Anda di halaman 1dari 32

EKONOMETRI PELAYANAN KESEHATAN

TENTANG
UJI ASUMSI KLASIK AUTOKORELASI

OLEH: KELOMPOK 2 JALUR B

ENGAT SETIASEH 1511216072


FAUZIYAH ILHAMY 1511216034
MAHENDRA 1511216056
MERI LISWARNI 1511216012
RANY AZLI 1511216021
WINDA SUSANTI 1511216003
YULIA HARTATI 1511216058

Dosen Pengampu:
Ayulia Fardila Sari Z.A, SKM, M.PH

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
2017
KATA PENGANTAR

Pujisyukur kelompok ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan karunia-Nya, sehingga kelompok dapat menyusun makalah yang berjudul
“Uji Asumsi Klasik AutoKorelasi”. Penyusunan makalah ini diajukan ke Fakultas
Kesehatan Masyarakat sebagai pemenuhan syarat untuk melaksanakan tugas
makalah Mata Kuliah Ekonometri Pelayanan Kesehatan.
Kelompok menyadari bahwa walaupun Kelompok telah bekerja keras untuk
menyusun makalah ini, namun tidak akan mungkin menjadi lebih baik tanpa
masukan dari pihak lain. Untuk itu Kelompok mengharapkan kepada semua pihak
agar memberikan berbagai masukan demi perbaikan dan kesempurnaan pembuatan
laporan ini dimasa yang akan datang.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
makalah ini dan Terima kasih kepada dosen mata kuliah Ekonometri Pelayanan
Kesehatan yang telah memberikan materi dalam pembelajaran sehingga Kelompok
dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan kita.

Padang, April 2017

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 : PENDAHULUAN .................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3

1.3 Tujuan ................................................................................................................ 3

1.4 Manfaat .............................................................................................................. 4

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5

2.1 Konsep Dasar Uji Otokorelasi ........................................................................... 5

2.2 Uji Otokorelasi dengan Metode Durbin Watson (Durbin Watson Test) ........... 6

2.3 Uji Otokorelasi dengan Metode Lagrange Multiple (LM Test) ....................... 11

2.4 Uji Otokorelasi Dengan Metode Breusch-Godfrey (B-Gtest) ......................... 15

2.5 Uji Otokorelasi Dengan Metode Run Test ....................................................... 20

9.6 Konsekuensi dan Cara Mengatasi Pelanggaran Otokolerasi ........................... 24

BAB 3 : PENUTUP ............................................................................................... 29

3.1 KESIMPULAN ................................................................................................ 29

3.2 SARAN ............................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual
pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang
harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Pada
pengujian asumsi diharapkan asumsi Autokorelasi tidak terpenuhi.
Uji otokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara
anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time-series) atau
ruang (cross section).ada beberapa penyebab munculnya masalah otokorelasi dalam
analisis regresi, yang dapat mengganggangu hasil dari analisis regresi.
Menurut Ghozali (2009) untuk menguji apakah hasil estimasi model regresi
mengandung korelasi atau tidak, maka dilakukanlah Uji Durbin Watson. Metode lain
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis autokerelasi adalah Uji Lagrange
Multiple (LM Test), Uji breusch-godfrey (B-Gtest), Uji Otokorelasi Dengan Metode
Run Test,

1.2 Rumusan Masalah


Perumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana Proses Penerapan
Uji Asumsi Klasik Analisis AutoKorelasi Dalam Pelayanan Kesehatan?”

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui penerapan Uji Asumsi
Klasik Analisis AutoKorelasi Dalam Pelayanan Kesehatan untuk dapat
mengaplikasikannya dilapangan.
Tujuan Khusu
1. Untuk mengetahui Konsep Dasar Uji Asumsi Klasik Analisis AutoKorelasi
2. Untuk mengetahui Metode Uji Asumsi Klasik Analisis AutoKorelasi
3. Untuk mengetahui Konsekuensi dan Cara Mengatasi Pelanggaran Otokolerasi

3
4

1.4 Manfaat
Bagi Penulis
Untuk memperoleh pengetahuan dalam menerapkan teori yang sudah didapat
diperkuliahan untuk dapat diterapkan dilapangan
Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dapat menjadi acuan dalam proses pembelajaran selanjutnya dalam tema
yang sama. Serta memperkaya ilmu pengetahuan terutama dibidang kesehatan
masyarakat
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Uji Otokorelasi


