(insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang
mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus
sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit
kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis
yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat
paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot
ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat
berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi,
yaitu 15-30%.
3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari
tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka
mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti
kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan
temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah
menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai
risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas
menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang
dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta
rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan.
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan
menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut
terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat
ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang
menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara
spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika
urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu

kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan


gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis
dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut.
Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi
autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam
nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada
pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas
autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang
bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat,
hipertermia, dan aritmia jantung.
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita
mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut
selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan.
Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam
beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan
terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru.

4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui

tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan


proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat
maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan
menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum.
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general.
Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari
setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus
(rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.
DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis.
Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat
rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat
ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat
luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi
tetanus toksoid yang jelas.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat
bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau
telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus
klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C
selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme
kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah
skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis.
Skor Phillips
Parameter

Masa inkubasi

< 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
> 14 hari

Nilai
5
4
3
2
1

Internal dan umbilikal


Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Tidak diketahui

Lokasi infeksi

Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada
neonatus)
> 10 tahun yang lalu
< 10 tahun yang lalu
Imunisasi lengkap

Status
imunisasi

5
4
3
2
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
1

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan

Faktor
pemberat

didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b)
skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)

Grade III A (berat)

Grade III B (sangat


berat)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak


ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia
120 kali/menit.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. Udwadia (1992)

kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia.
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)

Grade III (berat)

Grade IV (sangat
berat)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada


distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di


Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar
dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus
Faktor prognostik
Masa inkubasi
Periode onset
Tempat masuk
Spasme
Demam
Takikardia

Skor 1
< 7 hari
< 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka
operasi, injeksi intramuskular
Ada
> 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit

Skor 0
7 hari atau tidak diketahui
2 hari
Penyebab lain dan penyebab
yang tidak diketahui
Tidak ada
< 38.4oC
Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

Skor 0-1
Skor 2-3
Skor 4
Skor 5-6

: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%


: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

PENATALAKSANAAN
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan

napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai
berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan
untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan
midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan
patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang
berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus
memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan
khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat
memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk
membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah
pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan
elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1)
menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan
(3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron
dimetabolisme.
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human
tetanus immunoglobulin (HTIG). Dosis yang disarankan dalam formularium
nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU. Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari
sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan
lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of
globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat
digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis
40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam
200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus
selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan
secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda
sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga
pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan
menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian
diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin
yang belum memasuki sistem saraf.
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB
per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G

merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis


dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan
pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan
anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui
jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari.
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen
instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas.
Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama
untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100
mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang
meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan
dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa
diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme
menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg
intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari
diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg
untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan
kejang tetani.
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin.
Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek
dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan
dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen
tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma
yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis.
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang
disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan
diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin
terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan
hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti
sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh
toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia
merupakan manifestasi utama.
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi
tetanus

ulangan

karena

jumlah

tetanospasmin

yang

dibutuhkan

untuk

menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh.

Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif
dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan.
KOMPLIKASI
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi

Kardiovaskular
Renal
Gastrointestinal
Muskuloskeletal
Lain-lain

Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia),
komplikasi trakeostomi.
Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Stasis, ileus, perdarahan.
Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.

PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan
untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem
skoring yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan
Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang
dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang
bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.
Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar
untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.

Bayi dan anak


normal.

Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.


Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak


normal sampai usia 7
tahun yang tidak
diimunisasi pada
masa bayi awal.

DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4


bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang


belum pernah
diimunisasi.

Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada


kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang


belum pernah
diimunisasi.

Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima


2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2
trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus
tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin.
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hatihati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.

