Penjelajah
Belanda yang dikenal sebagai Afrikaner tiba disana pada 1652, pada waktu yang
sama Inggris berminat dengan Negara ini, karena terdapat cadangan berlian yang
melimpah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perang Britania-Belanda dan dua
perang Boer. Pada 1910, empat republik utama digabung dibawah kesatuan Afrika
Selatan, kemudian pada 1931, Afrika Selatan menjadi jajahan inggris sepenuhnya.
Walaupun Negara ini berada dibawah jajahan Britania, mereka terpaksa berbagi
kekuasaan dengan pihak Afrikaner. Pembagian kekuasaan inilah yang berlanjut
hingga tahun 1940, saat partai pro-Afrikaner yaitu Partai Nasional (NP) memperoleh
mayoritas di parlemen. Strategi partai tersebutlah yang telah menciptakan dasar
apartheid, suatu cara untuk mengawal sistem ekonomi dan sosial Negara dengan
dominasi kulit putih dan diskriminasi ras.
1990, akibat dorongan dari bangsa lain dan tentangan hebat dari berbagai gerakan
anti-apartheid khususnya ANC, pemerintahan partai nasional dibawah pimpinan F.W.
de Klerk menarik balik larangan terhadap ANC dan partai-partai politik berhaluan
kiri yang lain dan membebaskan Nelson Mandela dari penjara. Setelah pembebasan
Mandela, undang-undang apartheid mulai dihapus secara perlahan. Mandela
kemudian melakukan upaya negosiasi dengan presiden F.W. de Klerk untuk
penghapusan apartheid secara keseluruhan dan melaksanakan pemilu multiras 1994
yang kemudian dimenangkan oleh ANC, Nelson Mandela dilantik sebagai presiden
kulit hitam yang pertama di Afrika Selatan.
Terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden Afrika Selatan tentu membawa angin
perubahan bagi warga kulit hitam, setelah sekian lama dalam penindasan era baru
kesetaraan kemudian dimulai. Tak sedikit dari warga kulit hitam yang menganggap
keterpilihan Nelson Mandela akan membalaskan dendam rasisme yang telah lama
mereka pendam, mencerabut hak atau bahkan melakukan hal yang serupa yang
pernah dilakukan oleh warga kulit putih (perbudakan).
Namun Mandela menilai kepemimpinannya bukanlah sebuah pertarungan otoritas
yang kemudian mengharuskannya melakukan hal yang serupa yang pernah ia alami,
mendekam di penjara selama 27 tahun dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh
kerasnya kebijakan politik apartheid. Mandela yang dulu dan Mandela yang saat ini
menjabat sebagai orang nomor satu di Afrika Selatan itu tetap sama, pejuang anti-
politik apartheid.
3.3. Dari Prinsip Keras Leadership Menjadi Partnership
Tanggung jawab adalah inti kepemimpinan. Ini adalah kearifan tua yang kini menjadi
isu kontemporer ketika dunia mengalami katastrofi multidimensi. Kecemasan
terhadap daya dukung bumi, disparitas ekonomi antarnegara, konflik ideologi,
persaingan nuklir, semuanya telah menghadapkan dunia pada satu pertanyaan final ;
bagaimana peradaban harus dikelola agar kita dapat berbagi oksigen, bergantian
memakai energy, dan bergandengan tangan membersihkan bumi? Pertanyaan itu
sesungguhnya mendahului segala perbedaan ideologi dan semua ambisi politik,
manakala kita paham bahwa kita adalah penumpang satu perahu yang sedang
menghadapi masalah dengan samudera dan cuaca.
Kepemimpinan adalah kompas untuk meyakinkan kita bahwa pembagian tanggung
jawab merupakan keperluan untuk keselamatan bersama. Itulah alasan etis
kepemimpinan saat ini. Artinya, kepemimpinan bukan lagi dipahami dalam arti
kompetisi otoritas, melainkan sebagai ko-operasi humanitas. Keputusan dibuat di
meja bundar dan dilaksanakan dalam skema kemitraan. Pendekatan kepemimpinan
beralih dari prinsip keras “leadership” menjadi “partnership”. Dalam skema itu,
pemimpin mendistribusikan persoalan, bukan sebagai beban teknis, tetapi sebagai
tanggung jawab etis. Dengan cara itu, keterlibatan ditempuh dalam proses, dan bukan
ditunggu dalam pembagian hasil. Pendekatan semacam ini mengubah persoalan
menjadi perhatian setiap orang, dan bukan sekedar keahlian beberapa orang.
