Anda di halaman 1dari 7

Alergen Liur Terduga Dari Kutu Kucing, Ctenocephalides felis

felis
SE Lee, IP Johnstone, RP Lee, JP Opdebeeck
Sekolah Biomolekuler dan Ilmu Biomedis, Griffith University, Nathan,
Queensland Australia
School Kedokteran Hewan dan Produksi Ternak, The University of Queensland,
St Lucia, Queensland Australia
Departemen Parasitologi, The University of Queensland, St Lucia, Queensland
Australia
Abstrak
kutu kucing, Ctenocephalides felis felis, adalah inisiator utama pada reaksi
sensitivitas akibat gigitan kutu pada anjing. Analisis sebelumnya pada ekstrak
kutu dan kelenjar air liurnya gagal untuk mengidentifikasi alergen penyebab
reaksi hipersensitivitas ini. Peneliti membedah> 2000 kelenjar ludah dari kutu
betina dewasa, diekstrak menjadi saline buffer yang mengandung inhibitor
protease dan ekstrak difraksinasi menggunakan gel perembesan HPLC. Anjing
diklasifikasikan hipersensitif terhadap kutu (kutu-konsumsi positif, FF+) atau
tidak sensitif (kutu-konsumsi negatif, FF-) menggunakan uji provokatif dengan
kutu hidup. Alergenisitas komponen ekstrak kelenjar ludah diuji dengan injeksi
intradermal sampel dari zat yang tereluasi. Anjing juga disuntikkan secara
intradermal sampel ekstrak kelenjar ludah utuh, dan dengan histamin sebagai
kontrol positif. Suntikan kontrol negatif terdiri dari zat yang tereluasi
dikumpulkan sebelum fraksi mengandung protein apapun. Kulit anjing FF - baik
tidak berespon atau memiliki respon minimal (bula 2 mm lebih besar dari bula
injeksi lokasi injeksi kontrol negatif) untuk semua fraksi dan seluruh ekstrak;
suntikan kontrol histamin memberikan respon positif (didefinisikan sebagai
bercak lebih besar dari 5 mm dari bula pada lokasi injeksi kontrol negatif) pada
semua anjing. Kulit pada tiga dari sembilan anjing FF+ bereaksi positif terhadap
injeksi dari fraksi yang mengandung protein dengan berat molekul 40k. Lima
anjing dengan FF+ lainnya bereaksi positif terhadap fraksi yang mengandung
protein dengan berat molekul 12-8k. Seekor anjing berespon dengan bercak merah
sangat besar untuk suntikan dengan berat molekul 40k dan fraksi dengan berat
molekul 12-8k. Temuan ini menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul
40k dan 12-8k penting dalam reaksi hipersensitivitas akibat gigitan kutu. Karya
ini juga mendukung temuan sebelumnya bahwa tikus yang telah terkena gigitan
kutu memiliki antibodi terhadap protein dengan berat molekul 40k yang terdeteksi
pada sekresi air liur kutu.
Kata kunci: Ctenocephalides felis, Kutu kucing, Alergen serangga;
Hipersensitivitas pada anjing; Air liur serangga, MODE, Tes kulit intradermal
1. Pendahuluan
Reaksi Hipersensitivitas akibat gigitan kutu merupakan penyebab utama
dari dermatitis alergi pada anjing, namun relatif sedikit yang telah dilaporkan
alergen yang menyebabkannya. Penelitian awal menggunakan sekresi oral kutu
kucing, Ctenocephalides felis felis, hapten dengan berat molekul rendah penting
dalam respon imun marmut (Benjamini et al, 1960, 1963; Young et al, 1963).
Namun, respon imun anjing untuk sekresi ini belum pernah diperiksa. Studi
selanjutnya menilai keseluruhan ekstrak kutu menggunakan elektroforesis dan
imunobloting dengan serum anjing (Halliwell et al, 1987;. Greene et al, 1993;.