TETANUS NEONATORUM

DEFINISI
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus yang menyerang pada bayi yang
disebabkan oleh Clostridium Tetani yaitu bakteri yang bekerja mengeluarkan
racun yang menyerang sistem saraf pusat.
ETIOLOGI
Clostridium Tetani adalah bakteri gram positiv yang menghasilkan eksotoksin
yang bersifat neurotoksin.
FAKTOR RESIKO
A. Pencemaran lingkungan
B. Penggunaan alat2 yang tidak steril pada saat kehamilan
C. Faktor kekebalan tubuh

PATOGENESIS
Pertolongan persalinan dengan alat tidak steril=>spora Clostridium tetani
masuk=>mengeluarkan

tetanospamin=>tetanospasmin

berikatan

dengan

memranm pra sinaps motor neuron =>kemudian bergerak melalui melalui sistem
transpor aksonal=>mencapai med spinalis dan batang otak=> gguan SSP dan SST
Gangguan dapat berupa gangguan inhibisi presinaptik trhadap GABA dan
glisin ,,sehingga terjadi muatan listrik yang berlebihan.

GEJALA KLINIS
A. Kekakuan otot rahang
B. Kekakuan otot muka
C. Kekakuan yang berat menyebabkan tubuh melengkung,,bisa menyebabkan
fraktur tulang belakang

D. Terjadi kejang terus-menerus


TERAPI
A. Diberikan Tetanus Imunoglobulin intramuskular untuk menetralisasi racun
B. Antikonvulsan untuk merelaksasi otot dan menurunkan kepekaan jaringan
saraf thd rangsang
C. Antibiotik untuk membunuh bakteri clostridium tetani
D. Oksigen bila terjadi asfiksia atau sianosis

4. FARMAKOLOGI ANTIMIKROBA
A. Definisi
Antimikroba

obat pembasmi mikroba.


*Mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk
kelompok parasit.

Antibiotik

zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,


yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba
jenis lain.

Toksisitas selektif obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba,
tetapi relative tidak toksik untuk hospes.
B. Aktivitas dan Spektrum
1) Aktivitas bakteriostatik
-

menghambat pertumbuhan mikroba.

KHM = Kadar Hambat Minimal, yaitu kadar minimal yang diperlukan


untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

2) Aktivitas bakterisid
-

membunuh mikroba.

KBM = Kadar Bunuh Minimal, yaitu kadar minimal yang diperlukan


untuk membunuh mikroba.

Berikut ini contoh yang dimaksud sebagai spektrum sempit:


-

Penisilin G aktif terhadap bakteri gram (+), resisten untuk bakteri gram (-).

Streptomisin aktif terhadap bakteri gram (-), resisten untuk bakteri gram (+).

Berikut ini contoh yang dimaksud sebagai spektrum luas:


-

Tetrasiklin aktif terhadap bakteri gram (+), bakteri gram (-), Rickettsia, dan
Chlamydia.

C. Mekanisme Kerja
Terbagi dalam lima kelompok:
1.

Antimikroba yang Menghambat Metabolisme Sel Mikroba: Sulfonamid,


Sulfon, Trimetoprim, Asam p-aminosalisilat (PAS)

Sulfonamid, Sulfon
Mikroba membutuhkan asam folat. Berbeda dengan mamalia yang

mendapatkan asam folat dari luar, bakteri pathogen menyintesis sendiri asam
folatnya dari asam amino benzoate (PABA). sulfonamid, sulfon bersaing dengan
PABA. Jika sulfonamid atau sulfon menang, akan terbentuk asam folat analog
yang nonfungsional.
-

Trimetoprim
Normalnya, mikroba akan mengubah dihidrofolat (nonfungsional) akan

diubah menjadi tetrahidrofolat (fungsional) dengan bantuan enzim dihidrofolat


reduktase. Trimetoprim mencegah terjadinya

hal tersebut dengan cara

menghambat enzim dihidrofolat reduktase.


-

PAS

PAS, merupakan analog PABA, bekerja dengan menghambat sintesis asam folat.
2.

Antimikroba yang Menghambat Sintesis Dinding Sel Mikroba: Sikloserin,


Basitrasin, Vankomisin, Penisilin, Sefalosporin.
Sintesis dinding protein terdiri dari serangkaian proses, dimulai dari proses

dini sampai proses akhir. Antimikroba yang termasuk tipe ini bekerja menghambat
di titik-titik serangkaian proses tersebut. Rusaknya dinding sel dapat
mengakibatkan lisis karena tekanan osmotik intrasel bakteri lebih besar dari
tekanan osmotik ekstrasel.
3.

