PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan suatu reaksi
terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I (IgE-mediated),
namun juga dapat disebabkan oleh cell-mediated, atau keduanya. Alergi makanan perlu
dibedakan dengan reaksi simpang makanan (adverse food reaction) yang lain, karena
berbeda patofisiologinya. Reaksi alergi makanan melibatkan tiga komponen utama, yaitu
alergen makanan, imunoglobulin E (IgE), dan sel mast dan basofil.1,2,3
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa
angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Survei di Amerika
menunjukkan bahwa sepertiga orang dewasa di sana percaya bahwa mereka memiliki
alergi makanan. Namun prevalensi penderita dengan alergi makanan yang telah
dikonfirmasi sebanyak 3,5-4% pada seluruh populasi di Amerika Serikat, 8% pada anak-
anak di bawah 3 tahun, 6-8% pada anak usia sekolah, dan 2,5% pada dewasa.
Kecenderungan peningkatan prevalensi alergi makanan selama 5 tahun mencapai 55% per
tahun.1,3
Gejala dan tanda yang timbul pada alergi makanan bervariasi tergantung pada
organ yang terkena, misalnya pada sistem pencernaan, sistem respirasi, atau pada kulit.
Tingkat keparahan gejala alergi juga berbeda-beda tiap pasien, mulai dari yang ringan,
contohnya gatal di bibir atau mulut, sampai yang berat dan mengancam nyawa, contohnya
anafilaksis. Alergi makanan sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, dan lebih
sering menyebabkan gejala yang berat dan mengancam nyawa. Oleh karenanya, maka
gejala dan manajemen penatalaksanaan alergi makanan perlu diketahui.
Gambar 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan menurut American Academy of Allergy and
Immunology
2
Reaksi simpang makanan (adverse food reactions) adalah istilah umum untuk
reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang dikonsumsi. Reaksi ini dapat
merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan. Alergi
makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang menyimpang karena
masuknya bahan penyebab alergi ke dalam tubuh, mekanisme reaksi ini dapat dimediasi
oleh IgE atau non-IgE. Intoleransi makanan adalah reaksi makanan non imunologik dan
merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Ada
berbagai variasi tipe intoleransi makanan, seperti keracunan makanan (food poisoning),
reaksi metabolik terhadap makanan dan beberapa penyebab yang tidak jelas dari reaksi
simpang makanan, seperti reaksi idiosinkrasi. Keracunan makanan terjadi ketika
makanan yang mengandung toksin dikonsumsi. Pada beberapa situasi, keracunan makanan
dapat mirip dengan reaksi alergi. Contohnya pada keracunan ikan scromboid, tuna, atau
ikan lain yang mengandung banyak histamin yang diproduksi oleh bakteri yang
mengkontaminasi. Ketika ikan scromboid dikonsumsi, gejala yang timbul sangat mirip
menyerupai reaksi alergi terhadap makanan. Pada reaksi metabolik terhadap makanan,
tubuh tidak mampu mencerna secara adekuat zat yang terkandung pada makanan
penyebab. Contohnya pada orang dengan intoleransi laktosa, memiliki defisiensi enzim
laktase di usus yang diperlukan untuk mencerna gula susu, laktosa. Ketika susu atau
produk-produk susu lainnya dikonsumsi, pada individu ini akan timbul gejala mual,
produksi gas berlebihan, dan, diare.1,4,5
Reaksi makanan tipe lain disebut idiosinkrasi makanan (food idiosyncrasy).
Idiosinkrasi makanan adalah respon abnormal terhadap makanan atau substansi makanan.
Reaksinya dapat menyerupai atau berbeda dari gejala alergi makanan yang sebenarnya.
Reaksi idiosinkrasi terhadap makanan merupakan respon abnormal kuantitatif terhadap
substansi makanan atau zat tambahannya yang berbeda dalam efek fisiologik atau
farmakologiknya. Respon tipe ini menyerupai reaksi hipersensitif tapi tidak melibatkan
sistem imun seperti yang terlihat pada reaksi alergi makanan. Sensitifitas sulfit atau sulfit
yang menginduksi asma (sulfite-induced asthma) adalah contoh idiosinkrasi makanan yang
menyerang sejumlah kecil individu dalam populasi. Sulfite-induced asthma dapat
berpotensi mengancam nyawa.1,4,5
Reaksi makanan non alergi dapat juga terjadi akibat masalah kesehatan lainnya,
seperti pada anak-anak dengan gastroenteritis viral kemudian berkembang menjadi
intoleransi laktosa. Pada beberapa kejadian, mekanisme terjadinya reaksi ini tidak
3
diketahui. Faktor psikologis mungkin memainkan peran penting pada kasus-kasus
lainnya.5
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga
dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan
timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik
seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas
atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor
psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Faktor pencetus sebetulnya bukan
penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan
alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan
penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang
5
timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi
meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul.5
Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan,
kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu
penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan
sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena
dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat
tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar.5
6
Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari
dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan
epitel (dinding usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi
masuknya benda asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Struktur limfoepiteal usus
yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil,
patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT
mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan
kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen yang sama.
Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja untuk mencegah penetrasi
benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan protein penyebab alergi makanan ke dinding
batas usus (sawar usus).1,6,7
Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk
selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T
tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe.
Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-
sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus. Pada umumnya
7
anak-anak membentuk antibodi dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi
terdapat kecenderungan lebih banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi
sel mast pada saluran cerna, saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel
intestinal memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan
antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran cerna,
kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap meningkat. Benda asing yang larut di
dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna
dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah
toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh diambil oleh sel M
(sel epitel khusus yang melapisi patch Peyeri) dengan hasil terjadi imunitas aktif dan
pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+
yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama.
Sel tersebut terletak di limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis
dan seringnya paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen
patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan penurunan
produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia.1,6,7
Selanjutnya alergi yang diperantarai IgE berkembang dalam 2 tahap:7
1. Tahap pertama dikenal sebagai sensitisasi dan terjadi ketika antigen (hampir selalu
sebagai protein) ditangkap oleh sel, yang disebut limfosit B progenitor, mampu
mematangkan menjadi sel pemroduksi antibodi (antibody-producing cells). Sel ini
memecah antigen dan menghasilkan fragmen peptida yang terikat secara selektif
pada molekul major histocompatibility complex (MHC) class II dan diangkut ke
permukaan sel. Kompleks molekul MHC dan peptida asing pada permukaan
limfosit B akan dikenali oleh reseptor sel T dari sel T helper CD4+. Kejadian ini
merangsang berbagai perubahan, termasuk maturasi sel B sehingga dapat
mengeluarkan antibodi. Pada tubuh yang fungsinya normal, akan memproduksi
IgG dan IgA terhadap protein makanan, namun pada individu yang memiliki
predisposisi, hasil respon imun akan membentuk Th2 yang memulai produksi IgE
spesifik. Antibodi tipe ini biasanya hanya diproduksi pada respon terhadap infeksi
parasit, seperti malaria.
2. Tahap kedua merupakan tahap elisitasi terhadap reaksi alergi. IgE berhubungan
dengan reseptor IgE spesifik di permukaan basofil atau sel mast, yang sudah
8
mengandung mediator inflamasi seperti histamin. Pada paparan berikutnya
terhadap agen yang telah tersensitisasi, sel yang berikatan dengan IgE akan saling
terikat dengan agen, menyebabkan sel mast melepaskan mediator inflamasi.
Mediator tersebut akan merangsang perubahan fisiologis yang menimbulkan
manifestasi yang disebut gejala reaksi alergi. Gejala tersebut biasanya timbul cepat
(dalam beberapa menit) setelah paparan dengan alergen dan bervariasi, meliputi
gejala respiratorik, gastrointestinal, dan reaksi kulit.
Gejala yang paling sering dari alergi makanan melibatkan traktus gastrointestinal,
dimulai dari pembengkakan atau rasa gatal pada bibir, mulut, dan/atau tenggorok. Gejala
9
ini sering disebut juga sebagai oral allergy syndrome. Gejala pada bibir, mulut, dan
tenggorok ini sering terjadi pada penderita yang menderita alergi terhadap pollen, sehingga
disebut juga pollen-food allergy syndrome. Bila makanan sudah masuk ke lambung,
alergen akan merangsang degranulasi sel mast, dan melepas histamin yang mengakibatkan
gastrointestinal anafilaksis atau hipersensitifitas gastrointestinal tipe segera.