Stolper dan Opdebeeck, 1994; McKeon dan Opdebeeck, 1994) namun gagal untuk
mengidentifikasi alergen kutu tertentu. Loak sekresi saliva kutu dan ekstrak dari
seluruh kelenjar ludah digunakan sebagai antigen untuk mempelajari peningkatan
antibodi pada tikus yang terkena gigitan kutu (Lee et al., 1997). Temuan ikatan
protein pada serum kutu dengan berat 56k, 54K, 42k dan 40k mengindikasikan
protein ini adalah antigen penting pada gigitan kutu. Baru-baru ini telah
dilaporkan dalam prosiding konferensi dan karya paten bahwa beberapa fraksi
dari sekresi air liur kutu, yang dipisahkan dengan reverse phase high pressure
liquid chromatography, menginduksi reaksi hipersensitivitas pada enam anjing
yang terpapar kutu.yang disebabkan reaksi kulit hipersensitif dalam enam anjing
terkena kutu (Frank et al., 1996, 1997). Fraksi yang mengandung protein dominan
dengan berat molekul 42, 43 dan 44k dan berat molekul 9 dan 12k memberikan
kesans signifikan pada alergi kutu.
Di sini, peneliti menjabarkan proses yang digunakan untuk mengekstrak
dan memfraksinasi kelenjar ludah kutu. Kami menguji fraksi kelenjar ludah ini
untuk alergenitas dengan menyuntikan secara intradermal pada anjing baik yang
hipersensitif terhadap gigitan kutu maupun. Kemudian fraksi yang mengandung
alergen kutu yang diduga penting pada reaksi hipersensitivitas diidentifikasi.
2. Bahan dan metode
a. Persiapan ekstrak kelenjar ludah
Kutu dipelihara menggunakan sistem yang dijelaskan oleh Lee et al.
(1995). Lebih dari 2000 kelenjar ludah dibedah dari 600 kutu betina dewasa (3
hari pasca kemunculnya). Kelenjar ditempatkan ke dalam 100 ml 0,1 Mol buffer
fosfat saline (PBS) dengan pH 7,2 yang mengandung protease inhibitor
(Boehringer Mannheim Protease Inhibitor Set) dalam tabung microfuge,
kemudian dimaintain di atas es. Kelenjar dihancurkan dengan memutar tabung
selama 15 detik, pemutaran pada 13 600 x g, dan sonifikasi (di atas es) selama 5
menit (Unisonics Pty, Australia). Prosedur ekstraksi ini diulang dua kali. Ekstrak
disimpan di -70˚C sebelum fraksinasi pada permeasi.
Seluruh ekstrak dengan kandungan kelenjar ludah paling kecil (100
kelenjar ludah / 50 ml ≈ 2 mg protein / 50 ml) disiapkan untuk digunakan pada tes
kulit. Ekstrak ini juga disimpan pada suhu -70˚C.
b. Kromatografi permeasi gel
Superdex 200 HR 10/30 digunakan untuk fraksinasi protein dalam ekstrak
kelenjar ludah. PBS dipompa melalui kolom pada kecepatan 0,5 ml / menit
menggunakan LC 1110 HPLC Pump (ICI Instrumen). Protein akan terdeteksi oleh
detektor 206 PHD linear dan fraksi akan dikumpulkan pada BioRad Model 2110
Fraction Collector. Kolom ini diseimbangkan dengan PBS; berat molekul standar
(Jumlah; kisaran berat molekul 12.4k ± 160k) digunakan untuk membuat kurva
standar. Sebelum diaplikasikan pada kolom, ekstrak kelenjar ludah disentrifugasi
pada 13600 x g selama 10 menit untuk mengendapkan bahan yang tidak larut.