Kepemimpinan berarti keahlian advokasi setiap orang, dan bukan hak eksekusi
beberapa ahli. Reformulasi konsep kepemimpinan itu menghendaki reformulasi
berbagai konsep konvensional tentang politik, bisnis dan kebudayaan (The Dancing
Leader 2002 : 7).
Nelson Mandela merupakan seorang pemimpin yang memiliki banyak karismatik
yang menginspiratif orang-orang disekitarnya. Meskipun menghadapi berbagai
konflik maupun krisis sosial yang masih melanda Afrika Selatan yang membutuhkan
sebuah kerja keras dan kesabaran yang extra untuk benar-benar menghilangkannya
dari Afrika Selatan, seperti kemiskinan, kejahatan yang semakin marak, konflik ras,
ekonomi yang lemah dan pengangguran, Mandela tetap dengan keyakinannya yang
tinggi, keteguhan, dan kerja kerasnya tetap mencari berbagai solusi yang dapat
menyelesaikan permasalahan tersebut sampai ke akar-akarnya. Pekerjaan pertama
yang harus Mandela selesaikan adalah mencari formula dan langkah-langkah strategis
untuk mengakomodir antara aspirasi warga kulit hitam dengan prasangka warga kulit
putih meskipun terkadang langkah-langkahnya dan kemampuannya tersebut masih
diragukan oleh pihak-pihak tertentu. Namun, Mandela tetap berpikir positif dengan
segala cemooh maupun keraguan masyarakat itu dijadikannya sebagai cambuk dan
semangat untuk membuktikan kepada dunia bahwa dia dapat menciptakan
perdamaian di bumi Afrika Selatan.
Gaya Kepemimpinan Karismatik
Sikap karismatik Mandela ini merupakan wujud nyata dari pernyataan ahli sosiologi
Max Weber (1974) yang menggunakan istilah karisma untuk menjelaskan sebuah
bentuk pengaruh yang didasarkan bukan atas tradisi atau kewewenangan namun atas
persepsi para pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniakan dengan kemampuan-
kemampuan yang luar biasa. Menurut Weber, karisma terjadi bilamana terdapat suatu
krisis social, yang pada krisis itu, seorang pemimpin dengan kemampuan
pribadi yang luar biasa tampil dengan sebuah visi yang radikal yang memberi suatu
pemecahan terhadap krisis tersebut, dan pemimpin tersebut menarik perhatian para
pengikut yang percaya pada visi itu dan merasakan bahwa pemimpin tersebut sangat
luar biasa (Trice & Beyer, 1993).
Menurut House, seorang pemimpin yang karismatik mempunyai dampak yang dalam
dan tidak biasa terhadap para pengikut; mereka merasakan bahwa keyakinan
pemimpin tersebut adalah benar, mereka menerima pemimpin tersebut tanpa
mempertanyakannya lagi, mereka tunduk kepada pemimpin dengan senang hati,
mereka merasa sayang terhadap pemimpin tersebut, mereka terlibat secara emosional
dalam misi kelompok atau organisasi tersebut, mereka percaya bahwa mereka dapat
memberi kontribusi terhadap keberhasilan misi tersebut, dan mereka mempunyai
tujuan-tujuan kinerja tinggi. Hal ini juga tergambarkan pada film ini disaat Mandela
pertama kali melaksanakan tugasnya di gedung Presiden dan disaat bersamaan
pegawai yang berkulit putih pada masa pemerintahan sebelumnya akan berhenti
bekerja untuk Presiden. Namun, Mandela dengan sikapnya yang berkarisma dapat
meyakinkan seluruh pegawai untuk tetap tinggal bekerja bersama dalam masa
Pemerintahannya, berkontribusi terhadap Negaranya tanpa harus memikirkan lagi
perbedaan ras untuk mewujudkan tujuan yang sama yaitu perdamaian Afrika Selatan.