Gastrointestinal anafilaksis ditandai dengan peningkatan peristaltik usus, sehingga terjadi
mual, muntah, nyeri perut/kram, dan diare.1,2,3
Sedangkan gejala yang sering terjadi pada kulit adalah urtikaria akut, angioedema,
dan ruam kemerahan berbentuk morbiliformis. Reaksi alergi yang menyerang traktus
respiratorius menyebabkan timbulnya rinokonjungtivitis akut (bersin-bersin, hidung
berair/rinorea, mata merah dan berair), hingga timbul gejala sesak atau kesulitan bernafas,
dan nafas terasa pendek.1,2,3
Anafilaksis adalah kondisi yang jarang terjadi namun berpotensi menjadi fatal,
dimana beberapa organ yang berbeda mengalami reaksi alergi yang bersamaan. Gejala
berlangsung cepat progresif, dan meliputi rasa gatal hebat, pembengkakan di tenggorok,
kesulitan bernafas, penurunan tekanan darah, penurunan kesadaran, dan kadang berlanjut
kepada kematian. Gejala yang paling berbahaya adalah kesulitan bernafas dan penurunan
tekanan darah atau syok, yang berpotensi fatal. Contoh umum alergi yang berpotensi
mengancam nyawa adalah alergi terhadap makanan dan sengatan serangga. Anafilaksis
yang disebabkan oleh alergi makanan dikenal sebagai food-induced anaphylaxis. Reaksi
alergi yang mengancam nyawa juga dapat terjadi pada pemberian obat atau pada karet
latex dan berhubungan dengan latihan fisik. Kira-kira 50 kematian per tahun disebabkan
karena anafilaksis sengatan serangga dan 150-200 kematian per tahun disebabkan karena
anafilaksis dari makanan, kebanyakan karena alergi kacang tanah dan walnut.1,8
Anafilaksis dapat terjadi segera atau sampai dua jam setelah paparan alergen.
Sekitar sepertiga reaksi anafilaksis, gejala awal diikuti oleh serangan gejala lambat dua
sampai empat jam setelahnya. Kombinasi dari gejala fase awal yang diikuti gejala fase
lambat disebut reaksi bifasik. Gejala fase lambat sering terjadi pada traktus respiratorik
dan mungkin lebih berat dibandingkan saat fase cepat. Sekitar 20% rekasi bifasik terjadi
pada reaksi anafilaksis.1,8
10
Gambar 4. Seorang anak yang mengalami anafilaksis akibat alergi makanan (kiri). Model suntikan
epinefrin yang digunakan pasien pada tubuhnya sendiri (kanan).
Setiap reaksi alergi makanan memiliki potensi berkembang menjadi situasi yang
mengancam nyawa. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko reaksi anafilaksis yang
berat sampai fatal: asma yang bersamaan/konkomitan, riwayat anafilaksis sebelumnya,
alergi kacang tanah, walnut, dan/atau kerang-kerangan; dan tertundanya atau kegagalan
pemberian epinefrin. Alergi makanan lebih sering pada anak-anak yang lebih muda.1,8
Selain reaksi yang diperantarai oleh IgE, reaksi alergi makanan juga dapat terjadi
akibat cell-mediated, atau gabungan antara IgE-mediated dan cell-mediated. Reaksi alergi
non IgE-mediated dapat terjadi pada traktus respiratorius, traktus gatrointestinal, dan pada
kulit.1,2,3
Reaksi alergi makanan non IgE-mediated pada traktus respiratorius adalah:1,3
1) Asma; merupakan reaksi alergi gabungan antara IgE dan cell-mediated.
Walaupun jarang terjadi, namun asma akibat reaksi alergi makanan dapat
terjadi. Orang dengan asma dapat terangsang oleh alergi makanan dan
meningkatkan risiko terjadinya reaksi yang mengancam nyawa. Gejala khas
pada asma adalah batuk-batuk berulang, dispnea, dan wheezing.
2) Sindrom Heiner; merupakan penyakit yang jarang terjadi, biasanya
mengenai bayi dan balita. Penyebab primer oleh karena konsumsi susu,
ditandai oleh gejala saluran nafas bawah yang kronik atau rekuren yang
berhubungan dengan: infiltrat paru-paru, gejala saluran nafas atas, gejala
gastrointestinal, hemosiderosis paru-paru, anemia defisiensi besi, gagal
tumbuh.
11
Kelainan Mekanisme
Rinokonjungtivitis akut IgE-mediated
Asma IgE dan cell mediated
Sindrom Heiner Belum jelas, diperkirakan kombinasi IgE dan
cell-mediated
12
iritabilitas usus, gangguan tidur, tidak berespon terhadap obat refluks
konvensional.
2) Gastroenteritis eosinofilik alergi; menyerupai esofagitis eosinofilik alergi,
dimana terdapat infiltrasi eosinofil pada mukosa di gaster dan intestinal.
