Anda di halaman 1dari 9

Sesuatu menjadi dirinya, bukan karena persamaanya, tapi karena perbedaaannya.

Di dalam anatomi
tubuh monyet dan manusia hampir memiliki kesamaan, tapi tentu tidak bisa dipersamakan, dimana
manusia dikaruniakan akal untuk bernalar dan menimbang kebenaran. Pun demikian Islam yang tidak
bisa disamakan dengan agama lain, Islam memiliki konsep ketauhidan yang jelas berbeda dengan agama
lain.

PEMIMPIN KAFIR
Oleh: Dr. Adian Husaini

Nahdhatul Ulama (NU) dalam Muktamarnya ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabi’ulawwal 1355 H (9


Juni 1936 M), membahas satu masalah bertajuk: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?”
Ditanyakan, “Apakah nama negara kita menurut Syara’ agama Islam?” Jawabnya:
“Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai
sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama
Negara Islam tetap selamanya.” Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta)
adalah “dar-al-Islam”, begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.

Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab “Hudnah wal-Imamah” dijelaskan:


“Kullu mahalli qadara muslimun saakinun bihi… fii zamanin minal azmaani yashiiru daara
Islaamin tajrii ‘alaihi ahkaamuhu fii dzaalika-az-zamaani wa-maa ba’dahu wa-in-qatha’a
imtinaa’ul-musliiina bil-istilaa’il-kuffaari ‘alaihim wa-man’ihim fii-dukhuulihi wa-ikhraajihim
minhu wa-hiina’idzin fa-tastamiituhu daara harbin shuuratan laa-hukman, fa-‘ulima anna ardha
Bataawiy (Jakarta) bal wa-ghaalibu ardhi Jaawaa daara Islamin li-istilaa’il-muslimiina ‘alaihaa
qablal-kuffaari.”(“Semua tempat dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa
tertentu, maka ia menjadi daerah Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat
Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah
terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk
memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini,
penamaannya dengan “daerah perang” (dar-al-harb.pen.) hanya merupakan bentuk formalnya
dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa Tanah Betawi dan bahkan sebagian
besar Tanah Jawa adalah “Daerah Islam” karena umat Islam pernah menguasainya sebelum
penguasaan oleh orang-orang kafir.”)(Lihat buku “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan LTN-NU
Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).

Dalam Muktamarnya ke-30 di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, NU membahas


permasalahan: “Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang
non-Islam?”

Jawabnya: “Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam,
kecuali dalam keadaan dharurat, yaitu: (a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani
sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena factor kemampuan, (b)
Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat
indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat, (c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan
kepada non-Islam itu nyata membawa manfaat. Catatan: Orang non-Islam yang dimaksud berasal
dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.

Dasar pengambilan (hukum tersebut): al-Quranul Karim, At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy
juz IX, hlm 72, al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73, al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV,
hlm.172, al-Ahkam as-Sulthaniyah li-Abil Hasan al-Mawardiy. Secara lebih terperinci, berikut
ini hujjah-hujjah yang mendasari para muktamirin mengambil keputusan tersebut (teks asli
dalam bahasa Arab-nya tidak dikutip dalam tulisan ini):

“Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang beriman.” (QS an-Nisa’:141).

Dalam Kitab At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm 72, disebutkan:
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika
sudah sangat terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir
tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam titimmah
disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang darurat.”
al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73:
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh
orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari
kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena
dharurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang
kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan
umat Islam.”

al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV, hlm.172:


“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan
orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena dharurat.” (Lihat, Ibid, hlm. 551-552).

Dalam forum Bahtsul Masa’il al-Diniyah al-Waqiiyyah saat Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo
Kediri tersebut juga dibahas tentang masalah Doa Bersama antar Umat Beragama. Disebutkan,
bahwa tidak boleh berdoa bersama antar berbagai agama, kecuali cara dan isinya tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Mengutip Kitab Hasyiyatul Jamal juz II, hlm. 119, dikatakan:
“Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan firman
Allah SWT: Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (al-Ra’du:14).”
Juga, dengan mengutip Kitab Mughniyul Muhtaj juz I, hlm. 232 disebutkan:
“Orang kafir dzimmi (yang keamanan dirinya dan hartanya dalam naungan jaminan
pemerintahan Islam) tidak dilarang untuk datang (ke tempat umat Islam) karena mereka berhak
mencari rezeki. Sedangkan rezeki Allah SWT itu sangat luas. Terkadang Allah SWT
mengabulkan harapan mereka sebagai bentuk istidraj dan ketamakan dunia. Kafir dzimmi
tersebut dan orang kafir lainnya tidak diperbolehkan untuk bercampur dengan kita di tempat
peribadahan kita, demikian halnya ketika berkumpul. Percampuran tersebut makruh, dan mereka
harus berbeda dengan kita umat Islam ketika berada di suatu tempat. Hal itu, karena mereka
adalah musuh-musuh Allah SWT, yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu azab dengan
kekufuran mereka itu, dan azab tersebut akan mengenai kita pula.” (Lihat, Ibid, hlm. 532-534).
*****
Berbeda dengan orang yang memiliki cara pandang sekuler, kaum Muslim memiliki cara
pandang (worldview) yang tauhidik; tidak memisahkan antara aspek dunia dan akhirat, antara
aspek fisik dan metafisik. Dunia ini, dalam pandangan Islam, adalah ladang akhirat. Setiap aspek
materi yan terindera, tidak terlepas dari aspek metafisika; aspek ruhaniah, atau aspek ketuhanan.
Secara fisik, telinga, mata, hidung, tangan, kemaluan, memiliki unsur materi yang sama. Tapi,
secara ilahiah, organ-organ ini memiliki makna dan kedudukan yang berbeda. Jangan beralasan
bahwa sama-sama daging, mata pipi dan pantat boleh dibuka dimana saja.