Hasil sentrifugasi ditempatkan pada kolom dengan injector otomatis dan fraksi
(60 x 1 ml) dikumpulkan selama waktu 2 jam. Fraksi (1 ml aliquot) disimpan pada
suhu -70˚C sampai fraksi akan digunakan untuk pengujian kulit.
c. Tes intradermal dengan kelenjar ludah terfraksi dan tidak terfraksi
Enam belas anjing campuran diperoleh dari peternakan lokal dan
dikumpulkan di penampungan sebuah klinik hewan di Universitas Queensland,
selama minimal 10 hari sebelum pengujian. Untuk pengujian intradermal, pada
anjing dilakukan premedikasi dengan atropin sulfat (0,65 mg / ml, 0,5 mg / 10 kg
disuntikkan intravena) sebelum tranquillised dengan xylazine disuntikkan
intramuskuler (20 mg / ml; 0,05 ± 0,1 5 ml / kg). Sebuah tempat dicukur pada
thorax lateral dan sebuah tempat ditandai pada kulit secara berkala dengan spidol
untuk menentukan 26 tempat injeksi, dan sebuah tempat untuk pemberian gigitan
kutu. Semua anjing diuji untuk reaksi hipersensitivitas terhadap kutu dengan
melakukan provokasi melalui kutu hidup (Lee et al, 1995).. diklasifikasikan
sebagai gigitan kutu positif(FF +; sembilan anjing) atau gigitan kutu negatif (FF-;
tujuh anjing). Kemudian sampel (50 ml) diinjeksi secara intradermal
menggunakan jarum 27 gauge dan jarum suntik 1 ml, fraksi yang dikumpulkan
dari kolom sebelum elusi protein disuntikan pada tempat dengan nomor 1-3
(kontrol negatif); protein yang mengandung fraksi yang dielusi dari kolom
permeasi gel disuntikan pada tempat dengan nomor 4-24 (50 ml injeksi tunggal
dari masing-masing fraksi), histamin (pengenceran 1:100.000) (kontrol positif)
disuntikan pada tempat dengan nomor 25 dan seluruh ekstrak kelenjar ludah yang
tidak dilakukafraksinasi di tempat dengan no 26. Reaksi dinilai 15-30 menit
setelah injeksi. Diameter bercak merah diukur pada kedua sumbu panjang dan
pendek dan diukur dengan kaliper digital (Mitutoyo) dan dinilai rata-rata jumlah
dari pengukuran yang dihitung. Bercak merah lebih besar > 5 mm dari bula pada
tempat injeksi kontrol negatif dianggap positif (Stolper dan Opdebeeck, 1994).
Tempat gigitan di mana 20 kutu dewasa yang belum makan sebelumnya
dipaparkan pada kulit anjing selama 15 menit, dinilai dalam 30 menit untuk
terjadinya pembengkakan dan kemerahan. Kutu kemudian dibekukan setelah
pengujian dan kemudian di gencet pada kertas blotting untuk mendeteksi darah
yang dihisap dan mengkonfirmasi bahwa mereka telah menggigit(makan).
3. Hasil
Kromatogram dari ekstrak 2350 kelenjar ludah yang terfraksinasi
memperlihatkan puncak pada protein dengan berat molekul 56k, 40k, 12k dan 8k
dan beberapa puncak pada protein dengan berat molekul <8k (Gambar. 1 (a)).
Absorbansi pada 280 nm pada puncak protein dengan berat molekul 40k
menunjukkan konsentrasi protein 5 mg protein / ml. Respon kulit khas pada tiga
anjing dengan FF+ terhadap farksi yang diuji diplot di bawah kromatogram
dengan tiga protein saliva yang terpisah (Gambar. 1 (b)-(d)). Kulit anjing FF + # 1
(Gambar 1 (b).) Dan FF + # 2 (Gambar 1 (c);Gambar 2 (a)) berespon positif
terhadap fraksi sesuai dengan puncak yang terdeteksi pada protein dengan berat
molekul 40k (fraksi 10 - 12). Anjing dengan FF + lainnya hanya memperlihatkan
sedikit kemerahan dan bengkak pada lokasi penyuntikan dari fraksi 12 (≈ puncak
protein dengan berat molekul 40k) dan tidak ada respon kulit lainnya yang lebih
besar daripada yang terlihat di lokasi injeksi kontrol negatif pada kulit anjing FF+