Gejala yang muncul antara lain nyeri abdomen rekuren, muntah proyektil,
diare, terdapat darah pada feses, anemia defisiensi besi, berat badan turun,
atau gagal tumbuh.
3) Food protein-induced proctocolitis; gangguan gastrointestinal yang
disebabkan oleh mekanisme cell-mediated. Biasanya terjadi pada beberapa
bulan setelah kelahiran oleh karena protein makanan yang masuk lewat air
susu ibu (pada 50% bayi) atau karena susu formula. Bayi terlihat sehat dan
tumbuh dengan baik, namun dapat teridentifikasi karena ditemukannya
perdarahan jelas atau tersamar pada feses. Lesi terjadi pada kolon distal
berupa edema mukosa, disertai infiltrasi eosinofil pada epitel dan lamina
propria.
4) Food protein-induced enterocolitis; akibat cell-mediated. Gejala timbul
paling banyak akibat konsumsi formula susu sapi atau protein kedelai.
Gejala berupa diare, muntah 1-3 jam setelah konsumsi alergen, distensi
abdomen, dan kram perut.
5) Food protein-induced enteropathy; umumnya terjadi pada beberapa bulan
pertama kelahiran dengan diare (steatorea ringan sampai sedang pada 80%
kasus) dan pertumbuhan berat badan yang kurang. Hasil biopsi
memperlihatkan atropi pada sebagian vilus mukosa usus, tampak infiltrasi
sel mononuklear, dan sedikit eosinofil.
Kelainan Mekanisme
Oral allergy syndrome IgE-mediated
Gastrointestinal anafilaksis IgE- mediated
Esofagitis eosinofilik alergi IgE-mediated dan/atau cell-mediated
Gastroenteritis eosinofilik alergi IgE-mediated dan/atau cell-mediated
Food protein-induced proctocolitis Cell-mediated
Food protein-induced enterocolitis Cell-mediated
Food protein-induced enteropathy Cell-mediated
13
V. PEMERIKSAAN PADA ALERGI MAKANAN
Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesis
(mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat
keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi hingga
kondisi sekarang. Bila dari anamnesis, gejala dan tanda mendukung ke arah alergi
makanan, maka dapat dilakukan tes alergi.1,3,10
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat banyak dan
beragam. Cara yang digunakan bisa dengan in vivo atau in vitro. Pemeriksaan in vivo yang
biasa digunakan pada alergi makanan adalah tes kulit yang meliputi tes cukit (skin prick
test/SPT), tes intradermal, dan tes patch; dan tes provokasi makanan (food challenge).
Sedangkan tes alergi in vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE (RAST dan
ImmunoCAP), antibodi monoklonal dalam sirkulasi, pelepasan histamin oleh basofil
(Basofil histamine release assay/BHR), dan intestinal mast cell histamine release
(IMCHR).3,10
15
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang pasien
makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC adalah gold
standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. DBPCFC
merupakan metode paling reliabel karena menghilangkan bias pada dokter maupun pada
pasien. Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada kita bahwa: sebagian besar
riwayat penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan penyebab pada 90% kasus,
sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis makanan saja.2,3,10
Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan riwayat
yang jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari makanan yang dicurigai
selama paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi). Antihistamin dihentikan minimal 5 hari
sebelumnya. Akses intravena harus disiapkan jika tes dilakukan pada pasien dengan
riwayat reaksi alergi berat. Pasien harus bebas gejala dan puasa pada hari pengujian.
Prosedur pengujian harus dalam pengawasan tenaga medis secara intensif. Makanan yang
dicurigai dapat disamarkan pada makanan lain atau kapsul untuk menghilangkan rasa dan
baunya. Tes dengan makanan yang lain dilakukan pada hari yang berbeda. Total dosis
yang biasanya digunakan selama provokasi makanan: 8-10 g makanan kering, 100 ml
makanan basah, dua kali lipat untuk daging atau ikan. Skema dosis provokasi makanan
dibagi menjadi 7 dosis yang semakin meningkat: 1%, 4%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 25%
lagi dari dosis total. Peningkatan dosis baik pada makanan yang diujikan atau plasebo
diberikan setiap 10-30 menit, dan ditunggu reaksinya 30 menit setelah dosis terakhir
diberikan.2,3,10
18
BAB III
PENUTUP
RINGKASAN
Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem
tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan reaksi IgE-mediated,
cell-mediated, ataupun kombinasi keduanya. Alergi makanan perlu dibedakan dengan
reaksi simpang makanan lainnya, seperti keracunan makanan, intoleransi makanan, dan
reaksi idiosinkrasi makanan. Prevalensi alergi makanan di Amerika Serikat sebanyak 3,5-
4% dari seluruh populasi, dengan kejadian terbanyak mengenai anak usia sekolah dan anak
di bawah 3 tahun.