Fakta sama, tetapi cara pandang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula.
Karena itu, akan sangat susah bagi orang sekuler untuk memahami cara berpikir Islam yang
tauhidik. Orang yang tidak mengakui bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah SWT, pasti
menganggap Nabi Muhammad saw telah berdusta, mengaku-aku mendapat wahyu. Ketika al-
Quran menampilkan cerita yang berbeda dengan Bible tentang kisah Luth (yang di Bible disebut
berzina dengan kedua putrinya, Kej.19:30-38 ) maka dituduhlah Muhammad mengubah cerita
dalam Bible.

Kaum sekuler – meskipun secara formal memeluk agama tertentu -- memandang, hidup di dunia
ini hanya memiliki aspek di sini (di dunia saja). Tidak ada urusan dengan Tuhan, dan tidak ada
urusan dengan akhirat. Pada CAP yang lalu, kita sudah mengutip pandangan Prof. Naquib al-
Attas dalam buku klasiknya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978). Prof. al-Attas
menyebut tiga komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1)
disenchantment of nature (pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of
politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama
dari kehidupan).
Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City,
menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan
metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the
liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away
from other worlds and towards this one).

Kita garisbawahi pandangan Prof. al-Attas, bahwa salah satu proses sekulerisasi adalah
“desakralisasi politik”. Politik dibebaskan dari Tuhan; politik bebas dari agama. Politik hanya
dilihat sebagai seni meraih kuasa atau mempertahankan kekuasaan. Politisi dianggap hebat
adalah yang berkuasa. Politisi yang dianggap tidak bermutu adalah yang gagal meraih kuasa.
Meskipun dia jujur. Yang menang dianggap benar. Kekuasaan adalah kebenaran, might is right.
Kaum sekuler biasa berkampanye: “agama jangan dibawa-bawa dalam urusan politik atau
kenegaraan.”

Mungkinkah orang Muslim atau orang Kristen pada saat yang sama juga menjadi orang sekuler?
Ulama terkenal, ketua MUI Pertama, Prof. Hamka, menolak kemungkinan itu.

Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970,
menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang
terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.
Menurut Hamka, Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau
khadam dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah
dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun
terpisah dengan sendirinya dengan agamanya.
Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen saat itu:
"Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara,
agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh
dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang
Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala
Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan
dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali.
Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang
tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu,
atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet"…. "Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau
seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap
hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi
atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang
diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan
yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia,
kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen."

Seorang Kristen yang setia pada kepercayaannya, dia akan berjuang menegakkan nilai-nilai
agama yang diyakininya. Ia akan memuja Yesus sebagai Tuhannya. Sebuah buku berjudul
“Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan
Tubuh Kristus” (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum
misionaris Kristen di Indonesia tersebut.

Kaum Kristen Indonesia, kata buku ini, tidak ingin menyia-nyaiakan lagi kesempatan yang
pernah mereka dapatkan untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka siap melakukan transformasi
Indonesia. Kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat,
sebagaimana pernah terjadi di masa Soeharto: ”Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa
kepada orang Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat
dengan orang Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China
dan Kristen untuk melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di
bidang ekonomi beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya
bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap,
sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut
menuding bahwa dua kelompok (Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang
ada.” (hal. 45).

Dr. Bambang Widjaja, Gembala Sidang Gereja Kristen Perjanjian Baru, dalam tulisannya
berjudul ”Indonesia Siap Mengalami Transformasi” yang dimuat dalam buku ini, menegaskan:
”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya,
Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa,
namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang
bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman
Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat
cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”

Kaum Muslim memandang, kekuasaan dan kepemimpinan punya makna yang fungsi duniawi
dan ukhrawi, aspek fisik dan metafisik. Pemimpin, dalam Islam, dipandang sebagai “junnatun”
(perisai). Sesuai tujuan dari maqashid-asy-syariah, tugas utama pemimpin dalam Islam adalah
hifdzud-din (menjaga agama). Sebab, bagi Muslim, agama-lah yang terpenting dalam hidup.
Iman akan dibawa sampai mati. Keselamatan iman adalah yang paling utama dalam kehidupan.
Karena itu, perlu dipahami, jika para pemikir Muslim senantiasa menempatkan urusan agama
sebagai faktor terpenting. Inilah yang tidak mudah dipahami oleh kaum sekuler yang
menganggap agama sebagai urusan pribadi yang tidak penting. Sebab, bagi mereka, tauhid dan
syirik dipandang sama; iman dan kufur tidak berbeda. Padahal, dalam Islam, syirik adalah dosa
terbesar, karena merupakan kejahatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (QS 31:13).