Antimikroba

yang

Mengganggu

Keutuhan

Membran

Sel

Mikroba:

Polimiksin, Polien, Berbagai Antimikroba Kemoterapeutik


-

Polimiksin
Polimiksin bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba.

Antimikroba tipe ini tidak efektif terhadap bakteri gram (+) karena jumlah fosfor
pada bakteri tersebut rendah, tetapi efektif terhadap bakteri gram (-) karena jumlah
fosfor pada bakteri ini tinggi.

Polien

Polien bereaksi dengan struktur sterol pada membran sel mikroba.


-

Berbagai Antimikroba Kemoterapeutik

Contoh antimikroba tipe ini adalah Antiseptic Surface Active Agents yang
mengubah tegangan permukaan sehingga permeabilitas selektif membran sel
rusak.
4.

Antimikroba yang Menghambat Sintesis Protein Sel Mikroba: Aminoglikosid,


Makrolid, Linkomisin, Tetrasiklin, Kloramfenikol
Sintesis protein berlangsung di ribosom. Ribosom terdiri atas dua subunit,

yaitu ribosom 3OS dan ribosom 5OS. Dua subunit tesebut bersatu pada pangkal
rantai mRNA menjadi 7OS agar berfungsi.
-

Aminoglikosid: Streptomisin, Gentamisin, Kanamisin, Neomisin.

Aminoglikosid berikatan dengan ribosom 3OS, akibatnya kode pada mRNA salah
dibaca oleh tRNA sehingga terbentuk protein abnormal dan nonfungsional.
-

Makrolid: Eritromisin

Makrolid berikatan dengan ribosom 5OS, menghambat translokasi kompleks


tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptide.
-

Linkomisin

Linkomisin berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat sintesis protein.


-

Tetrasiklin

Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 3OS dan menghalangi masuknya kompleks


tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.
-

Kloramfenikol

Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat pengikatan asam


amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase.
5.

Antimikroba yang Menghambat Sintesis Asam Nukleat Sel Mikroba:


Rifampisin, Kuinolon

Rifampisin berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga menghambat


sintesis RNA dan DNA.

Kuinolon menghambat enzim DNA girase yang berfungsi menata kromosom


yang sangat panjang menjadi bentuk spiral sehingga muat dalam sel bakteri
yang kecil.

5. IMUNISASI
PENGERTIAN

Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah
agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit
tertentu.

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
terhada penyakit tertentu.

TUJUAN IMUNISASI

Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat
mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang
sering berjangkit.

Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

MANFAAT IMUNISASI
1. Untuk Anak

Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau
kematian.

2. Untuk Keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong


pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa
kanak-kanak yang nyaman.

3. Untuk Negara

Memperbaiki tingkat kesehatan, mrnciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara.

JENIS IMUNISASI
1.Imunisasi Aktif

Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar
nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap

antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya.
Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak.

Dalam imunisasi aktif terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu :

1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan, eksotoksin yang
didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein pembawa seperti
polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen
organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari
organisme yang dijadikan vaksin.
2. Pengawet/stabilisator, atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin
tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya
mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa atau antibiotik yang biasa
digunakan.
3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang
digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya telur, protein serum, bahan kultur
sel.
4. Adjuvan, terdiri dari garam aluminium yang berfungsi meningkatkan sistem imun dari
antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen dapat melakukan
perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi
peningkatan antibodi tubuh.
2.Imunisasi Pasif

Merupakan suatau proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara memberikan zat
immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat
berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapatkan bayi dari ibu melalui
plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba sudah
masuk dalam tubuh yang terinfeksi.

Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS pada orang yang mengalami luka
kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi
tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama
masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

JENIS VAKSIN LIMA IMUNISASI LENGKAP


1. BCG

Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya


penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang
ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG. TBC yang berat
contohnya adalah TBC pada selaput otak, TBC milier pada seluruh lapangan paru,
atau TBC tulang. Vaksin BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang
telah dilemahkan.

Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir sebelum umur 3 bulan.
Vaksin BCG diberikan melalui intradermal/intracutan. Efek samping pemberian
imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis,
dan reaksi panas.

2. Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah


terjadinya penyakit hepatitis B. kandungan vaksin ini adalah HbsAg dalam bentuk
cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 dosis. Imunisasi hepatitis ini
diberikan melalui intramuscular.

3. Polio

Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya


penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Kandungan
vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi polio adalah
4 dosis. Imunisasi polio diberikan melalui oral.

4. DPT

Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya


penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan vaksin yang
mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun masih
dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid).

Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan
organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian kedua dan ketiga terbentuk zat
anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui intramuscular.

Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan misalnya
terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat
misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran
menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan syok.

5. Campak

Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya


penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Kandungan vaksin ini
adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1 dosis.
Imunisasi campak diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini memiliki efek samping
seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMUNISASI


1. Status imun penjamu

1. Adanya antibodi spesifik pada penjamu keberhasilan vaksinasi, misalnya: (1.Campak


pada bayi; 2.Kolostrum ASI Imunoglobulin A polio)
2. Maturasi imunologik : neonatus fungsi makrofag, kadar komplemen, aktifasi optonin.
3. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen kurang, hasil vaksinasi ditunda
sampai umur 2 tahun.
4. Cakupan imunisasi semaksimal mungkin agar anak kebal secara simultan, bayi
diimunisasi.
5. Frekuensi penyakit : dampaknya pada neonatus berat imunisasi dapat diberikan pada
neonatus.
6. Status imunologik (seperti defisiensi imun) respon terhadap vaksin kurang.
2. Genetik

Secara genetik respon imun manusia terhadap antigen tertentu baik, cukup, rendah.
Keberhasilan vaksinasi tidak 100%.

3. Kualitas vaksin
1. Cara pemberian. Misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik.
2. Dosis vaksin (1.Tinggi hambatan respon, menimbulkan efek samping; 2.Jika rendah,
maka tidak merangsang sel imunokompeten)
3. Frekuensi pemberian. Respon imun sekunder Sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, afinitas lebih tinggi. Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun
yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih
tinggi, sedangkan antigen dinetralkan oleh antibodi spesifik maka tidak merangsang
sel imunokompeten.
4. Ajuvan (1.Zat yang meningkatkan respon imun terhadap antigen; 2.Mempertahankan
antigen agar tidak cepat hilang; 3.Mengaktifkan sel imunokompeten)
5. Jenis vaksin. Vaksin hidup menimbulkan respon imun lebih baik.
FAKTOR YANG DAPAT MERUSAK VAKSIN
1. Panas dapat merusak semua vaksin.
2. Sinar matahari dapat merusak BCG.
3. Pembekuan toxoid.
4. Desinfeksi / antiseptik : sabun. (Marimbi, 2010)

JADWAL IMUNISASI
1.BCG
1. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. namun dianjurkan pemberian
imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.
2. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun).
3. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
4. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah
komplikasinya.
5. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2.Hepatitis B
1. Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.
2. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepatitis
B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapatkan respon imun optimal,
interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
3. Departemen kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepatitis B-0 monovalen
(dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi
DTwP/hepatitis B pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis B diberikan dalam
kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan
hepatitis B-3 yang masih rendah.
4. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi hepatitis B dengan jadwal 3 kali
pemberian.
3. DPT
1. Imunisasi DPT primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8
minggu, jadi DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan, DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT3 pada umur 6 bulan.
2. Dosis DPT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.

3. Vaksin DPT dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DPT/Hepatitis
B dan DPT/IPV.
4. Polio
1. Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio -1, 2, dan 3. (1.OPV, hidup
dilemahkan, tetes, oral.; 2.IPV, in-aktif, suntikan.)
2. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk
mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi.
3. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval
antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
4. OPV diberikan 2 tetes per-oral.
5. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau
dalam kemasan kombinasi.
5. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan dalam,
pada umur 9 bulan

Anda mungkin juga menyukai