Uji otokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara
anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time-series) atau
ruang (cross section). Beberapa penyebab munculnya masalah otokorelasi dalam
analisis regresi adalah:
1. Adanya kelembamam (inertia)
Salah satu ciri yang menonjol dari sebagian data runtut waktu (time series)
dalam fenomena ekonomi adalah kelembamam, seperti data pendapatan
nasional, indeks harga konsumen, data produksi, data kesempatan kerja, data
pengangguran yang menunjukkan adanya pola konjungtur. Dalam situasi seperti
ini, data observasi pada periode sebelumnya dan periode sekarang, kemungkinan
besar akan mengandung saling ketergantungan (interdependence).
2. Bias spesifikasi model kasus variabel yang tidak dimasukkan
Hal ini disebabkan oleh tidak dimasukkannya variabel yang menurut teori
ekonomi sangat penting perannya dalam menjelaskan variabel tak bebas. Bila
hal ini terjadi, unsur pengganggu (error term) ui, akan merefleksikan suatu pola
ynag sistematis di antara sesama unsur pengganggu sehingga terjadi situasi
otokorelasi di antara unsur pengganggu.
3. Adanya fenomena laba-laba (cobweb phenomenon)
Munculnya fenomena sarang lab-laba terutama terjadi pada penawaran komoditi
sektor pertanian. Di sektor pertanian, reaksi penawaran terhadapa perubahan
harga terjadi setelah melalui tenggang waktu (gelation period). Misalnya,panen
komoditi permulaan tahun dipengaruhi oleh harga ynag terjadi pada tahun
sebelumnya.akibatnya, jika pada akhir tahun t harga komoditi pertanian ternyata
lebih rendah daripada harga tahun sebelumnya maka pada tahun berikutnya (t+1)
akan ada kecenderungan untuk memproduksi lebih sedikit daripada yang
diproduksi pada tahun t. Akibatnya, ui tidak lagi bersifat acak (random), tetapi
mengikuti pola sarang laba-laba.
4. Manipulasi data (manipulation of data)
Dalam analisis empiris, terutama pada data time series, seringkali terjadi
manipulasi data. Hal ini terjadi karena data yang diinginkan tidak tersedia.

5
6

Contohnya dalah data GNP. Data GNP biasanya tersedia dalam bentuk tahunan,
sehingga apabila seorang peneliti ingin mendapatkan data GNP kuartalan,
peneliti tersebut harus melakukan interpolasi data. Adanya interpolasi atau
manipulasi data ini jelas akan menimbulkan suatu pola fluktuasi yang
tersembunyi yang mengakibatkan munculnya pola sistematis dalam unsur
pengganggu dan akhirnya akan menimbulkan masalah otokorelasi.
5. Adnya kelambanan waktu (time lags)
Dalam regresi menggunakan data time series, pengeluaran konsumsi atas
pendapatan merupakan hal yang lazim untuk mendapatkan bahwa pola
pengeluaran konsumsi untuk periode sekarang antara lain ditentukan
pengeluaran konsumsi pada periode sebelumnya, dimana model seperti ini
dalam ekonometrika dikenal dengan istilah regresi model oto regresif.
Konsumsi (t)=f[pendapatan (t), Konsumsi(t-1)]
Dasar pemikiran di atas adalah konsumen tidak bisa mengubah pola
konsumsinya seketika, walaupun tingkat pendapatannya meningkat. Hal ini
terjadi karena adanya pengaruh psikologis, teknis dan kelembagaan. Jika unsur
lag diabaikan dari model di atas, maka ui yang dihasilkan akan mencerminkan
pola sistematis sebagai akibat pengaruh konsumsi pada periode sebelumnya atas
konsumsi sekarang.
Menurut Gujarati (1995), ada beberapa cara untuk mendeteksi ada- tidaknya
masalah otokorelasi, yaitu menggunakan metode analisis grafik, metode Durbin
Waston, Metode Van hewmann dan metode Runtest, sebagai salah satu uji statistik
non parametrik.
2.2 Uji Otokorelasi dengan Metode Durbin Watson (Durbin Watson Test)
Uji Durbin watson (Uji D-W) merupakan uji yang sangat populer untuk
menguji ada tidaknya masalah otokorelasi dari model empiris yang diestimasi. Uji ini
pertama kali diperkenalkan oleh J. Durbin dan GS. Watson tahun 1951. Pada
penerapan uji ini terdapat beberapa asumsi penting yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Model regresi yang dilakukan haru smenggunakan konstanta
2. Variabel bebas adalah non stokastik, atau relatif tetap untuk sampel yang
berulang
3. Kesalahan pengganggu atau residual diperoleh dengan otoregresif order pertama
t=t-1+t
7