Selain itu, sikap tersebut juga dapat digambarkan dari meleburnya pengawal-
pengawal Mandela dalam pelaksanaan tugas tanpa memikirkan lagi permasalahan ras
dan masalah yang terjadi masa lalu.
Teori Bass (1985) mengungkapkan bahwa terdapat tiga komponen kepemimpinan
transformasional yaitu karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan
perhatian yang diindividualisasi (invidualized consideration). Stimulasi intelektual
adalah sebuah proses dimana pemimpin meningkatkan kesadaran terhadap masalah
dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari sebuah
perspektif yang baru. Perhatian yang diindividualisasi merupakan sikap memberikan
dukungan, membesarkan hati dan memberikan pengalaman-pengalaman tentang
pengembangan kepada para pengikut. Selain itu juga perilaku transformasional
disebut sebagai inspirasi (atau “motivasi inspirasional”) (Bass& Aviolo, 1990). Dari
berbagai komponen kepemimpian transformasional yang disebutkan sebelumnya ini
merupakan cerminan dari sikap-sikap yang ditunjukkan oleh seorang Mandela. Mulai
dengan Mandela memberikan stimulasi intelektualnya kepada orang-orang yang
bekerja dengannya juga terhadap asosiasi Proteas yang menginginkan tim nasional
Springbooks untuk bubar. Sikap invidualized consideration juga ditunjukkan
Mandela ketika, memberikan pengalaman dan motivasi serta mendukung tim nasional
Springbooks untuk meraih juara dalam kejuaraan dunia dalam upaya mempersatukan
seluruh rakyat Afrika Selatan.
Gaya Kepemimpinan kotemporer: “Servant Leadership”
“The first responsibility of a leader is to define reality. The last is to say thank you. In
between, the leader is a servant.” – Max DePree
Istilah servant leader dipakai untuk pertama kalinya oleh Robert K. Greenleaf pada
tahun 1970 dalam tulisannya yang berjudul The Servant as Leader. Kepemimpinan
yang melayani (Servant Leadership) merupakan suatu tipe atau model kepemimpinan
yang dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh suatu
masyarakat atau bangsa. Para pemimpin-pelayan (Servant Leader) mempunyai
kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-
orang yang dipimpinnya di atas dirinya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara
pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.
Kata pemimpin dan pelayan biasanya sering dipandang sebagai sesuatu yang
berlawanan.. Dalam hal ini kata pelayan dan pemimpin disatukan untuk menciptakan
gagasan paradoksal kepemimpinan pelayan. Istilah kepemimpinan pelayan muncul
berdasarkan suatu buku yang ditulis oleh Robert K. Greenleaf (1904-1990) pada
tahun 1970 dengan bukunya yang berjudul The Servant as Leader . Greenleaf adalah
Vice President American Telephone and Telegraph Company (AT&T) . Tujuan
utama penelitian dan pengamatan Greenleaf akan kepemimpinan pelayan adalah
untuk mebangun suatu kondisi masyarakat yang lebih baik dan lebih peduli.
Greenleaf berpandangan bahwa yang dilakukan pertama kali oleh seorang pemimpin
besar adalah melayani orang lain. Kepemimpinan yang sejati timbul dari mereka yang
motivasi utamanya adalah keinginan menolong orang lain.
Apakah Kepemimpinan Pelayan Itu ?
Dari semua hasil karyanya, Greenleaf membicarakan keperluan akan jenis baru model
kepemimpinan, suatu model kepemimpinan yang menempatkan pelayanan kepada
orang lain, termasuk karyawan, pelanggan dan masyarakat sebagai prioritas nomor
satu. Kepemimpinan pelayan menekankan makin meningkatnya pelayanan kepada
orang lain, sebuah cara pendekatan holistik kepada pekerjaan, rasa kemasyarakatan
dan kekuasaan pembuatan keputusan yang dibagi bersama.