# 3. (Gambar 1 (d);Gambar 2 (b)) menunjukkan sensitivitas yang ekstrim terhadap
puncak protein dengan berat molekul 40k, berkurangnya respon terhadap fraksi 13
- 15 (yang memiliki protein yang lebih sedikit), respon hipersensitif terhadap
fraksi 16 - 19 yang berisi protein dengan berat molekul 12-8k, dan respon mulai
berkurang terhadap fraksi tersisa diuji. Lima anjing dengan FF+ lain menunjukkan
hipersensitivitas kulit hanya untuk fraksi 14 - 17 yang berhubungan dengan
puncak yang mengandung protein dengan berat molekul 12k. Enam dari tujuh
anjing FF- tidak menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap salah satu fraksi
yang mengandung protein. Satu anjing FF- yang memiliki kulit tampak bersisik,
kulit berminyak tidak menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan kutu
tetapi memiliki kulit yang menunjukkan reaksi sedikit kemerahan dan bengkak
terhadap injeksi fraksi 15 - 17 (≈ berat molekul 12k). Reaksi terhadap injeksi
kontrol histamin positif dalam semua sampel. Kulit semua anjing dengan FF+
bereaksi positif terhadap suntikan seluruh ekstrak 100 kelenjar ludah; respon
menjadi lebih positif terhadap fraksi individu. Kulit semua anjing dengan FF-
masing-masing tidak berespon positif terhadap suntikan seluruh ekstrak 100
kelenjar ludah (bula di lokasi injeksi tidak lebih besar dari yang terdapat disekitar
lokasi injeksi kontrol negatif) atau menunjukkan sedikit kemerahan dan sedikit
bengkak (≈lebih besar 2 mm dari bula di lokasi injeksi kontrol negatif) di tempat
suntikan ekstrak kelenjar.
4. Diskusi
Pengujian intradermal dengan ekstrak kelenjar ludah, baik keseluruhan
ekstrak maupun yang difraksinasi dengan kromatografi permeasi gel,
memperlihatkan perbedaan respon dari anjing yang hipersensitif terhadap gigitan
kutu dan yang tidak sensitif. Kromatogram dari protein kelenjar ludah yang
terpisah memperlihatkan puncak yang mengandung sejumlah kecil protein dengan
berat molekul 56k, 40k, 12k dan 8k. Puncak protein dengan berat molekul ≈ 40k
memiliki konsentrasi protein 5 mg / ml (berdasarkan absorbansi yang terbaca pada
280 nm), Oleh sebab itu suntikan 50 ml fraksi ini hanya memberikan 250 ng
protein intradermal. Meskipun demikian, hal ini menginduksi respon kulit
hipersensitif pada empat dari sembilan anjing dengan FF +yang diuji, untuk tiga
dari hewan-hewan ini, respon terbatas pada puncak dengan berat molekul 40k,
menunjukkan bahwa fraksi ini mengandung protein atau protein penting pada
reaksi hipersensitivitas akibat gigitan anjing. Keempat anjing dengan FF+, yang
sangat sensitif terhadap gigitan kutu, menunjukkan respon yang kuat untuk fraksi
yang meliputi puncak ini selain reaksi dari fraksi yang mengandung protein
dengan berat molekul 12-8k. Hal ini menunjukkan baik bahwa ada beberapa
alergen kutu atau protein dengan berat molekul 12-8k mengandung produk fraksi
dari fraksi dengan berat molekul 40k pada konsentrasi yang cukup untuk memicu
respons sensitisasi pada anjing. Kesan yang ditemukan sebelumnya pada spektrum
alergen yang didukung oleh temuan bahwa lima anjing FF+ lainnya yang
menunjukkan reaktivitas kulit terhadap fraksi yang mengandung protein dengn
berat molekul 12-8k tidak menunjukkan reaktivitas kulit terhadap fraksi yang
mengandung protein dengan berat molekul 40k. Protein dengan berat molekul 12-
8k mungkin juga mempunyai peran pada reaksi hipersensitivitas akibat gigitan
kutu.