4. Model regresi tidak meliputi nilai kelembaman (lag) dari variabel tak bebas
sebagai variabel penjelas
5. Dalam melakukan regresi, tidak boleh ada data atau observasi yang hilang
Rumus yang digunakan untuk uji Durbin Watson adalah:
∑(𝑒 − 𝑒𝑡−1 )2
DW =
∑ 𝑒𝑡 2
Keterangan:
DW = Nilai Durbin Watson Test
e = Nilai residual
et-1 = Nilai residual satu periode sebelumnya
Uji otokorelasi dengan metode Durbin Watson dilakukan dengan
menggunakan langkah sebagai berikut:
1. Membuat persamaan regresi
2. Hitung nilai prediksinya (Ŷ)
3. Hitung nilai residualnya (Y-Ŷ) atau e
4. Kuadratkan nilai residualnya (Y-Ŷ)2 atau e2
5. Lag-kan satu nilai residualnya (Y-Ŷ)t-1 atau et-1
6. Kurangkan nilai residual dengan nilai residual yang telah di Lag-kan satu e-et-1
7. Kuadratkan nilai residual yang telah dikurangi dengan nilai residualnya yang
telah di Lag-kan satu (e-et-1)2
8. Masukkan hasil perhitungan di atas ke dalam rumus Durbin Watson seperti di
atas
9. Menarik kesimpulan uji otokorelasi dengan kriteria sebagai berikut

Perhitungan nilai Durbin Watson secara manual dapat dilakukan dengan


menggunakan lembar kerja berikut
8

Keterangan:
Y = 9,795 + 0,325 X1 + 0,204 X2 + e
Ŷ = 9,795 + 0,325 (50) + 0,204 (55) = 37,283
e = Y-Ŷ = 29 - 37,283 = -8,283
e2 = -8,283 x -8,283 = 68,608
et-1 = e mundur 1 periode
e- et-1 = 0,791 – (-8,283) = 82,333
∑(𝑒 − 𝑒𝑡−1 )2 708,377
DW = 2
= = 1,999
∑ 𝑒𝑡 354,385
Pengujian gejala otokorelasi dengan uji Durbin Watson menggunkan SPSS
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Buka file Uji Otokorelasi
2. Klik Analize, Regresion, Linear
9

3. Masukkan variabel Volume Penjualan pada kotak Dependent


4. Masukkan variabel Iklan dan Personal Selling pada kotak Independent(s)

5. Klik Statistics, klik Durbin Watson, klik Continue


10

6. Abaikan pilihan yang lain, klik OK


Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

Analisis Model Summary:


Pada output model summary terdapat nilai Durbin Watson sebesar 1,983.
Pengambilan keputusan pada asumsi ini memerlukan dua nilai bantu yang diperoleh
dari tabel Durbin Watson, yaitu dL dan dU, dengan K = jumlah variabel bebas dan n
= ukuran sampel. Jika nilai Durbin Watson berada di antara nilai dU hingga (4 – dU)
berarti asumsi tidak terjadi otokorelasi terpenuhi.

Kesimpulannya, apabila kita lihat tabel Durbin Watson dengan n = 25, K = 2, maka
akan diperoleh nilai dL = 1,206 dan dU = 1,550, sehingga nilai 4 – dU sebesar 4 –
1,550 = 2,450 sedangkan nilai 4-dL sebesar 4 – 1,206 = 2,794.
11