Greenleaf menyatakan bahwa pemimpin pelayan adalah orang yang mula-mula
menjadi pelayan. Dalam buku The Servant as Leader dia menulis : “ Ini dimulai
dengan perasaan alami bahwa orang ingin melayani, melayani lebih dulu. Kemudian
pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan memimpin. Perbedaan ini
memanifestasikan diri dalam kepedulian yang dimiliki oleh pelayan yang
menempatkan kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani. Orang ini jauh
berbeda dengan orang yang menjadi pemimpin lebih dulu, mungkin karena keperluan
untuk membantu dorongan kekukasaan yang tidak biasa atau untuk memperoleh hak
milik duniawi. Pemimpin dulu dan pelayan dulu adalah tipe yang berbeda.
Perbedaannya dilukiskan dalam kepedulian yang diambil oleh pelayan lebih dulu
untuk memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani.
Ujian yang terbaik dan sulit untuk melaksanakannya adalah apakah mereka yang
dilayani tumbuh sebagai pribadi , atau apakah mereka ketika dilayani menjadi lebih
sehat (lebih baik), lebih bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri, dan lebih
memungkinkan diri mereka menjadi pelayan ? Dan apakah pengaruhnya terhadap
tanggung jawab dalam lingkungan social; akankah menguntungkan atau merugikan ?
Sementara Max Depree, dalam bukunya The Art of Leadership mengatakan bahwa
kepemimpinan pelayan adalah “Respek terhadap orang lain. Hal ini diawali dengan
mengerti bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Perbedaan ini
menuntut kita untuk dapat menumbuhkan rasa saling percaya.Perbedaan telah
menuntut kita untuk lebih mengetahui kekuatan orang lain. Setiap orang datang
dengan bakat yang kuhusus, tetapi bukan bakat yang sama.”. Hidup bukan sekedar
mencapai tujuan. Sebagai individu dan bagian suatu kelompok kita membutuhkan
pencapaian potensi maksimal yang dimiliki. Seni dari kepemimpinan bersandar pada
kemampuan memfasilitasi, memberi kesempatan dan memaksimalkan setiap bakat
yang berbeda dari setiap individu. Jadi jelaslah bahwa kepemimpinan bukanlah suatu
popularitas, bukan kekuasaan, bukan keahlian melakukan pertunjukkan, dan bukan
kebijaksanaan dalam perencanaan jangka panjang. Dalam bentuk yang paling
sederhana kepemimpinan adalah menyelesaikan sesuatu bersama orang lain dan
membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama.
Kesimpulan :
Intisari dari film ini adalah menggambarkan sosok Nelson Mandela yang kharismatis
dan seorang pemimpin besar yang penuh inspirasi. Dengan caranya sendiri dan
dengan keteguhannya sang pemimpin menjadikan olahraga sebagai salah satu alat
untuk menghapus perbedaan dan menjadi seorang pemimpin yang sukses
menciptakan sebuah kemenangan.
Komunikasi juga merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan. Gaya
persuasi yang berwibawa tetapi lembut memberikan suasana lebih nyaman bagi para
pegawai di kantornya untuk bekerja bersama, tergambar dalam film tersebut. Tidak
hanya menyampaikan kata-kata penuh makna, tidak hanya untuk mengutarakan
maksud dan tujuan, tetapi juga mendengarkan orang lain, itu hal yang tidak kalah
penting dalam komunikasi. Mandela mau mendengarkan orang lain, ingin mengenal
setiap hal lebih dekat. Dalam kepemimpinan tidaklah hanya pendapat sendiri atau
mayoritas yang menjadi suara utama, melainkan setiap pandangan adalah berarti.
Seorang pemimpin harus dapat mengidentifikasi potensi-potensi yang dimiliki yang
dapat dimanfaatkan dalam menyelesaikan permasalahan dalam kepemimpinannya,
serta menemukan cara-cara untuk dapat memberikan inspirasi kepada orang lain, baik
oleh dirinya sendiri atau melalui agent of change yang telah ia temu kenali.