Dalam uji yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, Frank et al. (1997)
melaporkan hasil tes intradermal dengan ekstrak seluruh air liur yang diperoleh
dengan mengelutiasi produk membran air liur kutu yang bisa diperiksa hingga 72
jam. Sampel dikenai perlakuan berupa dua anjing kontrol dengan flea-naive dan
sebelumnya enam anjing dengan flea-naive, sampel anjing ini dipaparkan kepada
kutu dibawah kontrol secara intermiten, untuk IDT dengan cucian membran
fraksi yang telah dipisahkan oleh reverse phase HPLC. Berdasarkan hasil positif
dari tes intradermal pada dua dari enam anjing yang terkena, peneliti
mengidentifikasikan Fraksi H, yang berisi protein dominan dengan berat molekul
9k dan 12k, yang kemungkinan berpengaruh signifikan pada alergi akibat gigitan
kutu. Dalam laporan penelitian yang telah diketahui sembilan anjing hipersensitif
terhadap gigitan kutu, respon enam dari sembilan anjing dengan FF+ ke fraksi
ekstrak kelenjar ludah yang mengandung protein dengan berat molekul 12k-8k
mendukung teori sebelumnya yang mengatakan bahwa protein dengan berat
molekul 12 -9k mungkin bereaksi signifikan terhadap reaksi hipersensitivitas
akibat gigitan anjing. Dalam suatu percobaan sebelumnya, beberapa fraksi dengan
protein yang dominan dengan berat molekul 42k, 43k dan 44k (Fraksi N) juga
teridentifikasi ememiliki kemungkinan sebagai penyebab pada alergi akibat
gigitan kutu (Frank et al., 1997). Seluruh enam anjing yang secara artifisial
terpapar dengan kutu memberikan respon positif (diukur secara obyektif dan
secara subyektif memberikan nilai respon sebagai 3+) terhadap injeksi intradermal
dari Fraksi N. fraksi ini mungkin memiliki isi yang sesuai dengan isi untuk fraksi
yang mengandung protein dengan berat molekul 40k seperti yang diidentifikasi
pada penelitian ini. Berat molekul dari tiga protein dominan di Fraksi N (berat
molekul 42k, 43k dan 44k) juga mendekati protein dengan berat molekul yang
sebelumnya diidentifikasi bernilai signifikan pada induksi antibodi terhadap
protein kelenjar ludah kutu pada tikus yang tergigit kutu (Lee et al ., 1997).
Interpretasi yang bermakna pada hasil yang dilaporkan dalam percobaan
(Frank et al., 1997) terbatas, namun, karena tidak jelas apakah salah satu dari
enam anjing dikatakan sensitif terhadap kutu mengalami reaksi sensitivitas akibat
gigitan kutu. Untuk mensensitisasi anjing, anjing flea-naive dipaparkan sekali
seminggu kepada 25 kutu yang mampu menggigit dan mengambil makanan dari
anjing selama 15 menit selama paparan dalam seminggu; jumlah paparan
sebanyak 38, 22, 20, 17, 12 atau hanya sekali saja. Dalam hal itu tidak dinyatakan
apakah hewan-hewan ini mengalami reaksi hipersensitivitas akibat gigitan kutu
dan sensitivitas terhadap gigitan provokatif. Sebagai lanjutan pada respon positif
dari beberapa atau seluruh anjing yang terkena fraksi yang mengandung protein
dominan dengan berat molekul 40k , 12k dan 9k, banyak sampel lain yang
mengandung protein dengan berat molekul antara 6K dan 55K rupanya juga
menyebabkan respon hipersensitif pada beberapa anjing yang secara artifisial
terpapar gigitan kutu secara intermiten. meski anjing terpapar hanya sekali pada
25 kutu dalam jangka waktu 15 menit menunjukkan reaksi 3+ pada kulit untuk
injeksi Fraksi N dan untuk seluruh ekstrak sekresi saliva saat diuji empat bulan
setelah paparan tunggal. Hasil ini menyiratkan bahwa sangat sedikit alergen kutu
yang dibutuhkan dalam sebuah paparan tunggal singkat yang diperlukan untuk
merangsang produksi antibodi IgE; Namun, anjing yang terpapar mungkin tidak
mengalami reaksi hipersesitivitas akibat gigitan kutu. Halliwell et al. (1987)
menemukan bahwa pola paparan kutu mempengaruhi probabilitas pada anjing
akan berkembang menjadi suatu reaksi hipersensitivitas akibat gigitan kutu.