Karena nilai Durbin Watson (1,983) terletak antara dU dengan 4 – dU, maka dapat
disimpulkan bahwa model persamaan regresi tersebut tidak mengandung masalah
otokorelasi.
2.3 Uji Otokorelasi dengan Metode Lagrange Multiple (LM Test)
Uji Lagrange Multiple (LM Test) dapat digunakan untuk menguji adanya
masalah otokorelasi tidak hanya pada derajat pertama (first order) tetapi juga
digunakan pada berbagai tingkat derajat otokorelasi. Oleh karena itu banyak penulis
yang menyatakan bahwa uji LM Test lebih bermanfaat dibanding dengan uji DW.
Hal ini benar bila ukuran sampel yang digunakan cukup besar, di atas 100 observasi,
dan dengan derajat otokorelasi lebih dari satu.
Adapun langkah-langkah dari uji Lagrange Multiple (Uji LM) adalah sebagai
berikut:
1. Membuat persamaan regresi
2. Mencari nilai prediksinya dan diberi nama (Ŷ1)
3. Hitung nilai residual dengan notasi i
4. Lakukan regresi dengan 1 sebagai variabel tergantung dan masukkan 1-1
sebagai variabel bebas, atau
1 = a + b1X1 + b2X2 + 1-1 + e
5. Menghitung nilai X2 hitung dengan rumus X2 = (n-1)*R2
6. Menarik kesimpulan dengan membandingkan X2 dengan X2 tabel dengan df=(,
n-1). Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, hal itu menunjukkan adanya masalah
otokorelasi. Sebaliknya, jika X2 hitung ≤ X2 tabel, hal itu menunjukkan tidak
terjadi masalah otokorelasi.
Pengujian gejala otokorelasi dengan Lagrange Multiple (LM Test)
menggunakan program SPSS dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Meregresikan variabel bebas terhadapa variabel tergantung dengan langkah
sebagai berikut
a. Buka file Uji Otokorelasi
b. Klik Analize, Regression, Linear
12

c. Masukkan variabel Volume Penjualan pada kotak Dependent


d. Masukkan variabel Iklan dan Personal Selling pada kotak Independent(s)

e. klik save pada kotak residual, klik unstandardized lalu continue


13

f. Abaikan pilihan yang lain lalu klik ok


g. Kembali ke data editor, sekarang kita sudah memiliki variabel baru
unstandardized residual, yaitu RES_1.
2. Langkah berikutnya adalah mentransformasikan nilai, residual ke dalam lag(1)
dengan langkah sebagai berikut:
a. Dari menu utama SPSS, pilih transform, computer.
b. Pada target variabel, isi dengan Ut_1
c. Pada numeric expresion, isi dengan Lag(RES_1) dengan diketikkan atau
melalui functions Lag(numexpr), pilih unstandardized residual.

d. Klik ok
Tampak bahwa pada data view terjadi penambahan dua kolom sebagai akibat
proses perhitungan (save) dan compute diatas, yaitu sebagai berikut:
14

3. Meregresikan variabel bebas dan Lag(1) residual terhadap nilai residual dengan
langkah sebagai berikut:
a. Klik analize, regression, linear.
b. Masukan variabel RES_1 pada kotak Dependent.
c. Masukkan variabel iklan, personal selling dan lag(1) unstandardized
residual (Ut-1) pada kotak independent(s).
d. Abaikan pilihan yang lain dan biarkan pada posisi default.

e. Klik ok
Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
15

Analisis model summary:


Pada output model summary diatas terlihat bahwa nilai R2 sebesar 0,066.
Nilai R2 ini digunakan sebagai dasar bentuk menghitung nilai X2 hitung dengan
rumus X2 = (n-1)*R2 jika nilai X2 hitung ≤ X2 tabel, hal itu menunjukkan tidak terjadi
masalah otokorelasi. Kesimpulannya, berdasarkan output diatas diperoleh nilai R2
sebesar 0,486 dan jumlah pengamatan sebanyak 25, maka X2 hitung sebesar:
(24 0,066)= 1,584, sedangkan nilai X2 tabel dengan df: (1;0,05) sebesar 3,841.
Karena nilai X2 hitung (1,584) < X2 tabel (3,841), maka model persamaan regresi
tidak mengandung masalah otokorelasi. Hasil uji otokorelasi antara uji durbin-
watson dengan uji langrange Multiplier (LM-test) memberikan kesimpulan yang
sama.
2.4 Uji Otokorelasi Dengan Metode Breusch-Godfrey (B-Gtest)
Uji breusch-godfrey (B-Gtest) digunakan untuk menguji adanya masalah
otokorelasi dengan tingkat tinggi. Uji ini dikembangkan oleh breusch dan godfrey.
Uji ini mengasumsikan bahwa faktor pengganggu diturunkan dengan mengikuti path
order otoregressive scheme. Adapun langkah-langkah dari uji breusch-godfrey (B-
Gtest) ini adalah:
1. Membuat persamaan regresi
2. Hitung nilai residual dengan notasi µi
3. Hitung nilai Lag residual dengan notasi µt-1, sampai dengan µt-p.
4. Lakukan regresi dengan µt sebagai variabel tergantung dan masukkan µt-1
sebagai variabel bebas, atau : µt = ƿ1µt-1 + ƿ2µt-2 +....+ ƿpµt-p +et
5. Menghitung nilai X2 hitung dengan rumus X2 = (n-p)*R2
6. Menarik kesimpulan dengan membandingkan X2 hitung dengan X2 tabel
dengan df=(a,p). Jika nilai X2 hitung > X2 tabel menunjukkan adanya masalah
otokorelasi. sebaliknya, jika X2 hitung ≤ X2 tabel menunjukkan tidak terjadi
masalah otokorelasi.
Untuk menguji gejala otokorelasi dengan breusch-godfrey (B-Gtest)
menggunakan program SPSS dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Meregresikan variabel terhadap variabel tergantung , dengan langkah sebagai
berikut:
a. Buka file uji otokorelasi
b. Klik analize, regression, linear.
16