Konsep Islam tentang kepemimpinan inilah yang perlu dipahami, agar tidak mudah menuduh
kaum Muslim berpikiran picik dan tidak toleran. Setiap agama dan peradaban memiliki batas-
batas toleransi yang berbeda, bergantung pada masalah yang mereka anggap penting. Ketika
keimanan dipandang penting, maka iman akan dijadikan sebagai faktor penilai seseorang. Ketika
faktor ras dianggap benilai tinggi, maka bangsa itu akan mementingkan faktor rasial. Mereka
akan memandang rendah bangsa atau ras lain.

Konsep Islam soal kepemimpinan ini perlu disampaikan secara terbuka, bukan untuk memecah
belah bangsa. Umat Islam merindukan pemimpin yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan
bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Para pendiri dan pemimpin bangsa ini telah
mendiskusikan masalah ini secara terbuka jauh sebelum kemerdekaan. Perdebatan mereka
terekam dengan baik dalam catatan-catatan sejarah. Kejujuran berpikir diperlukan untuk
membagun toleransi. Dalam kondisi apa pun, umat Islam senantiasa mencintai bangsanya, dan
ingin agar bangsanya menjadi negeri yang beradab, adil, dan makmur, sebagaimana
diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945. (Jakarta, 26 September 2014).
JANGAN MEMBERHALAKAN ”MULTIKULTURALISME”!
Oleh: Dr. Adian Husaini

Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, ”multikulturalisme” tampaknya sudah dianggap
sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain,
demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga
diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang.
Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut
paham multikulturalisme.

Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren,
dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme.
Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan.
Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang
Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai
Multikultural Para Da’i”.

Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman
keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut,
kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian
Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain
dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.

Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik
keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. “Konflik ini salah
satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif.
Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi
yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan
aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat,” demikian kutipan paparan pendahuluan hasil
penelitian tersebut.

Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung.
Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran
agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini
harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas
berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama.
Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban
kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan
demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi,
marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama
memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?

Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai
kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan
kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi
orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul
”Hindu Agama Terbesar di Dunia” terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan
terjemah dari artikel berjudul ”Hinduism, the Greatest Religion in the World,” karya Satguru
Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan
itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang
Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal
25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.

Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama
Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: ”Seorang disebut manusia besar
bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada
masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu bila digabung dengan ”anak-anaknya”
berjumlah 1,5 milyar, lebih besar dari Islam. Dan ingat, Hindu bukanlah agama missi yang
agresif seperti Kristen atau Islam. Tetapi kebesaran Hindu terletak pada karakternya,
sumbangannya pada peradaban. Dan dalam membangun budaya dan peradaban, Hindu tidak
pernah menghancurkan budaya dan peradaban yang sudah ada. Sebaliknya Hindu melindungi,
memeliara, dan bahkan mengembangkan mereka.” (bagian pengantar oleh Ngakan Made
Madrasuta).

Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa
keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia
memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin
agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa
dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka
dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi
lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku
Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.

”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing


agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui
keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan
satu berhal baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab
paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali
dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan
penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.

Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu
watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua
keyakinan dan menggantikannya dengan satu ”Teologi Universal”. Pernyataan Dr. Anis itu
sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis
marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan
Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia
menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang
benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah
serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.
Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama
di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam
laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh,
yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap
”multikulturalisme” para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat
kurang baik.

Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai
multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai ”cukup baik”, karena para dai itu percaya
bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen
sekarang ini adalah ahlul kitab.

Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-
hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-
satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali
pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham
multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.

Pada bagian hasil penelitian tentang ”Perasaan Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural”
ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam
penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai
baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang nyaman bertetangga dengan orang yang
berbeda agama, tetapi cukup baik nilai mereka dalam soal kesenangan berteman dengan orang
yang berbeda agama. Para dai itu rata-rata juga merasakan perlunya UU Penyiaran Agama untuk
mengurangi konflik antar umat beragama. Mereka juga rata-rata tidak suka jika penganut agama
lain menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.

Pada bagian ”Kecenderungan Perilaku Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan hasil
yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda
agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3)
penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim,
dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di
daerah Muslim.

Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: ”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para
dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai
kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang
yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima
perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan
kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak
akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama
melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang
yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan
kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah
muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu,
mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan
keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat
mendapat kegembiraan.”

Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka
direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan
antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap
prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan
al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada
ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang
berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk
merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan
bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3)
Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik
diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang
yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu
baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap
paham ”Multikulturalisme”; dan bukan lagi menggunakan parameter: ”Syar’iy atau tidak
Syar’iy”, ”Halal atau Haram”, ”Haq atau Bathil”, ”Bid’ah atau Sunnah”, ”Iman atau Syirik”. Jika
demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham ”Multikulturalisme”.

Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-
paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup
Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat
”kemultikulturalan” seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi,
semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum
Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a’lam. (Depok, 4 Januari
2008).

Anda mungkin juga menyukai