Hewan-hewan dengan paparan terus-menerus pada kutu lebih sedikit memiliki
kemungkinan untuk berkembang menjadi suatu reaksi hipersensitivitas daripada
mereka yang menerima paparan secara intermiten. Pada usaha yang dilaporkan
dalam suatu percobaan (Frank et al., 1997), sekelompok anjing menunjukkan
respon positif terhadap banyak komponen dari sekresi saliva kutu terkena kutu
secara intermiten dan respon imun mereka mungkin tidak mencerminkan seperti
respon yang terlihat pada hewan yang terpapar secara natural terhadap kutu.
Dalam sebuah percobaan yang dilaporkan disini, semua anjing (termasuk hewan
kontrol negatif) telah terpapar kutu secara alami dan mereka diklasifikasikan
hipersensitif terhadap gigitan kutu (FF +) atau tidak sensitif (FF-) dengan respon
kulit mereka terhadap percobaan provokatif dengan kutu hidup. Reaksi
hipersensitif yang terlihat pada anjing FF+ mungkin lebih tepat untuk
mengidentifikasi dugaan alergen kutu memiliki hubungan dengan reaksi
hipersensitivitas akibta gigitan kutu daripada respon yang terlihat pada anjing
yang hanya terpapar sebentar dengan gigitan gutu dalam waktu yang singkat.
Injeksi 50 ml seluruh ekstrak dari 100 kelenjar liur menghasilkan respon
pada kulit anjing dengan FF+ setidaknya sebesar sebagai salah satu respon kulit
terhadap fraksi tunggal. Hal ini mungkin mencerminkan respon kumulatif
beberapa alergen dari protein dengan berat molekul yang berbeda ada pada
seluruh ekstrak, dibandingkan dengan respon terhadap lebih sedikit alergen
dengan berat molekul tertentu yang ada dalam ekstrak yang terfraksionasi;
kemungkinan lain konsentrasi alergen pada seluruh ekstrak mungkin lebih besar
dari pada fraksi yang berisi alergen. Respon tidak signifikan terhadap seluruh
ekstrak dimediasi oleh mediator inflamasi non-spesifik karena respon yang relatif
kecil terlihat di kulit anjing dengan FF-.

5. Kesimpulan
Studi yang disajikan di sini menunjukkan bahwa protein dengan berat
molekul 40k dan 12-8k, ada dalam ekstrak yang difraksinasi dari kelenjar ludah
kutu dan sekresi saliva, memprovokasi respon kulit hipersensitif pada anjing yang
diidentifikasi sebagai reaksi hipersensitif terhadap gigitan kutu. Beberapa anjing
hanya bereaksi pada satu fraksi pada tes intradermal, sementara yang lain bereaksi
terhadap beberapa fraksi. Namun, fraksi yang termasuk protein dengan berat
molekul 40k atau 12-8k secara konsisten memprovokasi respon kulit positif pada
anjing dengan FF+ yang diuji. Penelitian selanjutnya yang sedang dilakukan telah
dapat memisahkan dan mengkarakterisasi protein tunggal yang mungkin
signifikan pada reaksi hipersensitivitas akibat gigitan kutu. Alergen kutu terduga
yang diisolasi dari kelenjar ludah kutu dapat memberikan antigen superior untuk
tes yang dapat digunakan dalam tes kulit pada reaksi hipersensitivitas akibat
gigitan kutu, atau digunakan sebagai agen desensitisasi desensitising; Namun,
konfirmasi penggunaan potensi mereka sebagai agen diagnostik atau terapeutik
akan membutuhkan produksi protein rekombinan untuk memberikan jumlah yang
cukup untuk uji komprehensif.
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada Nyonya Kathy Meares untuk bantuan teknis
yang sangat baik dalam melakukan tes kulit. Karya ini mendapat dukungan
finansial dari Control Council Canine dari Queensland, Australia.

Anda mungkin juga menyukai