c. Masukan variabel volume penjualan pada kotak Dependent.


d. Masukkan variabel iklan dan personal selling pada kotak independent(s).

e. Klik save pada kotak residual, klik unstandardized lalu continue.


17

f. Abaikan pilihan yang lain, langsung klik ok


g. Kembali ke data editor, sekarang kita sudah memiliki variabel baru
unstandardized residual, yaitu RES_1.

Langkah berikutnya adalah mentransformasikan nilai residual ke dalam


lag(1) dengan langkah sebagai berikut:
a. Dari menu utama SPSS, pilih transform, computer.
b. Pada target variabel, isi dengan Ut_1
c. Pada numeric expresion, isi dengan Lag(RES_1) dengan diketikkan atau
melalui functions Lag(numexpr), pilih unstandardized residual.

Langkah berikutnya adalah mentransformasikan nilai residual ke dalam


lag(2) dengan langkah sebagai berikut:
a. Dari menu utama SPSS, pilih transform, computer.
b. Pada target variabel, isi dengan Ut_2
c. Pada numeric expresion, isi dengan Lag(RES_1,2)
18

d. Klik ok
Tampak bahwa pada data view terjadi penambahan tiga kolom sebagai
akibat proses perhitungan (save) dan compute diatas, yaitu sebagai
berikut:

4. Regresikan ut_1 dan ut_2 terhadap nilai residual (RES_1) dengan langkah
sebagai berikut:
a. Klik analize, regression, linear.
b. Masukan variabel RES_1 pada kotak Dependent.
c. Masukkan ut_1 dan ut_2 pada kotak independent(s)
d. Abaikan pilihan yang lain
19

e. Pada options, non aktifkan include contant in equation lalu klik continue

f. Klik ok
Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
20

Analisis Model Summary:


Pada output model summary diatas terlihat bahwa nilai R2 sebesar 0,031.
Nilai R2 ini digunakan sebagai dasar bentuk menghitung nilai X2 hitung dengan
rumus X2 = (n-p)*R2 jika nilai X2 hitung ≤ X2 tabel menunjukkan tidak terjadi
masalah otokorelasi. Kesimpulannya, berdasarkan output diatas diperoleh nilai R2
sebesar 0,486 dan jumlah pengamatan sebanyak 25, p=2, maka X2 hitung sebesar:
(23 x 0,031)= 0,713, sedangkan nilai X2 tabel dengan df: (2;0,05) sebesar 5,991.
Karena nilai X2 hitung (0,713) < X2 tabel (5,991), maka model persamaan regresi
tidak mengandung masalah otokorelasi.
2.5 Uji Otokorelasi Dengan Metode Run Test
Run Test merupakan salah satu analisis non parametrik yang dapat digunakan
untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi yang tinggi. Jika antar residual
tidak terdapat korelasi maka dikatakan bahwa nilai residual adalah acak atau random.
Run Test digunakan untuk melihat apakah data residual terjadi secara random atau
tidak (sistematis). Langkah untuk melakukan uji otokorelasi dengan Run Test adalah
sebagai berikut:
a. Membuat persamaan regresi
b. Mencari nilai prediksinya (Ŷ)
c. Mencari nilai residualnya (Y- Ŷ)
d. Mencari nilai residual terstandarisasinya
e. Benghitung nilai median dari data residual terstandarisasinya
21