Penyebab alergi makanan adalah alergen, yang sebagian besar berupa glikoprotein
dengan berat molekul 10 sampai 70 kd, tahan terhadap panas, asam, dan enzim proteolitik.
Reaksi alergi yang terjadi dapat diperberat dengan adanya faktor pencetus, berupa faktor
fisik dan psikis.
Alergen yang masuk lewat makanan akan menghadapi barier gastrointestinal.
Barier gastrointestinal memiliki faktor fisikokimia dan faktor seluler yang mencegah
masuknya antigen asing. Imaturitas atau gangguan pada barier gastrointestinal akan
menyebabkan antigen asing, termasuk alergen makanan, masuk ke mukosa usus dan akan
mengaktifkan respon sistem imunologis. Selanjutnya alergen akan mengalami 2 tahap
hingga timbul reaksi alergi, yaitu tahap sensitisasi dan tahap elisitasi.
Gejala klinis reaksi alergi makanan tergantung dari target organ yang terkena,
biasanya mengenai kulit, sistem respiratorik, dan sistem gastrointestinal. Pada masing-
masing target organ perantaranya, manifestasi yang timbul sesuai dengan mekanismenya
apakah IgE-mediated, cell-mediated, atau kombinasi keduanya. Pada kulit dapat terjadi
urtikaria akut, angioedema, dermatitis atopik, dermatitis kontak, atau dermatitis
herpetiformis. Pada sistem respiratorik timbul rinokonjungtivitis akut, asma, dan sindrom
Heiner. Sedangkan pada sistem gastrointestinal akan timbul oral allergy syndrome,
gastrointestinal anafilaksis, esofagitis dan gastroenteritis eosinofilik alergi, Food protein-
induced proctocolitis, induced enterocolitis, dan induced enteropathy.
Diagnosis alergi makanan berdasarkan anamnesis, riwayat keluarga, riwayat
pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi hingga sekarang.
Pemeriksaan untuk alergi makanan dapat in vivo atau in vitro. Pemeriksaan in vivo untuk
19
alergi makanan dengan tes kulit dan tes provokasi makanan. Sedangkan pemeriksaan in
vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE, antibodi monoklonal, pelepasan histamin oleh
basofil, dan pelepasan hitamin oleh sel mast intestinal. Tes provokasi makanan merupakan
baku emas untuk diagnosis alergi makanan.
Jika diagnosis alergi makanan telah ditegakkan, manajemen yang terbukti efisien
adalah menghindari makanan penyebab. Hal tersebut dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan perhatian pasien terhadap label makanan yang dijual. Edukasi dan persiapan
dalam menangani anafilaksis menjadi perhatian berikutnya. Imunoterapi spesifik yang
bermanfaat pada pasien alergi pollen tidak dianjurkan dilakukan pada pasien alergi
makanan, karena risiko anafilaksis. Pengobatan yang masih dalam penelitian adalah terapi
genetik dan anti-IgE.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113: 805 –
19
2. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 717 – 28
3. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125:
116-25
4. Furukawa CT. Nonimmunologic food reactions that can be confused with allergy.
In: Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america.
Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 815 – 27
5. Understanding food allergy. International Food Information Council Foundation.
Washington. 2001
6. Sampson HA. Immunologic mechanisms in adverse reactions to foods. In:
Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america.
Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 701 – 12
7. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology: functions and disorders of the
immune system. Philadelphia: Elsevier Inc. 2004; 11: 193 – 201
8. Sachs MI, Yunginger JW. Food-induced anaphylaxis. In: Anderson JA, editor.
Immunology and allergy clinics of north america. Philadelphia: WB Saunders
Company. 1991; 11(4): 743 – 53
9. Ramirez DA, Bahna SL. Food hypersensitivity by inhalation. Clinical and
molecular allergy. 2009; 7: 4
10. Lieberman JA, Sicherer SH. Diagnosis of food allergy: epicutaneus skin test, in
vitro test, and oral food challenge. Curr Allergy Asthma Rep. 2010
11. Boyce JA, et al. Guideline for the diagnosis and management of food allergy in the
United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J Allergy Clin Immunol.
2010; 126: S1-S58
21