f. Berilah tanda - (negatif) jika nilai residual terstandarisasi lebih kecil dari
median dan berilah tanda + (positif) jika nilai residual terstandarisasi lebih
kecil dari median
g. Menghitung jumlah Run. Jumlah Run merupakan suatu sequene dari tanda-
tanda yang sama sejenisnya yang dibatasi oleh tanda dari jenis lainnya
(terdapat dua tanda yaitu – dan +). Misalnya untuk tanda sequene (-++),
dianggap 2 Run(-+-), dianggap 3 Run (-++-++), dianggap 4 Run dan
seterusnya.

Pengujian gejala otokorelasi dengan Run Test menggunakan SPSS dilakukan


dengan langkah sebagai berikut:
1. Meregresikan variabel bebas terhadap variabel tergantung dengan langkah
sebagai berikut:
a. Buka file uji otokorelasi
b. Klik analize, regression, linear.

c. Masukan variabel volume penjualan pada kotak Dependent.


d. Masukkan variabel iklan dan personal selling pada kotak independent(s).
22

e. Klik save... Pada kotak Residual, klik Unstandardized lalu Continue

f. Abaikan pilihan yang lain lalu klik OK


g. Kembali ke Data Editor, sekarang kita sudah memiliki variabel baru.
Unstandardized Residual, yaitu RES_1

Menghitung jumlah Run dengan median sebagai cut point. Langkah-langkahnya


adalah sebagai berikut :
a. Klik Analize, Non Parametric Test, Run
23

b. Masukkan variabel RES_1 pada kotak Test Variabel List


c. Pada Cut Point, pilih Median

d. Abaikan pilihan yang lain, klik OK


Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Analisis Runs Test:


Pada output Runts Test diatas terlihat bahwa nilai test 0,22026 sedangkan
nilai probabilitasnya adalah 0,676. Untuk menyimpulkan apakah terjadi gejala
otokolerasi atau tidak maka nilai test dibandingkan dengan nilai tabel atau nilai
probabilitas dibandingkan dengan nilai alphanya.
Kesimpulannya, dari lembar kerja diatas diketahui bahwa jumlah Run = 15,
jumlah tanda negatif – (n1)= 12, jumlah tanda + (n2) = 13. Berdasarkan tabel nilai r
untuk uji Runs dengan = 0,05 diketahui bahwa batas penerimaan bawah adalah 7
dan batas penerimaan atas adalah 19. Oleh karena r(=15 run) terletak masih dalam
rentang nilai 27 dan 19 (daerah terima) maka hipotesis nihil yang menyatakan nilai
residual menyebar secara acak diterima. Berdasarkan output tersebut juga dapat
24

diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,676 lebih besar dari 0,05 sehingga hipotesis
nihil menyatakan nilai residual menyebar secara acak diterima. Dengan demikian
maka tidak terjadi otokolerasi dalam persamaan regresi tersebut.
Hasil uji otokolerasi antara uji Durbin-Watson, uji Langrange Multiplier
(LM-Test) Breusch-Godfrey (B= G Test) dan Run Test memberikan kesimpulan
yang sama.
9.6 Konsekuensi dan Cara Mengatasi Pelanggaran Otokolerasi
Menurut Gujarati (1995) dalam Aliman(1999) ada beberapa konsekuensi dari
munculnya masalah otokolerasi dalam analisis regresi, yaitu sebagai berikut :
1. Penaksir OLS unbiased dalam sampel yang dilakukan berulang dan konsisten, tetapi
sebagaimana dalam kasus heteroskedastisitas, penaksir OLS tadi tidak lagi efisien
(mempunyai varian minimum), baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar
2. Estimasi varian dari penaksir-penaksir OLS adalah bias dimana hasil perhitungan
varian dan kesalahan baku yang sebenarnya. Akibatnya, nilai t-statistik penaksir OLS
tersebut akan tinggi, padahal bila estimasi model regresi dari penaksir penaksir OLS
bila tidak terjadi atau tidak terdapat masalah otokolerasi, mungkin akan mempunyai
t-statistik yang kecil. Akibatnya, nilai t statistik dan nilai F-statistik tidak dapat
dipercaya, karena hal itu akan menyesatkan. Hal ini akan berakibat :
a. Formulasi untuk menghitung error variance (2= RSS/degree of freedom) akan
bias 2 (penaksir t varian) akan mengestimasi terlalu rendah (underestimate)
b. Nilai R2 yang dihasilkan akan lebih tinggi daripada yang seharusnya sehingga R2
tersebut tidak dapat dipercaya
c. Nilai variance dan kesalahan baku yang akan digunakan untuk peramalan tidak
akan efisien.
Menurut Gujarati (1995), untuk melakukan perbaikan jika terjadi masalah
otokolerasi, dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
1. Dengan membuat persamaan perbedaan yang digenaralisasikan
Metode ini dilakukan jika struktur otokorelasi diketahui. Metode ini pada
prinsipnya dilakukan dengan melakukan transformasi dari persamaan regresi
linear biasa dengan memasukkan unsur  dalam model persamaan. Untuk
memperjelas transformasi kami sajikan persamaan berikut :
Persamaan awal : Y1 = o + 1X1 + t
Persamaan setelah transformasi : (Y1 - Yt-1) = o(1- ) + 1(X1- Xt-1) + t
25

Sedangkan nilai  sendiri merupakan koefisien regresi yang diperoleh dengan


meregresikan nilai residu periode sebelumnya (t-1) terhadap nilai residu pada
periode t(t)
Ut = t-1 + t
Dengan prosedur pembedaan ini kita kehilangan satu observasi. Hal ini karena
observasi pertama tidak mempunyai pendahulu. Untuk menghindarkan
kehilangan satu observasi ini, observasi pertama atas Y dan X ditransformasikan
sebagai berikut :
Y1√1 − 2 dan X1√1 − 2
2. Dengan metode perbedaan pertama
Metode ini dilakukan jika struktur otokorelasi tidak diketahui. Metode ini pda
prinsipnya melakukan transformasi dari persamaan regresi linear biasa dengan
mengurangi nilai varaiabel pada periode t dengan nilai variabel pada periode t-
1. Untuk memperjelas transformasi, disajikan persamaan sebagai berikut :
Persamaan awal : Y = o + 1X1 + t
Persamaan setelah transformasi : (Yt – Yt-1) = 1(X1-Xt-1) + t
Atau : Yt =o + X1 + t
Satu sifat penting dari model pembedaan pertama adalah tidak ada unsur
intercept didalamnya. Tetapi jika model yang asli adalah :
Yt = o + 1X1 + 2t + t
Dimana t adalah variabel trend dan di mana t mengikuti skema aotoregresif
derajatpertama. Maka transformasi perbedaan pertamadari persamaan diatas
adalah :
Yt : o + X1 +2 +t
Ternyata setelah dilakukan transformasi tampak adanya unsur intercept, yaitu
2. Jadi jika ada unsur intercept dalam bentuk pembedaan pertama, hal itu
menunjukkan bahwa ada unsur trend linear dalam model asli.
3. Dengan metode persamaan perbedaan yang digenaralisasikan dimana
didasarkan pda statistik Durbin Watson

Metode ini dilakukan jika struktur otokorelasi tidak diketahui. Metode ini pada
prinsipnya melakukan transformasi dari persamaan regresi linear biasa dengan
26

memasukkan unsur dalam model persamaan. Untuk memperjelas

transformasi, disajikan persamaan berikut :


Persamaan awal : Yt =o + 1X1 + t
Persamaan setelah transformasi : (Yt – Yt-1) = o(1- ) + 1(X1- Xt-1) + t

Berbeda dengan metode pertama, untuk memperoleh nilai Theil dan Nagar (1961)

membuat persamaan sebagai berikut :


𝑑
𝑁2 (1 − ) + 𝑘2
2
=
𝑁2 − 𝑘2

Dimana :
N = Banyaknya observasi
D = statistik Durbin Watson
K = banyaknya koefisien (termasuk intersep) yang ditaksir.
Untuk menghindari hilangnya observasi yang pertama, karena observasi pertama
tidak memiliki nilai sebelumnya, maka nilai Y dan X observasi pertama
ditransformasikan sebagai berikut :
Y1√1 − 2 dan X1√1 − 2
Untuk memberikan ilustrasi metode ini kami berikan contoh seperti yang disajikan
dalam buku Gujarati (1995), sebagai berikut :
Model awal persamaan regresi :
Ln HWIt = o + 1 In Ut + 
Keterangan :
HWI : Indeks ingin bantuan
U : Pengangguran
Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh persamaan berikut :
Ln HWIt = 3,1698 – 1,5316 In Ut + 
Sb = (0,0487)(0,0719)
T = (65,0883)(21,3018)
R2 = 0,9516 d= 0,9021
27

Dengan jumlah observasi 24, jumlah variabel bebas 1, dan tingkat toleransi  = 0,05
maka diperoleh nilai dL= 1,27 dan dU = 1,45. Karena dhitung sebesar 0,9021 lebih
kecil dari dL, maka ada masalah otokorelasi positif.
Karena regresi mengandung masalah otokorelasi maka diperlukan tindakna
perbaikan. Untuk melakukan perbaikan diperlukan taksiran nilai  (dengan
mengasumsikan mekanisme otoregresif derajat pertama) dan menggunakannya untuk
mentransformasikan data dengan cara perbedaan yang digenaralisasikan. Dan karena
nilai Durbin Watson hitung tersedia, kita dapat memperoleh nilai  taksiran
menggunakan teknik Theil Nagar, sebagai berikut
𝑑
𝑁2 (1 − 2 ) + 𝑘2
=
𝑁2 − 𝑘2
Sehingga
0,9021
242(1− )+22
= 2
= 0, 5598
242−22

Dengan menggunakan taksiran ini kita dapat mentransformasikan data kita sebagai
berikut :
(In HWIt – 0,5598 In HWIt-1) dan (In Ut – 0,5598 In Ut -1)
Yaitu mengurangkan 0,5598 kali ini variabel sebelumnya dari nilai saat ini. Sed
angkan nilai pertama dari HWI dan U ditransformasikan sebagai berikut :
𝑑
𝑁2 (1 − 2 ) + 𝑘2
=
𝑁2 − 𝑘2
√(1 − 0,5598 2) In HWIt dan √(1 − 0,5598 2 In Ut
Setelah semua ini nilai variabel ditransformasikan menjadi HWIt* dan Ut* dan
kemudian dilakukan analisis regresi maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Ln HWIt* = 1,4091 – 1,4604 In Ut*
Sb = (0,0397)(0,1320)
T = (35,4937)(11,0636)
R2 = 0,8466 d = 1,7438
Dengan jumlah observasi 24, jumlah variabel bebas 1 dan tingkat toleransi 
= 0,05 maka diperoleh nilai dL = 1,27 dan dU = 1,45. Karena nilai d hitung sebesar
1,7438, maka tidak ada masalah otokorelasi.
28

Unsur intercept dalam persamaan tersebut adalah suatu taksiran dari 0 (1-). Oleh
karena itu suatu taksiran dari 0 dapat diperoleh sebagai  (1-0,5590) = 1,4091 ;
yaitu  = 3,2010
BAB 3 : PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Uji otokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara
anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time-series) atau
ruang (cross section).ada beberapa penyebab munculnya masalah otokorelasi dalam
analisis regresi, yang dapat mengganggangu hasil dari analisis regresi.
Menurut Ghozali (2009) untuk menguji apakah hasil estimasi model regresi
mengandung korelasi atau tidak, maka dilakukanlah Uji Durbin Watson. Metode lain
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis autokerelasi adalah Uji Lagrange
Multiple (LM Test) digunakan untuk menguji adanya masalah otokorelasi tidak
hanya pada derajat pertama (first order) tetapi juga digunakan pada berbagai tingkat
derajat otokorelasi., Uji breusch-godfrey (B-Gtest), digunakan untuk menguji adanya
masalah otokorelasi dengan tingkat tinggi. Uji Otokorelasi Dengan Metode Run
Test, digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi yang tinggi.

3.2 SARAN
Dengan mempelajari ekonometri pelayanan kesehatan diharapkan mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian Uji Asumsi Klasik otokorelasi, berbagai metoda
yang digunkan dan aplikasinya dalam SPSS serta menggunakan secara efektif dan
efisien saat berada dalam lingkungan kerja.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Suliyanto. Ekonometrika Terapan. Yogyakarta: CV. Andi Offset; 2011

Anda mungkin juga menyukai